Mari Bicara

  • Uploaded by: Aida Affandi
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Mari Bicara as PDF for free.

More details

  • Words: 759
  • Pages: 2
“Mari Bicara” Pasti tidak asing dengan kalimat ini, tepat sekali kalimat mari bicara sekarang menjadi salah satu iklan teh di televisi, tapi sebenarnya judul tulisan ini kutulis setelah membaca novel “perempuan berkalung surban”, karena rasa penasaran kenapa filmnya tidak jadi tayang dan dianggap sebagai pemberontakan kaum perempuan, kuputuskan membaca novelnya. Menurutku sebagian besar isi Novel itu banyak mengajukan pertanyaanpertanyaan seputar kaum perempuan yang mungkin tersimpan rapi dalam benak kaum perempuan yang sering merasa menjadi sub ordinasi di lingkungannya sendiri,.. Sejenak aku diam setelah membaca novel itu, teringat desa kecil tempat tinggal almarhum nenekku. Desa yang cukup terpencil, susah dijangkau namun sebenarnya sangat asri. Di sana tinggal sebagian besar keluarga besarku. Sepupu-sepupuku baik lakilaki ataupun perempuan yang jauh lebih dulu menikah daripada aku. Sekarang usia anakanak mereka sudah usia sekolah, sementara nazira baru 15 bulan… Keputusan menikah di usia muda di desa bukanlah hal yang aneh lagi, karena keterbatasan ekonomi untuk sekolah, minimnya sosialisasi pentingnya pendidikan, dan juga budaya yang membentuk pola pikir yang menyatakan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya di rumah juga ngurus rumah, anak, suami. Ehhhmmm,…kalo mendengar kalimat yang satu ini aku langsung ingin bertanya apa mendidik anak si ibu tidak perlu sekolah tingi-tinggi ya,…lalu bagaimana anaknya bisa jadi pintar??? Bukankah butuh ibu yang smart untuk mendidik anak yang cerdas pula,.. Seminggu yang lalu, neknongnya nazira menelponku, pamanku sudah punya anak yang ke-4, alhamdulillah ucapku dalam hati. Namun dalam pikiranku ini tetap tak berhenti bertanya, sudah anak ke-4??? bagaimana bibi mengurus anaknya yang jaraknya hanya 2 tahun, bahkan yang terakhir jaraknya hanya 1 tahun. Sementara dari menyuci, nyetrika, masak, ngurus anak bahkan kadang-kadang harus ke sawah lagi….istilahnya pekerjaan yang harus dia selesaikan dari buka mata sampai tutup mata lagi. Dari bangun pagi sampai mau tidur lagi,..wuiichhhh,.. Subhanallah,..superwoman sekilas terucap di hati, tapi jika kutela’ah lebih jauh, sungguh kasihan sekali dia…tak pernah punya waktu untuk dirinya sendiri, kasihan juga anakanaknya yang mungkin tidak semuanya mendapat perhatian yang sama, pendidikan yang sama…si sulung dipaksa menjadi lebih dewasa dari umurnya yang baru 8 tahun, pernah suatu hari dia mengajak adiknya yang baru berumur 2 tahun bermain di pinggir sungai, adiknya terbawa arus sungai hingga ke pematang sawah, syukurnya maut belum menghampirinya. Mengingat beberapa kejadian seperti itu, sungguh aku kasihan pada keluarga pamanku terutama bibi. Terakhir kali aku bertemu dengan bibi saat dia hamil anak ke-3 nya, kelihatan lelah sekali,dan wajahnya menjadi lebih tua dari umurnya padahal usia kami hanya terpaut 1 tahun saja. Saat itu aku hanya menyarankan bicarakanlah dengan paman untuk menunda kehamilan atau menjaga jarak kelahiran, atau carilah kerabat untuk ikut membantu bibi di rumah.

March 09;4104. doc

Lain halnya dengan sahabatku dinda yang tinggal di bandung, kehidupannya mewah, pembantu ada segala ada. Tiga tahun dia menikah sudah punya 3 anak. Tapi saat aku mengunjunginya sebulan yang lalu,wajahnya tak jauh beda dengan bibiku, dulu dia termasuk primadona di kampus, tapi sekarang dia kelihatan lelah sekali, tersenyum saja kok rasanya susah. Belum lagi Sydrom Baby blues setiap kali melahirkan anak, seolaholah hanya tugasnya saja mengurus anak dan rumah. Sementara suaminya tidak terlalu ingin turun tangan mengasuh anak-anak mereka, memilih pulang malam untuk Hang Out bersama teman-temannya daripada pulang ke rumah untuk bercanda bersama anak. Aku hanya mengira saja, mungkin dinda belum mencoba untuk membicarakan hal ini bersama sang suami dari hati ke hati, karena aku melihat ada sorot mata yang kecewa dengan kondisinya saat ini. Suamiku pernah bilang, bahwa dalam hidup berumahtangga ada dua pendapat yang harus dijadikan satu pendapat bersama. Termasuk dalam mengambil keputusan untuk hamil atau menunda kehamilan. Lalu jika memilih untuk hamil, tentu sang suami juga harus ikut andil, memberikan perhatian yang lebih saat istri hamil, sekedar mengingatkan untuk selalu mengonsumsi makanan sehat selama hamil itu menjadi nilai plus buat seorang istri, apalagi jika ikut andil mengetahui perkembangan janin dan bagaimana proses persalinannya. Bukan hanya sampai disitu saja, saat bayi sudah lahir juga demikian, ikut membantu pekerjaan rumah saat sang ibu sibuk dengan tangisan si kecil, dan banyak sekali yang masih bisa dikerjakan bersama selama punya komunikasi yang baik antara suami dan istri. Seperti sebuah kalimat yang aku kutip dari sebuah koran harian ibukota suami istri itu harusnya 3G artinya Good Husband/wife, Good Dady/mommy dan Good Buddy. Aku jadi ingat khutbah nikahku yang disampaikan oleh kepala KUA saat hari pernikahan kami, suami istri harus selalu punya komunikasi yang baik dan berkualitas berarti juga komunikasi dua arah bukan hanya satu arah saja. Dekat ataupun jauh untuk selalu keep in touch,..apalagi jaman sekarang yang sudah high tehnology, rasanya hampir tidak ada alasan untuk tidak saling berkomunikasi kan,...kalau begitu ayooo semua mari bicara,... ------------------------

March 09;4104. doc

Related Documents

Mari Bicara
May 2020 36
Mari
October 2019 54
Mari Mari Nine Muralida
November 2019 49
Bicara Couple
November 2019 53
Seni Bicara
June 2020 12
Bicara Hati
November 2019 36

More Documents from ""