BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1.1. DEFINISI Herpes zoster adalah infeksi viral kutaneus pada umumnya melibatkan kulit dengan dermatom tunggal atau yang berdekatan. Herpes zoster merupakan hasil dari reaktivasi virus varisela zoster yang memasuki saraf kutaneus selama episode awal chicken pox. Shingles adalah nama lain dari herpes zoster Virus ini tidak hilang tuntas dari tubuh setelah infeksi primernya dalam bentuk varisela melainkan dorman pada sel ganglion dorsalis sistem saraf sensoris yang kemudian pada saat tertentu mengalami reaktivasi dan bermanifestasi sebagai herpes zoster.
http://www.medicinenet.com/shingles/article.htm
1.2. EPIDEMIOLOGI Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa prevalensi musiman. Terjadinya herpes zoster tidak tergantung pada prevalensi varisela, dan tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa herpes zoster dapat diperoleh oleh kontak dengan orang lain dengan varisela atau herpes. Sebaliknya, kejadian herpes zoster ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan host-virus.
1
Faktor resiko utama adalah disfungsi imun selular. Pasien imunosupresif memiliki resiko 20 sampai 100 kali lebih besar dari herpes zoster daripada individu imunokompeten pada usia yang sama. Immunosupresif kondisi yang berhubungan dengan risiko tinggi dari herpes zoster termasuk “human immunodeficiency virus” (HIV), transplantasi sumsum tulang, leukimia dan limfoma, penggunaan kemoterapi pada kanker, dan penggunaan kortikosteroid. Herpes zoster adalah infeksi oportunistik terkemuka dan awal pada orang yang terinfeksi dengan HIV, dimana awalnya sering ditandai dengan defisiensi imun. Zoster mungkin merupakan tanda paling awal dari perkembangan penyakit AIDS pada individual dengan resiko tinggi. Dengan demikian, infeksi HIV harus dipertimbangkan pada individu yang terkena herpes zoster. Faktor lain melaporkan meningkatnya resiko herpes zoster termasuk jenis kelamin perempuan, trauma fisik pada dermatom yang terkena, gen interleukin 10 polimorfisme, dan ras hitam, tapi konfirmasi diperlukan. Paparan dari anak dan kontak dengan kasus varisela telah dilaporkan untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit herpes zoster. Episode kedua dari herpes zoster jarang terjadi pada orang imunokompeten, dan serangan ketiga sangat jarang. Orang yang menderita lebih dari satu episode mungkin immunocompromised. Pasien imunokompeten menderita beberapa episode seperti penyakit herpes zoster yang mungkin menderita infeksi virus herpes simpleks zosteriform (HSV) yang berulang. Pasien dengan herpes zoster kurang menular dibandingkan pasien dengan varisela. Virus dapat diisolasi dari vesikel dan pustula pada herpes zoster tanpa komplikasi sampai 7 hari setelah munculnya ruam, dan untuk waktu yang lebih lama pada individu immunocompromised. Pasien dengan zoster tanpa komplikasi dermatomal muncul untuk menyebarkan infeksi melalui kontak langsung dengan lesi mereka. Pasien dengan herpes zoster dapat disebarluaskan, di samping itu, menularkan infeksi pada aerosol, sehingga tindakan pencegahan udara, serta pencegahan kontak diperlukan untuk pasien tersebut.
2
1.3. ETIOLOGI
Varicella zoster virus (VZV) adalah penyebab diantara varicella (cacar air) dan zoster (shingles). Tiga genotipe dari α-herpesvirus
telah diidentifi kasi dan terbukti memiliki
variasi geografis.
3
1. 4. GEJALA KLINIS Gejala prodormal Manifestasi klinis herpes zoster didahului dengan gejala prodormal diawali dengan nyeri pada daerah lesi. Keadaan ini berlangsung 1 – 4 hari sebelum erupsi kulit. Nyeri bersifat segmental sesuai dermatom bervariasi secara intermiten. Kadang-kadang subjektifnya berupa rasa gatal, kesemutan, panas, pedih bahkan sampai rasa ditusuk- tusuk. Gejala umum berupa malaise, sefalgia, nausea yang mana keadaan ini hilang setelah erupsi kulit muncul. Erupsi kulit Kemudian diikuti dengan erupsi kulit pada daerah yang nyeri tersebut. Lesi awal berupa makula eritem dan papula eritem yang dalam 12 - 24 jam menjadi vesikel berkelompok terletak pada satu sisi (unilateral) dan dapat berkembang menjadi pustul dalam 3 hari. Lesi akan mengering dan menjadi krusta dalam 7 – 10 hari. Krusta biasanya bertahan selama 2 – 3 minggu kemudian mengelupas. Pada individu normal, lesi baru tetap muncul dalam 1 – 4 hari. Lesi lebih berat dan bertahan lebih lama pada penderita usia tua dan lebih ringan serta lebih singkat pada anak-anak. Ciri khas herpes zoster adalah lesi yang berlokasi dan terdistribusi hampir selalu unilateral, tidak melewati garis tengah tubuh dan biasanya terbatas pada daerah yang dipersarafi oleh ganglion sensorik.
Menurut lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi: 1. Herpes zoster oftalmikus Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmicus saraf trigeminus
(N.V),
ditandai
erupsi
herpetik
unilateral
pada
kulit.
Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai gejala konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsug 1 sampai 4 hari sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak kelar air mata, kelopak mata bengkak dan sukar dibuka.
4
Gambar 1. Herpes zoster oftalmikus sinistra.
2. Herpes zoster fasialis Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Gambar 2. Herpes zoster fasialis dekstra.
3. Herpes zoster brakialis Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Gambar 3. Herpes zoster brakialis sinistra.
4. Herpes zoster torakalis Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
5
Gambar 4. Herpes zoster torakalis sinistra. 5. Herpes zoster lumbalis Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit. 6. Herpes zoster sakralis Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Gambar 5. Herpes zoster sakralis dekstra.
1.5. PATOGENESIS Selama perjalanan dari varicella, VZV lewat melalui lesi di kulit dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik dan diangkut secara sentripetal sampai serabut saraf sensorik ke ganglia sensoris. Di ganglia, virus membentuk infeksi laten yang bertahan untuk hidup. Herpes zoster terjadi paling sering pada dermatom dimana ruam varicella terbanyak yang diinervasi oleh saraf oftalmikus dari ganglia sensoris trigeminal dari T1 ke L2 Walaupun virus laten di ganglia mempertahankan potensi untuk infektivitas penuh, reaktivasi bias sewaktu-waktu dan jarang, infeksi virus tdak tampak saat fase laten. Mekanisme yang terlibat dalam reaktivasi VZV laten tidak jelas, namun reaktivasi telah dikaitkan dengan immunosupresi, stres emosional, iradiasi dari sumsum tulang belakang, keterlibatan tumor, serabut ganglion dorsalis, atau struktur yang berdekatan, trauma lokal, 6
manipulasi bedah tulang belakang , dan sinusitis frontalis (sebagai endapan zoster oftalmica). Yang paling penting adalah penurunan kekebalan seluler VZV spesifik yang terjadi dengan bertambahnya usia VZV juga dapat mengaktifkan kembali tanpa menghasilkan penyakit yang jelas. Jumlah kecil yang dilepaskan antigen virus selama reaktivasi tersebut, diharapkan dapat merangsang dan mempertahankan system kekebalan tubuh VZV. Ketika kekebalan seluler VZV spesifik berada pada beberapa tingkat kritis, reakticasi virus tidak terkandung lagi. Virus berkembang biak dan menyebar di dalam ganglion, menyebabkan nekrosis neuronal dan peradangan parah, sebuah proses yang sering disertai dengan neuralgia parah. Infeksi VZV kemudian menyebar secara antidromikal menuruni saraf sensorik, menyebabkan neuritis parah, dan dilepaskan dari saraf sensorik yang berakhir di kulit, di mana ia menghasilkan karakteristik dari vesikel zoster. Penyebaran infeksi ganglionic proksimal sepanjang akar saraf posterior ke meninges dan hasil serabut di leptomeningitis lokal, pleocyosis cairan serebrospinal, dan myelitis segmental. Infeksi motor neuron di kornu anterior dan radang akun akar saraf anterior untuk palsi lokal yang mungkin menyertai erosi kulit, dan infeksi berkelanjutan dalam sistem saraf pusat (SSP) dapat mengakibatkan komplikasi herpes zoster (meningoenchepalitis, myelitis melintang).
Varicella dan herpes zoster A. Selama infeksi (varicella dan cacar air) primer varicellazoster virus (VZV) virus menginfeksi ganglia sensoris. B. VZV tetap dalam fase laten dalam ganglia untuk kehidupan C. Indiviual dengan fungsi kekebalan tubuh berkurang, VZV aktif kembali dalam ganglia sensoris, turun melalui saraf sensorik, dan direplikasi di kulit. 7
Patogenesa Nyeri pada Herpes Zoster dan Postherpetic Neuralgia Nyeri adalah gejala utama dari herpes zoster. Didahului dengan gejala ini dan umumnya disertai ruam, dan gejala ini sering berlanjut walau ruam sudah sembuh, dengan komplikasi yang dikenal sebagai postherpetic neuralgia (PHN). Sejumlah mekanisme yang berbeda tetapi tumpang tindih tampaknya terlibat dalam patogenesis nyeri pada herpes zoster dan PHN. Cedera pada saraf perifer dapat memicu sinyal rasa nyeri pada saraf di ganglion aferen. Peradangan di kulit memicu sinyal nosiseptif yang lebih terasa nyeri di kulit. Rilis yang berlebihan dari pengeluaran asam amino dan neuropeptida yang disebabkan oleh rentetan berkelanjutan dari impuls afferent selama fase akut dan prodormal pada herpes zoster
kemungkinan dapat menyebabkan cedera eksitotoksik dan hilangnya hambatan
interneuron di sumsum tulang belakang. Kerusakan neuron di sumsum tulang belakang, ganglion dan saraf perifer, adalah penting dalam patogenesis PHN. Kerusakan saraf aferen primer dapat menjadi aktif secara spontan dan peka terhadap rangsangan perifer dan simpatis. Aktivasi nosiseptor yang berlebihan dan impuls ektopik mungkin, menurunkan sesitivitas SSP. penambahan dan perpanjangan rangsangat pada pusat itu berbahaya. Pada klinis, ini dinamakan allodynia (nyeri dan / atau sensasi yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh rangsangan yang biasanya tidak menyakitkan (sentuhan ringan) dengan rangsang sensori sedikit atau tidak ada sama sekali. Perubahan anatomi dan Fisiologi bertanggung jawab terhadap manifestasi PHN yang dibentuk di awal perjalanan dari hepes zoster. Hali ini akan menjelaskan korelasi antara keparahan nyeri awal dan adanya nyeri prodormal dengan perkembangan selanjutnya dari PHN, dan kegagalan terapi antivirus untuk mencegah PHN.
8
Patognesis PHN
1.6. DIAGNOSIS Teknik yang sama digunakan untuk mendiagnosis varicella dan digunakan untuk mendiagnosa herpes zoster juga. Tampilan klinis seringkali cukup untuk menegakkan diagnosis, dan pada hapusan Tzanck dapat mengkonfirmasi kecurigaan klinis. Namun, lokasi atau penampilan dari lesi kulit mungkin atipikal (terutama di immunocompromised pasien) sehingga membutuhkan konfirmasi laboratorium. Kultur virus dapat dilakukan, tetapi virus varicella-zoster itu labil dan relatif sulit untuk pulih dari penyeka lesi kulit. Sebuah uji direct imunofluorescence lebih sensitif dibandingkan kultur virus dan memiliki tambahan keuntungan dari biaya yang lebih murah dan waktu yang lebih cepat. Seperti kultur virus, direct imunofluorescence assay dapat
9
membedakan infeksi virus herpes simplex dengan infeksi virus varisela-zoster. Polymerasechain-reaction techniques yang berguna untuk mendeteksi DNA virus varicella-zoster di cairan dan jaringan.
Tzanck smear dan Direct Immunoflouscene assay
Herpes simplex zosteriform bisa dengan hasil positif untuk Tzanck smear, namun jumlah lesi biasanya lebih terbatas dan derajat nyeri substansialnya kurang. Persiapan selain Tzanck, uji DFA lebih disukai untuk kultur virus, karena cepat, identifikasi jenis virus, dan memiliki hasil yang lebih akurat. Bila dibandingkan pada VZV, Tzanck smear adalah 75% positif (sampai dengan 10% false-positif dan variabilitas yang tinggi, tergantung pada keterampilan edema interseluler dan intraseluler. Bagian atas dari dermis, dilatasi pembuluh darah, edema, dan infiltrasi perivaskular limfosit dan leukosit polimorfonuklear, Limfosit atipikal mungkin juga ditemukan. Sebuah vaskulitis leukocytoclastic mendasari kesan infeksi VZV selama HSV. Inflamasi dan perubahan degeneratif juga dicatat dalam serabut ganglia posterior dan serabut saraf dorsalis yang terkena. Lesi sesuai dengan sistem persarafan dari ganglon saraf yang terkena, dengan nekrosis sel-sel saraf.
1.7. DIAGNOSIS BANDING Herpes Simpleks
Definisi : Penyakit akut yang ditandai dengan timbulnya vesikula yang berkelompok diatas dasar eritema, berulang, mengenai permukaan mukokutaneus. Etiologi : Disebabkan oleh virus herpes simplex. Gejala klinis :Lesi primer didahului gejala prodromal
10
berupa rasa panas ( terbakar ) dan gatal. Setelah timbul lesi dapat terjadi demam, malaise dan nyeri otot. Predileksi : mukosa Status dermatologi : berupa vesikel yang mudah pecah, erosi, ulcus dangkal bergerombol di atas dasar eritema dan disertai rasa nyeri. Predileksi pada wanita antara lain labium mayor, labium minor, klitoris, vagina, serviks dan anus. Pada laki-laki antara lain di batang penis, glans penis dan anus. Ekstragenital yaitu hidung, bibir, lidah, palatum dan faring.
Varisella
Definisi : vesikula yang tersebar, terutama menyerang anak-anak, bersifat mudah menular Etiologi : virus Varisela zoster. Predileksi : Paling banyak di badan, kemudian muka, kepala dan ekstremitas. Gejala Klinis : Pada stadium prodomal timbul banyak makula atau papula yang cepat berubah menjadi vesikula, yang umur dari lesi tersebut tidak sama. Kulit sekitar lesi eritematus. Pada anamnesa ada kontak dengan penderita varisela atau herpes zoster. Khas pada infeksi virus pada vesikula ada bentukan umbilikasi (delle) yaitu vesikula yang ditengah nya cekung kedalam. Distribusinya bersifat sentripetal. 11
(3)
Dermatitis Kontak Alergika
Definisi : Dermatitis yang disebabkan terpaparnya kulit dengan bahan yang bersifat sebagai alergen. Disini ada riwayat alergi dan merupakan paparan ulang. Predileksi : Seluruh tubuh Status dermatologis : Dapat akut, subakut dan kronis. Lesi akut berupa lesi polimorf yaitu tampak makula yang eritematus, batas tidak jelas pada efloresensi dan diatas makula yang eritematus terdapat papul, vesikel, bula yang bila pecah menjadi lesi yang eksudatif.
Dermatitis herpetivormis
Definisi : Dermatitis yang bersifat kronis dan rasa gatal yang sangat dengan kekambuhan yang tinggi. Status dermatologi : berupa berupa lesi polimorf yang bergerombol pada dasar yang eritematus.
12
Predileksi : pada kepala, kuduk, lipatan ketiak bagian belakang,
sakrum,
bokong
dan
lengan
bawah.
Distribusinya simetris, akut dan polimorf.
Dermatitis Venenata
Definisi : Dermatitis venenata adalah kelainan akibat gigitan atau tusukan serangga yang disebabkan reaksi terhadap
toksin
atau
alergen
yang
dikeluarkan
arthropoda penyerang Predileksi : Seluruh tubuh Status Dermatologis : Berupa eritema, edema, panas, nyeri, bisa berbentuk papula, pustule, maupun krusta. Terdapat 2 macam lesi yang diakibatkan oleh gigitan serangga, yaitu : a. Nodul
eritematus, akibat serangga memasukkan
(menyuntikkan) bahan – bahan berbahaya ke dalam kulit yang menyebabkan keradangan. b. Dermatitis dikeluarkan
kontak
iritan,
serangga
akibat
waktu
cairan
yang
berbenturan
/
bersentuhan dengan kulit.
13
1.8. PENATALAKSANAAN Umum 1. Analgetika : Metampiron sehari 4 x 1 tablet 2. Bila ada infeksi sekunder : -
Erytromycin 250-500 mg sehari 3 x 1 tablet
-
Dicloxacillin 125-250 mg sehari 3 x 1 tablet
3. Lokal : - Bila basah : kompres larutan garam faali - Bila erosi
: salep sodium fusidate
- Bila kering : bedak salycil 2%
Khusus 1. Acyclovir
Dosis: dewasa : 800 mg sehari 5 kali selama 7-10 hari Anak
: 20 mg/kgBB sampai 800 mg sehari 4 kali
Acyclovir tidak dapat menghilangkan neuralgi pasca herpetik 2. Neuralgia pasca herpetik a. Aspirin : 500 mg sehari 3 kali. b.
Anti depresan trisiklik : Amitriptylin 50- 100 mg/hari -
Hari pertama : 1 tablet (25mg)
-
Hari kedua
: sehari 2 kali satu tablet 14
-
Hari ketiga
: sehari 3 kali satu tablet
c. Carbamazepine:200mg sehari 1-2 kali ( untuk trigeminal neuralgia). 3. Herpes zoster ophtalmicus perlu konsul ke spesialis mata atau dapat diberikan: -
acyclovir salep mata 5 kali setiap 4 jam
-
dan juga ofloxacin atau ciprofloxacin obat tetes mata o hari 1 dan 2
: 1 tetes/2-4 jam,
o hari 3-7
:1 tetes 4 kali/hari.
Pencegahan Pemberian vaksin varicella virus vaccine (oka strain) Indikasi : -
usia tua (>60 tahun)
-
pasien imunokompromais dengan penyakit kronik.
1.9. KOMPLIKASI
Neuralgia paska herpetik. Adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas penyembuhan lebih dari sebulan setelah penyakitnay sembuh. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan sampai beberapa tahun. Nyeri bisa dirasakan terus-menerus atau hilang timbulndan bisa semakin memburuk pada malam hari atau jika terkena panas maupun dingin. Keadaan ini cenderung timbul pada umur diatas 40 tahun, persentasenya 10 - 15 % dengan 15
gradasi nyeri yang bervariasi. Semakin tua umur penderita maka semakin tinggi persentasenya.
Infeksi sekunder. Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi. Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi H.I.V., keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering manjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.
Kelainan pada mata. Disebabkan oleh infeksi virus varicella zoster pada cabang pertama pada nervus trigeminus (N. Ophtalmicus) sehingga menimbulkan kelainan pada mata. Selain itu, virus dapat menyerang cabang kedua (N.Maxilaris) dan cabang ketiga (N.Mandibularis) yang menyebabkan kelainan kulit pada daerah persarafannya. Kelainan yang muncul dapat berupa: ptosis paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, korioratinitis dan neuritis optic.
Ramsay Hunt Sindrom Paralisa wajah akut yang disertai dengan vesikel-vesikel virus herpes zoster pada kulit telinga, liang telinga ataupun keduanya, diakibatkan oleh gangguan nervus fasialis dan nervus optikus, sehingga memberikan gejala paralisa otot muka ( paralisa bell ), kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat ;persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus dan nausea juga terdapat gangguan pengecapan. Herpes zoster ini terjadi bila mengenai ganglion genikulatum.
Paralisis motorik Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat perjalanan virus secara kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang berdekatan. Paralisis ini biasanya muncul dalam 2 minggu sejak munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi seperti: di wajah, diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus. Umumnya akan sembuh spontan.
16
1.10. PROGNOSIS Umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung pada tindakan perawatan secara dini.
17
BAB III KESIMPULAN
Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela-zoster yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer. Berdasarkan lokasi lesi, herpes zoster dibagi atas: herpes zoster oftalmikus, fasialis, brakialis, torakalis, lumbalis, dan sakralis. Manifestasi klinis herpes zoster dapat berupa kelompok-kelompok vesikel sampai bula di atas daerah yang eritematosa. Lesi yang khas bersifat unilateral pada dermatom yang sesuai dengan letak syaraf yang terinfeksi virus. Diagnosa herpes zoster dapat ditegakkan dengan mudah melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium sederhana, yaitu tes Tzanck dengan menemukan sel datia berinti banyak. Pada umumnya penyakit herpes zoster dapat sembuh sendiri (self limiting disease), tetapi pada beberapa kasus dapat timbul komplikasi. Semakin lanjut usia, semakin tinggi frekuensi timbulnya komplikasi.
18
DAFTAR PUSTAKA
1.
Daili SF, B Indriatmi W. Infeksi Virus Herpes. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002.
2.
Habif, T.P. Viral Infection. In : Skin Disease Diagnosis and Treatment. 3rd ed. Philadelphia : Elseiver Saunders. 2011 .p. 235 -239.
3.
Schalock C.P, Hsu T.S, Arndt, K.A. Viral Infection of the Skin. In : Lippincott’s Primary Care Dermatology. Philadelphia : Walter Kluwer Health. 2011 .p. 148 -151.
4.
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Varicella and Herpes Zoster. In : Fitzpatrick. Dermatology in General Medicine. 7 thed. New York : McGraw Hill Company.2008.p. 1885-1898.
5.
James, W.D. Viral Diseases. In : Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology. 11th ed. USA : Elseiver Saunder. 2011 .p. 372 – 376.
6.
Marks James G Jr, Miller Jeffrey. Herpes Zoster. In: J Lookingbill and Marks’ Principles of Dermatology. 4th ed. Philadelphia : Elseiver Saunders. 2006 .p.145-148.
7.
Habif P.Thomas. Warts, Herpes Simplex, and Other Viral Infection. In : Clinical Dermatology. 5 thed. United States of America : Elseiver Saunders. 2010.p. 479 – 490.
8.
Mandal BK, dkk. Lecture Notes :Penyakit Infeksi.6th ed. Jakarta : Erlangga Medical Series. 2008 : 115 – 119.
9.
Sehgal, V.N. Herpes Zoster. In : Textbook of Clinical Dermatology. 4th ed. New Delhi : Jaypee Brothers Medical Publishers. 2006.p. 83 – 84.
10.
Mayeaux EJ. Viral Infection. In : The Color Atlas of Family Medicine. United State of America : Mc Graw-Hill Companies, 2009 : 493 – 502.
11.
Brown, R.G. Lecture Notes Dermatology: Penyakit Infeksi.8th ed. Jakarta : Erlangga Medical Series. 2005 : 29 – 31.
19
12.
Brown, R.G.Dermatology Fundamentals of Practice. Philadelphia : Mosby Elseiver. 2008.p. 212-214.
13.
Chang Sung Eun, Bae Gee Young, Moon Kee Chan, Do Sang Hwan, Lim Young Jin. Subcutaneous granuloma annulare following herpes zoster. In : International Journal of Dermatology. Vol. 43. Number 4. 2004.p. 298 – 299.
14.
The International Society of Dermatology.Herpes zoster and pruritus. In : International Journal of Dermatology. Vol. 43. Number 4. 2004.p. 779 -780.
15.
Ali Asra. Varicella zoster virus (VZV). In : Dermatology a Pictorial Review. New York : Mc Graw Hill Companies. 2007.p. 22 -23.
16.
Handoko RP. Penyakit Virus. In : Djuanda Adhi, Mochtar H, Siti A, eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Cetakan V, Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010 : 110-112.
17.
Martodihardjo S. Penanganan Herpes Zoster dan Herpes Progenitalis. Ilmu Penyakit kulit dan Kelamin. Surabaya: Airlangga University Press, 2001.
18.
Hartadi, Sumaryo S. Infeksi Virus. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates, 2000; 92-4.
20
BAB I PENDAHULUAN Herpes zoster telah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Herpes zoster disebabkan oleh virus yang sama dengan varisela, yaitu virus varisela zoster. Herpes zoster ditandai dengan adanya nyeri hebat unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik dan
nervus
kranialis.
Insiden herpes zoster tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedaan angka kesakitan antara pria dan wanita. Angka kesakitan meningkat dengan peningkatan usia. Diperkirakan terdapat antara 1,3-5 per 1000 orang per tahun. Lebih dari 2/3 kasus berusia di atas 50 tahun dan kurang dari 10% kasus berusia di bawah 20 tahun. Patogenesis herpes zoster belum seluruhnya diketahui. Selama terjadi varisela, virus varisela zoster berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik dan ditransportasikan secara sentripetal melalui serabut saraf sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion terjadi infeksi laten, virus tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi infeksius. Herpes zoster pada umumnya terjadi pada dermatom sesuai dengan lokasi ruam varisela yang terpadat. Aktivasi virus varisela zoster laten diduga karena keadaan tertentu yang berhubungan dengan imunosupresi, dan imunitas selular merupakan faktor penting untuk pertahanan pejamu terhadap infeksi endogen. Komplikasi herpes zoster dapat terjadi pada 10-15% kasus, komplikasi yang terbanyak adalah neuralgia paska herpetik yaitu berupa rasa nyeri yang persisten setelah krusta terlepas. Komplikasi jarang terjadi pada usia di bawah 40 tahun, tetapi hampir 1/3 kasus terjadi pada usia di atas 60 tahun. Penyebaran dari ganglion yang terkena secara langsung atau lewat aliran darah sehingga terjadi herpes zoster generalisata. Hal ini dapat terjadi oleh karena defek imunologi karena keganasan atau pengobatan imunosupresi.
21