-1Decit sepatu bergema, menyisakan bekas lumpur diatas lantai putih yang mengkilap dan basah karena badai tadi malam. Langit masih kelabu, persiapan badai ronde dua kurasa. Dingin dan lembab, memakai sweater adalah keputusan yang tepat meskipun gue tipe orang yang gak suka pakai lengan panjang karena rempong, tapi di sisi lain gue juga nggak mau bulu ketek gue tegang kayak paku karena cuaca dingin. "WOOOOOAAAAAAA...!!!" Yap, baru jam enam. Mereka beraktivitas terlalu cepat. Teriakan tadi, dari level cemprengnya gue sudah tau pasti siapa pelakunya. Tak lama, dari belokan depan sana muncullah dua sosok yang main kereta-keretaan dengan pantat sebagai rodanya. Maksudku lihat mereka berdua, bermodalkan celana dalam, yang satu bertugas menarik kedua kaki sampai nungging dan membuat pantat yang ditarik terseret dan menciptakan ombak-ombak diatas lantai yang basah nan dingin. Aku penasaran kemana rasa malu mereka saat ini. Tapi sudahlah, ngelarang mereka juga enggak hasilin faedah apapun. "Woi... pintu kebuka nggak?" teriakku. Spontan mereka berdua berhenti begitu mendengar suaraku, dengan kompak mereka berdua mengangguk bersama. Gue mengangkat jempol tanda mengerti, mereka pun kembali melakukan 'aktivitas'-nya.
Diatas tanah yang tak luas-luas amat ini, tepat di belakang sekolah gue. Berdiri sebuah mes, terdiri dari delapan kamar terbagi menjadi dua koridor. Kalau dilihat dari atas, bangunan tersebut berbentuk huruf L dengan taman yang hanya ditumbuhi sebuah pohon Belimbing dan rumput liar. KOS SULTAN, begitulah kami menamainya. Padahal ini mes. Meski nampak kumuh, tapi fasilitas didalam terbilang menggoda. Spring bed bertingkat berukuran besar, AC yang masih berfungsi, Televisi, air dan listrik yang lancar jaya, dan yang terpenting dari semuanya tempat itu punya WI-FI kencang yang bebas digunakan kapan saja. Bagi kami anak Tkj, itu sudah bagai di surga. Sebenarnya bukan aspek fasilitas yang membuat kami memberi nama tempat itu KOS SULTAN, melainkan "ongkos perbulannya" "Satu juta lima ratus ribu perak per bulan!" Duit itu harus di setor ke bendahara sekolah, karena kami hanya menyewa tempat yang harusnya untuk pegawai perusahaan Telkom ini. Hanya orang gila yang mau merogoh kocek juta-jutaan hanya untuk tinggal di tempat yang nggak mewah-mewah amat semacam itu. Kecuali dia, yah... gue maklum sih dia anak orang kaya. Itu anak nggak pernah kerepotan soal ongkos disini, Gue berdiri di depan pintu kayu dengan cat putih buramnya yang khas, stiker bertuliskan "Hanya manusia pilihan yang dapat masuk" masih terpampang di daun pintu. Seperti yang dikatakan dua sejoli tadi, pintu tidak terkunci.
Ruangan berukuran 5x5 meter, kini dipenuhi 'mayat' dengan berbagai posisinya masing-masing. Oke, gue akan memperkenalkan mereka pada kalian semua. Yang tidur sambil nyium keyboard laptop namanya Mantri alias Jack. Yang diatas spring bed bagai raja disana namanya Miko, si penghuni sejati kos ini. Trus yang tidur diatas karpet kayak paus terdampar namanya Leo. Dua mahluk gila diluar sana namanya Yanto dan Wendi. Dan gue, sebut saja Ardi. Setiap orang di dalam kos ini punya jabatan, dan jabatan yang gue punya disini adalah... "Woi ndul, bangun... udah jam berapa ini... kalau si Ferdi yang masuk kamar mandi duluan, lu semua bakalan telat ke sekolah" Yap, gue disini sebagai alarm hidup. Setiap
orang
memiliki
cara
masing-masing
untuk
bisa
dibangunkan dengan efektif. Leo cukup di colek dikit udah bangun dia, kalau Miko cukup diseret sampai jatuh dari atas kasur, dan untuk Mantri cukup di bisikin "woi, ada cewek nyariin lu". Kalau untuk dua mahluk yang diluar sana... sudahlah, itu terlalu berbahaya untuk diceritakan. Singkat cerita, mereka sudah berhasil gue bangunkan dengan caranya masing-masing. Mereka mandi, sarapan nasi dan kecap, dan tak cukup 1 jam mereka sudah siap. Kecuali si Leo yang mandinya sambil nonton
youtube,
dia
selalu
ditugaskan
mengamankan kunci kos hingga sore hari.
untuk
mengunci
dan
"Berangkat?" "Kuy lah, gue mau lanjut tidur di kelas" "Buru gih, sekretaris cakep udah nunggu di ruang OSIS" "Nunggu pengen nampol lu!" "Kampret!"
-2Selain tampang, ada bermacam-macam unsur yang menentukan seberapa 'populer' kah anda di dalam masa remaja anda. Pertama, isi otak. Semakin encer anda , semakin sering nama anda terpampang di puncak klasemen dalam hasil ujian, otomatis cewekcewek bakal nempel-nempel buat numpang belajar. Unsur kedua, adalah duit. Cewek mana sih yang nggak mau ngedate naik Alphard ke restoran mahal terus dibukain pintu oleh supir pribadi si cowok layaknya tuan putri? cewek paling nerd di dunia pun setidaknya pernah sekali memiliki fantasi semacam itu. Unsur yang ketiga, jago olahraga. Jujur aja gue nggak begitu paham kenapa cewek suka sama cowok yang jago di bidang olahraga. Kalau ganteng sih gue oke-oke aja karena emang udah kodrat nya, tapi menurut survey kecil-kecilan yang gue lakukan, cewek-cewek itu suka sama cowok yang berprestasi dan mengharumkan nusa dan bangsa.
'biar jelek yang penting berprestasi' Sesuai kaidah, sebuah teori harus dibuktikan dengan adanya 'praktek' di kehidupan nyata. Unsur pertama sudah terbukti, meskipun bukan gue yang langsung ngalamin karena nilai gue yang pas-pasan, tapi gue udah menyaksikan bagaimana si Ferdi yang menduduki puncak klasemen di angkatan gue (untuk sementara) begitu dicari-cari saat ada ujian yang mendekat. Sinetron-sinetron, akun instagram artis, pejabat-pejabat, bahkan sampai anak SMA yang cuma berstatus sebagai 'anak orang kaya', dari semua jenis manusia diatas tak ada satupun dari mereka yang punya pacar terus ratingnya masuk ke kategori cewek menengah kebawah. Pasti cakep, itu aja intinya. Untuk membuktikan unsur yang ketiga, gue nggak perlu jauhjauh. Gue hanya perlu nyeret diri gue ke kantin, ngelirik meja nomor lima dari paling ujung kanan. Dan disanalah jawaban yang gue butuhkan berada. Ketua eskul sepak bola dan ketua cheeleaders, saling suap-suapan kayak pengantin baru. Jujur aja, demi kerang ajaib yang bisa mengabulkan apapun di bikini bottom. Gue enggak ada niatan sama sekali untuk jadi populer, dan mungkin 'tenar' adalah kata yang nggak cocok buat gue. Enggak, gue bukan assassin yang bisa ngilang pake asap, gue juga bukan jenis manusia yang hawa keberadaannya tipis kayak kuntilanak. Bayangan gue masih utuh, dan gue nggak ingat pernah berkunjung ke desa konoha. Gue normal, dulu.
Sebelum fobia sialan ini nyangkut di otak gue. Caligynephobia,
yaitu
salah
satu
kelainan
psikis
dimana
seseorang merasa terganggu atau takut dengan kehadiran atau melakukan kontak fisik dengan lawan jenis yang menarik. Singkatnya gue fobia cewek cakep. kampret kan? Gue mulai menyadari kelainan ini saat masa orientasi dulu, entah kena angin apa tapi saat itu tiba-tiba seorang cewek meminta ID-Line gue yang pada saat itu dalam keadaan botak dan lagi jelek-jeleknya. Siapa yang enggak curiga coba? Gue
pun
mencoba
melempar
beberapa
pertanyaan
untuk
memastikan apa cewek ini nggak salah pake lensa sampai meminta akun sosmed manusia macam gue sebelum gue Euforia dan menganggap diri gue ganteng.
Pertanyaan demi pertanyaan terlempar, tapi cewek itu sama sekali tidak memberitahukan alasan kenapa ia minta akun sosmed gue. Bahkan ia bersikeras sampai-sampai megang tangan gue yang masih berlumuran sisa kecap sehabis makan bakso di kantin. Saat itu, harusnya gue bahagia. Soalnya dia cewek pertama selain dari keluarga yang melakukan kontak fisik dengan gue dengan sukarela. Tapi disitulah bermula salah satu momen yang nggak bakal gue lupain seumur hidup. Ketika tangannya menyentuh kulit gue, seluruh saraf-saraf dalam tubuh gue seolah dialiri listrik. Semua bulu, mulai dari bulu kuduk, bulu ketek, bulu kaki, semuanya mendadak tegak kayak paku beton lalu gue mendadak kejang-kejang hebat.
Ditengah proses mengerikan itu, didalam hiruk-pikuk aula. Gue teriak seperti banci. Hal yang gue syukurin saat itu adalah, tak ada satupun orang yang mengenali gue meskipun semua pandangan mata tertuju ke gue saat itu. Entah karena kaget atau apa, cewek itu mendadak ngelepasin genggamannya dari gue. Bersamaan dengan itu pula kejang-kejang gue berhenti, gue pun manfaatin kesempatan ini dan langsung berlari meloncati satu persatu orang tengah berbaris duduk. Bagi yang sempat gue tendang kepalanya, gue minta maaf. Kejadian itu singkat, tapi gue sangat yakin orang-orang pasti bakal membicarakan ini dalam waktu yang lama apalagi dengan hadirnya pak kepala sekolah dan pejabat-pejabat utama. Dan mereka pun bakal mencari-cari identitas calon siswa yang belum apa-apa sudah bikin onar. Satu-satunya yang tahu identitas gue pasti cewek itu, enggak mungkin dia enggak liat papan nama kardus yang tergantung di leher gue saat itu.
Gue grogi buat natap mata semua cewek, mata gue langsung refleks berpaling begitu melakukan kontak dengan mata cewek. Meski gue masih bisa berkomunikasi dengan mereka dengan normal, tapi dengan kelakuan gue ini cewek-cewek ilfill karena bagi mereka gue itu kayak lagi ngomong sama setan kalau diajak bicara. Jadi gue nggak bakal mungkin jadi populer, bahkan gue ragu apa gue masih bisa pacaran dengan betina dari spesies gue sendiri. Gue nggak yakin.
Meski situasi gue itu memprihatinkan, tapi gue masih bisa bergaul dengan baik dengan sesama batang. Buktinya belakangan ini gue sering main bareng 4 mahluk ini, yah... untuk sekarang cuman mereka. ... Oke gue ngaku, gue nggak punya teman lain selain mereka. Selain fobia kampret itu, gue juga payah dalam urusan 'pergaulan' sesama manusia. Oke disini gue bakal ceritain ke-4 mahluk yang gue maksudkan tadi. Mahluk yang ngasih 'warna' dalam kehidupan gue yang abu-abu ini.
-3-
Kita mulai cowok yang disana, satu-satunya yang memakai almamater ditengah-tengah kerumunan pakaian putih biru yang tengah mengantre membeli pop-ice. Sekilas dia terlihat seperti bukan murid dari SMK Telkom Makassar karena seragamnya yang berbeda. Tidak, kalau lo liat dia lebih dekat, di dada kirinya itu ada lambang buku dan padi yang menjadi ikon sekolah gue. Dengan kata lain, cuman dia satu-satunya mahluk hidup yang memakai setelan semacam itu di sekolah. Karena dia ketua OSIS, dan itu adalah 'pakaian kebesarannya'. Leo Noventa Prasetyo, gue bakal nganggap siapapun yang enggak kenal nama nih anak jadi manusia paling apatis di dunia. Nama dibalik suksesnya pementasan drama Maipa Deapati dan Datu Museng, yang sukses
sampai
bikin
kepsek
gue
nangis
seember
terus
semua
pemerannya diundang masuk ke acara Hitam Putih yang ngetrend. Kenapa gue bisa bilang gitu? karena gue nyaksiin langsung bagaimana nih anak ngurusin semuanya, mulai dari pemeran-pemeran, peralatan, sampai ke biaya-biaya, bahkan sampai nih anak ngetokngetok pintu kos jam 3 pagi buat numpang tidur doang karena udah nggak bisa pulang kerumahnya. Lalu apa hubungan ketua OSIS Primadona itu dengan gue? Karena, di balik sosoknya yang berkharisma dan gentlemen. Dia ngutang dua juta rupiah ama gue. Oh dia dateng, mending kabur sebelum"Mau lari kemana hah?" "Mau nyari dragonball di belakang sekolah"
Belum sempat gue menyeret kursi, dia udah menghadang gue dengan badannya. Gue berbalik, dia langsung ada di depan gue lagi. Gue balik lagi, dia ada lagi. Dia emang kayak punya kagebunshiin kalau lagi butuh sesuatu, dan yang dia butuhin saat ini pasti hanya itu. "Bro, ngutang lagi boleh?" Yep, dan dia pun mengeluarkan kalimat pusaka miliknya. Apa dia saat ini tidak sadar kalau dia sudah menjadi ikon di sekolah dengan jabatannya itu, kalau dia mau dia bisa minjem duit ke si Mayang bendahara OSIS. Kenapa cuman ngutang ke gue? sampai jutaan rupiah pula. Mentang-mentang gue sulit nolak kalau udah di minta tolongin kayak gini. Gue pun ngeluarin dompet, "Lu mau makan apa? nanti gue masukin ke catatan utang lo tahun ini." "Emang lu dah yang paling baek di dunia," Kok gue pengen nampol ya? "Yang biasa aja, batagor di kantin nomor tiga satu piring" "Yaudalah," gue pun menyerahkan selembar dua puluh ribu dengan berat hati, seketika gue ngeluarin buku kecil dari saku belakang dan menulis jumlah duit yang dia pinjam hari ini ke gue. Dikit lagi udah genap tiga juta, gila bener nih orang. Setelah uang hijau tadi mendarat di tangannya, ia pun kabur sambil loncat-loncat kayak Dora yang lagi berpetualang. Gue sebenarnya segan sama Leo, kalau gue jadi cewek gue pasti ngaggap dia itu keren. Tapi utangnya... entah kapan dia bisa melunasinya.
Bel sekolah yang mirip bunyi alarm stasiun kereta berdentang ke segala penjuru, pukul 16:45 WITA. Begitu keluar dari pembatas dua dunia yang gue sebut 'gerbang sekolah', gue berbelok ke kiri menuju lahan parkiran sekolahan. Nggak, gue nggak niat buat terjun ke rawa di seberang lahan parkiran atau semacamnya. Pintu kaca di sebelah kiri, dekat parkiran VIP alias parkiran khusus kepsek yang terlindungi atap seng yang kokoh. Tertulis disana, Mes Telkom. Seperti yang kita tahu, Mes itu tempat tinggal sementara untuk pegawai perusahaan tertentu yang bertugas di luar daerah. Seharusnya seperti itu, tapi teori diatas tidak bekerja pada kamar 205. Melewati pintu kaca tadi, gue sampai ke koridor yang langsung menuju ke sebuah halaman kecil dengan pohon mangga berdiri kokoh di tengah-tengahnya.
Bangunan
berbentuk
'L'
mengelilingi
pohon
tersebut. Kini gue berdiri di depan pintu 205, disana tertulis... Ragu-ragu mundur. Oke untuk hari ini, gue nggak paham apa maksud kertas di depan pintu kali ini, beberapa kali dalam seminggu quotes berganti tapi untuk yang satu ini... entahlah. Gue membuka daun pintu. "Hueeekkk...!!! Tolooong... usus gue mau keluar!!!"
Pemandangan pertama yang gue saksikan adalah setumpuk manusia yang saling tindih satu sama lain, oke kita urutkan. Miko,
Wendi,
Yanto,
dan
yang
tulang
belakangnya
harus
menampung tiga manusia diatas tidak lain adalah Leo. Cepat-cepat gue masuk dan menutup pintu rapat-rapat, entah apa yang dikatakan orang kalau melihat ketua OSIS mereka sudah setengah penyek seperti ini. "Jadi,
apa
yang
terjadi
disini?"
tanya
gue
begitu
selesai
meletakkan ransel dan menyalakan laptop. Mantri yang tetap duduk di singgasana miliknya di sudut ruangan menyahut, "Leo mau ketemuan ama cewek." "Gue lagi mau ngurusin urusan OSIS!!! ini darurat! di, gue nggak mau mati jadi rempeyek!" "Diam kau!" bentak Miko, "lo udah langgar pasal 2 Undangundang kos Sultan tahun 2017, dan ini adalah hukuman paling 'tolerir' yang bisa gue berikan” Suara notifikasi LINE menghentikan kegaduhan kami, tak jauh dari mereka nampak cahaya dari layar sebuah Anroid. "Itu buktinya..." kata Mantri dengan nada datar. Gue mendekat, terlihatlah pesan berikut. Cepetan! -Maya "Itu sudah cukup jadi bukti kalau lo sudah mengkhianati kesepakatan yang kita buat bareng!" Mantri berkata lagi, memanasi empat orang lainnya untuk menenggelamkan Leo semakin dalam ke tanah. Di Kos ini, ada undang-undang yang berlaku.
Pasal 1 berbunyi, kebersihan adalah harga mati. Pasal 2 berbunyi, tak ada satupun anggota yang boleh melakukan romansa dengan siapapun di sekolah ini. Pasal 3 berbunyi, makanan adalah milik 'semua'. Pasal 4 berbunyi, yang matiin Wi-Fi harus digebukin.
Jujur aja, gue nggak setuju dengan peraturan tersebut seandainya gue masih normal seperti mereka. Tapi saat itu, tak ada yang membantah kesepakatan tersebut. Saat itu kami masih kelas 1 SMK, kecuali si Mantri yang emang udah tua. Mereka memetik apa yang mereka tanam tahun lalu. Dari pesan singkat tadi memang sudah cukup jadi bukti, tapi gue baru teringat satu hal. Gak ada dari mereka yang tau kalau Maya ini sekretaris OSIS, dan sudah sewajarnya seorang sekretaris menghubungi ketuanya apabila ada keperluan... Ding... Nama baik sekolah kita ada di rapat ini!- Maya. Darurat.
Gue melirik ke tumpukan manusia itu, "Guys... gue saranin lo lepasin--" Leo udah nggak gerak. Sialan.
"Gue mau keluar bentar, sebaiknya lo semua siap-siap buat minta maaf ke Leo setelah dia sadar." Begitu mendengar kalimat tadi,
mereka berempat akhirnya
menyadari kalau Leo sudah terkapar dengan wajah membiru. Tapi untuk sekarang gue harus mikirin cara gimana buat nyelesaiin masalah ini... Maya itu, kalau udah terlanjur marah pasti ada yang jadi korban.
-4Hmmm..." Gue membuka mata dengan susah payah, seluruh badan gue kaku semua. Sebenarnya gue masih belum pengen bangun, cuman cahaya matahari yang sudah mulai silau memaksa merembes masuk lewat tirai kain di jendela. Gue maksain diri buat duduk, meskipun gravitasi terasa tiga kali lipat lebih berat dari biasanya. Menguap sejadi-jadinya kayak anjing laut nyari betina, terus gue muter badan ke kiri kanan sampai ada bunyi 'krek' di bagian punggung. Kalau itu udah bunyi, berarti gue udah sukses bangun sepenuhnya. Gue perhatiin sekitar, gelap. Hanya cahaya-cahaya laptop yg menjadi pemandu gue di kegelapan ini, gue berdiri dan mencoba untuk mencari sakelar lampu.
Ups... kayaknya gue nginjek muka orang, gapapalah sekali-kali. Sakelar gue tekan, dan terlihatlah semua kekacauan yang sudah gue duga sebelumnya. Bekas cemilan sana-sini, mayat-mayat ehm maksudku tementemen gue yang terkapar pulas di segala penjuru ruangan. Gue menunjuk-nunjuk mereka satu persatu, kayak pengembala yang mau ngitung kambing-kambingnya. Miko, Wendi, Yanto, Mantri. Leo? Ah, mungkin dia nggak join malam ini. Semalam gue nge-game entah sampai jam berapa, bahkan saat ini layar laptop gue masih nunjukin overview match League of legends semalam. Tau-tau gue udah dikelilingi kekacauan ini, entah azab apa yang datang kalau sampai bokapnya miko tiba-tiba nongol disini. Huuh... Gue meraih sweater abu-abu yang bersatu di dalam tumpukan bantal, lalu menarik gagang pintu. Oh, terkunci. Tumben, biasanya pintu ini nggak pernah terkunci. Bahkan di beberapa waktu gue bangun dan mendapati pintu mes terbuka lebar, kalau ada maling datang, lima laptop ini sudah tentu jadi sasaran utamanya, termasuk Acer Predatornya si mantri yang konon harganya 30 juta! Tapi untuk hari ini, sepertinya ada malaikat yang bisiki mereka untuk ngunci pintu. Gue pun membuka pintu, badan gue yang kedinginan karena AC, kini ditiup oleh angin subuh yang lebih dingin lagi. Walaupun udah make sweater yang tergolong tebal ini, hawa dingin diluar masih tak
tertandingki. Bermodalkan sendal jepit, dan secuil tekad hidup, gue menyeret kaki ini menuju ke sekolah. Gue udah dengar banyak mitologi-mitologi tentang sekolahan, kalau bisa dibilang setiap sekolah tempat gue belajar punya mitos masing-masing. Waktu SD dulu, sekolah gue dihuni sama setan kuda tak berkepala yang katanya berkeliaran di sekolah kalau malam. Terus waktu SMP gue disuguhkan dengan cerita lolongan misterius di koridor, katanya bunyi aneh ini terdengar hampir setiap malam. Dan di SMK gue ini, muncul lagi cerita hantu cewek rambut panjang yang kakinya nggak keliatan. Plus, hantu itu dikabarkan cakep. Oke terus terang yang terakhir itu yang paling horor buat gue, pasalnya gue fobia cewek cantik, dan cewek ini hantu. Wombo combo! Tapi sampai detik ini pun, gue nggak pernah nemu apapun. Bahkan tanda-tandanya saja nggak, jadi sampai hari gue masih aman-aman saja. Kalau sampai ketemu ya, minimal lari terbirit-birit lah. Karena lagi nggak ada kerjaan, dan gue juga nggak pengen kena begal jam segini kalau masib nekat pulang. Gue memutuskan untuk jalan-jalan
keliling
sekolah,
hari
ini
hari
minggu
dan
suatu
kemustahilan apabila gue melihat ada manusia berkeliaran di sekolahan subuh-subuh gini. Jadi biar gue nggak pake celana pun nggak masalah.
Lagipula, setiap minggu pagi gue pasti ngelakuin ini (kalau bangunnya cepet). Nggak, gue bukan tipe cowok keren dan misterius yang sering berkiaran di sekolahan pas nggak ada orang kayak di novelnovel yang gue baca. Apalagi langsung ada adegan nggak sengaja ketemu sama si heroine terus pertemuan mereka itu menjadi asal muasal kisah cinta yang penuh romansa. Lebay tau nggak?
Gue ngelakuin itu karena dua alasan. Pertama, gue pengen hirup oksigen pagi hari yang belum tercemar karena ‘kentut’ yang berasal dari knalpot. Kedua, gue capek dengan hari-hari normal yang penuh dengan kebisingan, jadi gue nongkrong gak jelas sendirian di sekolahan subuhsubuh cuman untuk mencari sesuatu bernama ‘ketenangan’. Mungkin kalau ada guru lewat terus tiba-tiba ngeliat ada yang berkeliaran subuhsubuh gini cuman bermodalkan sweater dan celana boxer, paling gue disangka maling. Lalu terjadilah adegan kejar-kejaran. Gue sampai di halaman sekolah, suara-suara bising yang disertai anak-anak yang mondar-mandir dengan aktivitas mereka masingmasing seolah tak pernah terjadi. Yang tersisa hanyalah gedung sekolah yang sunyi, dan pekikan jangkrik-jangkrik. Sebagian besar lampu sudah dipadamkan, namun lampu untuk di koridor dan beberapa ruangan lainnya tetap dibiarkan menyala. Gue memilih untuk duduk di undakan yang berada tepat di depan pintu masuk ke ruang guru, menghadap ke lapangan basket dan gedung B. Oh, gue lupa yang satu ini. Sekolah gue punya dua gedung utama, A dan B. Untuk gedung A diisi oleh kelas-kelas dan ruang prakter anak TKJ, jadi bisa dibilang gedung A ini dikuasai oleh anak-anak TKJ (termasuk gue didalamnya). Juga, ruang guru dan staff termasuk ruang kepsek dan BK juga ada disini. Jadi kalau ada yang macam-macam yah, ruang BK selalu siap menyambut anda. Lalu yang diseberang sana itu gedung B, markasnya anak telekomunikasi, dan rumahnya para cewek cakep dari jurusan Akomodasi Perhotelan. Bisa dilihat dari parabola raksasa yang ada di atap gedung, gue nggak tau gunanya apa tapi benda itu sudah menjadi ikon tersendiri gedung B, sementara gedung A dipenuhi kabel yang bisa membuat lehermu tersangkut kapan sana jika tidak berhati-hati.
Lalu
dibelakang
gedung
B,
adalah
gedung
ekskul,
lalu
disampingnya ada aula, gudang, dan ditutup oleh lahan parkiran sekolah gue yang nggak pernah sepi pengunjung. Percaya aja, kalau kepsek gue nggak melarang, gue yakin salah satu dari murid sekolah gue bakal nyamar jadi tukang parkir. Jumlah murid angkatan gue kurang lebih 900 orang, dan sebagian besar dari mereka naik motor (termasuk gue), dikalikan dua ribu perak, terus dikali tiga puluh hari. Itu duit dipakai beli cendol, bisa kenyang satu kabupaten. ...! Gue berbalik dan langsung mengarahkan bogem mentah, namun spontan tinju gue terhenti di depan wajah tak asing ini. “Whoo... slow pak haji, pagi-pagi gini udah pengen orang bonyok” Orang itu Leo, darimana saja dia? “Bukan bonyok, tinju gue tadi itu bisa nembus muka lo tau nggak?” gue menarik tangan gue dari hadapan muka ketua OSIS ini. Gue juga nggak niat untuk benjolin wajah babyface sialannya ini, yang udah bikin banyak cewek klepek-klepek kayak ikan lele keluar dari air. Meskipun kedengarannya menyenangkan. “Sadis banget cuk!” “Itu azab yang pantas buat orang yang bikin jantung gue mau copot, lo tau kan gue paling nggak suka dikagetin?” “Iya... gue tau” Leo mengambil posisi dan duduk disamping gue, “lo ngapain pagi-pagi buta keluyuran di sekolah?” “Gue harusnya yang nanya itu sama lo, ngapain ikut-ikutan ama gue berkeliaran di sekolah jam segini?” “AC ruang OSIS dinginnya parah, liat bulu kuduk gue udah kayak jarum tau nggak? Gue hampir aja hipotermia!” jawab Leo lalu
menunjukkan bulu halus di tangannya yang sama sekali nggak menarik untuk diperhatikan.
“Lebay lo, masa ada orang hipotermia karena suhu 16 derajat doang?” “Beda orang beda fisik kali” sahutnya kesal, “Kalau lo mah biar ditenggelamin di kutub utara gak bakalan mati” “Emang lo kira gue ini anjing laut?” gue ikut-ikutan naik tensi. “Mirip” “Berantem yuk!” Gue berusaha untuk menahan bogem yang sejak tadi panas ingin mendarat di mukanya yang nyebelin itu, belum lagi utangnya yang sampai sekarang nggak ada tanda-tanda pengen dilunasin.
Gue
berusaha untuk mengendalikan diri dan mengalihkan perhatian gue ke lapangam basket, si Leo juga ngelakuin hal yang sama. Mungkin dia sudab kehabisan topik, semoga saja, karena gue juga udah enek ngobrol sama nih anak satu. Kami pun memandangi lapangan basket sekolah gue yang nggak gede-gede amat ini, entah apa yang Leo fikirkan, tapi saat ini gue ngebayangin lapangan ini dipenuhi sama cowok-cowok dari eskul basket., terus cewek-cewek oada teriak histeris di pinggir lapangan liatin mereka padahal mereka cuman saling ngoper bola doang nggak lebih. Terus tiba-tiba langit gelap dan muncul meteor raksasa menghantam lapangan dan menghancurkan mereka semua, gue berhasil selamat karena memiliki armor pert— “Di,” suara Leo tadi menyadarkan gue dari imajinasi keren yang udah capek-capek gue bangun sejak tadi, sebaiknya kali ini ada hal yang
bagus sebelum gue bener-bener nonjok karena udah dibikin kesel dua kali. “Napa lo? Mau lunasin utang?” sahut gue. “Enggak, cuman...” erang Leo ragu-ragu. “Cuman?” “Lo pernah suka sama cewek nggak?” Hah?! Boro-boro mau suka ama cewek, ketemu cewek aja gue udah kepengen lari terbirit-birit! “Kok lo diem?” Enggak, nggak ada satupun mahluk hidup yang boleh tau soal penyakit mental gue ini. Terutama anak-anak dari kos Sultan, gue cukup yakin mereka pasti bakal ngelakuin hal-hal yang bikin gue putus asa hidup di dunia ini, paling tidak ngetawain gue sampai batuk kayak nenek-nenek TBC. Fobia gue ini sangat, sangat, dan sangat memalukan. Bahkan gue beranggapan kalau gue udah gagal jadi cowok. Kalau lo nggak bisa deketin betina dari spesies lo sendiri, terus guna pedang yang dibawah sono tuh apaan? Nempelin di tembok terus mendadak jadi anak gitu? “Nggak, gue nggak pernah” “Ah bohong lu! Masa nggak pernah?” responnya tak percaya. “Ya emang kenyataannya gitu” Gue mengernyitkan , “emang lo pernah liat gue deket sama cewek?” tanya gue balik. “Enggak sih, cuman lo tuh keliatannya kayak udah berpengalaman soal urusan cewek tau nggak?”
“Entah darimana asal kesimpulan gila lo itu,” ketusku, “kalau soal pengalaman lo tanya si Mantri lah, dia kan udah kuliah, pasti pengalamannya udah banyak” “Ya beda kuliahan beda di SMK, di” “Tapi kan sama-sama cewek gundul!” Buset ini anak pantang menyerah banget! “Emang lo lagi suka sama cewek ya? Sampai nanya-nanya ke gue” Sebuah anggukan menjadi jawaban dari Leo. Bisa dibilang ini achievment yang bagus, pasalnya gue juga nggak pernah liat nih cowok berurusan sama cewek selain urusan OSIS nya. Bahkan beberapa kali gue tangkap basah nih anak di tembak sama cewek di gedung belakang sekolah, dan semuanya ditolak gitu aja. Padahal hampir semua yang nembak dia cakep-cakep. Dan sekarang setelah semua penolakan ‘kejam’ yang ia lakukan (gue jadi kasian sama cewek yang udah cape-cape beraniin diri buat nembak si kampret ini, andaikan fobia ini nggak ada gue ikhlas kok nerima kalian), si Leo ini mendadak ngaku suka sama cewek. Hipotesis yang bisa gue petik disini, mungkin Leo ini agak strict gitu soal cewek, dan baru kali ini nemu cewek yang pas dengan semua kriteria yang dia pengen. “Emang lo suka sama siapa coba? Si Elly? “Elly? Nggak, gue nggak pengen digebukin sama geng kapak. Lo tau kan tuh cewek ditaksir berat sama Michael ketua geng kapak?” “Ya siapa tau lo pengen hidup seperti larry” “Ogah, gue masih pengen badan gue ini tetap utuh sampai penamatan nanti, kan nggak lucu kalau pas gue naik mimbar dalam keadaan pincang dan bonyok?” bantahnya.
“Yaudah, terus siapa?” “Si Maya” ... ... ... “Lo udah gila ya?”