Kerusakan lingkungan merupakan isu yang sudah populer di kalangan Internasional, tak terkecuali di Indonesia. Pembangunan infrastruktur yang membuat lahan hijau semakin sempit serta polusi air, tanah, dan udara yang semakin meresahkan masyarakat. Salah satu contohnya adalah kasus pembakaran hutan di Riau dan Kalimantan yang mengakibatkan polusi udara yang merebak hingga ke negara tetangga. Kerusakan lingkungan tempat kita tinggal, diperkirakan merupakan salah satu dampak negatif dari munculnya perusahaan yang cenderung mencari keuntungan sebesarbesarnya tanpa memperhatikan dampak terhadap lingkungan. Pada umumnya, perusahaan hanya memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan laba yang maksimal dan mengefisiensikan kegiatan operasional. Pada akhirnya, hal tersebut berdampak pada kurangnya perhatian terhadap pengelolaan lingkungan. Namun, seiring dengan munculnya berbagai peraturan perundang- undangan serta aktivitas yang dilakukan oleh sekelompok orang yang peduli dengan lingkungan, membuat beberapa perusahaan mulai peduli dengan pengelolaan lingkungan. Mereka sadar bahwasannya lingkungan sekitar juga berperan penting untuk kelangsungan perusahaan mereka sendiri. Pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan tentunya membutuhkan biaya dalam pelaksanaannya. Biaya tersebut dikenal dengan istilah biaya lingkungan. Biaya lingkungan adalah dampak yang timbul dari sisi keuangan maupun non-keuangan yang harus dipikul sebagai akibat dari kegiatan yang mempengaruhi kualitas lingkungan (Ikhsan 2008:13). Berdasarkan International Guidance Document-Environmental Management Accounting yang disusun oleh International Federation of Accountants (2005:38), biaya lingkungan tersebut terdiri dari biaya material dari output produk (materials costs of product outputs), biaya material dari output non-produk (materials costs of non-product outputs), biaya kontrol limbah dan emisi (waste and emission control costs), biaya
pencegahan dan pengelolaan lingkungan (prevention and other environmental management costs), biaya penelitian dan pengembangan (research and development costs), biaya tak berwujud (less tangible costs). Perusahaan sering kali mengabaikan biaya lingkungan dikarenakan mereka menganggap bahwa biaya-biaya yang terjadi hanya merupakan pendukung kegiatan operasional perusahaan dan bukan berkaitan langsung dengan proses produksi. Tetapi, apabila perusahaan benar-benar memperhatikan lingkungan di sekitarnya, maka perusahaan pasti akan berusaha mencegah dan mengurangi dampak yang terjadi supaya tidak membahayakan lingkungan di sekitarnya. Misalnya saja dengan pengolahan limbah. Perusahaan harus memikirkan biaya untuk mengolah limbah daripada hanya membuang limbah, karena akan lebih bermanfaat bagi perusahaan apabila mengelola limbah daripada harus membuang dan membahayakan lingkungannya (Estianto dan Purwanugraha: 2014). Pemanfaatan air yang berlebihan tanpa adanya pengelolaan sumber mata air dengan tepat dapat mempengaruhi kondisi lingkungan. Air merupakan kebutuhan hidup yang mendasar bagi manusia sehingga kondisi mata air secara kuantitas maupun kualitas perlu dilindungi. Oleh karena itu, manusia memegang peran penting dalam hal ini. Obyek Wisata Air Bojongsari atau lebih dikenal dengan nama OWABONG merupakan obyek wisata kolam renang dan waterboom. Salah satu wahana di OWABONG yaitu, Kolam Ombak merupakan salah satu wahana terbesar se-Jawa Tengah. Kegiatan operasional yang dilakukan oleh OWABONG membutuhkan pasokan air yang besar sehingga memerlukan pengelolaan dan pemeliharaan sumber mata airnya. Sebagai objek wisata air yang cukup besar, sudah seharusnya OWABONG memperhatikan kondisi lingkungan dan masyarakat sekitar sebagai akibat yang timbul dari kegiatan operasionalnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk melakukan pelaporan atas aktivitas lingkungannya untuk mendapatkan kepercayaan dalam mengembangkan
perusahaan di masa yang akan datang. Berdasar beberapa hal tersebut, maka peneliti akan mencoba mengangkat masalah perlakuan dalam alokasi biaya-biaya lingkungan di OWABONG. Penelitian ini berjudul “Analisis Penerapan Akuntansi Lingkungan (Studi Kasus pada OWABONG Kabupaten Purbalingga)”.