Berita Aktual
SM Cetak
Suara Warga
Entertainmen
Gaya
Kejawen
Layar
Lelaki
Sehat
Sport
Wanita
Surat Pembaca
Home Berita Utama Semarang & Sekitarnya Lintas Muria Lintas Pantura Lintas Solo Lintas Kedu B a n y u m a s Yogyakarta
WACANA 17 Januari 2009
Revisi SPM Kesehatan dan Implementasinya l
Oleh Sutopo Patria Jati
STANDAR Pelayanan Minimal (SPM) Kesehatan merupakan bentuk konkret janji/utang pemerintah untuk memenuhi ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar di bidang kesehatan, yang menjadi urusan wajib daerah dan berhak dinikmati setiap warga negara secara minimal. Revisi terakhir telah dilakukan Departemen Kesehatan (Depkes), seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 741/Tahun 2008. Aturan ini merevisi SPM Kesehatan versi lama, yang mengacu pada SK Menkes No 1457/Tahun 2003). Adakah perbedaan di antara kedua aturan itu?
Internasional Ekonomi & Bisnis Wacana Olahraga Hiburan & Seni Hukum P e remp u a n Ragam Pendidikan Kesehatan Teknologi
Perbedaan paling menyolok terletak pada jumlah pelayanan yang menyusut drastis, dari 31 jenis pelayanan dan 54 indikator, menjadi empat jenis pelayanan dan 18 indikatornya. Keempat jenis pelayanan yang akhirnya terpilih meliputi: a) pelayanan kesehatan dasar (14 indikator), b) pelayanan kesehatan rujukan (2 indikator), c) penyelidikan epidemiologi dan penanggulan kejadian luar biasa/KLB (1 indikator), serta d) promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat (1 indikator). Hasli evaluasi Depkes tahun 2007, yang mungkin melandasi pengerutan isi SPM, antara lain karena jumlah pelayanan selama ini dianggap terlalu banyak, sehingga dikhawatirkan membingungkan. Indikatornya juga terlalu ”tinggi ”, sehingga terkesan memberatkan. Bahkan ada jenis pelayanan yang dinilai bukan menjadi prioritas kebutuhan riil di daerah. Sejauhmana kebenaran hasil evaluasi tersebut memang sudah tak relevan lagi untuk dibahas saat ini. Persoalannya, apakah setelah direvisi, SPM Kesehatan akan lebih mudan diimplementasikan? Ternyata masih muncul keraguan tentang kesiapan dan keseriusan pemerintah dalam pengimplementasian SPM Kesehatan di daerah, meskipun isinya sudah direvisi.
Kampus
Problem Klise Anggaran
Arsip SM Cetak
Salah satu keraguan terbesar manakala harus mengimplementasikan SPM adalah seberapa mampukah pemerintah mendanai upaya pencapaian target sesuai dengan SPM, khususnya melalui anggaran kesehatan mereka tiap tahun? Kondisi ini terkait dengan belum teridentifikasikannya secara pasti dan jelas, berapa sebenarnya unit cost setiap kegiatan yang akan dijadikan patokan dasar untuk penyusunan pagu indikatif kegiatan yang akan dianggarkan itu. Kesulitan penghitungan unit cost SPM Kesehatan sebenarnya bisa diminimalisasi, karena pemerintah telah membuat jabaran langkah kegiatannya sesuai dengan jenis pelayanan masing masing yang diatur dalam Kepmenkes No 828/Tahun 2008 tentang Petunjuk Teknis (Juknis) SPM Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Namun potensi masalah berikutnya yang dikhawatirkan adalah jika isi yang dijabarkan dalam Juknis SPM itu ternyata dianggap belum matching dengan nomenklatur yang ada dalam Permendagri No 13/Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan perubahannya (Permendagri No 59/Tahun 2007). Aturan ini meliputi 18 nama program kesehatan beserta minimal 170 pos kegiatan yang ”boleh” didanai melalui APBD. Belum lagi jika harus dikaitkan dengan kebutuhan untuk sinkroniasi antara isi SPM Kesehatan dan 34 jenis urusan wajib kesehatan yang secara eksplisit telah diserahkan ke daerah dan harus bisa dipertanggungjawabkan pemerintah daerah seperti diatur dalam PP No 38/Tahun 2007. Keenganan dan keterbatasan kemampuan para teknokrat dan politisi di daerah dalam mempelajari secara cermat seluruh kebutuhan dasar sektor kesehatan di daerah, serta minimnya inisiatif/keberanian untuk menerjemahkannya dalam format baku sesuai dengan sistem perencanaan dan penganggaran, kelihatannya menjadi problem klise yang sudah banyak diketahui bahkan diakui sendiri oleh pemerintah. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari masih kentalnya ego sektoral yang menyebabkan kurangnya sinkronisasi berbagai agenda dan aturan main baru tersebut, sehingga menyebabkan proses pengadopsiannya menjadi berkepanjangan dan pada akhirnya malah kian makin membingungkan para pelaksana di daerah. Dampaknya kemudian akan muncul kefrustasian yang kian sulit diatasi bahkan oleh pemerintah daerah sendiri, termasuk saat mereka harus mem bridging isi SPM Kesehatan ke dalam sejumlah aturan penting lainnnya, sesuai dengan sistem perencanaan dan penganggaran yang ada. Padahal keberhasilan ini jelas sangat menentukan tingkat kemudahan daerah dalam mengimplementasikan SPM Kesehatan. Prospek ke Depan Konsekuensinya, ke depan akan tetap muncul fenomena penyusunan anggaran untuk SPM Kesehatan yang terkesan asal asalan. Proyeksi suram tentang kesiapan pengimplementasian SPM Kesehatan di daerah ini kian diperparah manakala pemerintah dan stakeholders kesehatan lainnya masih belum bisa mengatasi sejumlah kegagalan yang selama ini terjadi.
Salah satunya berupa ketidakefektifan pengawalan terhadap tahapan/pendekatan politis dan partisipatif (bottom up) yang terbukti menjadi titik terlemah dalam proses penyusunan rencana dan anggaran kesehatan. Hal ini mungkin bersumber dari ketidakpiawaian ataupun ketidakseriusan yang dimiliki oleh internal sektor kesehatan itu sendiri untuk melakukan advokasi kepada pihak penentu kebijakan di semua level pemerintahan. Maka, tidaklah mengherankan mengapa selama ini alokasi anggaran sektor kesehatan baik secara nasional maupun di daerah masih sangat minim. Ketersediaan anggaran kesehatan yang masih minim, baik di pusat (sekitar 2 3 % dari Produk Domestik Bruto) maupun di daerah (rata rata 5 10 % dari APBD), diharapkan bisa segera diubah secara signfikan, manakala proses ”pencantolan ” isi program/kegiatan dalam SPM Kesehatan ke format baku sesuai dengan Permendagri No 13/Tahun 2006 bisa berjalan lancar. Syarat utamanya terletak pada seberapa jauh komitmen politis dari wali kota/bupati dan DPRD untuk secara sadar dan cerdas berani mengedepankan isu kesehatan bukan hanya sebagai ”angin surga ’ saat kampanye, tetapi benar benar menjadi salah satu ”maskot ” utama dari agenda pembangunan di daerah. Di sisi lain, peningkatan kapasitas Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) kesehatan —terutama pada aspek teknokratis dan aspek partisipatif— tetap menjadi pekerjaan rumah lain yang harus bisa dituntaskan, apabila daerah ingin lebih berhasil mengimplentasikan SPM Kesehatan secara konsisten dan konsekuen. (32) —Dokter Sutopo Patria Jati MM, staf pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Undip dan pengurus IAKMI Jateng. © 2008 suaramerdeka.com. All rights reserved Groups