Digna Rahma Prawati 23020116140033 TP A 2016
Kuis 30 Oktober 2018 1. Jelaskan proses pengawetan buah dengan cara edible coating
Edible coating adalah suatu metode pengawetan dengan cara pemberian lapisan tipis pada permukaan buah untuk menghambat keluarnya gas, uap air dan menghindari kontak dengan oksigen, sehingga proses pemasakan dan pencoklatan buah dapat diperlambat. Lapisan yang ditambahkan di permukaan buah ini tidak berbahaya bila ikut dikonsumsi bersama buah (Trisnawati et al., 2012). Adonan edible coating dapat dibuat menggunakan bahan baku bersifat hydrocolloid seperti pectin, lilin karnauba, beeswax, chitosan, maizena dan tapioka yang dilarutkan dan dihomogenisasi bisa juga ditambahkan emulsifier, platicizer seperti gliserol dan lipid seperti minyak sawit untuk meningkatkan sifat elastic dan kedap air (Aliya et al., 2015 ; Zairisman et al., 2017). Terkadang pada pembuatan adonan dibutuhkan proses pemanasan menggunakan hot plate stirrer pada suhu tercapainya gelatinisasi (75oC), tergantung pada bahan baku yang digunakan. Setelah itu, edible coating bisa langsung diaplikasikan dengan cara mencelupkan buah ke dalam adonan. Pengawetan buah dengan edible coating biasanya diikuti dengan penyimpanan suhu rendah untuk memperpanjang masa simpan produk.
2. Jelaskan tahapan proses pengalengan jamur dan titik kritis dalam.tahapan tersebut.
Proses pengalengan jamur secara konvensional diawali dengan pemotongan bahan baku mentah jamur menjadi sliced mushrooms atau tanpa pemotongan / whole mushrooms, lalu dikeringkan secara vacuum hydration menggunakan 94 kPa untuk kemudian disterilisasi pada sistem bersuhu 130 oC untuk memperoleh F0 pada waktu 7 menit. Setelah melalui proses thermal tersebut jamur langsung didinginkan di air dingin steril suhu 15 oC, baru kemudian dimasukkan dalam jar kaca (untuk pengalengan konvensional). Untuk pengalengan menggunakan retort jamur yang telah diproses secara aseptis diblansir suhu 95 o
C, baru kemudian dimasukkan kedalam jar, disegel, dan disterilisasi pada air mendidih
bertekanan pada suhu 121 oC untuk memperoleh F0 pada waktu 7-18 menit (Anderson and Walker, 2011)..
Digna Rahma Prawati 23020116140033 TP A 2016
Titik kritis pada tahap pengalengan adalah kondisi High Temperatur Short Time (HTST) diproduksi menggunakan sistem pemrosesan aseptik. Dalam sistem pengolahan thermal yang continu, makanan dipanaskan sampai suhu sterilisasi target dan kemudian melewati tabung panjang di mana suhu ini dipertahankan dan mematikan terakumulasi. Apabila pada tahap ini mikroba anaerob tidak terbunuh sempurna, dapat menyebabkan mikroba memproduksi gas membuat kaleng menggelembung bahkan meledak (Anderson and Walker, 2011). Selain itu titik kritis lainnya bisa juga berasal dari cacat sambungan double seam kemasan kaleng yang disebut knocked down flange (KDF) yakni berupa flange kaleng turun sehingga double seam tidak baik. Saat sambungan kaleng rusak, pasca sterilisasi
membuat
mikroorganisme
mudah
masuk
ke
kaleng.
Penyebab
KDF
dikelompokkan dalam 5 faktor utama yaitu manusia, mesin, material, metode dan lingkungan (Sucipto et al., 2017).
3. Jelaskan alternatif pengolahan cabai saat terjadi panen raya
Ketersediaan cabai melimpah saat panen raya dapat menimbulkan risiko kerugian akibat kerusakan baik secara fisik maupun mikrobiologis. Maka alternatif yang dapat dilakukan dengan cara : -
Cabai dikeringkan untuk kemudian dapat diperdagangkan secara langsung dengan masa simpan yang lebih lama atau bisa juga untuk bahan baku saus cabai atau diambil minyak atsirinya. Secara sederhana buah cabai dapat dikeringkan menggunakan panas matahari atau dengan oven untuk suhu yang lebih terkontrol (Parfiyati et al., 2016).
-
Membuat produk bubuk cabai, dibuat dari cabai yang telah dikeringkan kemudian digiling sehingga menjadi bubuk. sebagai bahan baku bumbu masak. Pengeringan dapat dilakukan secara mekanis dengan alat pengering maupun menggunakan panas matahari secara konvensional, namun lama dan suhu pengeringan lebih dapat dikontrol menggunakan alat cabinet dryer untuk memperoleh proses yang cepat dan hasil seragam. Metode pengeringan juga akan menentukan kualitas bubuk cabai yaitu rendemen, kadar air, warna dan tingkat kepedasannya (Dendang et al., 2018).
-
Mengolah cabai menjadi produk sambal khas nusantara dengan aneka varian.
Sumber :
Digna Rahma Prawati 23020116140033 TP A 2016
Aliya, H., N. Maslakah, T. Numrapi, A. P. Buana, dan Y. N. Hasri. (2015). Pemanfaatan asam laktat hasil fermentasi limbah kubis sebagai pengawet anggur dan stroberi. J. BIOEDUKASI. 9(1) : 23-28 . Anderson, N. M., & Walker, P. N. (2011). Quality Comparison of Continuous Steam Sterilization SegmentedâFlow Aseptic Processing versus Conventional Canning of Whole and Sliced Mushrooms. Journal of food science, 76(6) : 429-437. Dendang, N., Lahming, L., & Rais, M. (2018). Pengaruh lama dan suhu pengeringan terhadap mutu bubuk cabai merah (Capsicum annuum L.) dengan menggunakan cabinet dryer. Jurnal Pendidikan Teknologi Pertanian, 2(1) : 30-39. Parfiyanti, E. A., Hastuti, R. B., & Hastuti, E. D. (2016). Pengaruh suhu pengeringan yang berbeda terhadap kualitas cabai rawit (Capsicum frutescens L.). Jurnal Biologi, 5(1) : 82-92. Sucipto, S., Sulistyowati, D. P., & Anggarini, S. (2017). Pengendalian Kualitas Pengalengan Jamur dengan Metode Six Sigma di PT Y, Pasuruan, Jawa Timur. Industria: Jurnal Teknologi dan Manajemen Agroindustri, 6(1): 1-7. Trisnawati, E., Andesti, D., & Saleh, A. (2013). Pembuatan kitosan dari limbah cangkang kepiting sebagai bahan pengawet buah duku dengan variasi lama pengawetan. Jurnal Teknik Kimia, 19(2) : 17-27. Zairisman, T. R., I. W. Budiastra, dan S. Sugiyono, S. 2017. Pelapisan lilin karnauba dan kitosan untuk mempertahankan mutu wortel kupas. J. Keteknikan Pertanian, 5(2): 153-160.