Sedikit Bicara Banyak Kerja Kalimat dalam judul ini seringkali kita dengar, dan bahkan akhir-akhir ini digunakan sebagai iklan hingga gampang kita temukan di pingir-pinggir jalan. Rasanya memang seperti benar dan berlaku untuk semua orang. Kalimat itu memberikan peringatan agar kita semua supaya menghemat bicara dan sebaliknya memperbanyak kerja. Jika hal itu dipedomani, akan menjadi lebih baik. Dalam kajian Islam juga disebutkan konsep bahwa salah satu akhlak yang kurang terpuji adalah katsrotul kalam, atau banyak bicara. Memperbanyak bicara tergolong akhlak yang kurang baik, oleh karena itu harus dihindari. Dalam suatu hadits Nabi dikatakan bahwa siapa saja yang banyak bicaranya maka akan banyak kesalahannya, dan barang siapa yang banyak kesalahannya maka nerakalah tempatnya. Hadits ini memperingatkan agar kaum muslimin mengurangi banyak bicara. Namun dalam kehidupan sehari-hari, apalagi pada zaman modern seperti sekarang ini, banyak muncul profesi yang memang tugasnya adalah berbicara. Seorang penyiar televisi atau radio, motivator, mubaligh, guru, politikus yang duduk dalam parlemen, dan semacamnya, tugas mereka sehari-hari adalah berbicara. Tidak akan mungkin seorang penyiar atau juru penerang, tidak banyak bicara. Tugas atau pekerjaan mereka sehari-hari adalah berbicara. Demikian pula seorang mubaligh, guru, dosen, dan apalagi anggota DPR, mereka harus banyak berbicara. Mereka dipilih menjadi anggota DPR, di antaranya adalah agar mereka bericara. Ada profesi tertentu yang justru mengharuskannya agar banyak berbicara dan juga menulis. Seorang wartawan dan juga dosen misalnya, jika tidak menulis maka akan disebut sebagai wartawan atau dosen malas dan tidak produktif. Sebagai dosen jika tidak bisa berbicara di depan ruang kuliah, atau menulis artikel, buku, atau hasil penelitian, maka mereka tidak akan dianggap memenuhi kewajibannya, hingga salah satu akibatnya tidak akan naik pangkat. Bagi orang-orang tertentu, berbicara dan menulis adalah menjadi kewajiban dan harus dilakukan sehari-hari. Bagi mereka itu, berbicara dan menulis adalah merupakan bentuk pekerjaan mereka. Sehingga terhadap mereka yang berprofesi sejenis itu, kalimat yang mungkin lebih tepat adalah berbicara dan menulislah sejelas-jelasnya dan mungkin juga sebanyak-banyaknya. Karena tugas dalam hidup mereka adalah menulis dan berbicara. Memang benar, bagi profesi tertentu seperti pegawai kantor, pelayan restoran, pegawai pabrik, petani, polisi, tentara, nelayan, dan masih banyak lagi semacam itu lainnya, tidak boleh banyak bicara. Pekerjaan mereka bukan berbicara, tetapi menyelesaikan sesuatu yang tidak memerlukan banyak pembicaraan. Namun sebaliknya, sekalipun mirip dengan itu, misalnya pedagang, juru penerang, atau penasehat, dan semacamnya, mereka memerlukan banyak bicara. Misalnya seorang pedagang, jika mereka diam saja, maka dagangannya tidak akan dikenal banyak orang dan sebagai akibatnya tidak laku. Dari uraian singkat dan contoh-contoh di muka memberikan pengertian, bahwa ternyata berbagai jenis profesi selalu menuntut cara pemenuhan yang berbeda-beda. Profesi tertentu menuntut sedikit bicara, sedangkan profesi lain justru sebaliknya, harus banyak berbicara. Dosen atau wartawan misalnya, dituntut harus banyak menulis. Tetapi sebaliknya, pegawai kantor yang bertugas menyelesaikan administrasi dan juga dokter yang harus memeriksa pasien, jika banyak bicara, maka pekerjaan mereka akan terbengkalai. Sehingga memang, dalam kehidupan sehari-hari, tidak selalu bisa dilihat
dan diberlakukan secara umum. Cara yang terbaik adalah harus dilihat dan didekati secara proporsional. Sehingga, hadits nabi yang disebutkan di muka, supaya selalu menjaga diri dari apa yang disebut sebagai katsrotul kalam, bisa dipahami sebagai upaya agar kita tidak berlebihlebihan dan juga proporsional. Apapun yang berlebih-lebihan atau bahkan keterlaluan, akan mengganggu obyektivitas dan keseimbangan, sehingga yang demikian itu memang tidak boleh dilakukan. Wallahu a’lam.