RESPONSI ILMU BEDAH TRAUMA MAKSILOFASIAL
Pembimbing : Dr. dr. Bambang Arianto, Sp.B
Penyusun : Muthya Shinta Devi (2017.04.2.0119)(DM FK UHT) Arivia Alifah Saraswati (201810401011051/20141033031104) (DM FK UMM)
DEPARTEMEN BEDAH RSU HAJI SURABAYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA 2019
LEMBAR PENGESAHAN RESPONSI ILMU BEDAH
Responsi “Trauma Maksilofasial” ini telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian Ilmu Bedah RSU Haji Surabaya.
Mengesahkan, Dosen Pembimbing
Dr. dr. Bambang Arianto, Sp.B
i
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’aalamiin. Kami panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Responsi ”Trauma Maksilofasial” dalam rangka memenuhi tugas penulis dalam menjalani kepaniteraan klinik di bagian Bedah RSU Haji Surabaya. Dengan rasa hormat yang tinggi, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kelancaran pembuatan responsi ini. Kami ucapkan terima kasih kepada Bambang Arianto, dr., Sp.B yang berkenan menjadi dokter pembimbing kami serta memberikan dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan responsi ini. Penulis menyadari bahwa responsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk memperbaiki responsi ini maupun penulisan selanjutnya. Semoga responsi ini berguna dan memberikan informasi yang bermanfaat bagi kami dan pembaca.
Surabaya,16 Januari 2019
Penulis
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................... ii DAFTAR ISI ............................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... iv LAPORAN KASUS ILMU BEDAH ............................................. 1 PENDAHULUAN ....................................................................... 9 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 10 3.1
Anatomi....................................................................................... 10
3.2
Trauma Maksilofasial .................................................................. 13
3.2.1
Definisi ................................................................................. 13
3.2.2
Epidemiologi ......................................................................... 13
3.2.3
Etiologi ................................................................................. 14
3.2.4
Klasifikasi ............................................................................. 14
3.2.5
Patofisiologi .......................................................................... 24
3.2.6
Diagnosis ............................................................................. 25
3.2.7
Penatalaksanaan.................................................................. 27
3.2.8
Komplikasi ............................................................................ 32
3.2.9
Prognosis ............................................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 34
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Anatomi Tulang Wajah ........................................................ 10 Gambar 2. 2 Persarafan Wajah ............................................................... 12 Gambar 2. 3 Vaskularisasi Wajah ............................................................ 13 Gambar 2. 4 CT scan fraktur sinus frontalis anterior dan posterior .......... 15 Gambar 2. 5 CT scan fraktur dasar orbital kiri dengan herniasi orbital fat 16 Gambar 2. 6 CT scan fraktur nasal .......................................................... 17 Gambar 2. 7 Pembagian Fraktur Maksila ................................................ 17 Gambar 2. 8 Transaxial CT scan fraktur bilateral Le Fort I ...................... 20 Gambar 2. 9 Coronal CT scan dengan fraktur dinding maksila Le Fort II 20 Gambar 2. 10 Radiografi Fraktur Mandibula ............................................ 21 Gambar 2. 11 Fraktur NOE ...................................................................... 23 Gambar 2. 12 Fraktur panfasial ............................................................... 24
iv
LAPORAN KASUS ILMU BEDAH RSU HAJI SURABAYA Pembimbing : Dr. dr. Bambang Arianto, Sp.B Oleh
: Muthya Shinta Devi (20170420119) Arivia Alifah Saraswati (201810401011051/201410330311004)
Identitas Pasien: Nama
: Tn. Daud Lesmono
Umur
: 38 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Wonokitri Besar 12
Pekerjaan
: Karyawan swasta
Status menikah
: Menikah
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Nomor register
: 855561
MRS
: 2 Januari 2019
Jam datang
: 13.00 WIB
Jam periksa
: 13.30 WIB
Tanggal pemeriksaan
: 2 Januari 2019
I. Anamnesis − KU: Nyeri di bibir dan rahang bagian atas − RPS: Pasien laki-laki usia 38 tahun datang ke IGD RSU Haji Surabaya dengan keluhan nyeri pada bagian bibir dan rahang bagian atas sejak 2 jam SMRS setelah terjatuh dari ketinggian ± 4 meter di rumah pasien. Sebelum terjatuh pasien merasakan lemas dan pusing saat pasien hendak ke lantai 2 rumahnya. Tiba-tiba pasien terjatuh dengan posisi telungkup dengan muka menghantam atap asbes rumah tetangganya lalu terjatuh ke tanah. Pasien ditemukan oleh tetangganya dalam keadaan sadar
1
dan sedang terduduk dengan luka sobek pada bibir atas, 2 gigi seri tengah kiri dan kanan atas terdorong ke belakang, 1 gigi seri kiri atas lepas dan luka sobek alis dan kelopak mata bagian kanan. Pasien masih mengingat kejadian sebelum dan setelah. Mual (-), muntah (-), pusing (-), pingsan (-), nyeri dada (-), nyeri pada ekstremitas (-), darah dari hidung (-), darah dari telinga (-). − RPD:
II.
Allergic
:-
Medication
:-
Past illness
:-
Last meal
: 08.00 WIB
Event Preceding Injury
: Jatuh dari ketinggian ± 4 m
Pemeriksaan Fisik Primary Survey −
Airway dan Cspine immobilization: bebas, Cspine stabil
−
Breathing: spontan, RR: 20x/ menit
−
Circulation: akral hangat kering merah TD: 130/70 mmHg Nadi: 90x/ menit, reguler
−
Disability: kesadaran/GCS : CM/ 4-5-6 Pupil : bulat isokor +/+, reflek cahaya +/+
−
Exposure : 37ᵒ C (axiller)
Secondary Survey −
Kepala dan Leher: A/I/C/D = -/-/-/-, neck stiffness (-)
−
Thoraks: Pulmo I
:
Normochest, pergerakan dinding dada simetris, retraksi suprasternal (-), retraksi intercostae (-), jejas (-)
P
Ekspansi dinding dada simetris, nyeri tekan (-)
P
Sonor di kedua lapang paru
A
Vesikuler +/+, Rh -/- Wh -/-
2
Cor
−
−
:
I
Iktus tidak tampak
P
Iktus kuat angkat (-)
P
Batas jantung normal
A
S1 S2 tunggal, gallop (-), murmur (-)
Abdomen I
Flat
A
BU (+) normal
P
Massa (-)
P
Timpani 9 regio
Ekstremitas Akral hangat kering merah
+/+ +/+
Oedem
-/-/-
CRT <2 detik Status Lokalis Regio Fasialis Look: Eyebrow: vulnus appertum 3x1x0,5 cm, perdarahan (+) Palpebra superior dextra: vulnus appertum 2x1x0,1 cm, edema (+), hematome (+), perdarahan (+) Enoptalmus (-) Supralabialis: vulnus appertum 4x1x0,5 cm tembus ke oral, edema (+), perdarahan (+) Alveolar maxilla: deformitas (+), maloklusi (+), dental avulsi incisivus 22 (+) Otorrhea, rhinorrhea (-), battle's sign (-), raccoon's sign (-), epistaksis (-) Feel: Nyeri tekan (+), teraba hangat, krepitasi (+) dentoalveolar maxilla Palpasi: margo supraorbitalis-arcus zygoma-margo infraorbital-
3
nasal-corpus zygoma-mandibula dbn Dental avulsi incisivus 22 (+) Nasal: krepitasi (-) Parasthesia (-) Move: False movement: (-)
III.
Pemeriksaan Penunjang 02/01/2019 Darah Lengkap : 13,7 g/dL normal (Nilai normal: dewasa>13 th:
Hb
12,8-16,8 g/dl) Leukosit
: 14.330 /mm3 (↑) (Nilai normal: dewasa>13 th:
4.500-13.500 mm3) Hematokrit
: 41,6 % normal (Nilai normal: dewasa>13 th: 33-
45 %) Trombosit
: 332.000 /mm3 normal (Nilai normal: dewasa>13
th: 150.000-440.000/ mm3) FH PPT
: 9,3 C : 10,6 Detik (↓) (Nilai normal 11-14”/ perbedaan dg
kontrol <2”) INR
: 0,82 normal (Nilai normal 0,64 -1,17 dg tx oral anti
koagulant 2-4) APTT : 23,9 C : 23,1 normal (Nilai normal 5-40 perbedaan dg kontrol <7”) Kimia Klinik Albumin: 4,5 gr normal (Nilai normal 3,8 – 5,4 gr) K/Na/Cl Kalium: 3,3 mmol/L (↓) (Nilai normal: dewasa>13 th: 3,6-5 mmol/L) Natrium: 137 mmol/L normal ( Nilai normal: dewasa>13 th: 136145 mmol/L)
4
Chlorida: 101 mmol/L normal (Nilai normal: dewasa>13 th: 96106 mmol/L) Serologi HBS Ag Device: negatif CBC Diff count: Eosinofil: 0,8 % normal (Nilai normal: 0-6 %) Basofil: 0,1 % normal (Nilai normal: 0-1 %) Neutrofil: 86,8 % (↑) (Nilai normal: 37-72 %) Limfosit: 7,7 % (↓) (Nilai normal: 20-50%) Monosit: 4,6 % normal (Nilai normal: 0-14 %)
V. Diagnosis Fraktur Alveolar Maxillary + Dental avulsi + Maloklusi + Multiple Vulnus Appertum Facialis
VI. Penatalaksanaan a. Planning diagnosis: a) DL, FH, RFT, LFT, SE, GDA, albumin, HbsAg b) Foto polos skull AP/lat c) Foto polos thorax AP b. Planning Terapi
:
Inf. RL 1500 cc/24 jam
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv
Inj. Santagesik 3x1 amp iv
Inj. Ranitidine 2x1 amp iv
Betadine gurgle 6-8x/hari
Diet lunak TKTP
Rawat luka
Konsul bedah plastik untuk dilakukan debridement, pasang archbar, mucosal flap, dan jahit luka.
5
c. Planning Monitoring : −
Keluhan pasien
−
Vital sign
d. Planing Edukasi : - Menjelaskan tentang kondisi pasien, planning pemeriksaan penunjang, dan pengobatan yang akan diberikan - Diet lunak TKTP - Menjelaskan mengenai rencana operasi segera VII. Hasil Pemeriksaan Penunjang
Foto Polos Thorax AP (2/1/2019)
Foto Skull
6
VIII. Lampiran Pre Operasi
7
Post Operasi
8
PENDAHULUAN
Trauma adalah penyebab utama kematian pada usia kurang dari 40 tahun, salah satunya yaitu trauma maksilofasial dimana pada umumnya merupakan kasus kegawatdaruratan (Singaram et al, 2016; Shetawi, 2016). Lebih dari 50% pasien dengan luka ini memiliki trauma multisistem yang memerlukan penanganan terkoordinasi antara dokter darurat
dan
spesialis
bedah,
bedah
mulut,
dan
maksilofasial,
otolaringologi, bedah plastik, oftalmologi, dan bedah trauma (Shetawi, 2016). Trauma maksilofasial adalah kondisi patah tulang akibat suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitar, bahkan dapat menimbulkan cedera pada saraf sensorik, motorik maupun cedera pada kelenjar dan saluran liur. Trauma maksilofasial terjadi karena adanya perpindahan energi kinetik dari benda bergerak saat proses deselerasi sehingga menghasilkian gaya yang dapat menyebabkan cedera. Dampak kerusakan tulang wajah pada setiap tempat berbeda-beda tergantung dari kekuatan gaya yang didapatkan (Shetawi, 2016). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Singaram et al (2016) penyebab terbanyak trauma maksilofasial adalah kecelakaan lalu lintas yaitu sebesar 197 kasus dari 267 kasus (73,8%) dimana kecelakaan kendaraan bermotor roda dua menjadi penyebab terbanyak yaitu 179 kasus dari 197 kasus (90,9%). Kecelakaan kendaraan bermotor roda dua bisa berupa terpeleset, jatuh, tabrakan dengan motor lain maupun pejalan kaki.
9
TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Anatomi Wajah dibagi menjadi tiga bagian. Bagian atas terdiri dari tulang
depan dan sinus frontalis. Bagian tengah terdiri dari tulang hidung, etmoid, zygomatic, dan maxillary. Mandibula membentuk sepertiga bagian bawah wajah. Hal ini dibagi menjadi beberapa area yang berbeda, termasuk kondilus, ramus, sudut, tubuh, simfisis, dan alveolus. Tulang frontal membentuk margin orbital superior. Zygoma dan maxilla membentuk margin orbital inferior. Margin orbital medial dibentuk oleh proses frontal maxilla, tulang lakrimal, proses tulang belakang dan orbital tulang frontal, dan tulang etmoid. Langit-langit sinus maksila membentuk lantai orbital. Apeks orbital terbentuk oleh sayap sphenoid, palatine, dan bagian etmoid yang lebih rendah dan lebih besar (Singaram et al, 2016).
Gambar 2. 1 Anatomi Tulang Wajah
10
Saraf ophthalmik adalah divisi pertama saraf trigeminal. Ini adalah saraf sensorik yang mensarafi kulit dahi, kelopak mata bagian atas, dan konjungtiva. Cabangnya meliputi lacrimal, supraorbital, supratrochlear, infratrochlear, nasal eksternal, nasociliary, dan frontal (Singaram et al, 2016). Saraf maksilaris adalah divisi kedua dari saraf trigeminal. Saraf maksilaris merupakan saraf sensorik yang mensarafi kulit pada bagian posterior sisi hidung, kelopak mata bawah, pipi, dan bibir bagian atas. Cabangnya meliputi alveolar superior anterior dan posterior, infraorbital, zygomaticofacial, dan zygomaticotemporal (Singaram et al, 2016). Saraf mandibula adalah bagian ketiga dari saraf trigeminal, merupakan saraf sensorik dan motorik yang mensarafi otot pengunyahan dan kulit bibir bawah, dagu, daerah temporal, dan bagian dari auricle. Cabang meliputi lingual, inferior alveolar, dental, mental, bukccal, dan auriculotemporal. Saraf facialis mensarafi semua otot ekspresi wajah. Cabang meliputi temporal, zygomatic, bukccal, mandibular, dan serviks. Saraf aurikular yang lebih besar, cabang pleksus serviks, mensarafi sudut mandibula dan kulit di atas kelenjar parotid dan mastoid (Singaram et al, 2016).
11
Gambar 2. 2 Persarafan Wajah Suplai darah ke wajah disediakan oleh cabang-cabang dari arteri karotid eksternal dan internal. Cabang yang penting adalah lingual, facial, internal maxillary, dan temporal superfisial. Drainase vena disediakan oleh temporal superficial, pterygoid venous plexus, retromandibular, lingual, facial, dan vena jugularis eksternal. Mereka mengosongkannya ke pembuluh darah jugularis internal (Singaram, et al, 2016).
12
Gambar 2. 3 Vaskularisasi Wajah
3.2
Trauma Maksilofasial
3.2.1 Definisi Trauma maksilofasial merupakan kondisi patah tulang akibat suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan sekitar, bahkan dapat menimbulkan cedera pada saraf sensorik, motorik maupun cedera pada kelenjar dan saluran liur. Dampak kerusakan tulang wajah pada setiap tempat berbeda-beda tergantung dari kekuatan gaya yang didapatkan (Shetawi, 2016).
3.2.2 Epidemiologi Trauma maksilofasial lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan yaitu 2,8 : 1. Trauma maksilofasial pada laki-laki didapatkan 556 kasus dari 754 kasus (73,7%) sedangkan pada perempuan didapatkan 198 kasus dari 754 kasus (26,3%). Kasus ini kebanyakan terjadi pada laki-laki usia 18-39 tahun. Pada trauma maksilofasial yang
13
dialami oleh wanita kebanyakan terjadi pada umur di atas 60 tahun (Arslan et al, 2014). Trauma
maksilofasial
seringkali
menyebabkan
cedera
pada
jaringan lunak, gigi dan tulang maksila, zygoma, nasoorbital-ethmoid (NOE) komplek, dan struktur-struktur supraorbital (Saleh, 2016).
3.2.3 Etiologi Penyebab terbanyak trauma maksilofasial adalah kecelakaan lalu lintas dimana kecelakaan kendaraan bermotor roda dua menjadi penyebab terbanyak (Obimakinde et al, 2017). Kecelakaan kendaraan bermotor roda dua bisa berupa terpeleset, jatuh, tabrakan dengan motor lain maupun pejalan kaki (Singaram et al, 2016). Penyebab kedua terbanyak trauma maksilofasial adalah trauma karena jatuh yaitu sebanyak 48 kasus dari 197 kasus (18%). Trauma karena jatuh contohnya anak-anak yang jatuh saat bermain, orang tua yang jatuh karena penyakit sistemik, atau laki-laki yang jatuh karena pengaruh alkohol. Penyebab lain trauma maksilofasial adalah serangan dari orang lain yaitu sebanyak 6,7% dan ada 3 kasus sport injury dan 1 kasus kecelakaan kerja (Singaram, et al, 2016).
3.2.4 Klasifikasi Fraktur maksilofasial meliputi: 1. Fraktur Os Frontal Fraktur pada os.frontalis biasanya dihasilkan dari kecepatan tinggi pada trauma benda tumpul terhadap os.frontalis atau dahi, misalnya akibat kecelakaan pada kendaraan bermotor. Biasanya lebih dari sepertiga pasien dengan fraktur pada sinus frontalis juga mengalami cedera pada intrakranial secara bersamaan (Shetawi, 2016).
14
A. Pemeriksaan Fisik Penegakkan diagnosis pada kecurigaan fraktur os frontal dapat dilakukan dengan palpasi sehingga deformitas dapat divisualisasikan (Lynham, 2012). B. Pemeriksaan Penunjang CT scan merupakan modalitas pilihan untuk membantu menegakkan diagnosis pada kecurigaan fraktur os frontalis (Lynham, 2012).
Gambar 2. 4 CT scan fraktur sinus frontalis anterior dan posterior (Mehta et al, 2012) 2. Fraktur Dasar Orbita Cedera pada dasar orbita dapat mengakibatkan fraktur terisolasi atau dapat disertai fraktur dinding bagian medial (Lynham, 2012). Sebagian besar cedera dikaitkan dengan luka traumatis melalui kekerasan interpersonal, olahraga, atau kecelakaan lalu lintas. Terdapat tiga teori mengenai mekanisme cedera, yakni teori globe-to-wall, teori hidrolik, dan teori konduksi tulang (Shetawi, 2016). A. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik yang didapatkan pada inspeksi apabila curiga mengalami fraktur dasar orbita adalah ditemukannya hematom pada subkonjungtiva dan periorbita, diplopia, dan parastesia atau anastesia pada infraorbital. Kondisi diplopia biasa terjadi pada saat dinding dasar orbita retak sehingga menjepit atau merusak otot orbital. Parastesia atau anastesia
15
pada infraorbital dapat terjadi apabila fraktur dasar orbita mengenai saraf infraorbital (Lynham, 2012). B. Pemeriksaan Penunjang Pengambilan gambaran dengan computed tomography scanning (CT-Scan) baik secara axial maupun coronal tetap diperlukan meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa magnetic resonance imaging (MRI) juga merupakan pilihan terbaru untuk menegakkan diagnosis fraktur pada dasar orbital. Berikut merupakan gambaran CT scan dasar orbital secara coronal (Lynham, 2012).
Gambar 2. 5 CT scan fraktur dasar orbital kiri dengan herniasi orbital fat. (Mehta et al, 2012) 3. Fraktur Nasal Fraktur pada os nasal merupakan fraktur pada daerah wajah yang
paling
umum
dijumpai
(Reksoprawiro
dkk,
2015).
Setengah dari kejadian fraktur trauma at regio facialis mengalami fraktur os nasal akibat bentuknya yang menonjol (Shetawi, 2016). A. Pemeriksaan Fisik Penegakkan diagnosis pada fraktur nasal melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik (Lynham, 2012). Pemeriksaan fisik untuk mengetahui adanya fraktur pada os nasal yakni didapatkan pembengkakan, epistaksis, deviasi pada hidung, terdapat nyeri tekan, krepitasi, dan teraba garis fraktur (Shetawi, 2016).
16
B. Pemeriksaan Penunjang Menegakkan umumnya
diagnosis
cukup
dengan
fraktur
pada
pemeriksaan
os.nasal, klinis,
pada namun
pemeriksaan penunjang berupa radiologi foto rontgen dari arah lateral juga dapat membantu untuk memastikan ada atau tidak adanya fraktur tulang wajah pada bagian lain atau di sekitar hidung. CT scan pada os.fasialis disarankan apabila fraktur pada os.nasal tampak sebagai bagian dari pola fraktur yang lebih luas, termasuk os.frontalis maupun os.maksila (Lynham, 2012).
Gambar 2. 6 CT scan fraktur nasal transaxial (A) dan coronal (B). (Mehta et al, 2012) 4. Fraktur Maksila
Gambar 2. 7 Pembagian Fraktur Maksila (Shetawi, 2016) Dibagi menjadi tiga macam yakni LeFort I, LeFort II, dan LeFort III (Saleh, 2016):
17
I.
Le Fort I Fraktur Le Fort I merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi, dan menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan yang disebut floating jaw. Hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya edema. Garis fraktur berjalan dari apertura piriformis di bagian atas spina nasalis, kemudian berjalan
ke
dinding
sinus
maksilaris,
krista
zigomatikoalveolaris, tuber maksila, bagian ujung kaudal prosesus pterigoideus, dinding posterior sinus maksilaris hingga kembali ke apertura piriformis. II.
Le Fort II Fraktur Le Fort tipe II biasa juga disebut dengan fraktur piramidal. Manifestasi dari fraktur ini ialah edema di kedua periorbital, disertai juga dengan ekimosis, yang terlihat seperti racoon sign. Biasanya ditemukan juga hipoesthesia di nervus infraorbital. Kondisi ini dapat terjadi karena trauma langsung atau karena laju perkembangan dari edema. Maloklusi biasanya tercatat dan tidak jarang berhubungan
dengan
open
bite.
Pada
fraktur
ini
kemungkinan terjadinya deformitas pada saat palpasi di area infraorbital dan sutura nasofrontal. Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis juga dapat ditemukan pada kasus ini. Garis fraktur berjalan dari sutura frontonasalis atau sutura frontomaksilaris ke bagian anteromedial dari dinding inferior orbita terus ke bagian tengah cincin infraorbital,
dinding
fasial
sinus
maksilaris,
krista
zigomatikoalveolaris, bagian posterior sinus maksilaris, prosesus pterigoideus, fisura orbitalis inferior hingga sampai ke garis fraktur pada bagian orbita. Sebagai
18
tambahan juga terjadi fraktur pada vomer dan lamina perpendikularis. III.
Le Fort III Fraktur ini disebut juga fraktur transversal. Fraktur Le Fort III menggambarkan adanya disfungsi kraniofasial. Tanda yang terjadi pada kasus fraktur ini ialah remuknya wajah serta adanya mobilitas tulang zygomatikomaksila kompleks,
disertai
pula
dengan
keluarnya
cairan
serebrospinal, edema, dan ekimosis periorbital. Garis fraktur berjalan dari sutura frontonasalis atau sutura frontomaksilaris lewat os. lacrimal, dinding medial orbita, foramen optikum. Dari sini garis fraktur berjalan berjalan terus ke sutura zigomatikofrontalis. Terjadi juga fraktur arkus zigomatikus. A. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pada pasien trauma maksila tanpa gangguan kesadaran dapat dilakukan dengan posisi berbaring maupun dengan posisi duduk. Inspeksi didapatkan adanya asimetri pada wajah karena fraktur maksila pada umumnya bilateral, oedema, hematoma sehingga mata tertutup, trismus, nyeri spontan, ingus berdarah, maloklusi (gangguan penutupan rahang), dan sering kali disertai dengan gangguan kesadaran. Palpasi harus dilakukan dengan 3 S, yakni serentak (secara bersama-sama antara sisi kanan dengan sisi kiri), seksama (hati-hati), dan sistematis (Reksoprawiro dkk, 2015). B. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis ditentukan atau didukung oleh foto rontgen posisi Waters. Hal tersebut dilakukan untuk pencitraan pada wajah agar bayangan bagian wajah tidak terganggu atau dapat disamarkan oleh struktur tulang dasar tengkorak dan vertebra servikal (Reksoprawiro dkk, 2015).
19
Gambar 2. 8 Transaxial CT scan fraktur bilateral Le Fort I (Mehta et al, 2012)
Gambar 2. 9 Coronal CT scan dengan fraktur dinding maksila yang membentuk piramidal pada Le Fort II (Mehta et al, 2012) 5. Fraktur Mandibula Fraktur mandibula dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder akibat bentukan U dari rahang dan leher kondilar yang lemah. Fraktur terjadi akibat cedera pada wajah baik secara langsung maupun tidak langsung seperti kecelakaan pada kendaraan bermotor, jatuh, saat berolahraga, dan serangan dengan benda tumpul atau senjata api. Hampir separuh dari seluruh pasien dengan cedera maksilofasial memiliki fraktur mandibula secara bersamaan (Shetawi, 2016). A. Pemeriksaan Fisik Fraktur mandibula
mandibula merupakan
menimbulkan tulang
nyeri
dengan
hebat
pergerakan
karena aktif.
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah dengan inspeksi oral dimana untuk melihat apakah terdapat gigi yang hilang, sisi
20
fraktur yang terlihat jelas, maupun apakah terdapat laserasi intraoral. Uji oklusi dapat digunakan untuk mengidentifikasi malalignment pada gigi, dimana jika ditemukan gingiva yang pecah di suatu sisi atau perdarahan sublingual maka dapat dicurigai terjadinya fraktur mandibula. Pemeriksaan fisik juga dapat dilakukan dengan cara memegang mandibula pada kedua sisi lokasi dan uji mobilitas dengan hati-hati. Selanjutnya tekan kedua sudut mandibula secara ekstra-oral serta menekukkan bagian tengah rahang sehingga menyebabkan nyeri di lokasi fraktur. Hal tersebut dikarenakan saraf mandibula melewati sudut atau bagian mandibula. Kondisi atau keluhan parasthesia atau anastesia di bibir bagian bawah serta dagu di sisi ipsilateral terjadi akibat fraktur yang disertai kerusakan pada saraf mandibula (Lynham, 2012). B. Pemeriksaan Penunjang Rekomendasi
utama
pemeriksaan
penunjang
dalam
menegakkan diagnosis adalah dilakukannya foto radiografi polos PA dan ortopantomogram (OPG). CT scan tidak dapat digunakan pada sebagian besar kasus, namun digunakan hanya saat tanda klinis menunjukkan adanya fraktur namun pada saat dilakukan foto radiografi x-ray tampak normal (Lynham, 2012).
Gambar 2. 10 Radiografi Fraktur Mandibula (Shetawi, 2016)
21
6. Fraktur Nasoetmoidal (NOE) Fraktur NOE pada umumnya berkaitan dengan fraktur Le Fort II dan Le Fort III (Mehta et al, 2012). Fraktur pada NOE merupakan
suatu
insiden
dengan angka
kejadian
yang
meningkat selama beberapa dekade terakhir. Fraktur NOE jarang terjadi sebagai kejadian yang terisolasi dikarenakan tingkat gaya dan vektor yang terlibat. NOE sering termasuk ke dalam cedera sistem saraf pusat, fraktur pada lempeng ciribriform, cairan serebrospinal rhinorrhea, fraktur os frontalis, dasar orbital, dan sepertiga bagian tengah pada wajah yang sebaik dengan cedera pada sistem lakrimal (Singaram, et al, 2016). A. Pemeriksaan Fisik Displaced fraktur NOE yang parah dapat menunjukkan telecanthus (peningkatan jarak antara medial canthi kelopak mata), epistaksis, cairan serebrospinal rhinorrhea, dan epifora (yaitu, air mata yang menetes di atas kelopak) akibat penyumbatan saluran nasolakrimal. Pada pasien dengan edema wajah yang parah, posisi medial ligamentum chantal bisa tampak asimetris (Singaram, et al, 2016). B. Pemeriksaan Penunjang CT scan sangat penting untuk mengidentifikasi lokasi, pola, tingkat keparahan, dan adakah keterlibatan fraktur terhadap jaringan lunak. CT scan biasanya juga dapat menunjukkan adanya darah yang masuk ke daerah ethmoidal (Mehta et al, 2012).
22
Gambar 2. 11 Fraktur NOE (Mehta et al, 2012) 7. Fraktur Komplek Zigomatikomaksila (ZMC) Fraktur zygomatikomaksila komplek merupakan akibat dari trauma langsung. Sebagian besar fraktur diakibatkan oleh perkelahian atau kecelakaan pada kendaraan bermotor. Garis fraktur
dapat
meluas
melalui
zigomatikotemporal,
zigomatikofrontal, dan sutura zigomatikomaksilaris (Singaram, et al, 2016). Temuan klinis fraktur ZMC seperti adanya depresi malar yang menipis, sehingga meratakan tulang pipi dan nyeri pada palpasi zigomatikumnya. "Flam sign" mungkin ada karena gangguan dan depresi tendon canthal lateral. Bukti adanya perdarahan subkonjungtiva lateral ada. Parestesia sisi lateral hidung dan bibir atas mungkin terjadi karena ada tabrakan saraf infraorbital. Diplopia muncul bila pandangan ke atas karena otot rektus inferior yang terjebak. Trismus dapat terjadi karena lengkungan zygomatic tertekan yang menimpa proses koronoid mandibula sehingga
dengan demikian mencegah pasien
membuka mulut atau sering bersamaan terjadi cedera pada otot temporalis (Singaram, et al, 2016). 8. Fraktur Alveolar Fraktur alveolar terjadi dalam isolasi akibat gaya energi yang rendah secara langsung sehingga didapatkan perpanjangan garis melalui bagian alveolar pada rahang atas atau rahang
23
bawah. Temuan klinis meliputi perdarahan gingiva, mobilitas alveolus, dan gigi longgar atau avulsi (Singaram, et al, 2016). 9. Fraktur Panfasial Fraktur panfasial biasanya merupakan fraktur sekunder akibat mekanisme energi yang tinggi sehingga menghasilkan luka pada wajah bagian atas, tengah, dan bawah. A. Pemeriksaan Fisik Dikatakan fraktur panfasial setidaknya harus terdiri dari 3 dari kemungkinan 4 unit wajah. Temuan klinis tergantung dari kombinasi fraktur yang ada (Singaram, et al, 2016). Inspeksi ditemukan
asimetri,
abrasi,
swelling,
hilangnya
jaringan,
laserasi, perdarahan, oxophtalmus atau enophtalmus pada mata, kelainan gerakan okular, dan bentuk juga ukuran pupil. Palpasi didapatkan adanya krepitasi terutama pada area supraorbital, infraorbital, os frontal, arcus os zygoma, dan pada artikulasi antara os zygoma dengan os frontal, temporal juga maksila (Shetawi, 2016). B. Pemeriksaan Penunjang CT scan didapatkan adanya kombinasi antara fraktur mandibula dengan fraktur Le Fort III.
Gambar 2. 12 Fraktur panfasial (Shetawi, 2016)
3.2.5 Patofisiologi Trauma maksilofasial terjadi karena adanya perpindahan energi kinetik dari benda bergerak saat proses deselerasi menghasilkan gaya yang dapat menyebabkan cedera. Dampak kerusakan tulang wajah pada
24
setiap tempat berbeda-beda tergantung dari kekuatan gaya yang didapatkan, misalnya pada kekuatan gaya yang kecil sudah mampu merusak os.zygomatikum dan os.nasal sedangkan untuk daerah lainnya, dibutuhkan kekuatan gaya yang lebih besar, seperti pada daerah supraorbital, maksila, mandibula, dan tulang frontal (Shetawi, 2016).
3.2.6 Diagnosis A. Anamnesis Mendapatkan informasi tentang alergi, obat, status tetanus, riwayat medis dan bedah masa lalu, merupakan hal yang paling terakhir,
dan
peristiwa
seputar
cedera.
Aspek yang
perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut: (Raymond, 2013) 1. Bagaimana mekanisme cedera? 2. Apakah
pasien
kehilangan
kesadaran
atau
mengalami
perubahan status mental? Jika demikian, untuk waktu berapa lama? 3. Apakah terdapat gangguan penglihatan? Kilatan cahaya, fotofobia, diplopia, pandangan kabur, nyeri, atau perubahan dengan gerakan mata? 4. Apakah pasien mengalami tinitus atau vertigo? 5. Apakah pasien memiliki kesulitan bernapas melalui hidung? 6. Apakah pasien memiliki manifestasi berdarah atau yang jelas cairan dari hidung atau telinga? 7. Apakah pasien memiliki kesulitan membuka atau menutup mulut? 8. Apakah ada rasa sakit atau kejang otot? 9. Apakah pasien dapat menggigit tanpa rasa sakit, dan pasien merasa seperti kedudukan gigi tidak normal? 10. Apakah ada daerah mati rasa atau kesemutan pada wajah? B. Pemeriksaan Fisik Inspeksi (Raymond, 2013): 1. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema.
25
2. Luka tembus. 3. Asimetris atau tidak. 4. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal. 5. Otorrhea / Rhinorrhea, Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign. 6. Cedera kelopak mata. 7. Ecchymosis, epistaksisi. 8. Defisit pendengaran. 9. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas Palpasi (Raymond, 2013): 1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ekimosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbuka untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil. 2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi. 3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah pinggiran
supraorbital
dan
infraorbital,
tulang
frontal,
lengkungan zigomatik, dan pada artikulasi zigoma dengan tulang frontal, temporal, dan rahang atas. 4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau enophthalmos, menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan okular, jarak interpupillary, dan ukuran pupil, bentuk,dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual. 5. Periksa hidung memeriksa ada atau tidaknya krepitasi. 6. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi pelebaran mukosa, fraktur, atau dislokasi, dan rinore cairan cerebrospinal. 7. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ekimosis, atau bengkak. Secara bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda krepitasi atau mobilitas.
26
8. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi tengah hidung. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III. 9. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingival dan perdarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi. 10. Meraba
seluruh
bahagian
mandibula
dan
sendi
temporomandibular untuk memeriksa nyeri, kelainan bentuk, atau ekimosis. 11. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran telinga eksternal, sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur. 12. Periksa parestesia atau anestesi saraf. Dokumentasi sebelum dan sesudah dilakukan penanganan sebagai perbandingan atau patokan tindakan rekonstruksi. Foto yang diambil dalam enam posisi, yaitu frontal, oblik kanan, lateral kanan, basal view, lateral kiri, dan oblik kiri (Hafiz, 2016). C. Pemeriksaan Penunjang Foto polos yang sering dilakukan pada kasus trauma maksilofasial diantaranya proyeksi Caldwell dan lateral, proyeksi occipitomental 10 dan 30 derajat, proyeksi mandibular anterior, dan panoramic tomography (Hafiz, 2016). Pemeriksaan tomografi komputer merupakan pemeriksaan pilihan pada kasus trauma maksilofasial dengan potongan koronal dan aksial serta melihat gambaran tiga dimensi tulang-tulang wajah dan kepala (Hafiz, 2016).
3.2.7 Penatalaksanaan Penilaian awal atau initial assessment pada trauma maksilofasial perlu dilakukan dengan teliti dan mengikuti standar panduan ATLS
27
(Advanced Trauma Life Support). ATLS membagi penilaian awal menjadi primary survey dan secondary survey. 1. Primary Survey Primary survey digunakan untuk mengidentifikasi luka secara langsung, apakah memerlukan penanganan segera atau tidak. Mnemonik pada primary survey berupa ABCDE (Deliverska and Stevanof, 2013): A. Airway dengan imobilisasi cervical spine Langkah pertama yang perlu diperhatikan adalah airway, dimana pada pasien kasus trauma maksilofasial dengan penurunan kesadaran, lidah lebih mudah menutup faring sehingga dapat menimbulkan regurgitasi isi lambung maupun aspirasi darah. Jika pasien tidak dapat mempertahankan jalan nafas, maka dapat menimbulkan kerusakan serebral yang irreversibel hanya dalam 4 menit. Segala trauma yang terjadi di atas clavicula, patut dicurigai adanya cedera pada tulang belakang. B. Breathing Dilakukan apabila telah terbuka pada airway tidak ditemukan adanya sumbatan pada jalan nafas. Selain itu dapat juga dilakukan penilaian terhadap respiratory rate pasien. C. Circulation Sebagian besar, pada kasus trauma, apabila circulation buruk, dapat menyebabkan syok. Untuk mengetahui sirkulasi, dapat dilakukan CRT (capillary refill time) pada ujung kuku untuk mengetahui perfusi jaringan. Normalnya <2 detik. Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat, membutuhkan volume darah yang cukup untuk beredar ke seluruh tubuh. Selain itu dapat juga dilakukan pemasangan kateter urin untuk melihat output urin. Restorasi output urin 0,5 ml/kgBB/jam menunjukkan bahwa perfusi ginjal normal.
28
D. Disability (status neurologis) Respon pupil yang tidak sama antara pupil kanan dan kiri merupakan indikasi adanya trauma lokal pada mata (mydriasis traumatis) atau hematoma hematologis. GCS (Glasgow Coma Score) merupakan metode klinis yang berguna untuk memantau status pasien setelah terjadinya cedera kepala. Dilakukan penilaian GCS karena trauma dengan keterlibatan kerusakan atau gangguan saraf kranial, kemungkinan dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, nausea, nyeri kepala post-traumatic, maupun pusing berputar. Score GCS 15 menunjukkan bahwa pasien dalam keadaan sadar, kooperatif dan paham, namun apabila skor menunjukkan
kurang
dari
delapan,
maka
biasanya
pasien
mengalami trauma kranial yang serius. Skor GCS juga dapat membantu menilai tingkat kesadaran pasien. Tingkat kesadaran yang menurun, terutama pada tanda-tanda cedera kepala luar, dapat menggambarkan bahwa oksigenasi atau perfusi serebral tidak tepat, sehingga dapat mempercepat penilaian ulang pada A, B, dan C. E. Exposure/Environment Pencegahan tambahan dalam primary survey dapat berupa suhu badan. Pencegahan tambahan meliputi suhu, cairan iv dan pemeliharan lingkungan yang hangat. Sangat penting bahwa kemajuan melalui rangkaian penilaian dan resusitasi tidak terjadi hingga parah apabila dilakukan tindakan dengan tepat. 2. Secondary Survey Secodary survey dilakukan apabila primary survey telah stabil. Berikan
cairan
kristaloid
isotonik.
Antibiotik
diberikan
apabila
ditemukan fraktur terbuka. Tranfusi darah dan pemberian anti tetanus hanya diberikan pada yang dengan indikasi. Gunakan obat analgesik peroral untuk luka ringan dan parenteral pada penderita yang tidak dapat minum obat oral. Untuk pengendalian antiinflamasi, berikan ibuprofen
atau
naproxen
atau
29
ketorolac,
sedangkan
untuk
pengendalian nyeri sentral gunakan kodein, oksikodon, hidrokon, meperidin, dan morfin. Selanjutnya lakukan pembedahan sesuai lokasi dan pola fraktur (Shetawi, 2016). Terapi Pembedahan Sebelum dilakukan debridement, diberikan antibiotik profilaks yang dilakukan di ruangan
emergensi.
Yang terbaik adalah
golongan
sefalosforin. Biasanya dipakai sefalosforin golongan pertama. Pada fraktur terbuka, diberikan tambahan berupa golongan aminoglikosida, seperti tobramicin atau gentamicin. Golongan sefalosforin golongan ketiga dipertimbangkan
di sini.
Sedangkan
pada
fraktur
yang
dicurigai
terkontaminasi kuman clostridia, diberikan penicillin (Saleh, 2016). Peralatan proteksi diri yang dibutuhkan saat operasi adalah goggle, boot, dan sarung tangan tambahan. Sebelum dilakukan operasi, dilakukan pencucian dengan povine iodine, lalu drapping area operasi. Debridement dilakukan pertama kali pada daerah kulit. Kemudian rawat perdarahan di vena dengan melakuan koagulasi. Buka fascia untuk menilai otot dan tendon. Viabilitas otot dinilai dengan 4C, “Color, Contractility, Circulation and Consistency”. Lakukan pengangkatan kontaminasi canal medullary dengan saw atau rongeur. Curettage canal medulary dihindarkan dengan alasan mencegah infeksi ke arah proksimal. Irigasi dilakukan dengan normal saline. Penggunaan normal salin adalah 6-10 liter untuk fraktur terbuka. Tulang dipertahankan dengan reposisi. Penutupan luka dilakukan jika memungkinkan. Pada fraktur terbuka yang tidak bisa dilakukan penutupan luka, dilakukan rawat luka terbuka, hingga luka dapat ditutup sempurna. Perawatan fraktur dapat dibedakan menjadi perawatan fraktur secara tertutup (closed) atau terbuka (open). Perawatan fraktur dengan menggunakan intermaxillary fixation (IMF) disebut juga reduksi tertutup karena tidak adanya pembukaan dan manipulasi terhadap area fraktur secara langsung. Teknik IMF yang biasanya paling banyak digunakan ialah penggunaan arch bar (Saleh, 2016).
30
1. Closed Reduction Pada prinsipnya, terapi fraktur konservatif dapat menggunakan metode: (Saleh, 2016). -
Yang dicekatkan ke gigi pasien sebagai pegangan (ligatur dental, splint dental, arch bar) a. Ligatur Dental Ligatur dental sering digunakan sebagai “terapi awal atau dini”. Kelemahannya adalah kurangnya stabilitas dalam jangka waktu yang lama dan sering merusak struktur periodonsium gigi. Karena itu, penggunaan ligature dental hanya bersifat sementara. Pemasangan ligature dapat dilakukan dengan menggunakan kawat berdiameter 0,35 atau 0,4 mm. Tipe ligature dental yang sering digunakan adalah Ivy, Stout, Essig. b. Arch Bar Ada 2 tipe Arch bar yaitu direk dan indirek. i.
Tipe Direk Arch bar langsung dipasang menggunakan bantuan kawat 0,35 atau 0,4 mm. Keuntungan arch bar jenis ini adalah dapat
langsung digunakan tanpa memerlukan proses
pembuatan di laboratorium, umumnya arch bar dipasang pada gigi-gigi di rahang atas dan bawah, setelah proses ligasi selesai barulah dilakukan MMF. MMF dilakukan dengan menggunakan karet (rubber) maupun menggunakan kawat 0,4 mm. ii.
Tipe Indirek Pada pasien sebelumnya dilakukan pencetakan dari rahang atas dan bawah dengan menggunakan alginate, kemudian dilakukan pembuatan arch bar sesuai dengan bentuk rahang pasien. Keuntungannya adalah bentuk arch bar sesuai dengan bentuk rahang dan gigi pasien. Selain itu, pada model dan articulator dapat dapat dilakukan penyesuaian
31
oklusi. Kerugiannya adalah diperlukan tambahan waktu dan biaya untuk pembuatannya. -
Splin protesa, digunakan pada rahang yang tidak bergigi, dapat dicekatkan dengan sekrup osteosintesis ke tulang atau dengan circumferential wiring.
-
Yang bertumpu ke struktur tulang ekstra oral (head chin splint dan gips pada fraktur hidung)
2. Open Reduction Perawatan
fraktur
dengan
reduksi
terbuka
ialah
perawatan
pembukaan dan reduksi terhadap area fraktur secara langsung dengan tindakan pembedahan. Terapi fraktur dengan metode open reduction diindikasikan pada: (Saleh, 2016). ·
Fraktur multiple dan comminuted
·
Fraktur terbuka
·
Fraktur pada rahang yang atrofi
·
Fraktur yang terinfeksi
·
Fraktur pada pasien yang tidak dapat dilakukan terapi konservatif seperti pada pasien epilepsi, ketergantungan alkohol, keterbelakangan mental. Terapi fraktur sebaiknya dilakukan secepat mungkin, penundaan
perawatan akan berakibat pada kalsifikasi tulang pada posisi yang salah dan juga meningkatkan risiko infeksi. Meskipun secara umum fraktur oran dan maksilofasial sebaiknya dirawat secara terbuka, namun tidak semuanya membutuhkan. Pada fraktur tanpa displacement umumnya tidak perlu intervensi bedah. Material yang digunakan untuk fiksasi pada terapi fraktur dengan open reduction antara lain kawat, plat dan sekrup, miniplat, mikroplat (Saleh, 2016).
3.2.8 Komplikasi Trauma maksilofasial dapat berpengaruh besar terhadap fungsional wajah, penampilan, maupun psikis pasien. Selain itu komplikasi yang dapat ditimbulkan dari trauma maksilofasial adalah aspirasi akibat
32
penekanan pada jalan nafas, jaringan parut akibat jahitan luka, perdarahan, kerusakan wajah permanen sekunder akibat perawatan yang tidak benar, infeksi, maloklusi, nonunion atau malunion, sinusitis kronis, dan kerusakan saraf yang dapat menghilangkan sensasi bau, rasa, gerakan wajah, serta penglihatan (Reksoprawiro dkk, 2015).
3.2.9 Prognosis Kesembuhan atau perbaikan kembali dalam kondisi normal pada trauma maksilofasial bergantung dari derajat kerusakannya. Fraktur fasial dengan risiko rendah, jarang sekali menimbulkan kematian apabila dilakukan tindakan atau perawatan yang tepat. Open reduksi dan fiksasi internal yang dilakukan dengan baik pada fraktur fasial memiliki prognosis yang baik sehingga menghasilkan penampilan wajah serta pemulihan oklusi dan fungsi yang baik. Trauma maksilofasial dengan disertai kerusakan pada jaringan lunak atau evulsi dan yang disertai fraktur communited, jauh lebih sulit untuk diobati dan terdapat kemungkinan hasil yang buruk meskipun telah dilakukan tindakan yang tepat. Trauma maksilofasial dengan risiko tinggi seperti perdarahan, dan sumbatan pada jalan nafas memiliki prognosis yang buruk karena dapat menimbulkan kematian (Shetawi, 2016).
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Al Shetawi, Al Haitam. 2016. Initial Evaluation and Management of Maxillofacial Injuries. 2. Arslan.E.D, et el. 2014. Assessment of Maxillofacial Trauma in Emergency Department. World Journal of Emergency Surgery. 3. Deliverska.E.G
and
Stefanov.L.P.
2013.
Maxillofacial
Trauma
Management in Polytraumatized Patients – The Use of Advanced Trauma Life Support (ATLS) Principles. Journal of IMAB. Vol.19. ISSN: 1312-773X. 4. Gareb B, Bakelen NBV, Buijs GJ, et al. 2017. Comparison of the LongTerm Clinical Performance of a Biodegradable and a Titanium Fixation System in Maxillofacial Surgery: a Multicenter Randomized Controlled Trial. PLOS One. 5. Hafiz, Al. 2016. Update Diagnosis dan Tatalaksana Trauma Maksilofasial. p:110-122 6. Lynham, Anthony. 2012. Maxillofacial Trauma. Australian Family Physician Vol.41, No.4. 7. Mehta N, Butala P, and Bernstein M.P. 2012. The Imaging of Maxillofacial Trauma and Its Pertinence to Surgical Intervention. Radiol Clin N Am 50. 8. Netter H. Frank. 2014. Atlas of Human Anatomy. Philadelphia. Elsevier’s Health Science. 9. Obimakinde OS, et al. 2017. Maxillofacial Fractures in a Budding Teaching Hospital: a Study of Pattern of Presentation and Care. Pan African Medical Journal. 10. Parwar BJ. 2013. Facial Bone Anatomy. Southern California Permanente Medical Group. 11. Raymond J. Fonseca. 2013. Oral and maxillofacialtrauma. 4th edition. St. Louis, Missouri.Saunders part II. chap 4.
34
12. Rekosprawiro S, Wijayahadi Y, Bisono, dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Bedah De Jong BAB Kepala dan Leher. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 13. Saleh, Edwyn. 2016. Fraktur maksila dan Tulang Wajah sebagai akibat Trauma Kepala. 14. Singaram M, G Vijayabala S, and Udhayakumar RK. 2016. Prevalence, Pattern, Etiology, and Management of Maxillofacial Trauma in a Developing Country: a Retrospective Study. Journal Korean Association Oral Maxiolac Surgery. 42:174-181.
35