Sebuah Pandangan Terhadap Masa Transisi Di Sudajayahilir

  • Uploaded by: Warsa
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sebuah Pandangan Terhadap Masa Transisi Di Sudajayahilir as PDF for free.

More details

  • Words: 902
  • Pages: 2
Oleh: Warsa S Abstraksi Perubahan paradigma dari desa ke kota telah mengubah jalan hidup dan tindakantindakan sosial masyarakat pedesaan kontemporer. paradigma kontemporer ini antara lain dipengaruhi oleh semakin maraknya kemajuan di bidang teknologi dan indormasi. Dengan kata lain bisa disebutkan antara perubahan paradigma dari sebuah komunitas di setiap mileu dipengaruhi secara besar oleh hasil kreatif dari masyarakat itu sendiri. Ini merupakan sebuah siklus pola pikir. Saling memengaruhi satu sama lain. Apakah pola pikir atau paradigma yang dibentuk oleh masyarakat atau masyarakat yang dibentuk oleh paradigma. Namun jelas sekali. Menjawab pertanyaan pertama tentu membutuhkan satu analisi mendalam. Pola pikir sebuah masyarakat sebanding dengan kondisi pendidikan mereka, artinya hanya kelompok masyarakat cerdas yang bisa menciptakan sebuah paradigma. Sementara untuk menjawab satu pertanyaan lagi, kita cenderung di hadapkan pada kuatnya pengaruh mekanisasi dan dominasi kultural para pemegang modal baik kekuasaan maupun uang. Paradigma ciptaan dari mesin kemajuan adalah milik para pemegang kendali kehidupan dan dihadapkan kepada kelompok masyarakat pertama. Maka mau atau tidak mau masyarakat pertama sebagai kelompok mayoritas namun tidak memiliki akses kekuasaan akan menjadi sasaran paksaan paradigma kelompok kecil namun kreatif. B. Masyarakat Sudajayahilir Menuju Ke arah Transisi Era tahun 1980-an bisa dikatakan sebagai era unik bagi masyarakat Sudajayahilir. Dikatakan demikian, karena memang mayoritas penduduknya memiliki profesi sebagai petani. Seorang kakek pernah menuturkan seperti apa hidup di era itu. Pagi hingga sore dihabiskan di sawah dan di ladang. Istirahat biasa dilakukan menjelang dzuhur. Keunikan ini memang tidak selalu bersifat stagnan hanya karena dianalisa oleh orang-orang sekarang lah generasi 80-an dikatakan unik. Sementara jika kita lebih memundurkan hitungan waktu ke era 1940-an sampai era 70-an, keunikan ini akan semakin unik dan nampak. Timbul satu pertanyaan, kenapa dikatakan unik? Di depan telah dijelaskan, keunikan sebuah masyarakat itu terjadi karena memang mereka menjadi jati diri mereka sendiri dan menghasilkan pola pikir sejalan dengan dimana mereka tinggal. Orang bisa berkata, itu adalah hal biasa, namun marilah kita cermati lebih khusus. Sesuatu yang unik memang bisa dikatakan biasa bagi mereka. Hanya saja, saya berani mengajukan asumsi bahwa generasi tersebut adalah unik. Mereka hidup tidak mewah seperti hari ini. Mereka hidup sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Sama sekali tidak tercipta dalam benak mereka satu keinginan untuk bersikap seperti hari ini. Dan tuntutan mereka hanya satu yaitu bekerja di sawah untuk mencukupi kehidupan sederhana keluarga mereka. Keluarga mereka pun sama sekali tidak memiliki tuntutan yang bermacam-macam. Kebudayaan berserah diri pada Tuhan menjadi andalan mereka untuk memajukan kesejahteraan, bukan pribadi melainkan keseluruhan. Memang, jika kita memiliki kekuatan dan kepekaan sejarah untuk melihat kehidupan mereka, akan terlihat betapa kekuatan spiritual menjadi hal unik bagi mereka yang hidup di era ini. Waktu berjalan. Pergantian era adalah sebuah keniscayaan dan itu sama sekali tidak bisa dihindari oleh siapa pun. Tanpa kecuali , mereka generasi unik. Generasi kakek dan nenek saya. Perjalanan waktu telah mengubah segalanya. Paradigma desa berputar haluan secara perlahan namun pasti ke arah perkotaan. Ada dugaan, perubahan ini berlangsung begitu cepat tanpa disadari oleh masyarakat Sudajayahilir. Tahu-tahu mereka telah ada di sebuah zaman dimana dominasi

teknologi dan informasi telah menjadi landasan berpijak mereka. Peralihan ini menjadi ciri khas dari masyarakat rural-urban. Kebiasaan bercocok tanam memang masih dijalankan bukan karena ingin mempertahankan tradisi kecuali karena memang sejalan dengan tuntutan untuk memenuhi standar hidup di era kontemporer. Satu contoh perbandingan. Di era 80-an hasil panen bisa dikatakan bisa memenuhi kebutuhan selama tiga bahkan enam bulan ke depan, sebaliknya saat ini, hasil panen hanya mampir di serambi rumah selanjutnya telah dijual kepada para tengkulak. Hasil dari penjualan itu biasanya mereka belikan kepada kebutuhan yang telah distandarkan di era mesin ini, membeli Ponsel, DVD, atau mengajak keluarga sekedar belanja kecil-kecilan ke pasar swalayan. Pada saat yang hampir bersamaan. Ketika paradigma kontemporer dengan titik tekan pada kepemilikan barang-barang elektronik semakin kuat. Masyarakat pun dihadapkan pada satu keadaan; ketidak-berdayaan menjadi ciri khas mereka. Ketidak berdayaan ini tidak selalu diukur dengan kemampuan mereka membeli barang-barang seperti disebutkan tadi melainkan ketidak berdayaan dalam mewujudkan keinginan terbesar setiap manusia yaitu; hidup bersama, swadaya, mandiri, tanpa tekanan dari pihak mana pun. Sekedar untuk memperbaiki jalan rusak pun masyarakat selalu berharap pada bantuan dari pemerintah. Celakanya, keberpihakan pemerintah memang masih patut dipertanyakan juga. Karena di era kontemporer ini keberpihakan akan berbuah menjadi sebuah lobi, dimana masyarakat akan digiring pada sebuah komunitas raksasa berupa partai politik. Keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat sering dimanfaatkan oleh orang-orang politik untuk memberi pencitraan terhadap partainya. Seperti; adanya bantuan pembangunan mesjid sering dikatakan karena kebaikan hari partai tertentu kepada masyarakat. Lebih celaka lagi, ketika bantuan itu masih juga dipotong oleh mereka-kelompok para agen bantuan-. Di masyarakat memang ada orang-orang yang siap menyalurkan aspirasi mereka. Namun kapasitas dan kuantitas mereka masih menjadi bahan pertanyaan juga. Sebenarnya sederhana saja kita dalam menganalogikan sebuah masyarakat. Sebab bagaimana pun juga agama kita telah mengajarkan demikian. Di masyarakat harus ada kepala sebagai pembuat konsep, tangan sebagai pengendali, badan sebagai pejuang, dan kaki sebagai penopang kehidupan. Dan terus terang semua itu ada di dalam masyarakat itu sendiri. Ketika hal tersebut telah hilang sebagiannya maka akan lahir masyarakat transisi yang tidak ajeg. Tulisan ini hanya sebuah pandangan awal terhadap masa transisi masyarakat Sudajayahilir. Mudah-mudahan ini hanya sebatas pada praduga-praduga saja, namun tidak mudah bagi kita untuk mengaktualkan hal-hal melangit seperti dalam pandangan ini. Ke depan akan ada satu harapan, masyarakat akan kembali kepada paradigma asal mereka, pola pikir dan tindakan yang didasarkan para keinginan semula dari mereka, keinginan untuk tetap bertahan hidup namun bertumpu pada kehadiran nilai-nilai spiritual, bukan fisik melulu. Dan Tuhanlah Yang Maha Tahu.

Related Documents


More Documents from "Kang Tris"