Referat Asma Bismillah.docx

  • Uploaded by: indri lestari hazizah
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Asma Bismillah.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,480
  • Pages: 21
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, sampai dapat bersifat menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. Asma juga dapat menyebabkan produktivitas menurun seperti didak masuk kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan disability (kecacatan), sehingga menyebabkan kualitas hidup menurun1. Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya diikuti dengan kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari data berbagai negara yang menunjukkan peningkatan kunjungan ke instalasi gawat darurat (IGD) hingga rawat inap. Asma juga dapat menimbulkan kesakitan dan bahkan kematian. Berbagai argumentasi diajukan seperti perbaikan kolektif data, perbaikan diagnosis dan deteksi perburukan dan sebagainya. Akan tetapi juga disadari masih banyak permasalahan akibat keterlambatan penanganan baik karena penderita maupun dokter (medis). Kesepakatan bagaimana menangani asma dengan benar yang dilakukan oleh National Institute of Heallth National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) bekerja sama dengan World Health Organization (WHO) bertujuan memberikan petunjuk bagi para dokter dan tenaga kesehatan untuk melakukan penatalaksanaan asma yang optimal sehingga menurunkan angka kesakitan dan kematian asma. Petunjuk penatalaksanaan yang telah dibuat dianjurkan dipakai di seluruh dunia disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan negara masingmasing. Merujuk kepada pedoman tersebut, disusun pedoman penanggulangan asma di Indonesia. Diharapkan dengan mengikuti petunjuk ini dokter dapat menatalaksana asma dengan tepat dan benar, baik yang bekerja di layanan kesehatan dengan fasilitas minimal di daerah terpencil, maupun di rumah sakit dengan fasilitas lengkap di pusat-pusat kota1.

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asma 2.1.1 Definisi Asma Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan1. Definisi lain asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan peradangan saluran napas kronis. Hal ini didefinisikan dengan riwayat gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas, sesak dada dan batuk yang bervariasi dari waktu ke waktu, dalam intensitas, dan dengan adanya variabel keterbatasan aliran udara ekspirasi. Definisi ini dicapai dengan konsensus, berdasarkan pertimbangan karakteristik yang khas dari asma dan yang membedakannya dari kondisi pernapasan lainnya2. 2.1.2 Epidemiologi Asma The Global Asthma Report, melaporkan bahwa jumlah penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 334 juta pada tahun 2014. Prevalensi asma di berbagai negara berkisar antara 1% hingga 18% dari populasi.2 Menurut estimasi yang dilakukan oleh WHO, kejadian penyakit asma di dunia akan meningkat sebesar 100 juta penderita baru di berbagai negara di dunia pada tahun 2025 (WHO, 2005).7 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013, prevalensi asma nasional di Indonesia mencapai 4,5%. Artinya, dari 220 juta penduduk Indonesia terdapat 9 juta penduduk yang menderita asma. Angka kejadian asma meningkat 1,4 kali pada rentang umur 15-23 tahun dibandingkan dengan kelompok umur sebelumnya, yaitu 5-14 tahun. Asma juga lebih dominan terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki.8

2

2.1.3 Faktor Resiko Asma3 Secara umum faktor resiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: 1. Faktor host a. Genetik b. Gender c. Obesitas 2. Faktor lingkungan a. Alergen

didalam

ruangan

(tungau,

debu

rumah,

kucing,

alternaria/jamur) b. Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari) c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut, susu sapi, telur) d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker) e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll) f. Ekspresi emosi berlebih g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif. h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan i. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas tertentu j. Perubahan cuaca. 2.1.4 Patogenesis Asma Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin. Adapun patofisiologi asma sebagai berikut. 1 2.4.1 Inflamasi Akut Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri

3

atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat. 2.4.2 Reaksi Asma Tipe Cepat Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi. 2.4.3 Reaksi Asma Fase Lambat Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.

Gambar 1. Proses Imunologis

2.4.4 Inflamasi Kronik Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus. 2.4.5 Limfosit T Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2). Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama IL-13

4

menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. 2.4.6 Epitel Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin. Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel. 2.4.6 Eosinofil Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas. 2.4.6 Sel Mast Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF. 2.4.7Airway Remodeling

Reaksi inflamasi pada saluran nafas menimbulkan penyempitan yang ireversibel pada saluran nafas(airway remodeling) akibat fibrosis subepitelial, hipertrofi otot polos saluran nafas, penebalan pembuluh darah dan hipersekresi mukus. Hal ini merupakan langkah terakhir terjadinya gejala dan perubahan

5

fisiologik saluran nafas pada asma, yaitu berupa kontraksi otot polos, edem, penebalan dinding dan hipersekresi mukus. Hiperesponsif ini bersifat responsif secara parsil terhadap obat.

Gambar 2. Inflamasi dan remodelling pada asma

Gambar 3. Asthmatic airway

2.1.5 Klasifikasi Asma1 Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai (tabel 1). Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan; dan pengobatan yang telah berlangsung seringkali tidak adekuat. Dipahami pengobatan akan mengubah gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada 6

penderita dalam pengobatan juga harus mempertimbangkan pengobatan itu sendiri. Tabel 2 menunjukkan bagaimana melakukan penilaian berat asma pada penderita yang sudah dalam pengobatan. Bila pengobatan yang sedang dijalani sesuai dengan gambaran klinis yang ada, maka derajat berat asma naik satu tingkat. Tabel 1 Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (sebelum pengobatan)1

7

Tabel 2 Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan1

2.1.6 Diagnosis Asma Diagnosis asma ditegakkan berdasarkan : 1. Anamnesis4 :  Riwayat pengulangan batuk mengi, sulit bernafas, atau berat dada yang memburuk pada malam hari atau secara musiman.  Riwayat asma sebelumnya  Manifestasi atopik misalnya rhinitis alergika, yang bisa juga ada pada keluarga  Keluhan timbul atau memburuk oleh infeksi pernafasan, rangsangan bulu binatang, serbuk sari, asap, bahan kimia, perubahan suhu, debu rumah, obat – obatan ( aspirin, penghambat beta ), olah raga, rangsang emosi yang kuat  Keluhan berkurang dengan pemberian obat asma

8

2. Pemeriksaan Fisik : Dapat dijumpai adanya sesak nafas, pernafasan mengi dan perpanjangan ekspirasi tanda emfisema pada asma yang berat5. a) Vital

Sign

Fitur

umum

dicatat

selama

serangan

asma

akut

tingkat pernapasan cepat (sering 25 sampai 40 napas per menit), takikardia, dan pulsus paradoksus5. b) PemeriksaanThorak5 Pemeriksaan dapat mengungkapkan bahwa pasien yang mengalami serangan asma dapat dijumpai:  Inspeksi: sesak (napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrium, retraksi suprasternal)  Palpasi: biasanya tidak ditemukan kelainan, pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus  Perkusi: biasanya tidak ditemukan kelainan  Auskultasi: ekspirasi memanjang,wheezing 3. Pemeriksaan Penunjang :  Spirometri4 : -

( Volum Ekpirasi Paksa 1 detik ) VEP1< 70% dari nilai prediksi menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.

-

Tes reversibilitas : peningkatan VEP1 ≥ 12% dan ≥ 200 ml menunjukkan reversibilitas yang menyokong diagnosis asma

 Arus Puncak Ekspirasi ( APE )4 : -

Reversibilitas. Peningkatan 60 L/menit ( atau ≥ 20% ) dengan pemberian bronkodilator ( misalnya 200-400 ugr salbutamol ), atau variasi diurnal dari APE ≥ 20% ( dengan bacaan 2x sehari > 10% ) menyokong diagnosis asma

-

Variabilitas. Merujuk pada perbaikan atau pemburukan gejala atau fungsi paru dalam periode tertentu misal 1 hari ( variabilitas diurnal ), hari atau bulanan.

9

 Pengukuran Status Alergi5 Untuk mengidentifikasi komponen alergi pada asma dapat dilakukan pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum dan eosinofil. Uji ini dapat membantu mengidentifikasi faktor pencetus sehingga dapat dilakukan pencegahan terarah. Umumnya dilakukan skin prick test.

Namun, uji ini dapat menghasilkan positif palsu

maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi pajanan alergen dengan timbulnya gejala harus selalu dilakukan.  Analisa Gas Darah5 Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma berat. Pada fase awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnea (PaCO2 < 35 mmHg) kemudian pada stadium yang lebih berat pada PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-kapnea. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadi hiperkapnea (PaCO2 ≥ 45 mmHg), hipoksemia, dan asidosis respiratorik.  Foto Toraks5 Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan adanya kelainan. 2.1.7 Diagnosis Banding Bila menemukan keluhan batuk sesak, mengi salah satu kelainan yang perlu dipikirkan adalah obstruksi saluran nafas atas. Diagnosis banding asma5 : Tabel 3. Diagnosis banding asma

Kategori Penyakit penyebab sesak berulang

Kriteria PPOK, penyakit jantung coroner, GERD, gagal jantung kongestif, emboli paru

10

Penyakit yang menimbulkan batuk

Rhinitis, sinusitis, otitis, bronkiektasis

Penyakit yang sering menimbulkan PPOK, cystic fibrosis obstruksi saluran nafas 2.1.8 Penatalaksanaan Asma 4 Komponen Tata Laksana Asma. GINA ( 2011 ) mengajukan 4 komponen tata laksana yang dibutuhkan untuk mencapai dan mempertahankan kontrol asma3 : 1. Mengembangkan Kerjasama Dokter dengan Pasien Diupayakan tercapainya kerjasama yang baik antara dokter dan pasien, dan melakukan edukasi pasien tentang asma dan tatakelola asma yang perlu mereka kerjakan. Manajemen yang efektif diperoleh bila pasien dapat aktif merawat diri sendiri yaitu bila ia telah mampu : a) Menghindari faktor resiko b) Menggunakan obatnya secara benar dan teratur sesuai yang telah ditentukan c) Mengerti penggunaan obat pengontrol dan pelega d) Mampu memonitor asma dan bila mungkin bisa menggunakan PEF meter e) Mengenal tanda pemburukan asma dan cara mengatasinya f) Konsultasi bila diperlukan 2. Mengenal dan mengurangi paparan terhadap faktor resiko Pasien harus mengetahui faktor pencetus asma mereka dan berusaha menghindari berbagai faktor yang dapat mencetuskan asmanya seperti diuraikan mengenai faktor pencetus asma. Pasien tetap melakukan olah raga sesuai kamampuannya dan bila perlu sebelum olah raga terlebih dahulu menggunakan obat asma. 3. Evaluasi, Terapi dan Monitor Asma Algoritma 1 menunjukkan suatu cara tata laksana asma secara garis besar yang dapat dipergunakan sebagai dasar diagnosis asma, evaluasi

11

kontrol/beratnya asma, tempat perawatan dan tingkat terapi yang diberikan pada pasien yang datang ke klinik asma atau klinik emergensi. Tindak lanjut terapi pasien ditentukan berdasarkan respon pasien hingga pasien dapat pulang untuk berobat. 4. Monitoring untuk mempertahankan kontrol asma Pasien kontrol 1 – 3 bulan kemudian dan seterusnya 3 bulan sekali. Bila adaeksaserbasi kontrol tiap 2 – 4 minggu, ditanyakan mengenai hasil kontrol asma yang tercapai, kepatuhan pasien menggunakan inhaler dan PEF meter secara benar atau adanya masalah lain pada pasien. Penyesuaian obat dilakukan untuk mendapatkan kontrol yaitu ditingkatkan regimen obat bila tak terkontrol/atau terkontrol sebagian, sedangkan bila terkontrol baik selama 3 bulan diturunkan dosis dan langkah terapi secara perlahan, hingga batas dosis obat minimal yang dapat mengontrol. Monitoring tetap diperlukan meskipun kontrol telah tercapai karena asma adalah penyakit yang bervariasi hingga terapi perlu disesuaikan secara berkala sebagai respon terhadap tanda – tanda kurangnya kontrol yang ditandai oleh gejala yang memburuk atau timbulnya eksaserbasi.  Obat Asma Obat asma dapat digolongkan menjadi pengendali ( controller ) dan pelega ( reliever ). Controller adalah obat yang dikonsumsi tiap hari untuk membuat asma dalam keadaan terkontrol terutama melalui efek anti inflamasi. Reliever adalah obat yang digunakan bila perlu berdasar efek cepat

untuk

menghilangkan

bronkokontriksi

dan

menghilangkan

gejalanya2. Tabel 4. Penggolongan obat asma

Controller

Reliever

Kortikosteroid (inhalasi, sistemik)

Short acting b2 agonist (SABA) : inhalasi, oral

12

Leukotriene modifeier

Kortikosteroid sistemik

Long acting b2 agonist (LABA) : Antikolinergik : Ipratropium br, oxitropium inhalasi, oral Chromolin: Sodium cromoglycate Teofilin dan Nedocromil Teofilin lepas lambat Anti IgE Antikolinergik: Tiotropium  Obat pengendali (Controller)2

Pencegah adalah obat asma yang digunakan jangka panjang untuk mengontrol asma, karena mempunyai kemampuan untuk mengatasi proses inflamasi yang merupakan patogenesis dasar penyakit asma. Obat ini diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten, dan sering disebut sebagai obat pencegah. Berbagai obat yang mempunyai sifat sebagai pencegah, antara lain: a) Kortikosteroid inhalasi3

Tabel 5. Obat dan Dosis Kortikosteroid Inhalansi untuk dewasa

13

Tabel 6. Obat dan Dosis Kortikosteroid Inhalansi untuk anak.

b) Kortikosteroid sistemik c) Sodium chromoglicate dan sodium Nedochromil Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau tidak. d) Methylxanthine Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. e) Agonis β2 kerja lama (LABA) inhalasi Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan

14

permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan basofil. f) Leukotriene modifiers Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil). g) obat-obat anti alergi

15

Tabel 7. Obat asma controller4

 Penghilang gejala (Reliever)4 Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk penghilang gejala adalah4. 

Agonis beta2 kerja singkat Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Mekanisme kerja sebagaimana agonis

beta-2

yaitu

relaksasi

otot

polos

saluran

napas,

meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma 

Kortikosteroid sistemik. Steroid sistemik digunakan sebagai obat penghilang gejala bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan

dengan

bronkodilator lain. 

Antikolinergik Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik 16

vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide.

Tabel 8. Obat Reliever4

 Tahapan pengobatan asma6 : Tahap 1. Gejala asma sangat jarang, faal paru normal, tidak ada riwayat pengobatan dengan pengontrol kortikosteroid inhalasi, maka pasien diberikan obat penghilang gejala. Adapun yang direkomendasikan adalah agonis beta-2 kerja singkat (SABA) inhalasi. Alternatif lainnya adalah SABA oral, kombinasi oral SABA dan teofilin/aminofilin atau antikolinergik kerja singkat inhalasi Tahap 2 sampai dengan 5, pengobatan pengontrol teratur jika perlu6. Tahap 2. Ditemukan gejala asma dan eksaserbasi atau perburukan yang periodik, dengan atau tanpa riwayat pengobatan kortikosteroid inhalasi sebelumnya, maka diberikan pengontrol kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan penghilang gejala jika perlu. Alternatif pengontrol lainnya adalah anti-leukotrien bagi pasien yang tidak tepat menggunakan kortikosteroid inhalasi dan pasien dengan rhinitis alergika. Selain itu,

17

dapat pula diberikan teofilin lepas lambat kepada pasien dengan gangguan asma malam hari6. Tahap 3. Tahap ini untuk pasien yang tidak kunjung membaik di tahap 2 selama kurang-lebih 12 minggu dan diyakini tidak ada masalah lain seperti kepatuhan, pencetus, dan lain-lain. Pasien diberikan pengontrol kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan agonis beta-2 kerja lama (LABA) yang disebut LABACS. Alternatif lainnya sama dengan tahap 26. Tahap 4. Tahapan setelah tahap 3 dimana harus dinilai apakah gejala pasien sudah terkontrol sebagian atau belum terkontrol, kepatuhan pasien, komorbiditas, dan pencetus. Pengobatan yang diberikan adalah LABACS dimana kortikosteroid inhalasi diberikan dalam dosis sedang-tinggi6. Tahap 5. Obat yang diberikan adalah LABACS dengan dosis kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dan jika perlu dapat ditambahkan kortikosteroid oral dosis terendah. Kortikosteroid oral bekerja sistemik sehingga diharapkan dapat mempercepat penyembuhan, mencegah kekambuhan, memperpendek hari rawat, dan mencegah kematian6. 2.1.9 Pencegahan asma5 Upaya pencegahan asma dapat ditujukan pada pencegahan sensitisasi alergi (terbentuknya atopi, nampaknya paling relevan waktu prenatal dan perinatal) atau mencegah terbentuknya asma pada individu yang tersensitisasi. Selain mencegah paparan tembakau / rokok waktu dalam kandungan atau setelah kelahiran, tidak ada intervensi yang terbukti dan diterima luas dapat mencegah terbentuknya asma. Hygiene hypothesis asma. Walaupun kontroversi nama telah membawa penegasan bahwa mencegah sensitisasi alergi harus focus mengarahkan kembali repons imun

dari bayi ke Th1 atau modulasi T

regulator cell. Tetapi strategi tersebut saat ini masuh merupakan alam hipotesis dan perlu penelitian lebih banyak.

18

2.1.10 Prognosis6 Asma biasanya kronis , meskipun kadang-kadang masuk ke periode panjang remisi . Prospek jangka panjang umumnya tergantung pada tingkat keparahan. Dalam kasus-kasus ringan sampai sedang , asma dapat meningkatkan dari waktu ke waktu , dan banyak orang dewasa bahkan bebas dari gejala. Bahkan dalam beberapa kasus yang parah , orang dewasa mungkin mengalami perbaikan tergantung pada derajat obstruksi di paru-paru dan ketepatan waktu dan efektivitas pengobatan . Pada sekitar 10 % kasus persisten berat , perubahan dalam struktur dinding saluran udara menyebabkan masalah progresif dan ireversibel dalam fungsi paru-paru , bahkan pada pasien yang diobati secara agresif . Fungsi paru-paru menurun lebih cepat daripada rata-rata pada orang dengan asma , terutama pada mereka yang merokok dan pada mereka dengan produksi lendir yang berlebihan ( indikator kontrol perlakuan buruk ) . Kematian dari asma adalah peristiwa yang relatif jarang , dan kematian asma yang paling dapat dicegah . Hal ini sangat jarang orang yang menerima perawatan yang tepat untuk mati asma . Namun, bahkan jika tidak mengancam nyawa , asma dapat melemahkan dan menakutkan . Asma yang tidak terkontrol dengan baik dapat mengganggu sekolah dan bekerja , serta kegiatan sehari-hari.

19

BAB III RINGKASAN Asma sudah lama dikenal namun baru akhir – akhir ini menjadi masalah kesehatan yang menonjol. Keradangan saluran nafas pada asma sangat komplek dalam asal mula, regulasi dan outcome. Adanya predisposisi genetic yang terjadi reaksi inflamasi alergi. Konsekuensi dari inflamasi kronik akan terjadi airway remodeling. Batuk, sesak nafas, wheezing merupakan trias gejala asma. Bila gejala dan tanda tidak spesifik sulit dibedakan dengan penyakit lain, oleh sebab itu diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Faal paru yang menunjukkan obstruksi yang reversible merupakan alat diagnosis pasti.

20

DAFTAR PUSTAKA

1.

Perhimpunan

Paru

Indonesia.

2003.

Pedoman

Diagnosis

dan

Penatalaksanaan di Indonesia. (http://www.klikpdpi.com/konsensus/asm a/asma.pdf, diakses tanggal 28 Agustus 2016) 2.

Global Initiative for Astham. 2015. Global strategy for asthma management and prevention. (http://www.ginasthma.org/local/uploads/files/GINA_Report2015_Tracked.p df, diakses tanggal 28 Agustus 2016)

3.

Pocket Guide for Asthma management and Prevention. Gina (Global Initiative for Asthma). Updated 2015. (http://www.ginasthma.org/local/uploads/files/GINA_Pocket_2015.pdf, diakses tanggal 28 Agustus 2016)

4.

Dahlan Zulkarnain, dkk. 2012. Kompendium Tatalaksana Penyakit Respirasi dan Kritis Paru. Jakarta : Perhimpunan Respirologi Indonesia.

5.

Wibisono M. Jusuf dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2010. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair.

6.

Dewan Asma Indonesia. 2011. Pedoman Tatalaksana Asma. Jakarta: CV Mahkota Dirfan; hal. 36-48.

7.

J Bousquet. 2005. The Public Health Implications of Asthma - World Health Organization. http:/ www.who.int/bulletin/volumes/83/7/548.pdf.

8.

Riset

Kesehatan

Dasar.

2013.

Prevalensi

Asma

di

Indonesia.

http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%2 02013.pdf

21

Related Documents

Asma'
June 2020 38
Asma
November 2019 62
Asma
November 2019 54
Asma
June 2020 40
Asma
November 2019 54

More Documents from ""