Retorika

  • Uploaded by: mulyadi
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Retorika as PDF for free.

More details

  • Words: 14,199
  • Pages: 34
Retorika (dari bahasa Yunani ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher) adalah sebuah teknik pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter pembicara, emosional atau argumen (logo), awalnya Aristoteles mencetuskan dalam sebuah dialog sebelum The Rhetoric dengan judul 'Grullos' atau Plato menulis dalam Gorgias, secara umum ialah seni manipulatif atau teknik persuasi politik yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, keprcayaan dan pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai konsubstansialitas dengan penggunaan media oral atau tertulis, bagaimanapun, definisi dari retorika telah berkembang jauh sejak retorika naik sebagai bahan studi di universitas. Dengan ini, ada perbedaan antara retorika klasik (dengan definisi yang sudah disebutkan diatas) dan praktek kontemporer dari retorika yang termasuk analisa atas teks tertulis dan visual. Dalam doktrin retorika Aristoteles [1] terdapat tiga teknis alat persuasi politik yaitu deliberatif, forensik dan demonstratif. Retorika deliberatif memfokuskan diri pada apa yang akan terjadi dikemudian bila diterapkan sebuah kebijakan saat sekarang. Retorika forensik lebih memfokuskan pada sifat yuridis dan berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu untuk menunjukkan bersalah atau tidak, pertanggungjawaban atau ganjaran. Retorika demonstartif memfokuskan pada epideiktik, wacana memuji atau penistaan dengan tujuan memperkuat sifat baik atau sifat buruk seseorang, lembaga maupun gagasan. Prolog Dalam pergaulan Orang tidak dilihat Pangkat, gelar, jabatan dan kedudukannnya melainkan apa yang orang tersebut lakukan sahabat, Baikkah perbuataannya?, burukkah perbuataannya? atau terhinakah perbuataannya?.Jangan dikira dengan menjadi sarjana diriku bangga, bukan sahabat , justru dengan menjadi doktor di bidangku sejuta tanggung jawab menanti di pundakku , sejuta godaan juga di hadapannku .Seandainya aku boleh memilih dahulu aku akan menjadi manusia biasa dengan title biasa dari pada menjadi sarjana . Manusia akan merasa kurang dan kurang ketika sebuah harapan telah di capai. Harapan itulah yang membuat ambisi menjadi sebuah Kristal yang menggumpal , harapan pulalah yang menjadikan manusia lebih Tendesius untuk kepastian . Dalam hal ini saya pribadi sangat respek dengan anda di usia masih muda bisa menggungkapkan sebuah konsep, yang benar-benar menuntut saya untuk mengimbangi kecepatan anda dalam bertindak. Akurasi anda dalam menganalisa. Marilah kita bedah Konsep Retorika Pendidikan Indonesia untuk kita terapkan dalam dunia kecil kita Negeri Dongeng nantinya dunia yang dimana jauh dari rasa iri dengki, kesombongan yang menerpa manusia ketika menerima sebuah jabatan. Konsep ini tidak membutuhkan manusia yang pintar, sombong, dengki, iri, dan seluruh ketamakaan manusia lainnya, melainkan konsep untuk tetap rendah, mawas dan memahami serta mengalirkan hidup menuju Ketuhanan. Saduran dari pendapat Dr.James Foo ,MM, MBA ,ph.D

A. Karakter Manusia BANGSA INDONESIA

SIAPA bilang bangsa kita tidak beragam. Dominasi program lawak di televisi menunjukkan,bangsa kita gemar membanyol. Ketika dunia berlomba mengejar inventor hi-tech yang naik pesat, tingkat partisipasi korupsi kita-menurut koran-sudah sampai kelurahan. Bahkan sudah pula merambah dunia pendidikan di Indonesia . yang lebih membanyolkan diri dengan entengnya prof – prof di Indonesia mengatakan itu hal yang biasa terjadi di masa tranformasi dari masa reformasi . kalau hal itu biasa lantas yang mana akan menjadi luar biasa ? sulit bukan menjawab pertanyaan tersebut. tapi tidak perlu bingung, karena itulah karakter bangsa kita. Seperti yang kita ketahui, sudah sekian puluh tahun kita rajin memelihara wabah demam berdarah, misalnya. Kocaknya, keluarga korban demam berdarah yang tak tertolong masih ada yang tidak gusar. Padahal, bagi seorang rakyat Belanda yang knalpot mobilnya rusak gara-gara pemerintah membiarkan jalan jeglok saja mencak- mencak menuntut GANTI RUGI . Konyol bukan ? Makanya jangan heran kalo kejadian ini terjadi di Indonesia, yaa pasti dibiarkan saja oleh pemerintah, tidak ada kerjaan lain kecuali KORUPSI, dan memperkaya diri. Mungkin di situ enaknya (maaf) menggembala rakyat Indonesia. Selain rasa humornya tinggi,mereka susah marah, pandai tersenyum, mudah trenyuh, dan gampang menangis bahkan dibohongi. Namun satu hal harus diakui, bangsa kita mudah curiga, sangkaan yang kuat, dan lekas tersinggung. Kata seorang sosiolog, boleh jadi karena wujud kekocakan karakter biar miskin asal sombong . Kocaknya,BENCI kepada orangnya, tetapi mau MENERIMA sumbangannya. Pernah pula menyaksikan sekian banyak penumpang bus luar kota yang sudi duduk di lantai bus padahal membayar ongkos penuh. Atau mereka tak marah diturunkan seenaknya di tengah jalan sebelum tiba ke tujuan dan mereka masih tertawa. Aneh ngga? ?? Kita mafhum, boleh jadi karena sejak bayi bangsa kita selain rajin diajak tersenyum, juga belajar pandai tertawa ,ironis sekali , bukan ? katanya banyak Orang yang merasa sudah berpendidikan tinggi, dengan titel berjubel, tetapi kenapa begitu naïf membiarkan orang bergelantungan di atas bus tanpa AC ? lantas bagaimana layanan publik Kita? Sudah begitu parahkah hingga Dunia Perguruan Tinggi /Universitas tidak mampu melakukan riset mengenai bagaimana mengatasai kemacetan lalu lintas yang di buat sendiri sehingga orang bergelantungan di atas bus umum tanpa layanan yang memadai ? Cobalah Berpikir wahai…??? MELIHAT gejala seperti itu seorang psikolog bilang, “Mungkin itu sebabnya mengapa bangsa kita tergolong tahan banting. Dari muda mereka terbiasa hidup berdampingan secara damai dengan tekanan, krisis, konflik, dan frustrasi. Daya tahan stresnya menjadi kokoh. Oleh karena itu, boleh jadi dalam menghadapi tiap kematian; sia-sia, atau mati konyol anggota keluarga sekalipun, mereka terlihat masih tegar” Sejelek-jelek layanan publik yang pernah dialami masyarakat , masih ada pihak yang mereka sanjung. Penderitaan dan kesusahan jelas-jelas mereka alami karena human error,

masih disangka God’s decision.Tengok mereka yang bergelantungan di bus kota tiap hari, tanpa berpendingin merayap dijalan macet, dan macetnya akibat buatan manusia dan ulah penguasa yang sibuk menjadi Tokoh yang aneh . Atau, beratnya menempuh buruknya jalan desa, tetapi mereka TABAH menerima. Padahal, setelah lebih dari setengah abad merdeka, sudah selayaknya semua kesusahan itu tak mereka alami. Namun kocaknya,bagi mereka, semua itu bukan masalah. Tampaknya, dalam urusan badan, mereka boleh lelah dan letih, juga boleh nyeri, asal hati tetap ayem, mereka tak mudah menjadi berang. Asalkan tidak sengaja menusuk hati, bangsa kita enak diajak bergaul. Turis asing senang datang ke negeri kita bisa jadi salah satunya karena dalam serba KEKURANGAN BANGSA kita masih bertegur sapa dan tulus tersenyum. Sutradara film mungkin melihatnya sebagai sebuah puisi. Masih ada senyuman tulus di balik kegetiran hidup. Bagi setiap filsuf, potret itu juga sebuah kekocakan hidup.Di negeri orang lain, warga terantuk batu saja sudah berteriak keras. Kocaknya bangsa kita,meski sudah lama terinjak, mungkin diinjak, masih saja ada senyum yang tidak dibuat-buat ala Mr Bean. Bangsa lain mungkin sudah menjerit, bangsa kita MENAHAN rasa perih pedih kehidupan tanpa mengaduh. Perhatian kecil dari penguasa membuat rakyat sumringahnya luar biasa. Apalagi jika sampai bisa membuat mereka kecukupan makan tiap hari. Kocaknya pula, bangsa kita masih sering takut kepada polisi kendati tidak bersalah. Masih tetap menaruh hormat kepada pamong, kendati proyek jalan desa dikorupsi dan sawah dibiarkan puso , yang lebih konyolnya lagi masih menggantungkan harapan besar untuk bisa menjadi Mahasiswa PTN padahal NEGARA tempat Kita bernaung tidak memberikan jaminan kepastian apakah anak kita bisa bekerja atau malah jadi penggangguran intelektual ketika lulus Perguruan Tingi ? Kita ingin menyetir gejala orang-orang di negara sosialis, yang saking beratnya hidup, tanpa boleh berontak dan mengaduh sehingga yang muncul ungkapan satir dan gereget humor sebagai katarsis. Dari situ ada tangkai-tangkai humanisme yang mungkin terpetik. Kalau di sana, misalnya, tumbuh fenomena sosial Mati Ketawa Cara Rusia , rasanya bukannya dibuat buat bila di sini ada pula spesies hidup berbangsa dengan kekocakan karakter Mati Ketawa Cara Indonesia apakah anda mau coba ? B. Mengurai Benang Kusut Pendidikan JIKA pelaku Pemogokkan buruh dan mengorganisir rakyat kecil melawan kapitalis belanda itu lulusan sekolah khusus samin , maka lembaga pendidikan mereka berhasil menjalankan visi dan misinya:mendidik orang menjadi Seorang Samin yang handal, setia pada tujuan. Saya tidak berbicara baik- buruk, benar-salah, atau mulia-jahatnya tindakan tersebut dan cara yang dipilih untuk mencapai tujuan. Saya menilik bagaimana visi-misi pendidikan diimplementasikan sehingga peserta didik menghidupi dan menjalankannya secara total dan all out.Yang jelas, proses pendidikan di sekolah Samin telah menumbuhkan keberanian dan kemauan bertindak lulusannya, yang konyol di mata kita, tetapi merupakan indikator sukses guru-gurunya. Pembaiatan menjadi semacam wisuda untuk mengukuhkan keberanian dan kemauan itu. Lembaga-lembaga pendidikan formal

kita, dan lembaga pendidikan umum di mana pun, jelas tidak dimaksudkan untuk mendidik orang samin . Lembaga-lembaga pendidikan kita memiliki tujuan filsafati luhur. Saking luhurnya lupa bahwa yang didik adalah masyarakat yang masih perlu di sadarkan lebih jauh. Ada proses dan pengukuran. Ada pengukuhan janji dalam wisuda. Namun, tidak sedikit lulusan dunia pendidikan kita yang tidak menunjukkan keberanian dan kemauan bertindak menurut tujuan dan nilai-nilai di mana mereka pernah dididik. Dalam arti terbatas ini, sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan formal telah gagal menjalankan visi-misinya. Ironisnya, justru kegagalan inilah membedakannya dari pendidikan ala Samin .Kita telah mematri pendidikan mengemban misi penyadaran (conscientitation) atau istilahistilah serupa lain, seperti pemerdekaan dan pemanusiaan. Ini misi dasar mulia. Pendidikan harus membuat orang kian sadar akan jati diri dan asal-usul, dunia dan lingkungan alam-sosial, serta tanggung jawabnya. Pendek kata, pendidikan dimaksudkan membawa orang pada kesadaran insani.Sejauh ini tujuan pendidikan kita ada karena tuntutan normatif sosial. Ia tidak tumbuh bersemai dalam diri insan peserta didik, menjadi bagian tujuan hidupnya. Proses pendidikan kita tidak membuat peserta didik memahami ideal di balik tujuan pendidikan. Tujuan dicapai demi tujuan itu sendiri, sehingga kesediaan berkorban dalam perjuangan mendekati ideal amatlah kecil, karena jiwa mereka yang terdidik tidak disatukan dengan tujuan pendidikan itu. Di sinilah letak pentingnya ideologisasi tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan menjadi target sekaligus semangat praksis pendidikan. Pencapaiannya bersifat imperatif dan dilakukan dengan semacam drilling tujuan, sebagai semangat ideologis yang harus diwujudkan. Ini perkara metodologi, agar praksis pendidikan tidak dipisahkan-tidak dialienasikan-dari tujuan pendidikan sendiri. C. Hak belajar , atau Wajib Belajar ? Jika diamati dengan saksama, gagasan wajib belajar merupakan suatu absurditas atau kontradiksi. Pertama, proses belajar tidak mungkin pernah berjalan efektif jika ada suatu pemaksaan pada diri pembelajar. Gagasan student centeredness atau pendidikan yang berpusat pada siswa senantiasa mengedepankan dan mengharuskan pembelajar menyadari serta bertanggung jawab atas proses belajar yang dijalaninya. Ini didasarkan pada prinsip bahwa dorongan atau keinginan belajar dari diri sendiri merupakan unsur utama dalam proses belajar. Kecuali itu, proses belajar yang dipaksakan tidak akan pernah sustained atau bertahan. Kedua, wajib belajar tampaknya telah rancu dengan wajib bersekolah. Wajib bersekolah memang mudah sekali mengamatinya. Seorang siswa atau siswi yang tak pergi ke sekolah pada saat jam sekolah jelas menyalahi wajib bersekolah. Sangat jelas dan mudah menentukan seseorang melanggar wajib bersekolah atau tidak. Namun, bagaimana dengan wajib belajar? Pada sisi yang lain, kita perlu mencatat bahwa seseorang yang bersekolah belum dapat diartikan sedang belajar.

Jika belajar merupakan suatu kewajiban, indikator apa yang menentukan seseorang lalai belajar atau tidak? Bagaimana pula operasi pelaksanaan pengamatannya nanti? Betapa sulitnya mengukur apakah seseorang sedang belajar? Seorang anak yang bermain di pematang sawah atau tepi pantai mencari ikan apakah sedang tidak belajar? Seorang anak yang membantu ibunya berjualan di pasar apakah sedang tidak belajar? Seseorang anak berumur 10 tahun yang sedang melamun di bawah pohon pada pinggiran sungai pada pukul 08.00, misalnya, apakah sedang melanggar kewajiban belajarnya? Memang, kewajiban bersekolah mungkin dilanggarnya, tetapi kewajiban belajar? Kalau dia ditanya, dia mungkin menjawab bahwa dia sedang belajar berpikir. Nah, lalu, bagaimana pula kita dapat menyangkalnya? Nah . Serba bingung serba rancu serba berebut menjadi dicision maker di dunia pendidikan . Atau nanti jangan-jangan ketika menteri pendidikan di resuffle oleh persidennya ganti pula kebijaksanaan dan kurikulumnya dengan dalil menyempurnakaan Kebijaksanaan . Ironis rakyat lagi yang kena harus beli buku , beli seragam , beli perlengkapan untuk kurikulum yang baru. Apa itu yang namanya Sibuk membingungkan diri sendiri? Oleh karena itu, jelas sekali bahwa wajib belajar merupakan suatu gagasan yang kontradiktif sekaligus sangat tidak operasional. JIKA kita ingin menerapkan gagasan student centeredness, kita harus memberikan tanggung jawab belajar pada siswa. Tentunya ini tidak berarti bahwa kita boleh membiarkan anak atau murid kita tidak belajar. Justru sebaliknya, kita-guru dan orangtua-perlu menyadarkan atau mencerahkan anak-anak akan pentingnya belajar bagi kehidupan mereka. Kita perlu terusmenerus menyadarkan anak-anak atas hak belajarnya. Keluarga perlu senantiasa berupaya menyuburkan bertumbuh kembangnya motivasi belajar anak-anak. Kendati demikian, yang paling utama menentukan terjadi atau tidaknya proses belajar adalah siswa sendiri. Kita, orangtua maupun guru, bukan pelaku utama dalam proses belajar anakanak kita. Jika kita sudah sering berwacana gagasan siswa sebagai subyek dalam proses pendidikan, maka mengembalikan tanggung jawab belajar pada siswa merupakan suatu aktualisasi dan penerapan gagasan tersebut. Ini juga merupakan realisasi pemberdayaan siswa melalui proses belajar.Cara pandang di atas sangat sejalan dengan makna belajar sebagai hak setiap insan untuk mengembangkan dirinya. Jadi, akan lebih tepat jika pemerintah pusat beserta pemerintah daerah wajib menyediakan program sekolah sembilan tahun yang terjangkau atau, jika mungkin, gratis bagi warganya. Artinya, pemerintah wajib untuk menyediakan pendidikan sekolah bagi warganya. Adalah hak warga negara untuk memanfaatkan penyediaan program pendidikan tersebut. Adalah hak warga negara untuk belajar dalam program yang disediakan pemerintah. Jangan sampai terjadi kebalikannya, yakni rakyat berkewajiban belajar sembilan tahun dan negara berhak menyediakan pendidikan bagi rakyatnya. Kalaulah hal itu terjadi maka Bisa di katakan seperti Bagong yang jadi raja Vs mbilung yang keblinger . Konyol dan sangat tidak habis di pikir jadinya.

Belajar merupakan kegiatan yang dapat berjalan efektif melalui institusi formal seperti sekolah maupun tak formal. Seorang anak belajar tidak hanya di dalam kelas sewaktu berinteraksi dengan gurunya, melainkan terjadi pula pada saat dia bermain dengan temannya atau pada saat bekerja membantu orangtuanya menjahit, misalnya. Prinsip bahwa belajar tidak perlu melalui institusi formal juga harus diyakini pembuat kebijakan pendidikan nasional. Namun, jika kita melihat kegiatan warga negara melalui kacamata kekuasaan, yakni dari arah atas ke bawah, maka memang gagasan wajib belajar cocok dengan nuansa instruksi atau perintah. Belajar perlu diperintah. Mungkin dianggapnya warga negara tidak mau belajar jika tidak diwajibkan atau rakyat masih tidak tahu bahwa belajar itu perlu maka perlu di perintah Namun, jika kita ingin memosisikan setiap warga negara sebagai pelaku utama dalam proses belajar bangsa, maka hak belajar akan jauh lebih cerdas dan efektif daripada wajib belajar karena rakyatlah yang akhirnya akan memilih sejauh mana kebijaksanaan yang tepat bagi mereka , bukan pemerintah. D. Kenapa kita bersekolah ? Pertanyaan saya diatas adalah sangat mendasar kenapa Kita Bersekolah? Hal diatas tentunya Lebih Mengacu pada mengapa kita bersekolah dalam artian dan Konteks untuk bisa baca tulis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa atau bersekolah untuk sebagai gengsi belaka bahwa di sebut kaum Intelektual ? yang notabene Pendidikan dasar sampai perguruan tinggi . Ada beberapa hal yang membuat saya trenyuh dan prihatin dengan Kondisi yang di hadapi Kita semua sebagai bagian kecil bangsa Indonesia . Hal tersebut yang menggugah saya untuk sadar tidak hanya mementingkan Bisnis semata. 1. Sekolah menciptakan Orang Pandai atau Orang yang bijaksana ? Jika pertanyaan itu di lemparkan ke saya maka jawaban yang akan saya keluarkan adalah Bagaimana Seorang yang bersekolah mengenal karekteristik dirinya sendiri. Tidak bisa di pungkiri bahwa yang namanya sebuah pendidikan sangat komunal , akan tetapi komunal yang bagaimana untuk bisa mencapai tahapan yang di inginkan ? Masih ingat di kepalaku bagaimana seorang Murid SLTA yang memiliki rangking 1 justru tidak diterima dalam ujian Pegawai Negeri Sipil, padahal sekolah itu telah menciptakan orang pandai seperti anak tersebut hingga mendapatkan rangking 1 hingga semua institusi sekolah menggangapnya sebagai tolak ukur sebagai siswa yang pandai. Tapi ketika berebut mendaftar sebagai CPNS justru tidak ada prioritas sama sekali untuk mendapatkan sebuah dispensasi untuk diterima , justru Anak yang tidak bisa apa-apa dalam artian tidak memiliki Rangking mendapatkan tempat yang sangat layak di pemerintahaan karena (Kekrabatan} di lingkungannya . Sekali lagi Bangsa ini sudah sangat tidak mengenal Bahasa symbol sehingga para pemegang kebijaksanaan negeri ini sibuk dengan tokoh Mbilungnya mereka yang bersikap Samin terhadap rakyatnya sendiri Dengan kejadian diatas bahwa anak yang pandai tidak mendapatkan tempat di pemerintahaan atau pegawai negeri atau pegawai instasi lainnya menandakan bahwa anak yang Pandai sekalipun tidak akan mendapatkan jaminan sebuah pekerjaan yang layak sesuai dengan prestasinya. Lantas bagaimana dengan pertanyaan saya tadi Sekolah

menciptakan Orang pandai atau orang yang bijaksana ? Lantas buat apa kita sekolah kalau sekolah tidak ada Sebuah pengharapan yang di kejar , dalam artian percuma wajib belajar karena ketika belajar dengan seksama dengan sungguh sungguh menjadikan kita mendapatkan rangking terus tidak mendapatkan sebuah penghargaan terhadap prestasi yang kita buat ? Konyol bukan ? Kalau kita menilik lebih jauh sebenarnya yang namanya Sekolah dasar sampai dengan Sekolah Menengah Umum kan milik pemerintah (Daerah) kenapa harus susah-susah mencari pegawai negeri sipil dengan membuka pendaftaran di CPNS , kenapa tidak mensyaratkan YANG BISA MENDAFTAR JADI CPNS ADALAH ANAK YANG MEMILIKI RANGKING 1-15 Di SETIAP SEKOLAHNYA . Coba kita bayangkan jika itu disyaratkan maka dengan susah payah pasti anak akan belajar dengan tekun dengan giat dan rajin untuk mengejar bagaimana mendapatkan rangking sehingga mendapatkan seterang harapan setelah lulus nantinya. Ketika penerimaan dan tes pegawai jika ada anak yang tidak diterima itu menjadikan Warning bagi sekolah yang bersangkutan untuk memacu pendidikannya lebih kencang lagi untuk mengejar ketertinggalannya. Ironis memang masyarakat masih menganggap PNS adalah tujuan hidup untuk mengubah nasib, karena keterjaminan masa tua, keterjaminan pekerjaan keterjaminan Harkat dan martabat disebut priyayi . padahal rebutan jadi PNS adalah peninggalan Kolonial belanda dalam menciptakan Stagnasi perbedaan di masyarakat pada jaman itu dimana orang /kaum terpelajar dijadikan pegawai pemerintahaan kerajaan belanda dan di sejajarkan dengan mereka. Lantas dengan demikian dogma pemikiran masyarakat berbelok arah untuk menjadi pegawai negeri sipil. Apa mereka enggak melihat dengan seksama bagaimana Beban berat pemerintah untuk membiayai aparatur negara yang mulai Terbebani aparaturnya , dengan kinerja rendah tetapi masih menggaji , itu menandakan Cost yang berlebihan. Dan apa mereka juga tidak berfikir sekarang ini untuk biaya pegawainya daerah dituntut mandiri , sehingga dengan demikian jika tidak ada anggaran untuk itu akan menjadikan Beban Hutang ? Konyol , gila dan tidak masuk akal. Lantas buat apa sekolah jika negara saja tidak memberikan sebuah penghargaan atas prestasi anak-anak yang pandai. Belum lagi bangunan sekolah yang rusak berat lantaran salah dalam penerapan pembangunan ,setingkat sekolah dasar Inpres saja sudah hancur dindingnya , lantas bagaimana dulu perencanaan pembangunannya ? serius untuk membangun atau jangan-jangan Kontraktor pelaksananya Justru berusahaa Mentogogkan Diri atas semua kondisi yang di lakukan dahulu , dengan demikian apa tidak semakin parah yah. 2. Kenapa mahal bersekolah di Indonesia ? Di negara-negara maju pendidikan sudah dipahami sebagai industri jasa yang sangat prospektif. Sebab itu, investor pun mulai banyak yang secara terbuka berhasrat menanamkan modalnya untuk bisnis pendidikan. Bahkan, di Australia pendidikan sudah merupakan sumber devisa nomor tiga dan diharapkan meningkat menjadi nomor dua

beberapa tahun mendatang. Di Indonesia , jangankan pendidikan mau ke wc saja mahalnya minta ampun , dengan alasan BBM naik lah , biaya kehidupan bertambah lah dll , sehingga menjadikan Semuanya serba uang . Mahalnya biaya pendidikan di Indonesia di picu dan dikarenakan pemerintah yang menganggap enteng dunia pendidikan dengan mengalokasikan anggaran pendapatan negara nya hanya 2 %, meskipun sudah di paksakan 20 % untuk tahun ini tetap terlambat, anak anak tetap di tarik biaya untuk sekolah dengan berbagai alasanlah. Imbas dari hal itu Buku-buku cetak yang seharusnya setiap pak menteri berkuasa hendaknya di sempurnakan, bukan ganti pak menteri ganti pula Kebijaksanaan yang menjadi motor penggeraknya lantas bagaimana Kondisi tersebut akan terata dengan baik jika setiap 5 tahun Orang yang merasa Pintar di Pusdik Diknas merasa perlu mengganti kebijaksanaan terkait dengan politisasi?. Di sini pendidikan belum terarah dengan baik , masih jalan di tempat , mereka masih jadi slogan Asal Lulus , Asal dapat gelar , Asal sudah sekolah. Lantas buat apa ? menambah angkatan pengangguran Intelektual lagi ujung ujungnya pemerintah juga yang pusing menciptakan lapangan kerja. Bagaimana mau menciptakan lapangan kerja kalau pemerintahaannya masih berebut Hegemoni I’m the hero, saya yanag terbaik, saya yang berkuasa. Konyol bukan ? Lebih konyol lagi investor pada lari dari bumi Indonesia karena hegemoni tersebut , contoh singatnya Kenapa Sony Corpporation lebih senang memindahkan Core bisnisnya ke Vietnam ? Karena di sana Biaya serba murah termasuk tenaga kerja yang masih murah , di Indonesia ? Mahal pekerjanya masih suka demo dan bertingkah . lulusan sarjananya belum mengerti dunia kerja 100 % karena memang tidak di persiapkan dengan matang. Sangat konyol sekali apa yang dilakukan penguasa dan aparaturnya , lebih lebih pendidikan nasionalnya . Di eropa pendidikan adalah Sebuah jendela bathin seseorang untuk melihat kemana arah tujuan hidupnnya ? Mereka berkreasi dengan arahan dari Pusat litbang setempat untuk menemukan , meneliti , dan menggali masalah dengan baik. 10 tahun kedepan jika hal di atas tidak di atasi akan menjadikan Ambruk pondasi negara kita sebenarnya mahalnya pendidikan Indonesia bisa di atasi jika Pengusahaa besar yang bergabung dalam konglomerasi menyisihkan 20 % pendapatannya untuk mengabdikan di jalur pendidikan , namun itu pun tidak di lakukan sehingga masih mengantungkan harapan besar ke pemerintah Indonesia sebagai pelaksana. 3. Ramai-ramai Kuliah, Ramai-ramai Cari Kerja Ketika para sarjana memadati berbagai arena bursa kerja untuk menawarkan ilmu dan ijazah mereka, iklan-iklan penerimaan mahasiswa baru nyaris memenuhi halamanhalaman surat kabar. Dua fenomena tersebut ironis. Promosi PT untuk menjaring calon mahasiswa sama gencarnya dengan peningkatan pengangguran lulusan. Beberapa PT memberikan keringanan biaya, tetapi PT-PT dengan nama besar memasang biaya masuk puluhan juta rupiah, yang justru dimaknai tanda kebesaran dan mutu PT bersangkutan.

Maka, para calon mahasiswa ramai-ramai mendaftar kuliah, PT-PT menerima mereka dengan sukacita, tetapi para pelaku pasar kerja bersiap-siap menolaknya setelah lulus karena para sarjana tersebut dinilai tidak memiliki cukup kualifikasi yang dibutuhkan dunia kerja. Dalam pandangan saya, pengangguran lulusan dan tidak nyambung-nya PT dengan dunia kerja dimulai dari seleksi penerimaan mahasiswa baru. Akibatnya, seleksi masuk ke sebuah PT semakin lebih ditentukan oleh kemampuan calon mahasiswa membeli daripada kemampuan intelektualnya. Karena itu, sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru perlu dibenahi. Sistem passing grade yang mengandalkan skor rerata ujian masuk sama tidak memadainya dengan sistem kuota, yang bergantung pada jumlah kursi yang tersedia di suatu prodi PT. Gabungan sistem passing grade dan sistem kuota mungkin baik, namun tetap belum menjamin mutu mahasiswa yang diterima. Di Jerman dan Belanda proses seleksi ke PT telah dimulai dengan penjenjangan di tingkat sekolah menengah. Saat pendaftaran ke PT, penerimaan mahasiswa baru dilakukan dengan model gabungan sistem passing grade, kuota dan tes kompetensi dasar logika bahasa dan logika matematika. Untuk program tertentu, seperti kedokteran, berlaku seleksi numerus klausus yang sangat ketat. Hanya 10 persen terpandai lulusan SLTA di tingkat nasional boleh mendaftar. Jika setelah tes jumlah 10 persen itu masih melebihi kuota, maka diberlakukan lotre. Karena ketatnya numerus klausus, maka pernah terjadi seorang dokter Indonesia dengan 12 tahun pengalaman berpraktik di Papua diharuskan menempuh program persamaan selama dua tahun sebelum diterima dalam program spesialisasi di Belanda. Mengingat sekolah menengah di Indonesia hanya dua macam, proses seleksi calon mahasiswa ke PT di Indonesia belum dapat dilakukan mulai jenjang pendidikan menengah. Karena itu perlu model seleksi lain.Ujian menulis/mengarang dan wawancara kiranya dapat diterapkan untuk meningkatkan daya seleksi gabungan sistem passing grade dan kuota. Dari ujian menulis/mengarang dapat diketahui otentisitas, kemampuan mengembangkan dan mengorganisasikan ide serta penguasaan bahasa yang merupakan dasar sikap kritis dan daya analitis.Di sisi lain, perlu diajukan pertanyaan, kualifikasi apakah sebenarnya yang isyaratkan oleh para pencari tenaga kerja lulusan PT? Ini tidak mudah dijawab. Studi-studi di Inggris dan Skotlandia dalam dekade 1960-1970 (Hunter, 1981), berbagai seminar di Belanda dalam dekade 1980 (Weert, 1989) dan sebuah studi kasus di Australia di tahun 1990-an (Hart, Bowder, and Watters, 1999) ditujukan untuk mencari jawaban dari para pencari tenaga kerja atas pertanyaan tersebut.Jawaban yang diperoleh para peneliti umumnya adalah campuran kualitas personal dan prestasi akademik. Tetapi pencari tenaga kerja tidak pernah mengonkretkan, misalnya, seberapa vokasional atau spesialistik mereka mengharapkan suatu prodi di PT. Kualifikasi seperti memiliki kemampuan numerik, problem-solving dan komunikatif sering merupakan prediksi para pengelola PT daripada pernyataan eksplisit para pencari tenaga kerja.Dalam sebuah survei tahun 2001, mengajukan pertanyaan yang sama kepada para pencari tenaga kerja

pada sektor pendidikan, medis, hukum, perbankan, dan pertambangan di Yogyakarta, Jakarta, dan Palembang. Hasil survei menunjukkan perubahan keinginan para pencari tenaga kerja di ketiga kota di Indonesia itu dalam hal kualifikasi lulusan PT yang mereka syaratkan.Tidak setiap persyaratan kualifikasi yang dimuat di iklan lowongan kerja sama penting nilainya bagi para pencari tenaga kerja. Dan dalam praktik, kualifikasi yang dinyatakan sebagai paling dicari oleh para pencari tenaga kerja juga tidak selalu menjadi kualifikasi yang paling menentukan diterima/tidaknya seorang lulusan PT dalam suatu pekerjaan. Yang menarik, tiga kualifikasi kategori kompetensi personal, yaitu kejujuran, tanggung jawab,dan inisiatif, menjadi kualifikasi yang paling penting, paling dicari, dan paling menentukan dalam proses rekrutmen. Kompetensi interpersonal, seperti mampu bekerja sama dan fleksibel, dipandang paling dicari dan paling menentukan.Namun, meskipun sering dicantumkan di dalam iklan lowongan kerja, indeks prestasi kumulatif (IPK) sebagai salah satu indikator keunggulan akademik tidak termasuk yang paling penting,paling dicari, ataupun paling menentukan. Di sisi lain, reputasi institusi PT yang antara lain diukur dengan status akreditasi prodi sama sekali tidak masuk dalam daftar kualifikasi yang paling penting, paling dicari, ataupun paling menentukan proses rekrutmen lulusan PT oleh para pencari tenaga kerja. Ada kecenderungan para pencari tenaga kerja mengabaikan bidang studi lulusan PT. Dalam sebuah wawancara, seorang kepala HRD sebuah bank menegaskan, kesesuaian kualitas personal dengan sifat-sifat suatu bidang pekerjaan lebih menentukan diterima/tidaknya seorang lulusan PT. Kualifikasi-kualifikasi yang disyaratkan dunia kerja tersebut penting diperhatikan pengelola PT untuk mengatasi tidak nyambung-nya PT dengan dunia kerja dan pengangguran lulusan. Jika pembenahan sistem seleksi mahasiswa baru dimaksudkan untuk menyaring mahasiswa sesuai kompetensi dasarnya, perhatian pada kualifikasi yang dituntut pasar kerja dimaksudkan sebagai patokan proses pengolahan kompetensi dasar tersebut. Untuk itu semua, kerjasama PT dan dunia kerja adalah perlu.Yang lebih konyol dari itu semua adalah parody perguruan tinggi yang berlomba lomba menjaring lulusan Sekolah menengah umum / Atas untuk masuk ke perguruan tingginya. Yang membuat saya trenyuh dan sangat tidak habis pikir adalah sudah tahu perguruan Tinggi tidak layak secara operasional karena fasilitas kurang memenuhi masih menerima lulusan SLTA/U selayaknya sebuah bisnis yang penting Untung. Atau jangan jangan ini kah bisnis PT untuk mendapatkan keuntungan dengan mengkesampingkan misi mulia sebagai institusi pendidikan ? Lulusan perguruan tinggi yang dihasilkan di Indonesia _+ 250.000-350.000 orang pertahun. Dari jumlah itu, sekitar 90.000 yang terserap ke sektor formal dan sisanya menganggur atau bekerja di sektor informal.Hal itu, jelas, menandakan bahwa semakin banyak sarjana justru tidak mengindikasikan negara semakin makmur.

Justru sebaliknya, semakin banyak sarjana, semakin tinggi pula tingkat pengangguran. Para sarjana itu bekerja di sektor informal bukan karena keinginan mereka, namun karena keadaan yang memaksa dan keterbatasan lapangan kerja. Kualitas perguruan tinggi di Indonesia juga semakin menurun dibandingkan dengan negara-negara Asia lain. Ini dapat dilihat dari peringkat perguruan tinggi Indonesia yang semakin anjlok setiap tahun. dari 50 perguruan tinggi di Asia, Institut Teknologi Bandung (ITB) menempati peringkat 21, tahun 2004. Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Gadjah Mada termasuk di urutan belakang. Institut Pertanian Bogor malah tidak masuk peringkat. Ini ironis. Padahal, agrobisnis merupakan bidang yang paling banyak menyangkut hajat hidup penduduk kita lulusan perguruan tinggi di Indonesia bukan merupakan tenaga siap pakai, tetapi siap tahu. Kondisi ini membuat sarjana harus mendapat pelatihan lagi, idealnya tiga bulan, sebelum masuk ke dunia kerja. Ironis bukan ? sangat menyedihkan bagiamana Anak anak bangsa kita harus menelan pil pahit yang tidak seharusnya di telan mereka saat ini , tetapi apa boleh buat pemerintah telah menggiring Nuansanya ke arah jurang yang salah , ibarat Lokomotif maka Masinisnya telah menjatuhkan kereta beserta gerbongnya jatuh tersungkur ke dalam jurang yang lebih dalam. APAKAH DENGAN BEGITU MASIHKAH BANGGAKAH MENYANDANG GELAR SARJANA ? Baik S-1 – Doktor ? bahkan professor ? sedangkan lulusan yang diciptakan tidak siap pakai tidak siap kerja tidak tahu apa yang harus dilakukan dan terpaksa karena Kuliah , karena di terimanya di sana yah harus di sana.Lantas dengan sarjana yang didapatkan apa sudah bisa membahagiakan anda ? sebuah pertanyaan dasar yang harus di jawab setiap Insan yang ada di dunia Pendidikan apakah itu yang di cari Gelar tanpa pekerjaan yang layak ? Coba kalau semuanya berlaku seperti orang SAMIN , tidak ada rasa malu untuk mengakui kesalahaanya , kekurangannya dan kejujurannya Tidak ada Arogansi , idealisme untuk menjadi yang terdepan karena Lulusan Perguruan Tinggi ternama di Indonesia. Dalam kamus bisnis saya Lulusan tinggi manapun tidak akan siap pakai, bahkan jika di bandingkan dengan anak lulusan SD otodidak yang bersifat samin Mungkin saya akan membayar Jutaan dolar untuk gajinya karena sudah pasti tidak ambivalen dalam memimpin. Asumsi orang di Indonesia masih beranggapan bahwa yang namanya Sarjana sudah ahli di bidangnya , Justru saya katakan Keblinger karena belum tentu yang di kuasai adalah hal yang benar benar Cumlade di bidangnya. Gelar dan Lulusan tidak ada dalam kamus perusahaan saya, karena Perusahaan saya mencetak Sarjana tanpa Title dan gelar. Biar tidak di akui yang jelas kenyataan memang mengatakan dia layak mengapa tidak di sebut Sarjana? sekali lagi Kembali ke Idiealisme Manusia yang duduk di pendidikan tidak bisa bersikap samin untuk mengatakan baiknya. Masih bangga dengan Gelar yang di sandangnya padahal Kesarjanaan yang di sandang belum tentu bisa mendapatkan sebuah

jawaban Kenapa Kita bersekolah sampai Perguruan tinggi jika di perguruan tinggi ternyata mencetak pengangguran Intelektual?. UNIVERSITAS Seharusnya yang namanya Universitas adalah sebuah lembaga dimana didalamnya terdapat lembaga institusi gelar dan sertifikasi sarjana dan tempat mencetak sarjana harus mampu menyerap pasar dan keinginan pasar untuk bersaing. Kelemahan Universitas di Indonesia adalah : 1. Masih rancunya Lembaga Riset yang dimiliki BBPT , LIPI dan Lembaga Riset Departement dengan Lembaga Riset Universitas . Menurut saya pribadi Harusnya BBPT atau LIPI di hilangkan dalam artian tenaga Tenaga Risetnya di ganti dari Dosen / tenaga pengajar dari Universitas sehingga hasil riset tersebut tidak hanya untuk di Tumpuk dalam perpustakaan saja tetapi sangat Implikatif dengan pengajaran dimana Studi pengajaran mahasiswa berkembang dengan sendirinya dari riset tersebut , bukannya Dosen di suruh Kompetensi cari Dana Riset . Sehingga dengan demikian tidak ada lagi cerita Dosen Mengacu pada satu Buku mata kuliah saja dimana referensi tahun tahun lama melainkan referensi berdasarkan riset yang dilakukan oleh Dosen tersebut. hal itu memungkinkan Lulusan Universitas dan perguruan tinggi Kompetitif sekali. 2.Dengan Hilangnya BPPT/LIPI di ganti menjadi Dewan Riset nasional dengan tenaga riset seluruh Dosen dari universitas dan perguruan tinggi sehingga yang namanya Kurikulum Perguruan tinggi tidak Statis tetapi berdasarkan Metode pengembangan riset tersebut. 3.Masih di perbolehkannya PTN/PTS yang tidak berkualitas secara operasional dan masih rancunya kurikulum di universitas yang Tumpang tindih sehingga menjadikan Dunia pendidikan jauh dari dunia kerja. Tidak ada yang tidak mungkin untuk di lakukan jika kita bisa, Pendidikan adalah cara mudah dalam regenerasi sebuah kaum , maka untuk melanjutkan komunitas konsep pendidikan ini di butuhkan pendidikan ala orang samin yang lugu ,polos dan membaca kenyataan apa adanya. Terus apakah harus terus menerus demikian??? cobalah berpikir….

Teknik Public Speaking: Retorika Dakwah0 comments By romeltea Posted on 14 May 2009 at 12:30pm

Retorika (rethoric) secara harfiyah artinya berpidato atau kepandaian berbicara. Kini lebih dikenal dengan nama Public Speaking. Dewasa ini retorika cenderung dipahami sebagai “omong kosong” atau “permainan kata-kata” (“words games”), juga bermakna propaganda (memengaruhi atau mengendalikan pemikiran-perilaku orang lain). Teknik propaganda “Words Games” terdiri dari Name Calling (pemberian julukan buruk, labelling theory), Glittering Generalities (kebalikan dari name calling, yakni penjulukan dengan label asosiatif bercitra baik), dan Eufemism (penghalusan kata untuk menghindari kesan buruk atau menyembunyikan fakta sesungguhnya). Gaya Bahasa Retorika 1. Metafora (menerangkan sesuatu yang sebelumnya tidak dikenal dengan mengidentifikasikannya dengan sesuatu yang dapat disadari secara langsung, jelas dan dikenal, tamsil); 2. Monopoli Semantik (penafsir tunggal yang memaksakan kehendak atas teks yang multi-interpretatif); 3. Fantasy Themes (tema-tema yang dimunculkan oleh penggunaan kata/istilah bisa memukau khalayak); 4. Labelling (penjulukan, audiens diarahkan untuk menyalahkan orang lain), 5. Kreasi Citra (mencitrakan positif pada satu pihak, biasanya si subjek yang berbicara); 6. Kata Topeng (kosakata untuk mengaburkan makna harfiahnya/realitas sesungguhnya); 7. Kategorisasi (menyudutkan pihak lain atau skenario menghadapi musuh yang terlalu kuat, dengan memecah-belah kelompok lawan); 8. Gobbledygook (menggunakan kata berbelit-belit, abstrak dan tidak secara langsung menunjuk kepada tema, jawaban normatif-diplomatis); 9. Apostrof (pengalihan amanat dengan menggunakan proses/kondisi/pihak lain yang tidak hadir sebagai kambing hitam yang bertanggung jawab kepada suatu masalah). Retorika Dakwah Retorika Dakwah dapat dimaknai sebagai pidato atau ceramah yang berisikan pesan dakwah, yakni ajakan ke jalan Tuhan (sabili rabbi) mengacu pada pengertian dakwah dalam QS. An-Nahl:125: “Serulah oleh kalian (umat manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka secara baik-baik…” Ayat tersebut juga merupakan acuan bagi pelaksanaan retorika dakwah. Menurut Syaikh Muhammad Abduh, ayat tersebut menunjukkan, dalam garis besarnya, umat yang dihadapi seorang da’i (objek dakwah) dapat dibagi atas tiga golongan, yang masingmasingnya dihadapi dengan cara yang berbeda-beda sesuai hadits: “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar (takaran kemampuan) akal mereka”. a. Ada golongan cerdik-cendekiawan yang cinta kebenaran, berpikir kritis, dan cepat tanggap. Mereka ini harus dihadapi dengan hikmah, yakni dengan alasan-alasan, dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan akan mereka.

b. Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berpikir kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian tinggi-tinggi. Mereka ini dipanggil dengan mau’idzatul hasanah, dengan ajaran dan didikan, yang baik-baik, dengan ajaranajaran yang mudah dipahami. c. Ada golongan yang tingkat kecerdasannya diantara kedua golongan tersebut. Mereka ini dipanggil dengan mujadalah billati hiya ahsan, yakni dengan bertukar pikiran, guna mendorong supaya berpikir secara sehat. Retorika Islam Retorika dakwah sendiri berarti berbicara soal ajaran Islam. Dalam hal ini, Dr. Yusuf AlQaradhawi dalam bukunya, Retorika Islam (Khalifa, 2004), menyebutkan prinsip-prinsip retorika Islam sebagai berikut: 1. Dakwah Islam adalah kewajiban setiap Muslim. 2. Dakwah Rabbaniyah ke Jalan Allah. 3. Mengajak manusia dengan cara hikmah dan pelajaran yang baik. 4. Cara hikmah a.l. berbicara kepada seseorang sesuai dengan bahasanya, ramah, memperhatikan tingkatan pekerjaan dan kedudukan, serta gerakan bertahap. Secara ideal, masih menurut Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, karakteristik retorika Islam a.l. 1. Menyeru kepada spiritual dan tidak meremehkan material. 2. Memikat dengan Idealisme dan Mempedulikan Realita. 3. Mengajak pada keseriusan dan konsistensi, dan tidak melupakan istirahat dan berhibur. 4. Berorientasi futuristik dan tidak memungkiri masa lalu. 5. Memudahkan dalam berfatwa dan menggembirakan dalam berdakwah. 6. Menolak aksi teror yang terlarang dan mendukung jihad yang disyariatkan. (www.romeltea.com).* Referensi : dari berbagai sumber. Bahasan lengkap versi saya tentang Public Speaking tertuang dalam buku “Lincah Menulis Pandai Bicara”, terbitan Nuansa Bandung, e-mail: [email protected].* ttp://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=47548 Memahami Retorika dalam Dialektika Komunikasi Oleh : Muhammad Khairil* PEPATAH klasik mengingatkan bahwa “berbicaralah, supaya saya dapat melihat dan mengenal anda”. Pepatah tersebut dipertegas oleh Martin Luther bahwa “siapa yang pandai bicara maka dialah manusia. Sebab berbicara adalah kebijaksanaan dan kebijaksanaan adalah berbicara”. Bicara menunjukkan bangsa, bicara juga mengungkapkan apakah anda orang terpelajar atau kurang ajar. Quintillianus mengatakan bahwa “tidak ada anugerah yang lebih indah, yang diberikan oleh para dewa selain keluhuran berbicara”. “Ilmu bicara” dikenal sebagai retorika. Retorika berarti seni untuk berbicara baik (Kunst, gut zu reden atau Art bene dicendi), yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis. Dewasa ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik dan dipergunakan dalam proses komunikasi antarmanusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya dituntut berbicara lancer, namun lebih pada kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, padat, jelas

dan mengesankan. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran, kesenian dan kesanggupan berbicara. Itu berarti orang harus dapat berbicara jelas, singkat dan efektif. Jelas supaya mudah dimengerti, singkat untuk menghemat waktu dan efektif karena apa gunanya berbicara kalau tidak membawa efek. Dalam konteks ini sebuah pepatah mengungkapkan bahwa “Orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti seorang yang pandai bicara seperti halnya orang yang menebak banyak belum tentu penebak yang baik dan benar”. Dalam pemaknaannya, retorika diambil dari bahasa Inggris rhetoric bersumber dari perkataan latin rhetorica yang berarti ilmu bicara. Sedangkan Cleanth Brooks dan Robert Penn Warren dalam bukunya Modern Rhetoric mendefenisikan retorika sebagai the art of using language effectively atau seni penggunaan bahasa secara efektif. Hampir senada dengan hal tersebut Aristoteles mengartikan retorika sebagai The art of persuasion. Perspektif retorika tentang komunikasi antarpersonal menyatakan bahwa konsep dan prinsip tradisonal retorika untuk mempengaruhi masyarakat, sama baiknya diterapkan pada komunikasi yang akrab dan antarpersonal. Substansi retorika bertujuan fungsional. Menurut Harold Barrett (1996) bahwa pemakai retorika berusaha “agar efektif, untuk mendapatkan jawaban, menjadi orang, dikenali, didengarkan, dishahihkan, dimengerti dan diterima”. Tujuan interaksi retoris merupakan dasar bersama tempat menjalin hubungan secara sukses. Orang-orang dalam komunikasi antarpersonal, (masih menurut Barret) harus berusaha keras supaya efektif dan etis, setiap saat menunjukkan penghargaan terhadap keberadaan orang lain, penghargaan terhadap nilai intrinsic mereka sebagai manusia. Secara substansial terdapat beberapa faktor situasional yang mempengaruhi proses komunikasi dan persepsi seseorang dalam interaksi antarpersonalnya yaitu pertama, deskripsi verbal adalah penggambaran secara langsung tentang seseorang. Ketika seseorang menceritakan bahwa “wanita itu tinggi, putih, cerdas, rajin, lincah dan kritis” maka sudah terbayang bahwa wanita itu cantik, bahagia, humoris dan pandai bergaul (pada saat membayangkan maka deskripsi verbal telah berlangsung). Kedua, Proksemik yaitu studi tentang penggunaan jarak dalam penyampaian pesan. “ Ketika Saudara menghadap seorang pejabat lalu Ia mempersilakan saudara duduk pada kursi yang tersedia sementara Ia duduk jauh dari saudara bahkan dihalangi oleh meja lebar maka saudara mempersepsikan bahwa pejabat tersebut sebagai orang yang tidak begitu terbuka sehingga saudara lebih berhati-hati berbicara dengannnya. Ketiga, Kinesik adalah ekspresi sikap dan gerak tubuh seseorang. Untuk memperjelas tentang kinesik, maka silakan pembaca jawab pertanyaan, bagaimana pendapat dan penilaian saudara ketika seseorang berbicara terpatahpatah, kedua telapak tangannya saling meremas dan diletakkan di atas kedua paha yang dirapatkan? (Jawaban pembaca merupakan persepsi yang didasarkan atas kinesik). Keempat, Paralinguistik yaitu cara bagaimana seseorang mengucapkan lambang-lambang verbal, meliputi tinggi rendahnya suara, tempo bicara dan proses bagaimana menyampaikan pesan. Tempo bicara yang lambat, ragu-ragu, dan tersendat-sendat akan dipahami sebagai ungkapan rendah diri atau “kebodohan”. Kelima, artifaktual yaitu meliputi segala macam penampilan mulai dari potongan rambut, kosmetik yang dipakai, baju, tas, kendaraan dan atributatribut lainnya. Persepsi bahwa seseorang kaya karena Ia mengendari mobil mewah, potongan rambut yang rapi, menggunakan jas dan berbagai atribut parlente lainnya (padahal tahukah saudara bahwa ia hanya seorang supir!). Semua orang merindukan bisa menjelaskan sesuatu dengan baik, namun tidak semua bisa melakukannya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan ilmu yang dipelajari, keterbatasan

kesungguhan untuk melatih diri, dan keterbatasan dari kegigihan serta semangat. Itulah hal yang terkadang membuat kualitas dalam penyampaian sesuatu tidak meningkat. Kemampuan menyampaikan ide hampir sama pentingnya dengan ide itu sendiri. Artinya sebuah ide yang baik, menarik dan penting ternyata akan kurang bermakna jika disampaikan oleh seseorang yang kemampuan komunikasinya terbatas. Sebaliknya, ide yang sederhana bahkan kurang penting akan terkesan luar biasa jika disampaikan dengan teknik komunikasi yang baik. Peningkatan penyajian informasi dalam dialektika retoris-etis antarpersonal dapat dilakukan melalui pemaparan fakta yaitu pernyataan yang menunjukkan bahwa sesuatu itu benar. Ada tiga kriteria yang dijadikan tolak ukur yaitu pertama relevancy adalah fakta yang diungkapkan bermanfat atau relevan dengan kepentingan pembicara dan pendengar. Kedua, Sufficiency yaitu fakta dapat mendukung gagasan utama dalam pembicaraan. Ketiga atau yang terakhir adalah Plausibility yaitu sumber-sumber fakta harus dapat dipercaya nilai kebenarannya. Sebagai refleksi akhir dalam tulisan ini mengingat kembali tentang seorang kopral kecil, veteran Perang Dunia II berhasil naik menjadi kaisar Jerman. Dalam bukunya Main Kampf dengan tegas Hitler mengatakan bahwa keberhasilannya disebabkan oleh kemampuannya berbicara. Ich Konnte reden, ungkapnya. Lebih lanjut Ia mengungkapkan bahwa Jede Grosse Bewegung Auf Dieser Erde Verdankt ihr Wachsen den grosseren rednern und nicht den grossen schreibern (setiap gerakan besar di dunia ini dikembangkan oleh ahli-ahli pidato dan bukan oleh jago-jago tulisan). * Muhammad Khairil, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fisip Untad dan Saat ini Sedang Menempuh Program Pascasarjana (Doktoral/S3) Ilmu Komunikasi di Universitas Padjdjaran Bandung.

edwi.dosen.upnyk.ac.id/KULIAH%202%20RETORIKA.doc Berbicara yang akan dapat meningkatkan kualitas eksistensi (keberadaan) di tengah-tengah orang lain, bukanlah sekadar berbicara, tetapi berbicara yang menarik (atraktif), bernilai informasi (informatif), menghibur (rekreatif), dan berpengaruh (persuasif). Dengan kata lain, manusia mesti berbicara berdasarkan seni berbicara yang dikenal dengan istilah retorika. Retorika adalah seni berkomunikasi secara lisan yang dilakukan oleh seseorang kepada sejumlah orang secara langsung bertatap muka. Oleh karena itu, istilah retorika seringkali disamakan dengan istilah pidato. Pada kesempatan ini, kita akan sama-sama membicarakan dan berlatih bagaimana kita harus mempersiapkan dan melakukan pidato, agar pidato kita itu memiliki daya tarik, informatif, rekreatif, dan persuasif. PENGERTIAN PIDATO Pidato adalah suatu ucapan dengan susunan yang baik untuk disampaikan kepada orang banyak. Contoh pidato yaitu seperti pidato kenegaraan, pidato menyambut hari besar, pidato pembangkit semangat, pidato sambutan acara atau event, dan lain sebagainya. Pidato yang baik dapat memberikan suatu kesan positif bagi orang-orang yang mendengar pidato tersebut. Kemampuan berpidato atau berbicara yang baik di depan publik / umum dapat membantu untuk mencapai jenjang karir yang baik. Tujuan Pidato Pidato umumnya melakukan satu atau beberapa hal berikut ini :

1. Mempengaruhi orang lain agar mau mengikuti kemauan kita dengan suka rela. 2. Memberi suatu pemahaman atau informasi pada orang lain. 3. Membuat orang lain senang dengan pidato yang menghibur sehingga orang lain senang dan puas dengan ucapan yang kita sampaikan. JENIS-JENIS PIDATO Berdasarkan pada ada tidaknya persiapan, sesuai dengan cara yang dilakukan waktu persiapan, kita dapat membagi jenis pidato kedalam empat macam, yaitu: impromtu, manuskrip, memoriter, dan ekstempore. Pidato impromtu adalah pidato yang dilakukan secara tiba-tiba, spontan, tanpa persiapan sebelumnya. Apabila Anda menghadiri sebuah acara pertemuan, tiba-tiba Anda dipanggil untuk menampaikan pidato, maka pidato yang Anda lakukan disebut impromtu. Bagi juru pidato yang berpengalaman, impromtu memiliki beberapa keuntungan: (1) Impromtu lebih dapat mengungkapkan perasaan pembicara yang sebenarnya, karena pembicara tidak memikirkan lebih dulu pendapat yang disampaikannya, (2) Gagasan dan pendapatnya dating secara spontan, sehingga tampak segar dan hidup, dan (3) Impromtu memungkinkan Anda terus berpikir. Tetapi bagi juru pidato yang masih “hijau”, belum berpengalaman, keuntungan-keuntungan di atas tidak akan tampak, bahkan dapat mendatangkan kerugian sebagai berikut: (1) Impromtu dapat menimbulkan kesimpulan yang mentah, karena dasar pengetahuan yang tidak memadai, (2) Impromtu mengakibatkan penyampaian yang tersendat-sendat dan tidak lancar, (3) gagasan yang disampaikan bisa “acak-acakan” dan ngawur, dan (4) Karena tiadanya persiapan, kemungkinan “demam panggung” besar sekali. Jadi, bagi yang belum berpengalaman, impromtu sebaiknya dihindari daripada Anda tampak “bodoh” di hadapan orang lain. Pidato Manuskrip adalah pidato dengan naskah. Juru pidato membacakan naskah pidato dari awal sampai akhir. Di sini lebih tepat jika kita menyebutnya”membacakan pidato” dan bukan “menyampaikan pidato”. Pidato manuskrip perlu dilakukan jika isi yang disampaikan tidak boleh ada kesalahan. Misalnya, ketika Anda diminta untuk melaporkan keadaan keuangan DKM, berapa pemasukan, dari mana saja sumbernya, dan berapa pengeluaran serta untuk apa uang dikeluarkan, Anda perlu menuliskannya dalam bentuk naskah dan baru kemudian membacakannya. Pidato manuskrip tentu saja bukan jenis pidato yang baik walaupun memiliki keuntungan-keuntungan sebagai berikut: (1) Kata-kata dapat dipilih sebaik-baiknya sehingga dapat menyampaikan arti yang tepat dan pernyataan yang gamblang, (2) Pernyataan dapat dihemat, karena manuskrip dapat disusun kembali, (3) Kefasihan bicara dapat dicapai karena kata-kata sudah disiapkan, (4) Hal-hal yang ngawur atau menyimpang dapat dihindari, dan (5) Manuskrip dapat diterbitkan atau diperbanyak. Namun demikian, ditinjau dari proses komunikasi, pidato manuskrip kerugiannya cukup berat: (1) Komunikasi pendengar akan akan berkurang karena pembicara tidak berbicara langsung kepada mereka, (2) Pembicara tidak dapat melihat pendengar dengan baik karena ia lebih berkonsentrasi pada teks pidato, sehingga akan kehilangan gerak dan bersifat kaku, (3) Umpan balik dari pendengar tidak dapat mengubah, memperpendek atau memperpanjang pesan, dan (4) Pembuatannya lebih lama.

Pidato Memoriter adalah pidato yang ditulis dalam bentuk naskah kemudian dihapalkan kata demi kata, seperti seorang siswa madrasah menyampaikan nasihat pada acara imtihan. Pada pidato jenis ini, yang penting Anda memiliki kemampuan menghapalkan teks pidato dan mengingat kata-kata yang ada di dalamnya dengan baik. Keuntungannya (jika hapal), pidato Anda akan lancar, tetapi kerugiannya Anda akan berpidato secara datar dan monoton, sehingga tidak akan mampu menarik perhatian hadirin. Pidato Ekstempore adalah pidato yang paling baik dan paling sering digunakan oleh juru pidato yang berpengalaman dan mahir. Dalam menyampaikan pidato jenis ini, juru pidato hanya menyiapkan garis-garis besar (out-line) dan pokok-pokok bahasan penunjang (supporting points) saja. Tetapi, pembicara tidak berusaha mengingat atau menghapalkannya kata demi kata. Out-line hanya merupakan pedoman untuk mengatur gagasan yang ada dalam pikiran kita. Keuntungan pidato ekstempore ialah komunikasi pendengar dan pembicara lebih baik karena pembicara berbicara langsung kepada pendengar atau khalayaknya, pesan dapat fleksibel untuk diubah sesuai dengan kebutuhan dan penyajiannya lebih spontan. Pidato jenis ini memerlukan latihan yang intensif bagi pelakunya. Jenis-jenis pidato juga dapat diidentifikasi berdasarkan tujuan pokok pidato yang disampaikan. Berdasarkan tujuannya, kita mengenal jenis-jenis pidato: pidato informatif, pidato persuasif, dan pidato rekreatif. Pidato informatif adalah pidato yang tujuan utamanya untuk menyampaikan informasi agar orang menjadi tahu tentang sesuatu. Pidato pesuasif adalah pidato yang tujuan utamanya membujuk atau mempengaruhi orang lain agar mau menerima ajakan kita secara sukarela bukan sukar rela. Pidato rekreatif adalah pidato yang tujuan utamanya adalah menyenangkan atau menghibur orang lain. Namun demikian, perlu disadari bahwa dalam kenyataannya ketiga jenis pidato ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling melengkapi satu sama lain. Perbedaan di antara ketiganya semata-mata hanya terletak pada titik berat (emphasis) tujuan pokok pidato. Berdasarkan pada sifat dari isi pidato, pidato dapat dibedakan menjadi : 1. Pidato Pembukaan, adalah pidato singkat yang dibawakan oleh pembaca acara atau mc. 2. Pidato pengarahan adalah pdato untuk mengarahkan pada suatu pertemuan. 3. Pidato Sambutan, yaitu merupakan pidato yang disampaikan pada suatu acara kegiatan atau peristiwa tertentu yang dapat dilakukan oleh beberapa orang dengan waktu yang terbatas secara bergantian. 4. Pidato Peresmian, adalah pidato yang dilakukan oleh orang yang berpengaruh untuk meresmikan sesuatu. 5. Pidato Laporan, yakni pidato yang isinya adalah melaporkan suatu tugas atau kegiatan. 6. Pidato Pertanggungjawaban, adalah pidato yang berisi suatu laporan pertanggungjawaban. TAHAP PERSIAPAN PIDATO Sebelum berpidato, berdakwah, atau berceramah, kita harus mengetahui lebih dulu apa yang akan kita sampaikan dan tingkah laku apa yang diharapkan dari khalayak

kita; bagaimana kita akan mengembangkan topik bahasan. Dengan demikian, dalam tahap persiapan pidato, ada dua hal yang harus kita lakukan, yaitu: (1) Memilih Topik dan Tujuan Pidato dan (2) Mengembangkan Topik Bahasan. 1. Memilih Topik dan Tujuan Pidato Seringkali kita menjadi bingung ketika harus mencari topik yang baik, seakanakan dunia ini kekeringan bahan pembicaraan, seakan-akan kita tidak memiliki keahlian apa-apa. Jangan bingung, karena sebenarnya setiap orang memiliki keahlian masingmasing, hanya kita seringkali tidak menyadarinya. Mang Endang mungkin tidak dapat berbicara tentang hukum waris dengan baik, tetapi Mang Endang dapat dengan lancar berbicara tentang cara memperbaiki mobil yang rusak. Pak Haji Holis mungkin akan sangat lancar berbicara tentang hukum waris, tetapi hampir pasti beliau akan gagap jika diminta menjelaskan bagaimana caranya memperbaiki mobil yang mogok. Inilah yang disebut keahlian spesifik. Setiap orang punya potensi untuk ahli di bidangnya masingmasing. Hal yang akan menjadi masalah bagi seseorang ketika harus berpidato adalah jika orang itu memaksakan diri berbicara tentang persoalan yang tidak dikuasainya, hal yang tidak dipahaminya (Numawi kitu, ulah maksakeun anjeun nyarios anu urang nyalira henteu ngartos kana naon anu dicarioskeun!). Untuk membantu Anda menemukan topik bahasan dalam pidato, Profesor Wayne N. Thompson menyusun sitematika sumber topik sebagai berikut: o Pengalaman Pribadi: o Perjalanan o Tempat yang pernah dikunjungi o Wawancara dengan tokoh o Kejadian luar biasa o Peristiwa lucu o Kelakukan atau adat yang aneh o Hobby dan Keterampilan: Cara melakukan sesuatu, Cara bekerja sesuatu o Peraturan dan tata cara o Pengalaman Pekerjaan dan Profesi o Pekerjaan tambahan o Profesi Keluarga o Masalah Abadi o Agama o Pendidikan o Masalah kemasyarakatan o Persoalan pribadi o Kejadian Khusus: Perayaan atau peringatan khusus (Misalnya, Maulud Nabi) o Peristiwa yang erat kaitannya dengan peringatan o Minat Khalayak: Pekerjaan, Rumah tangga, Kesehatan dan penampilan o Tambahan ilmu Kriteria Topik yang Baik

Untuk menentukan topik yang baik, kita dapat menggunakan ukuran-ukuran sebagai berikut: Topik harus sesuai dengan latar belakang pengetahuan Anda Topik yang paling baik adalah topik yang memberikan kemungkinan Anda lebih tahu daripada khalayak, Anda lebih ahli dibandingkan dengan kebanyakan pendengar. Jika Anda merupakan orang yang paling tahu tentang tata cara sholat yang baik dibandingkan dengan orang lain, maka berpidatolah dengan tema atau topik itu; sebaliknya jika Anda tidak begitu paham tentang tata cara sholat yang baik, jangan pernah Anda memaksakan diri untuk berbicara tentang masalah itu. Topik harus menarik minat Anda Topik yang enak dibicarakan tentu saja adalah topik yang paling Anda senangi atau topik yang paling menyentuh emosi Anda. Anda akan dapat berbicara lancar tentang kaitan berpuasa dengan ketentraman hati, sebab Anda pernah merasa tidak tenang ketika pernah tidak berpuasa secara sengaja di bulan ramadhan. Topik harus menarik minat pendengar Dalam berdakwah atau berpidato, kita berbicara untuk orang lain, bukan untuk diri kita sendiri. Jika tidak ingin ditinggalkan pendengar atau diacuhkan oleh hadirin, Anda harus berbicara tentang sesuatu yang diminati mereka. Walaupun hal-hal yang menarik perhatian itu sangat tergantung pada situasi dan latar belakang khalayak/hadirin, namun hal-hal yang bersifat baru dan indah, hal-hal yang menyentuh rasa kemanusiaan, petualangan, konflik, ketegangan, ketidakpastian, hal yang berkaitan dengan keluarga, humor, rahasia, atau hal-hal yang memiliki manfaat nyata bagi hadirin adalah topik-topik yang akan menarik perhatian. Topik harus sesuai dengan pengetahuan pendengar Betapapun baiknya topik, jika tidak dapat dicerna oleh khalayak, topik itu bukan saja tidak menarik tetapi bahkan akan membingungkan mereka. Oleh karena itu, sebelum Anda menentukan topik dakwah, ketahuilah terlebih dahulu bagaimana rata-rata tingkat pengetahuan pendengar yang menjadi khalayak sasaran pidato Anda. Gunakanlah bahasa, gaya bahasa, dan istilah-istilah yang dimengerti oleh hadirin, bukan istilah-istilah yang hanya dipahami oleh Anda (meskipun istilah itu keren sekali). Topik harus jelas ruang lingkup dan pembatasannya Topik yang baik tidak boleh terlalu luas, sehingga setiap bagian hanya memperoleh ulasan sekilas saja, atau “ngawur”. Misalnya, Anda memilih topik Agama, tetapi kita tahu agama itu luas sekali. Agama bisa menyangkut moralitas, sistem kepercayaan, cara beribadat, dan lain-lain. Agar topik kita jelas, ambilah misalnya tentang cara beribadat, lebih jelas lagi ambilah topik tentang sholat yang khusu’, dan seterusnya. Topik harus sesuai dengan waktu dan situasi Maksudnya, kita harus memilih topik pidato atau topik dakwah yang sesuai dengan waktu yang tersedia dan situasi yang terjadi. Jika Anda diberikan waktu untuk berbicara selama 10 menit, janganlah Anda memilih topik yang terlalu luas yang tidak mungkin dijelaskan dalam waktu 10 menit. Jika Anda harus berbicara di hadapan para santri yang rata-rata usianya belum akil baligh, janganlah Anda

memilih topik dakwah tentang tata cara hubungan suami-istri, bicaralah tentang kebersihan sekolah, misalnya. Topik harus dapat ditunjang dengan bahan yang lain Jika Anda memilih topik tentang Hadits Shahih dan Dhoif, lengkapi bahan pembicaraan Anda dengan sumber-sumber rujukan (bisa berupa: kitab, buku, atau perkataan ulama) yang sesuai. Merumuskan Judul Pidato Hal yang erat kaitannya dengan topik adalah judul. Bila topik adalah pokok bahasan yang akan diulas, maka judul adalah nama yang diberikan untuk pokok bahasan itu. Seringkali judul telah dikemukakan lebih dahulu kepada khalayak, karena itu judul perlu dirumuskan terlebih dahulu. Judul yang baik harus memenuhi tiga syarat, yaitu: relevan, propokatif, dan singkat. Relevan artinya ada hubungannya dengan pokokpokok bahasan; Propokatif artinya dapat menimbulkan hasrat ingin tahu dan antusiasme pendengar; Singkat berarti mudah ditangkap maksudnya, pendek kalimatnya, dan mudah diingat. Menentukan Tujuan Pidato Ada dua macam tujuan pidato, yakni: tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum pidato biasanya dirumuskan dalam tiga hal: memberitahukan (informatif), mempengaruhi (persuasif), dan menghibur (rekreatif). Tujuan khusus ialah tujuan yang dapat dijabarkan dari tujuan umum. Tujuan khusus bersifat kongkret dan sebaiknya dapat diukur tingkat pencapaiannya atau dapat dibuktikan segera. Hubungan antara topik judul, tujuan umum, dan tujuan khusus dapat dilihat pada contohcontoh di bawah ini: Topik : Faedah memiliki sifat pemaaf Judul : Pemaaf Sumber Kebahagiaan Tujuan Umum : Informatif (memberi tahu) Tujuan Khusus: Pendengar mengetahui bahwa: Sifat dendam menimbulkan gangguan jasmani dan rohani Sifat pemaaf menimbulkan ketentraman jiwa dan kesehatan 2. Teknik Mengembangkan Pokok Bahasan Bila topik yang baik sudah ditemukan, kita memerlukan keterangan untuk menunjang topik tersebut. Keterangan penunjang (supporting points) dipergunakan untuk memperjelas uraian, memperkuat kesan, menambah daya tarik, dan mempermudah pengertian. Ada enam macam teknik pengembangan bahasan dalam berpidato: Penjelasan. Penjelasan adalah memberikan keterangan terhadap istilah atau kata-kata yang disampaikan. Memberikan penjelasan dapat dilakukan dengan cara memberikan pengertian atau definisi. Misalnya, istilah Iman kepada Allah Anda jelaskan dengan kalimat: “Iman adalah rasa percaya dan yakin akan kebenaran adanya Allah di dalam hati dan dibuktikan dengan perbuatan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.”

Contoh. Contoh adalah upaya untuk mengkongkretkan gagasan, sehingga lebih mudah untuk dipahami. Contoh dalam pidato dapat berupa cerita yang rinci yang disebut ilustrasi. Untuk memberikan contoh tetantang kesabaran, misalnya Anda menggunakan cerita tentang kesabaran Nabi Ayub dalam menghadapi cobaan Allah melalui penyakit kulit yang dideritanya. Analogi. Analogi adalah perbandingan antara dua hal atau lebih untuk menunjukkan persamaan atau perbedaannya. Ada dua macam analogi: analogi harfiyah dan analogi kiasan. Analogi harfiyah (literal analogy) adalah perbandingan di antara objek-objek dari kelompok yang sama, karena adanya persamaan dalam beberapa aspek tertentu. Misalnya, membandingkan manusia dengan monyet secara biologis. Analogi kiasan adalah perbandingan di antara objek-objek di antara kelompok yang tidak sama. Testimoni. Testimoni ialah pernyataan ahli yang kita kutip untuk menunjang pembicaraan kita. Pendapat ahli itu dapat kita ambil dari pidato seorang ahli, tulisan di surat kabar, acara televisi, dan lain-lain, termasuk kutipan dari kitab suci, hadits, dan sejenisnya. Statistik. Statistik adalah angka-angka yang dipergunakan untuk menunjukkan perbandingan kasus dalam jenis tertentu. Statistik diambil untuk menimbulkan kesan yang kuat, memperjelas, dan meyakinkan. Misalnya, untuk melukiskan betapa bokbroknya akhlak generasi muda di Indonesia, Anda menggunakan kalimat, “Wahai saudara-saudara, menurut hasil penelitian, saat ini lebih dari 65 persen remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks sebelum nikah…” Perulangan. Perulangan adalah menyebutkan kembali gagasan yang sama dengan kata-kata yang berbeda. Perulangan berfungsi untuk menegaskan dan mengingatkan kembali. Teknik Menyusun Pesan Pidato H.A. Overstreet, seorang ahli ilmu jiwa untuk mempengaruhi manusia, berkata, “let your speech march”. Suruh pidato Anda berbaris tertib seperti barisan tentara dalam suatu pawai. Pidato yang tersusun tertib (well-organized) akan menciptakan suasana yang favorable, membangkitkan minat, memperlihatkan pembagian pesan yang jelas, sehingga memudahkan pengertian, mempertegas gagasan pokok, dan menunjukkan perkembangan pokok-pokok pikiran secara logis. Pengorganisasian pesan dapat dilihat menurut isi pesan itu sendiri atau dengan mengikuti proses berpikir manusia. Yang pertama kita sebut organisasi pesan (messages organization) dan yang kedua disebut pengaturan pesan (message arrangement). Organisasi Pesan Organisasi pesan dapat mengikuti enam macam urutan (sequence), yaitu: deduktif, induktif, kronologis, logis, spasial, dan topikal. Urutan deduktif dimulai dengan menyatakan dulu gagasan utama, kemudian memperjelasnya dengan keterangan penunjang, penyimpulan, dan bukti. Sebaliknya, dalam urutan induktif kita mengemukakan perincian-perincian dan kemudian menarik kesimpulan. Jika Anda menyatakan dulu mengapa perlu menghentikan kebiasaan merokok, lalau menguraikan alasan-alasannya, Anda menggunakan urutan deduktif. Tetapi bila Anda menceritakan

sekian banyak contoh dan pernyataan dokter tentang akibat buruk merokok dan kemudian Anda menyimpulkan bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan, maka Anda menggunakan urutan induktif. Dalam urutan kronologis, pesan disusun berdasarkan urutan waktu terjadinya peristiwa. Dalam urutan logis, pesan disusun berdasarkan sebab ke akibat atau dari akibat ke sebab. Bila Anda menjelaskan proses kekufuran dari sebab-sebabnya lalu ke gejala-gekalnya, maka Anda mengikuti urutan logis dari sebab ke akibat.. Dalam urutan spasial, pesan disusun berdasarkan tempat. Cara ini dipergunakan jika pesan berhubungan dengan subjek geografis atau keadaan fisik lokasi.. Dalam urutan topikal, pesan disusun berdasarkan topik pembicaraan: klasifikasinya, dari yang penting ke yang kurang penting, dari yang mudah ke yang sukar, dari yang dikenal ke yang asing. Pengaturan Pesan Bila pesan sudah terorganisasi dengan baik, kita masih perlu menyesuaikan organisasi pesan ini dengan cara berpikir khalayak pendengar. Urutan pesan yang sejalan dengan proses berpikir manusia disebut oleh Alan H. Monroe sebagai motivated sequence (urutan bermotif). Menurut Monroe, ada lima tahap urutan bermotif: perhatian (attention), kebutuhan (needs), pemuasan (satisfaction), visualisasi (visualization), dan tindakan (action). Dengan demikian, pidato yang baik dan efektif adalah pidato yang sejak awal mampu membangkitkan perhatian khalayak pendengar, mampu membuat pendengar merasakan adanya kebutuhan tertentu, memberikan petunjuk bagaimana cara memuaskan kebutuhan tersebut, dapat menggambarkan dalam pikirannya penerapan usul yang dianjurkan kepadanya, dan akhirnya mampu menggerakkan khalayak untuk bertindak sesuai anjuran kita. Misalnya, kita akan mengajak seseorang untuk memotong rambutnya yang gondrong. Anda memuali pembicaraan dengan melontarkan perkataan: “Lihat rambutmu!!! Kutukutu bergelantungan dengan bebasnya…” Anda sedang memasuki tahap perhatian. Lalu Anda berkata lagi, “Kutu-kutu itu tentu membuat kepalamu gatal dan kamu pasti tidak bisa tidur nyenyak…” Anda tengah berada pada tahap membangkitkan kebutuhan. “Memotong rambut itu mudah dan murah, cukup dengan uang Rp 3.000 atau bahkan gratis…” Anda masuk pada tahap pemuasan. “Jika kamu tetap membiarkan rambutmu jabrig begitu dan membebaskan kutu-kutu menyedot darahmu, kamu tampak seperti orang kurang waras dan mustahil gadis-gadis di desa ini akan tertarik kepadamu…, tapi jika kamu cepat memotong dan merapihkan rambutmu, kutu-kutu itu akan segera mengucapkan selamat tinggal pada kepalamu dan gadis-gadis cantik akan mengucapkan selamat datang arjunaku…” Anda sudah masuk pada tahap visualisai. “Ayo, cukurlah rambutmu sekarang…!!!” Anda melakukan tahap tindakan. Membuat Garis-garis Besar Pidato Garis-garia besar (out-line) pidato merupakan pelengkap yang amat berharga bagi pembicara yang berpengalaman dan merupakan keharusan bagi pembicara yang belum berpengalaman. Garis besar pidato ibarat peta bumi bagi komunikator yang akan memasuki daerah kegiatan retorika. Peta ini memberikan petunjuk dan arah yang akan

dituju. Garis besar yang salah akan mengacaukan “perjalanan” pembicaraan, dan garis besar yang teratur akan menertibkan “jalannya” pidato. Garis-garis besar pidato yang baik terdiri dari tiga bagian: pengantar, isi, dan penutup. Dengan menggunakan urutan bermotif dari Alan H. Monroe, kita dapat membaginya menjadi lima bagian: perhatian, kebutuhan, pemuasan, visualisasi, dan tindakan. Perhatian ditempatkan pada pengantar; kebutuhan, pemuasan, dan visualisasi kita tempatkan pada isi; dan tindakan kita tempatkan pada penutup pidato

contoh pidato sederhana Yang terhormat Bapak Kepala Sekolah, Bapak dan Ibu Guru, serta teman-teman yang saya cintai. Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala rahmat-Nya pada hari ini kita dapat berkumpul bersama guna mengadakan acara perpisahan sekolah. Para hadirin yang saya hormati, ijinkan saya mewakili teman-teman untuk menyampaikan sepatah dua patah kata dalam rangka perpisahan ini. Selama bersekolah, kami sebagai siswa sangat bangga dan berterima kasih dengan semua guru yang telah mengajar di sekolah ini, yang dengan sangat baik, tidak pernah pilih kasih dalam mendidik, sangat sabar dan tidak kenal lelah dalam membimbing kami. Berkat jerih payah semua guru, kami pun dapat lulus dari SMP ini. Mudah-mudahan semua guru yang bertugas mengajar di sekolah ini dapat diberikan kesehatan yang baik dan diberi kebahagiaan selalu. Juga untuk teman2 semua. Sungguh berat rasanya berpisah dengan kalian semua, karena kita sudah bersama2 selama 3 tahun ini. Tapi tetap saya juga mendoakan teman2 semua dapat melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, baik ke SMA, ke SMK, ke STM maupun institusi pendidikan lainnya untuk dapat mencapai cita2 yang selama ini diangan2kan. Akhir kata, saya mau mengucapkan sukses selalu buat teman2, doa saya menyertai teman2 semua...

SEJARAH RETORIKA

Objek studi retorika setua kehidupan manusia. Kefasihan bicara mungkin pertama kali dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran, kematian, lamaran, perkawinan, dan sebagainya. Pidato disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Dalam perkembangan peradaban pidato melingkupi bidang yang lebih luas. "Sejarah manusia", kata Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam sejarah, "terutama sekali adalah catatan peristiwa penting yang dramatis, yang seringkali disebabkan oleh pidato-pidato besar. Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaian pidato dan kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga terkenal dengan kefasihan bicaranya yang menawan". Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan pada zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kirakira tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah. Di sinilah kemusykilan terjadi. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara. Untuk membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne Logon (Seni Kata-kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para penulis sezaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang "teknik kemungkinan". Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita bertanya, "Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena mencuri". Sekarang, seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan untuk kedua kalinya. Kita bertanya, "la pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama". Akhirnya, retorika memang mirip "ilmu silat lidah". Di samping teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan kesimpuln. Dari sini, para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato. Walaupun demokrasi gaya Syracuse tidak bertahan lama, ajaran Corax tetap berpengaruh. Konon, Gelon, penguasa yang menggulingkan demokrasi dan menegakkan kembali tirani, menderita halitosis (bau mulut). Karena ia tiran yang kejam, tak seorang pun berani memberitahukan hal itu kepadanya. Sampai di negeri yang asing, seorang perempuan asing berani menyebutkannya. Ia terkejut. Ia memarahi istrinya, yang bertahun-tahun begitu dekat dengannya, tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak pernah dekat dengan laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi menghukum istrinya. Tampaknya, sang istri sudah belajar retorika dari Corax. Masih di Pulau Sicilia, tetapi di Agrigenturn, hidup Empedocles (490-430 SM), filosof, mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Ia cerdas dan menguasai banyak pengetahuan. Sebagai filosof, ia pernah berguru kepada Pythagoras dan menulis The Nature of Things. Sebagai mistikus, ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila ia menjauhi perbuatan yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberontakan untuk menggulingkan aristokrasi dan kekuasaan diktator. Sebagai orator, menurut Aristoteles, "ia mengajarkan prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena". Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri itu sedang tumbuh sebagai negara yang kaya. Kelas pedagang kosmopolitan selain memiliki

waktu luang lebih banyak, juga terbuka pada gagasan-gagasan baru. Di Dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang memerlukan kemampuan berpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan persuasif. Gorgias memenuhi kebutuhan "pasar" ini dengan mendirikan sekolah retorika. Gorgias menekankan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromtu (kita bahas pada Bab II). Ia meminta bayaran yang mahal; sekitar sepuluh ribu drachma ($ 10.000) untuk seorang murid saja. Bersama Protagoras dan kawan-kawan, Gorgias berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Mereka adalah "dosen-dosen terbang". Protagoras menyebut kelompoknya sophistai, "guru kebijaksanaan" Sejarahwan menyebut mereka kelompok Sophis. Mereka berjasa mengembangkan retorika dan mempopulerkannya. Retorika, bagi mereka bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan logika. Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup untuk meyakinkan orang. Mereka mengajarkan teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk menyentuh hati pendengar. Berkat kaum Sophis, abad keempat sebelum Masehi adalah abad retorika. Jago-jago pidato muncul di pesta Olimpiade, di gedung perwakilan dan pengadilan. Bila mereka bertanding, orang-orang Athena berdatangan dari tempat-tempat jauh; dan menikmati "adu pidato" seperti menikmati pertandingan tinju. Kita hanya akan menyebutkan dua tokoh saja sebagai contoh: Demosthenes dan Isocrates. Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik, ia menggabungkan narasi dan argumentasi. Ia juga amat memperhatikan cara penyampaian (delivery). Menurut Will Durant, "ia meletakkan rahasia pidato pada akting (hypocrisis). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatih pidato dengan sabar. Ia mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan berbulan-bulan tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, ia mencukur rambutnya sebelah, supaya ia tidak berani keluar dari persembunyiannya. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar, meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir, dan seringkali mengeraskan suaranya seperti menjerit. Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi mahkota atas jasa-jasanya kepada negara dan atas kenegarawanannya. Aeschines, orator lainnya, menentang pemberian mahkota dan memandangnya tidak konstitusional. Di depan Mahkamah yang terdiri dari ratusan anggota juri, ia melancarkan kecamannya kepada Demosthenes. Pada gilirannya, Demosthenes menyerang Aeschines dalam pidatonya yang terkenal Perihal Mahkota. Dewan juri memihak Demosthenes dan menuntut Aeschines untuk membayar denda. Aeschines lari ke Rhodes dan hidup dari kursus retorika yang tidak begitu laku. Konon, Demosthenes mengirimkan uang kepadanya untuk membebaskannya dari kemiskinan. Persaudaraan karena profesi! Duel antara dua orator itu telah dikaji sepanjang sejarah. Inilah buah pendidikan yang dirintis oleh kaum Sophis. Tetapi ini juga yang membentuk citra negatif tentang kaum Sophis. Seorang tokoh yang berusaha mengembangkan retorika dengan menyingkirkan Sophisme negatif adalah Isocrates. Isocrates percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat; bahwa retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra. Tetapi ia menganggap tidak semua orang boleh diberi pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah pelajaran elit, hanya untuk mereka yang berbakat. Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Ia mendidik muridnya menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi tidak berlebihlebihan, dalam rentetan anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Karena ia tidak mempunyai suara yang baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya menuliskan pidatonya. Ia menulis risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai sekarang risalah-risalah ini dianggap warisan prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa Isocrates telah mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon, Jeremy Taylor, dan Edmund Burke.

Salah satu risalah yang ditulisnya mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu berkembangnya kebencian kepada kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para pendatang asing di Athena. Orang selalu mencurigai yang dibawa orang asing. Apalagi mereka mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengan menuntut bayaran. Yang tidak sanggup membayar tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam mereka. Socrates, misalnya, hanya sanggup membayar satu drachma untuk kursus yang diberikan Prodicus. Karena itu, ia hanya memperoleh dasar-dasar bahasa yang sangat rendah saja. Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitut. Orang yang menjual kecantikan untuk memperoleh uang, kata Socrates, adalah prostitut. Begitu juga, orang yang menjual kebijaksanaan. Murid Socrates yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato. Plato menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika yang benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang berdasarkan pada filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relatif. Filsafat membawa orang kepada pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan retorika yang benar - yang membawa orang kepada hakikat - Plato membahas organisasi, gaya, dan penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog, Plato menganjurkan para pembicara untuk mengenal "jiwa" pendengarnya. Dengan demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia telah mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah wacana ilmiah. Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian retorika ilmiah. Ia menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica. Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima tahap penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric). Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain daripada "kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang ada". Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak. Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, Anda harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, Anda harus Menyentuh hati khalayak perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang mereka (pathos). Kelak, para ahli retorika modern menyebutnya imbauan emotional (emotional appeals). Ketiga, Anda Meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda mendekati khalayak lewat otaknya (logos). Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang efektif untuk mempengaruhi pendengar: entimem dan contoh. Entimem (Bahasa Yunani: "en" di dalam dan "thymos" pikiran) adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan. Disebut tidak lengkap, karena sebagian premis dihilangkan. Sebagaimana Anda ketahui, silogisme terdiri atas tiga premis: mayor, minor, dan kesimpulan. Semua manusia mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita (mayor). Anda manusia (minor). Tentu Anda pun mempunyai perasaan yang sama (kesimpulan). Ketika saya ingin mempengaruhi Anda untuk mengasihi orang-orang yang menderita, saya berkata, "Kasihanilah mereka. Sebagai manusia, Anda pasti mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita ". Ucapan yang ditulis miring menunjukkan silogisme, yang premis mayornya dihilangkan. Di samping entimem, contoh adalah cara lainnya. Dengan mengemukakan beberapa contoh, secara induktif Anda membuat kesimpulan umum. Sembilan dari sepuluh bintang film menggunakan sabun Lnx. Jadi, sabun Lux adalah sabun para bintang fihn.

Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles, pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan. Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk "mengemas" pesannya. Aristoteles memberikan nasihat ini: gunakan bahasa yang tepat, benar, dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat yang indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pesan, khalayak, dan pembicara. Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pembicaraannya. Aristoteles menyarankan "jembatan keledai" untuk memudahkan ingatan. Di antara semua peninggalan retorika klasik, memori adalah yang paling kurang mendapat perhatian para ahli retorika modern. Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini, pembicara menyampaikan pesannya secara lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demosthenes menyebutnya hypocrisis (boleh jadi dari sini muncul kata hipokrit). Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakangerakan,anggota badan (gestus moderatio cum venustate). RETORIKA ZAMAN ROMAWI Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada satu sisi, retorika telah memperoleh dasar teoretis yang kokoh. Namun, pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan persuasif telah membungkam para ahli retorika yang datang sesudahnya. Orang-orang Romawi selama dua ratus tahun setelah De Arte Rhetorica tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika. Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM, hanya mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika gaya Yunani. Orangorang Romawi bahkan hanya mengambil segi-segi praktisnya saja. Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah retorika; tetapi juga kaya dengan orator-orator ulung: Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius. Yang disebut terakhir terkenal begitu piawai dalam berpidato sehingga para artis berusaha mempelajari gerakan dan cara penyampaiannya. Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena dibesarkan dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang memberinya kehormatan dan uang, Cicero muncul sebagai negarawan dan cendekiawan. Pernah hanya dalam dua tahun (45-44 SM), ia menulis banyak buku filsafat dan lima buah buku retorika. Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan penemuan baru. Ia banyak mengambil gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek pidato akan baik, bila yang berpidato adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam praktek, Cicero betul-betul orator yang sangat berpengaruh. Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, "Anda telah menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang pertama yang menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh kemenangan yang lebih disukai dari kemenangan para jenderal. Karena sesungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas kerajaan Romawi". Kira-kira 57 buah pidatonya sampai kepada kita sekarang ini. Will Durant menyimpulkan kepada kita gaya pidatonya: Pidatonya mempunyai kelebihan dalam menyajikan secara bergelora satu sisi masalah atau karakter; dalam menghibur khalayak dengan humor dan anekdot; dalam menyentuh kebanggaan, prasangka, perasaan, patriotisme dan kesalehan; dalam mengungkapkan secara keras kelemahan lawan - yang sebenarnya atau yang diberitakan, yang

tersembunyi atau yang terbuka; dalam mengalihkan perhatian secara terampil dari pokok-pokok pembicaraan yang kurang menguntungkan; dalam memberondong pertanyaan retoris yang sulit dijawab; dalam menghimpun serangan-serangan, dengan kalimat-kalimat periodik yang anak-anaknya seperti cambukan dan yang badainya membahana.... Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita mengetahui bahwa Cicero sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang sulit. Bahasa Latinnya mudah dibaca. Melalui penanya, bahasa mengalir dengan deras tetapi indah. Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus mendirikan sekolah retorika. Ia sangat mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori retorika dari pidato dan tulisannya. Apa yang dapat kita pelajari dari Quintillianus? Banyak. Secara singkat, Will Durant menceritakan kuliah retorika Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku Institutio Oratoria: Ia mendefinisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik. Pendidikan orator harus dimulai sebelum dia lahir: Ia sebaiknya berasal dari keluarga terdidik, sehingga ia bisa menerima ajaran yang benar dan akhlak yang baik sejak napas yang ia hirup pertama kalinya. Tidak mungkin menjadi terpelajar dan terhormat hanya dalam satu generasi. Calon orator harus mempelajari musik supaya ia mempunyai telinga yang dapat mendengarkan harmoni; tarian, supaya ia memiliki keanggunan dan ritma; drama, untuk menghidupkan kefasihannya dengan gerakan dan tindakan; gimnastik, untuk memberinya kesehatan dan kekuatan; sastra, untuk membenhik gaya dan melatih memorinya, dan memperlengkapinya dengan pemikiran-pemikiran besar; sains, untuk memperkenalkan dia dengan pemahaman mengenai alam; dan filsafat, untuk membentuk karakternya berdasarkan petunjuk akal dan bimbingan orang bijak. Karena semua persiapan tidak ada manfaatnya jika integritas akhlak dan kemuliaan rohani tidak melahirkan ketulusan bicara yang tak dapat ditolak. Kemudian, pelajar retorika harus menulis sebanyak dan secermat mungkin. Sebuah saran yang berlebihan. Tetapi kita diingatkan lagi pada Cicero. The good man speaks well. RETORIKA ABAD PERTENGAHAN Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk it out ('membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai habis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintahan, "membicarakan" diganti dengan "menembak". Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara. Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk nmnyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu. Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan menggerakkan - yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari teknik penyampaian pesan. Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan, "Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan

pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka" (Alquran 4:63). Muhammad saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, "Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya". Ia sendiri seorang pembicara yang fasih - dengan kata-kata singkat yang mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang-orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan menamainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, "every antagonist in the combats of tongue or of sword was subdited by his eloquence and valor". Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para pengikutnya dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah). Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli balaghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah, beserta ma'ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional. RETORIKA MODERN Retorika modern diartikan sebagai seni berbicara atau kemampuan untuk berbicara dan berkhotbah (Hendrikus, 1991); sehingga efektivitas penyampaian pesan dalam retorika sangat dipengaruhi oleh teknik atau keterampilan berbicara komunikator. Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabaikan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam - yang menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani dalam Perang Salib menimbulkan Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio dan dispositio dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi. Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangun jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, "... kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik". Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern. Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas "teori pengetahuan"; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang membahas proses mental). George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi fakultas berusaha menjelaskan sebabmusabab perilaku manusia pada empat fakultas - atau kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori, imajinasi, perasaan, dan kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada upaya "mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan".

Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya saja ia menekankan argumentasi sebagai fokus retorika. Retorika harus mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan mengorganisasikannya secara baik. Baik Whately maupun Campbell menekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu, retorika yang berorientasi pada khalayak (audience-centered) berutang budi pada kaum epistemologis - aliran pertama retorika modern. Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (Bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat mengutamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) menulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan hubungan antara retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apa pun yang indah. Karena memiliki fakultas citarasa, Anda senang mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang indah, melihat pemandangan yang indah, atau mencamkan pidato yang indah. Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio - ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber kenikmatan. Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles lettres) terutama memusatkan perhatian mereka pada persiapan pidato - pada penyusunan pesan dan penggunaan bahasa. Aliran ketiga - disebut gerakan elokusionis - justru menekankan teknik penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato, "Pembicara tidak boleh melihat melantur. Ia harus mengarahkan matanya langsung kepada pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah, dan mengeluarkan suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman orang dan mencengkeram perhatian mereka". James Burgh, misal yang lain, menjelaskan 71 emosi dan cara mengungkapkannya. Dalam perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena perhatian - dan kesetiaan - yang berlebihan pada teknik. Ketika mengikuti kaum elokusionis, pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara spontan. Gerakannya menjadi artifisial. Walaupun begitu, kaum elokusionis telah berjaya dalam melakukan penelitian empiris sebelum merumuskan "resep-resep" penyampaian pidato. Retorika kini tidak lagi ilmu berdasarkan semata-mata "otak-atik otak" atau hasil perenungan rasional saja. Retorika, seperti disiplin yang lain, dirumuskan dari hasil penelitian empiris. Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan modern - khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau public speaking. Di bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir: 1. James A Winans Ia adalah perintis penggunaan psikologi modern dalam pidatonya. Bukunya, Public Speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan teori psikologi dari William James dan E.B. Tichener. Sesuai dengan teori James bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Winans, mendefinisikan persuasi sebagai "proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan tidak terbagi terhadap proposisi-proposisi". Ia menerangkan pentingnya membangkitkan emosi melalui motif-motif psikologis seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban agama. Cara berpidato yang bersifat percakapan (conversation) dan teknik-teknik penyampaian pidato merupakan pembahasan yang amat berharga. Winans adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950). 2. Charles Henry Woolbert Ia pun termasuk pendiri the Speech Communication Association of America. Kali ini psikologi yang amat mempengaruhinya adalah behaviorisme dari John B. Watson.

Tidak heran kalau Woolbert memandang "Speech Communication" sebagai ilmu tingkah laku. Baginya, proses penyusunan pidato adalah kegiatan seluruh organisme. Pidato merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah dasar utama persuasi. Dalam penyusunan persiapan pidato, menurut Woolbert harus diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui khalayak dan situasinya, (3) tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi tersebut, (4) pilih kalimat-kalimat yang dipertalikan secara logis. Bukunya yang terkenal adalah The Fundamental of Speech. 3. William Noorwood Brigance Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika, Brigance menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. "Keyakinan", ujar Brigance, "jarang merupakan hasil pemikiran. Kita cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan kita, ketakutan kita dan emosi kita". Persuasi meliputi empat unsur: (1) rebut perhatian pendengar, (2) usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter Anda, (3) dasarkanlah pemikiran pada keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar. 4. Alan H. Monroe Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita pergunakan dalam buku ini. Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta stafnya meneliti proses motivasi (motivating process). Jasa, Monroe yang terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan harus disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence. Beberapa sarjana retorika modern lainnya yang patut kita sebut antara lain A.E. Philips (Effective Speaking, 1908), Brembeck dan Howell (Persuasion: A Means of Social Control, 1952), R.T. Oliver (Psychology of Persuasive Speech, 1942). Di Jerman, selain tokoh "notorious" Hitler, dengan bukunya Mein Kampf, maka Naumann (Die Kunst der Rede, 1941), Dessoir (Die Rede als Kunst, 1984) dan Damachke (Volkstumliche Redekunst, 1918) adalah pelopor retorika modern juga. Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral communication, atau speech communication -diajarkan dan diteliti secara ilmiah di lingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga pada mahasiswamahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap prestasi akademis mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech group) mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya dibanding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu. Hurst menyimpulkan: Data penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa kuliah speech tingkat dasar adalah agen synthesa, yang memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk berpikir lebih teratur dan memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap aneka fenomena yang membentuk kepribadian. Penelitian ini menjadi penting bagi kita, bukan karena dilengkapi dengan data statistik yang meyakinkan atau karena berhasil memberikan gelar doktor bagi Hurst, tetapi karena erat kaitannya dengan prospek retorika di masa depan.

Pengertian

Retorika adalah kecakapan berpidato di depan umum (study retorika di Sirikkusa ibu kota Sislia Yunani abab ke 5 SM). Retorika (dari bahasa Yunani ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher) adalah sebuah teknik pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter pembicara, emosional atau argumen (logo), awalnya Aristoteles mencetuskan dalam sebuah dialog sebelum The Rhetoric dengan judul 'Grullos' atau Plato menulis dalam Gorgias, secara umum ialah seni manipulatif atau teknik persuasi politik yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui

pidato, persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, keprcayaan dan pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai konsubstansialitas dengan penggunaan media oral atau tertulis, bagaimanapun, definisi dari retorika telah berkembang jauh sejak retorika naik sebagai bahan studi di universitas. Dengan ini, ada perbedaan antara retorika klasik (dengan definisi yang sudah disebutkan diatas) dan praktek kontemporer dari retorika yang termasuk analisa atas teks tertulis dan visual. Retorika adalah memberikan suatu kasus lewat bertutur (menurut kaum sofis yang terdiri dari Gorgias, Lysias, Phidias, Protagoras dan Socrates akhir abad ke 5 SM). Retorika adalah ilmu yang mengajarkan orang tentang keterampilan, tentang menemukan sarana persuasif yang objectif dari suatu kasus (Aristoteles) Study yang mempelajari kesalahpahaman serta penemuan saran dan pengobatannya (Richard awal abad ke 20-an) Retorika adalah yang mengajarkan tindak dan usaha yang efektif dalam persiapan, penetaan dan penampilan tutur untuk membina saling pengertian dan kerjasama serta kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan retorika adalah persuasi, yang di maksudkan dalam persuasi dalam hubungan ini adalah yakinnya penanggap penutur (pendengar) akan kebenaran gagasan topic tutur (hal yang di bicarakan) si penutur (pembicara). Artinya bahwa tujuan retorika adalah membina saling pengertian yang mengembangkan kerjasama dalam menumbuhkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat lewat kegiatan bertutur Beberapa dimensi ideologi retorika 1. Dimensi filosofis kemanusiaan, dari dimensi ini, kita mengedepankan pemahaman dari sudut identitas (ciri pembeda) antara eksistensi. Identitas pembedanya: • antara makhluk manusia dengan selain manusia • antara manusia yang berbudaya • antara yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, pandangan hidup 2. Dimensi teknis, berbicara adalah sebuah teknik penggunaan symbol dalam proses interaksi informasi. 3. Dimensi proses penampakan diri atau aktualisasi diri. Berbicara itu adalah salah satu keperluan yang tidak bisa ditinggalkan 4. Dimensi teologis, menyampaikan ajaran agama sesuatu yang wajib (dakwah) Bicara juga ada seninya. Pernahkah anda mengamati seorang penjual obat di pasar, ketika sedang menawarkan dagangannya? Atau, pernahkah anda ikut demonstrasi di kampus anda? Kalau pernah coba amati gaya bicara sang korlap! Retorika bukan cuma menekankan pada output verbal seseorang ketika berbicara, namun juga output non verbalnya. Percaya atau tidak, gerakan bola mata kita atau arah pandangan mata kita, bahkan benda apa yang kita pegang saat berbicara, berpengaruh pada dipercaya tidaknya ucapan kita oleh orang lain. Seni berbicara memang erat kaitannya dengan seni mempengaruhi orang lain. Salah satu kuncinya adalah kenali audiens anda. Dengan mengenali siapa yang anda ajak bicara, anda bisa memprediksi apa dan bagaimana anda harus bicara, agar ucapan anda bisa dipercaya. LATAR BELAKANG YANG BERBEDA Proses komunikasi pada intinya adalah proses yang berusaha mencari mutual understanding di antara dua pihak yang berkomunikasi itu. Proses itu bisa gampang, bisa jadi sulit. Mutual understanding bisa tercipta jika ada kemiripan antara frame of reference dan field of experience kedua belah pihak. Dua pihak yang berkomunikasi membawa latar belakang pemahaman yang berbeda pula. Di benak setiap orang yang berkomunikasi, umumnya telah tercipta image, persepsi dan gambaran tentang lawan komunikasinya. Dalam banyak kasus, image bahkan dapat tercipta sebelum bertemu muka dengan si-obyek image. Image sendiri bukanlah suatu fenomena yang buruk. Image yang tepat, dapat membantu kita dalam proses komunikasi, namun demikian, kita harus menyadari bahwa Image dapat dimanipulasi atau dikondisikan, secara sadar maupun tidak sadar, oleh diri kita sendiri, atau obyek lain diluar diri kita.

Komunikato r

frame of reference dan field of komunikasi experience

Pesan Saluran

Komunikan

frame of reference dan field of jika understanding experience

Feedback Suatu proses akan menghasilkan mutual ada kedekatan antara frame of reference dan field of experience dari para peserta proses komunikasi. Untuk menjadi komunikator yang efektif, anda sedapat-dapatnya harus mengenali karakteristik audiens anda, untuk menentukan tehnik komunikasi apa yang harus anda gunakan untuk menyampaikan pesan anda.

PENTINGNYA RETORIKA Persepsi adalah proses yang terintegrasi dalam individu, yang terjadi sebagai reaksi atas stimulus yang diterimanya (bersifat individual). Sebuah konsensus (kesamaan persepsi kolektif pada satu isu tertentu) yang tercapai melalui diskusi sosial akan menimbulkan opini publik. Sedangkan pada diri individu sendiri, opini bisa bersifat laten atau manifes. Opini yang bersifat laten disebut sikap. Sikap adalah suatu predisposisi terhadap sesuatu obyek, yang didalamnya termasuk sistem kepercayaan, perasaan, dan kecenderungan perilaku terhadap obyek tersebut. Sikap bisa dipelajari, bersifat stabil, melibatkan aspek kognisi dan afeksi, dan menunjukkan kecenderungan perilaku.

Related Documents

Retorika
June 2020 36
Retorika
November 2019 31
Retorika
November 2019 24
Retorika Kel 10.docx
October 2019 22

More Documents from ""

Arthralgia_soca.docx
October 2019 44
Retorika
June 2020 36
Tayang Rsud Kab.kota.xlsx
October 2019 48
Badge2.docx
October 2019 53