Refka Dr Nancy.docx

  • Uploaded by: 'itii Diah
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Refka Dr Nancy.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,271
  • Pages: 19
ANGINA PEKTORIS TAK STABIL A. IDENTITAS PASIEN 

Nama

:



Umur

: 61 tahun



Jenis kelamin

: Laki-laki



Tanggal masuk

: 07 Oktober 2018



Nomor RM

: 03-29-57

Tn. S

B. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG 

Keluhan Utama



Riwayat penyakit sekarang : Nyeri dada dialami sejak semalam sebelum masuk

: Nyeri dada

rumah sakit. Nyeri dada dirasakan seperti tertekan beban berat pada daerah dada kiri, tembus ke belakang. Nyeri dada muncul awalna muncul secara tiba-tiba pada saat beraktifitas, tidak menghilang dengan istirahat. Nyeri dada disertai rasa berdebardebar. Riwayat nyeri dada sebelumnya dialami sejak ± 7 bulan yang lalu, namun nyeri berkurang dengan istirahat. Pasien juga merasa lingung dan badan terasa lemah.. Riwayat pingsan tidak ada. Sesak tidak ada. Sesak pada saat tidur terlentang tidak ada. Terbangun malam hari karena sesak tidak ada. Rasa mual dan muntah, namun ada nyeri ulu hati. Riwayat nyeri ulu hati tidak ada. BAB : Biasa, kesan normal BAK : Lancar, kesan cukup.

C. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU 1. Riwayat hipertensi ada sejak 5 tahun yang lalu. Minum obat anti-hipertensi tidak a teratur. 2. Riwayat merokok sejak remaja sebanyak 1 bungkus/ 2 hari, dan telah berhenti merokok sejak 5 tahun terakhir. 3. Riwayat diabetes mellitus disangkal. 4. Riwayat dislipidemia. 5. November 2017 riwayat op Appendicitis

D. FAKTOR RISIKO

a. Tidak dapat dimodifikasi: Laki-laki 63 tahun. Riwayat nyeri dada sebelumnya. b. Dapat dimodifikasi

: Hipertensi, merokok. Dislipidemia

E. PEMERIKSAAN FISIK 1. Keadaan Umum

: Sakit sedang/Compos Mentis

a.

Berat badan

:75kg

b.

Tinggi badan :168 cm

c.

Indeks massa tubuh: 26,59 kg/m2

2. Tanda vital  Tekanan darah : 160/70 mmHg  Nadi

: 68 x/menit, regular

 Pernapasan

: 28 x/menit

 Suhu

: 37,2C (aksilla)

3. Kepala  Mata

: Anemis (-), ikterus (-)

 Bibir

: Sianosis (-)

 Leher

: DVS R+2 cmH2O (300)

4. Dada  Inspeksi

: Simetris kiri = kanan, normochest

 Palpasi

: Nyeri tekan (-), Massa Tumor (-), Vokal fremitus kiri = kanan

-

: Sonor kiri = kanan

Perkusi

 Auskultasi : Vesikuler +/+, Ronki-/-, Wheezing -/5. Jantung  Inspeksi

: Ictus cordis tidak tampak

 Palpasi

: Ictus cordis tidak teraba, thrill (-)

 Perkusi

: Pekak Batas atas jantung : ICS II sinistra Batas kanan jantung : IC IV linea parasternalis dextra Batas kiri jantung

: ICS V linea aksilaris anterior sinistra

 Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni reguler, bising (-)

6. Abdomen

 Inspeksi

: Datar, ikut gerak nafas

 Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal  Palpasi

: Nyeri tekan (-). Massa tumor (-) Hepar,Lien tidak teraba

 Perkusi

: Timpani (+)

7. Ekstremitas Ekstremitas superior kanan dan kiri : Inspeksi

: Warna kulit sama dengan sekitarnya, jejas (-), udem (-)

Palpasi

: Nyeri tekan tidak ada, krepitasi tidak ada

Ekstremitas inferior kanan dan kiri : Inspeksi

: Warna kulit sama dengan sekitarnya, jejas (-), udem (-)

Palpasi

: Nyeri tekan tidak ada, krepitasi tidak ada. Edema pretibial (-/-), dorsum pedis (-/-)

8. PEMERIKSAAN EKG

 Irama

: Sinus

 Heart Rate

: 62x/menit

 Regularitas

: Reguler

 Axis

: Normoaxis

 P wave

: 0,12 s

 PR interval

: 0,2 s

 QRS complex

: 0,08 s

 ST Segment

: ST elevasi pada Lead II dan AVF

 T wave

: T inverted pada lead I, aVL, V1-V4

Kesimpulan : -

Irama sinus regular rate 62 x/menit

-

Normoaksis

-

Iskemik antero ekstesif

9. PEMERIKSAAN LABORATORIUM TEST

RESULT

NORMAL VALUE

GDS

141 mg/dl

140 mg/dl

Total Cholesterol

223 mg/dl

200 mg/dl

Uric Acid

9,4 mg/dl

2,4-5,7 mg/dl

10. DIAGNOSIS ANGINA PEKTORIS TAK STABIL

11. PENGOBATAN •

Bed rest



O2 2-4 LPM via Nasal Canule



IVFD RL 1000 cc/24 jam



Nitrat : Isosorbid mononitrat 20 mg/SL (bila nyeri dada)



Anti-agregasi platelet : Asam asetilsalisilat 100 mg / 24 jam/oral Clopidogrel 75 mg/24 jam/oral



Antit-coagulant : Heparin 5.000 /24 jam/Subkutan



Anti hipertensi :

Carvedilol 25mg/24 jam/oral Valsartan 80 mg/24 jam/IV •

Statin : Avesco 20mg/24 jam/oral



XO inhibitor : Allopurinol 100mg/12 jam/oral



Anti-anxietas : Alprazolam 0.5 mg (bila perlu)

Rencana pemeriksaan : -

EKG per hari

ANGINA PEKTORIS TAK STABIL 1. Definisi Sindrom coroner akut merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan biomarker jantung, Sindrom korner akut dibagi menjadi 1. Infark Miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) 2. Infark Miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-NEST) 3. ANgina Pektoris tidak stabil (APTS) Angina pektoris tak stabil terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.2 Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark Angina pektoris tak stabil, kadang-kadang disebut angina kresendo ditandai dengan nyeri angina yang frekuensinya meningkat dan merupakan tanda awal iskemia miokardium yang lebih serius dan mungkin irreversibel sehingga kadang-kadang disebut angina prainfark (robbin)

2. Faktor Risiko Faktor risiko biologis angina pektoris tak stabil yang tidak dapat diubah yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga, sedangkan faktor risiko yang masih dapat diubah,sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik, antara lain kadar serum lipid, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa, dan diet yang tinggi lemak jenuh, kolesterol, serta kalori.3 Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika fibrous cap tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core).2 Berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit pada lokasi ruptur plak, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu, aktivasi trombosit memicu perubahan

konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang terlarut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan platelet dan agregasi setelah mengalami konversi fungsinya.1,2 Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue activator pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri atas agregat trombosit dan fibrin.1,2 Penyebab lain infark tanpa aterosklerosis koronaria antara lain emboli arteri koronaria, anomali arteri koronaria kongenital, spasme koronaria terisolasi, arteritis trauma, gangguan hematologik, dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.5

3. Patologi Ruptur plak Kejadian angina pektoris tak stabil diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah.Penyakit aterosklerosis ditandai dengan formasi bertahap fatty plaque di dalam dinding arteri.Lama-kelamaan plak ini terus tumbuh ke dalam lumen, sehingga diameter lumen menyempit.Penyempitan lumen mengganggu aliran darah ke distal dari tempat penyumbatan terjadi.5 Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitus tipe II, hipertensi, reactive oxygen species dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan aktivasi endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury bagi sel endotel.Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi molekul-molekul vasoaktif seperti nitric

oxide,

yang

berkerja

sebagai

vasodilator,

anti-trombotikdan

anti-

proliferasi.Sebaliknya, disfungsi endotel justru meningkatkan produksi vasokonstriktor, endotelin-1, dan angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel.5 Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi. Kemudian leukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol LDL.Sel makrofag yang terpajan dengan kolesterol LDL teroksidasi disebut sel busa (foam cell).Faktor pertumbuhan dan trombosit menyebabkan migrasi otot polos dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi matriks. Proses ini mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan

fibrosa menutupi ateromamatur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah.Perlekatan trombosit ke tepian ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya trombosis.Ulserasi atau ruptur mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri.5 Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh formasi plak.Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi, menurunkan aliran darah koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis infark miokard..Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap kuantitas iskemia miokard dan keparahan manifestasi klinis penyakit.Oleh sebab itu, obstruksi kritis pada arteri koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya.5 Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan elektrikal miokard. Perfusi yang buruk ke subendokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat iskemia yang disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner berhubungan dengan kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi.5 Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun. Keadaaan ini mengganggu stabilitas membran sel. Gangguan fungsi membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh monosit.Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (<20 menit) atau ireversibel (>20 menit).Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark miokard.5 Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan meyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.

Trombosis dan Agregasi Trombosit

Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag, dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin. Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi pletelet dan pletelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi

yang lebih luas,

vasokonstriksi dan pembentukan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang intermiten, pada angina tak stabil. Vasospasme Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan meenyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada angina printzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme seringkali terjadi pada plak yang tak stabil, dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus. Erosi Plak tanpa Ruptur Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemi.

Gambar 1. Patofisiologi berbagai sindrom klinis angina pectoris tidak stabil

4. Gejala Klinis Keluhan pasien umumnya berupa nyeri dada untuk pertama kali atau keluhan nyeri dada yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin.

5. Diagnosis Diagnosis IMA dengan elevasi segmen ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG dengan tanda-tanda iskemik yaitu ST depresi atau inversi T.2

5.1. Anamnesis 1.

Nyeri dada :

Sifat nyeri dada (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA: -

Lokasi: substernal, retrosternal, dan perikordial.

-

Sifat nyeri: rasa sakit ditekan, terbakar, ditindih benda berat, ditusuk, diperas, dipelintir.

-

Penjalaran: lengan kiri, leher, punggung, interskapula, perut, lengan kanan bawah.

-

Nyeri membaik/menghilang dengan istirahat/nitrat.

-

Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin, dan sesudah makan.

-

Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas, lemas.

2.

Sesak napas (Dispneu): Dispneu adalah pernapasan yang disadari dan abnormal dengan ciri napas tidak menyenangkan, sukar bernapas. Sesak napas ini merupakan keluhan dari: -

Penyakit jantung: koroner, valvular, dan miokardial

-

Penyakit paru: limitasi aliran udara masuk ke paru (gangguan ventilasi) dan keadaan hipoksia pada keadaan restriktif, terjadi stimulasi napas karna hipoksia.

-

Penyakit deformitas dinding toraks

-

Sakit otot pernapasan

-

Obesitas

-

Anemia, dll.

Riwayat sesak napas sangat penting untuk memperkirakan penyebab yang mendasari.Kemungkinan penyebabnya adalah emboli paru, pneumotoraks, udema pulmonal akut, pneumonia, atau obstruksi jalan napas.Sesak napas yang hilang dengan

pemakaian

bronkodilator

dan

kortikosteroid

diperkirakan

akibat

asma.Namun sesak napas yang hilang dengan istirahat, obat diuretik, dan digitalis diperkirakan akibat gagal jantung kiri. Gradasi sesak napas akibat gagal jantung kiri dimana ventrikel kiri dan atau atrium kiri tinggi adalah: -

Dyspnea on Effort (DOE)

-

Orthopnea

-

Paroxysmal Nocturnal Dyspnea

-

Dyspnea at rest

5.2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. regurgitasi katup mitral akut, suara jantung S3, ronki basah hali, dan hipotensi untuk identifikasi komplikasi iskemia. ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaforesis, ronkhi basah halus, atau eddema parumeningkatkan keurigaan terhadap SKA. pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang, dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosisbanding SKA.

5. 3. Pemeriksaan Penunjang EKG Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai sindroma koroner akut.Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD.Pemeriksaan ini merupakan landasan dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi.Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serian dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST.2 5.4. Biomarker kerusakan jantung 6 Alat diagnostik selanjutnya adalah pelepasan dan dan peningkatan penanda biokimiawi serum pada cedera sel jantung. Penanda tersebut adalah kreatinin kinase (CK) dan isoenzimnya Creatinin Kinase-MB, dan troponin : cardiac specific troponin T (cTnT) dan cardiac specific troponin I (cTnI). Peningkatan dan penurunan CK dan CK-MB merupakan penanda cedera otot yang paling spesifik seperti pada infark miokardium. Setelah infark miokardium akut, CK dan CK-MB meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam dengan kadar puncak dalam 18 hingga 24 jam, dan kembali menurun hingga normal setelah 2 hingga 3 hari. CK-MB juga terdapat dalam otot skelet sehingga penegakan diagnosis cedera miokardium didasarkan pada pola peningkatan dan penurunan.

Troponin jantung spesifik (yaitu cTnT dan cTnI) merupakan protein regulator yang mengendalikan hubungan aktin dan myosin yang bersifat spesifik untuk pelepasan dari miokardium. Troponin akan meningkat 4 hingga 6 jam setelah cedera miokardium dan akan menetap hingga 10 hari setelah peristiwa tersebut dan dianggap sangat spesifik pada peningkatan CK yang hanya sedikit. Sebaliknya, tidak adanya peningkatan CK cenderung menyingkirkan adanya infark miokardium.

Penanda biokimia cedera sel jantung (peningkatan kadar serum) Penanda Creatinin Kinase (CK) Creatinin KinaseMB (CK-MB) Cardiac specific troponin T (cTnT) Cardiac specific Troponin I

Meningkat 4-6 jam

Memuncak 18-24 jam

Durasi 2-3 hari

4-6 jam

18-24 jam

2-3 hari

4-6 jam

18-24 jam

10 hari

4-6 jam

18-24 jam

10 hari

6. Terapi2,7 Penatalaksanaan pada angina pectoris tidak stabil difokuskan pada tiga hal berikut: a. Stabilisasi plak. Mencegah perluasan atau perkembangan trombus intrakoroner untuk mencegah serangan jantung b. Mengatasi gejala dalam hal ini adalah nyeri dada atau angina iskemik. c. Mengoreksi penyebab dasar penyakit arteri coroner dan mengoreksi gangguan hemodinamik yang menyertai. d. Pengobatan Umum Pengobatan umum termasuk: pemberian oksgen, tirah baring sampai anina terkontrol, puasa 8 jam kemudian makanan cair atau lunak selama 24 jam pertama, pembreian transquilizer untuk menenangkan pasien dan laksans agar penderita tidak mengedan. e. Pengobatan Khusus Atasi nyeri dada dan iskemia Nitrat sublingual kemudian dilanjutkan dengan pemberian intravena biasanya dapat mengatas nyeri dada. Pemberian intravena harus dilakukan dengan infusion pump, sebagai gantinya dapat digunakan nitrat transdermal yang dikombinasi dengan preparat oral. Dosis awal nitrogliserin (IV) biasanya 5 ug/menit dan ditingkatkan (5-10 ug/menit)

setiap 5 menit sampai nyeri dada menghilang. Dosis maksimal adalah 200 ug/menit. Pemberian dosis besar (lebih dari 7 ug/kgBB/menit) selama beberapa hari dapat menimbulkan methemoglobinemia. Dosis IsoSorbid Dinitrat (ISDN) IV biasanya 1 mg.jam kemudian ditingkatkan sampai nyeri dada mereda Agar perfusi miokard tetap adekuat, makan selama pemberian nitrat IV tekanan darah sistolik tidak boleh lebih rendah dari 100 mmHg, dan tekanan darah diastolic tidak bileh lebih rendah dari 60 mmHg. Apabila terjadi hipotensi, maka dosis

nitrat harus

diturunkan. Apabila nitrat IV masih belum berhasil menghilangkan nyeri dada, dapat diberi morfin (2,5-5mg)secara IV. Apabila tidak ada kontraindikasi segera diberikan β-blocker. β-blocker short acting lebih diproritaskan sebab jika terjadi efek samping lebih cepat akan teratasi. Propranolol 10 mg dua kali sehari cukup efektif. Pada pasien yang memiliki penyakit obstruksi paru kronis, DM atau dyslipidemia dapat diganti atenolol (50 mg/tablet) atau dganti CCB seperti verapamil atau diltiazem. Apabila angina amasih takstabil dapat diveri triple theraphy yaitu Nitrat,β-blocker, dan CCB. β-blocker long acting seperti bisoprolol sebaiknya diberikan sesudah kondisi stabil.

Mencegah perluasan atau perkembangan thrombus intrakoroner Dosis aspirin menurut berbagai penelitian adalah 160-300 mg.hari (dosis tunggal). Clopidogrel loading dose 300 mg (4 tablet) juga dianjurkan pada pasien AP tak stabil diikuti 75 mg/ hari. LMWH lebih disukai daripada heparin karena cara pembriannya mudah dan dosis tidak perlu disesuaikan dengan pemeriksaan aPTT 6 jam. LMWH diberikan satu atau dua kali sehari tergantung preparat selama 5 hari.

Koreksi gangguan hemodinamik dan control factor presipitasi Koreksi semua factor penyebab disfungsi jantung, misalnya aritmia dengan obat anti aritmia, gagal jantung dengan kardiogenik atau diuretic, anemia diberi trasfusi darah, dan seterusnya.

Tindak Lanjut Berhubung karena angina tak stabil memiliki resimo tngi terjadi infark miokard akut (IMA), setelah angina terkontrol, semua penderita dianjurkan untuk dilakukan angiografi coroner selektif. Mobilisasi bertahap diikuti treadmill tes untuk menentukan perlunya angiografi kororner merupakan pilihan lain. Bagi penderita yang keadaannya tidak dapat

distabilkan dengan obat, maka dianjurkan intervensi yang lebih agresif seperti pemasangan intraaortic balloon counterpulsation (IABC) dan angiografi coroner, kemudian cABG atau PTCA tergantung lesi pada arteri koronaria. 7. Prognosis 7 TIMI (Trombolysis In Myocardial Infarction) adalah alat prognostik yang paling valid. Masing-masing variable TIMI Risk Score dibawah ini bernilai 1 poin, dengan total poin 0-7 : - Umur ≥ 65 tahun - penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir - telah diketahui menderita stenosis coroner ≥ 50% - peningkatan enzim-enzim jantung - minimal 3 faktor risiko Penyakit Arteri Koroner (diabetes mellitus, perokok aktif, riwayat keluarga dengan penyakit arteri koroner, hipertensi, hiperkolesterolemia) - gejala angina yang berat ( dua atau lebih serangan angina dalam 24 jam terakhir) - Deviasi segmen ST pada EKG Prognosis mengarah ke infark miokard maupun kematian mulai pada total skor TIMI 3. Jadi, pasien dengan total TIMI skor 3-7 sebaiknya mempertimbangkan penggunaan glikoprotein IIb/IIIa IV, heparin (LMWH) dan kateter jantung dini.

Diagnosa angina pectoris tak stabil pada penderita ini ditegakkan berdasarkan atas gejala dan tanda klinis berupa adanya nyeri dada yang berlangsung lebih dari 20 menit, tidak di temukan kelinnpada pemeriksaan fisik dan di temukan iskemik miokard pada pemeriksaan EKG. Dari anamnesa diketahui bahwa pasien mengalami nyeri dada sejak semalam. Nyeri dada dirasakan seperti tertekan beban berat pada daerah dada kiri, tembus ke belakang. Nyeri dada awalnya muncul secara tiba-tiba pada saat beraktifitas, tidak menghilang dengan istirahat. Nyeri dada disertai rasa berdebar-debar dan sesak. Riwayat nyeri dada sebelumnya dialami 7 bulan yang lalu, namun nyeri berkurang dengan istirahat. Pasien juga merasa lingung dan badan terasa lemah. Sesak. tidak ada rasa mual dan muntah, namun ada rasa tidak nyaman di ulu hati. Berdasarkan teori keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/ berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, areaintraskapular, bahu dan epigatrium.keluhan ini dapat berlngsung intermiten (beberapaa menit) atau persisten (>20 menit). keluhan angina tipikal sering disertaikluhan penyerta seperti diaforesis (kerinat dingin), mual, muntah, nyeri abdominal, sesk napas, dan sinkop. Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, gangguan pencernaan (indigesti), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikaan. keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien muda (25 - 40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diaabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya nyeri dada dengan VAS score 8. Nadi 140 x/menit. Respiratory rate 25 x/menit. Secara klinis pada umumnya meningitis bakteri timbul diawali dengan demam serta gejala-gejala infeksi saluran nafas atas atau sistem gastrointestinal yang berlangsung selama beberapa hari. Gejala-gejala nonspesifik terkait dengan infeksi sistemik yaitu demam, anoreksia, batuk, mialgia, artralgia, takikardia, hipotensi, patekie, purpura, dan eritema. Kemudian diikuti dengan adanya gejala rangsangan meningeal yaitu kaku kuduk, nyeri punggung, tanda Kernig, dan Brudzinski, dan tanda peningkatan tekanan intrakranial berupa

nyeri kepala, muntah, ubun-ubun besar, tegang dan cembung, sutura meregang, cembung, paralisis NN III dan IV, hiperventilasi atau apneu, postural dekortikasi atau deserebrasi. Stupor, atau koma. Tanda neurologi fokal ditemukan dijumpai pada 10-20% disertai oleh kejang bersifat fokal atau umum disebabkan oleh adanya serebritis, infark atau gangguan elektrolit. [1] Dari hasil pemeriksaan darah rutin, ditemukan eritrosit 3,31 106/mm3, Hemoglobin 7,1 g/dl, hematokrit 22,4 %, Platelet 560 103/mm3, leukosit 14,2 103/mm3. Menurut teori Trombosis, eosinofilia dan anemia dapat timbul selama terapi untuk meningitis. Anemia dapat karena hemolisis dan paling sering ditemukan pada penyakit H.influenzae. Anemia dapat karena supresi sumsum tulang. Koagulasi intravaskuler tersebar (DIC) paling sering disertai dengan pola penyajian progresif cepat dan ditemukan paling sering pada penderita dengan syok dan purpura (purpura fulminan). kombinasi endotoksin dan hipotensi berat mencetuskan kaskade koagulasi; bersama trombosis yang sedang berjalan dapat menimbulkan gangren perifer simetris.

[5]

Hitung darah lengkap (CBC) dengan diferensial

akan menunjukkan leukositosis polimorfonuklear dengan pergeseran kiri.[6] Pada pasien ini juga dilakukan pungsi lumbal hanya saja hasilnya tidak valid dikarenakan waktu pemeriksaan yang lama (1 hari) sejak waktu pengambilan sampel. Saat dilakukan pungsi lumbal didapatkan cairan serebrospinal keruh, hasil leukosit sebanyak 1.500/mm3. Jumlah leukosit ini dianggap valid karena diperiksa dalam waktu 30 menit. Menurut teori angka leukosit CSS pada meningitis bakteri biasanya naik sampai> 1000 dan menunjukkan dominasi neutrofil (75-95%). CSS keruh ada bila angka leukosit CSS>200-400. Neonatus normal sehat mempunyai leukosit sebanyak 30 dan anak yang lebih besar tanpa meningitis virus atau bakteri dapat mempunyai 5 - 6 leukosit pada CSS. [2]

[6]

Untuk memastikan diagnosis meningitis dengan pungsi lumbal dan pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS). Jika CSS keruh dan reaksi Nonne dan Pandy positif, pertimbangkan meningitis dan segera mulai berikan pengobatan sambil menunggu hasil laboratorium. Pemeriksaan mikroskopik CSS pada sebagian besar meningitis menunjukkan peningkatan jumlah sel darah putih (PMN) di atas 100/mm3. Selanjutnya dilakukan pengecatan Gram. Tambahan informasi bisa diperoleh dari kadar glukosa CSS (rendah: < 1.5 mmol/liter), protein CSS (tinggi: > 0.4 g/l), dan biakan CSS (bila memungkinkan)[4]. Pasien datang dalam keadaan penurunan kesadaran, oleh karenannya untuk membina masukan yang baik, pasien perlu langsung mendapat cairan intravena.[2] Pasien juga diberikan transfusi packed red cell karena kadar hemoglobin pasien yang rendah. Pada pasien ini diberikan terapi antikonvulsivus berupa drips diazepam 1 ampul dalam 1 kolf cairan KAEN 1B, injeksi sibital 10 mg (diberikan pada hari ke 3). Menurut teori bila anak masuk dalam status konvulsivus diberikan diazepam 0,2 – 0,5 mg/kg BB secara intravena perlahanlahan, apabila anak kejang belum berhenti pemberian diazepam dapat diulang dengan dosis dan cara yang sama. Apabila kejang berhenti dilanjutkan dengan pemberian fenobarbital dengan dosis awal 10-20 mg/kg BB IM, 24 jam kemudian diberikan dosis rumat 4-5 mg/kg BB/ hari.[1] Pasien mendapatkan terapi antibiotik, yaitu kombinasi Ceftriaxon 2 x 300 mg/IV dan Gentamicin 2x20 mg/IV. Menurut teori penggunaan antibiotik terdiri dari 2 fase yaitu fase pertama sebelum ada hasil biakan dan uji sensitivitas. Pada fase ini pemberian antibiotik secara epirik.[1] Sebagian besar panduan merekomendasikan penggunaan sefalosporin generasi ketiga bersamaan dengan vancomycin sebagai terapi antibiotik awal. Cefotaxim dan ceftriaxon memiliki aktivitas yang baik terhadap semua jenis strain Hib dan N. Meningitidis.[7] Pengobatan fase kedua setelah ada hasil biakan dan uji sensitivitas disesuaikan dengan kuman dan obat yang serasi. [2] Dalam kasus ini pasien tidak dilakukan kultur CSF. Beberapa terapi suportif juga diberikan pada pasien ini diantaranya Paracetamol drips 50 cc yang diberikan sebagai terapi simtomatik apabila anak demam. Pemberian susu formula melalui pipa nasogastrik sebanyak 60 cc setiap 3 jam/24 jam. Pasien juga mendapatkan kortikosteroid yaitu dexametason 3 x 1 g/IV. Pada penelitian terbukti bahwa steroid dapat mengurangi produksi mediator inflamasi seperti sitokin, sehingga dapat mengurangi kecacatan neurologis seperti paresis dan tuli. Dan diberikan pada pasien ringan dan sedang, dan diberikan 15-20 menit sebelum pemberian antibiotik.

Kortikosteroid yang memberikanhasil yang baik ialah deksametason dengan dosis 0,6 mg/ kgBB/ hari selama 4 hari. [1] Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor antara lain : 1. Umur pasien 2. Jenis mikroorganisme penyebab 3. Berat ringannya infeksi 4. Lamanya sakit 5. Lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan 6. Kepekaan bakteri terhadap antibiotik yang diberikan. [1]

Kebanyakan anak sembuh secara sempurna dari infeksi virus SSS, walaupun prognosis tergantung pada keparahan penyakit linis, etiologi spesifik, dan umur anak. Jika penyakit klinis berat dan bukti adanya keterlibatan adanya banyak parenkim, prognosis jelek dengan kemungkinan defisit yang bersifat intelektualmotorik, psikiatrik, epileptikpenglihatanatau pendengaran. [6]

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC. Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2007 2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2010. 3. Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia Kedokteran. 2005; 147: 6-9 4. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta: EGC. 2007. 5. Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. Braunwald’s Heart Diseases: A Textbook of Cardiovascular Medicine. Philadelphia: Elsevier. 2008 6. Price, A. Sylvia, Wilson M. Lorraine. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit edisi ke-6. Jakrta: EGC. 2010 7. American Heart Association. Management of Patients with Unstable Angina/ Non ST Elevation Myocardial Infarction. For a copy of the executive summary (J Am Coll Cardiol 2007;50:652–726; Circulation 2007;116:803–877)

Related Documents


More Documents from "ade"

Imunisasi.docx
October 2019 15
Refka Dr Nancy.docx
October 2019 12
In Partial Obstruction
October 2019 24
The Patient
October 2019 37