Refarat Empiema Fixed.docx

  • Uploaded by: Fikri Hakim
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Refarat Empiema Fixed.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,954
  • Pages: 37
BAB I

PENDAHULUAN Infeksi pneumonia dan peradangan terkait pada lapisan pleura dapat menyebabkan efusi pleura parapneumonic eksudatif tanpa komplikasi. Efusi ini akan menjadi terkomplikasi jika ada invasi ruang pleura oleh bakteri. Istilah 'empyema' berasal dari kata Yunani pyon, yang berarti nanah dan empyein, yang berarti memproduksi nanah. Jadi dengan definisi keberadaan nanah di ruang pleura dapat ditegakkan diagnosis empiema.1 Sementara penyakit ini berkembang dalam suatu lanjutan, ia telah dibagi menjadi 3 tahap berbeda oleh American Thoracic Society. Tahap pertama adalah tahap eksudatif, dimana eksudat steril dalam jumlah seluler terakumulasi dalam ruang pleura. Tahap kedua adalah tahap fibrinopurulent ; dimana nanah hadir dengan peningkatan sel leukosit. Tahap ketiga adalah tahap proliferasi fibroblast terorganisir mengarah pada pembentukan kulit tebal dan berpotensi terjadinya perlengketan pada paru, dimana ruang pleura ditandai oleh eksudat yang sangat tebal dengan sedimen yang berat.2 Efusi parapneumonik adalah efusi pleura sekunder yang dapat diakibatkan pneumonia (bakteri atau virus) atau abses paru. Empyema didefinisikan sebagai nanah yang berada di ruang pleura. Empyema adalah komplikasi yang tidak biasa didapatkan dari pneumonia pada anak. Meskipun tingkat kematian pada empiema pediatrik sangat rendah, empiema menyebabkan morbiditas yang signifikan termasuk biaya perawatan kesehatan yang besar dan beban perawatan.2 Efusi parapneumonik terjadi pada 20 hingga 40% pasien dirawat di rumah sakit dengan pneumonia. Tingkat kematian pada pasien dengan efusi parapneumonic lebih tinggi dari pada pasien dengan pneumonia tanpa efusi parapneumonic. Beberapa kematian yang terjadi disebabkan oleh kesalahan dalam penalaksanaan efusi parapneumonic.2

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi & Fisiologi Paru dan Pleura Paru adalah parenkim yang berada bersama-sama dengan bronkus dan percabangan-percabangannya. Di bungkus oleh pleura, mengikuti gerakan dinding toraks pada waktu inspirasi dan expirasi. Bentuknya di pengaruhi oleh organorgan yang berada di sekitarnya.6,7

1.

Paru

Gambar 1. Anatomi Paru Sumber : F. Paulse, J waschke. 2012. Atlas sobota anatomi ed. 23. Jakarta: EGC. Paru memiliki area permukaan alveolar kurang lebih seluas 40 m2 untuk pertukaran udara. Tiap paru memiliki: apeks yang mencapai ujung sternal kosta pertama, permukaan costovertebral yang melapisi dinding dada, basis yang terletak di atas diafragma dan permukaan mediastinal yang menempel dan membentuk struktur mediastinal di sebelahnya. Paru kanan terbagi menjadi lobus atas, tengah, dan bawah oleh fissura obliqus dan horizontal. Paru kiri hanya memiliki fissura obliqus sehingga tidak ada lobus tengah. Segmen lingular merupakan sisi kiri yang ekuivalen dengan lobus tengah kanan seperti pada

2

gambar. Namun, secara anatomis lingual merupakan bagian dari lobus atas kiri. Struktur yang masuk dan keluar dari paru melewati hilus paru yang diselubungi oleh kantung pleura yang longgar. Setiap paru diselubungi oleh kantung pleura berdinding ganda yang membrannya melapisi bagian dalam toraks dan menyelubungi permukaan luar paru. Setiap pleura mengandung beberapa lapis jaringan ikat elastik dan mengandung banyak kapiler. Diantara lapisan pleura tersebut terdapat cairan yang bervolume sekitar 25-30 mL yang disebut cairan pleura. Cairan pleura tersebut berfungsi sebagai pelumas untuk gerakan paru di dalam rongga.6,7 Bronki dan jaringan parenkim paru mendapat pasokan darah dari arteri bronkialis cabang-cabang dari aorta thoracalis descendens. Vena bronkialis, yang juga berhubungan dengan vena pulmonalis, mengalirkan darah ke vena azigos dan vena hemiazigos. Alveoli mendapat darah deoksigenasi dari cabang-cabang terminal arteri pulmonalis dan darah yang teroksigenasi mengalir kembali melalui cabang-cabang vena pulmonalis. Dua vena pulmonalis mengalirkan darah kembali dari tiap paru ke atrium kiri jantung. Drainase limfatik paru mengalir kembali dari perifer menuju kelompok kelenjar getah bening trakeobronkial hilar dan selanjutnya menuju trunkus limfatikus mediastinal. Paru dipersyarafi oleh pleksus pulmonalis yang terletak di pangkal paru. Pleksus ini terdiri dari serabut simpatis (dari truncus simpaticus) dan serabut parasimpatis (dari arteri vagus). Serabut eferen dari pleksus mensarafi otot-otot bronkus dan serabut aferen diterima dari membran mukosa bronkioli dan alveoli. 7,8

2.

Pleura Pleura merupakan membran serosa intratoraks yang membatasi rongga

pleura, secara embriogenik berasal dari jaringan intraembrionik. Terdiri dari pleura viseral dan pleura parietal, seperti pada gambar 2. Pleura secara mikroskopis tersusun atas lapisan mesotel, lamina basalis, lapisan elastik superfi sial, lapisan jaringan ikat longgar, dan lapisan jaringan fibroelastik dalam.6,7

3

Gambar 2. Anatomi Pleura viseral dan parietal serta struktur sekitar pleura Sumber : F. Paulse, J waschke. 2012. Atlas sobota anatomi ed. 23. Jakarta: EGC. Tekanan pleura bersama tekanan jalan napas menimbulkan tekanan transpulmoner yang memengaruhi pengembangan paru dalam proses respirasi. Cairan pleura dalam jumlah tertentu berfungsi untuk memungkinkan pergerakan kedua pleura tanpa hambatan selama proses respirasi. Keseimbangan cairan pleura diatur melalui mekanisme hukum Starling dan sistem penyaliran limfatik pleura.6,7 Pleura viseral membatasi permukaan luar parenkim paru termasuk fisura interlobaris, sementara pleura parietal membatasi dinding dada yang tersusun dari otot dada dan tulang iga, serta diafragma, mediastinum dan struktur servikal.6,7 Pleura viseral dan parietal memiliki perbedaan inervasi dan vaskularisasi. Pleura viseral diinervasi saraf-saraf otonom dan mendapat aliran darah dari sirkulasi pulmoner, sementara pleura parietal diinervasi sarafsaraf interkostalis dan nervus frenikus serta mendapat aliran darah sistemik. Pleura viseral dan pleura parietal terpisah oleh rongga pleura yang mengandung sejumlah tertentu cairan pleura.6,7

4

Cairan pleura mengandung 1.500 – 4.500 sel/ mL, terdiri dari makrofag (75%), limfosit (23%), sel darah merah dan mesotel bebas. Cairan pleura normal mengandung protein 1 – 2 g/100 mL. Elektroforesis protein cairan pleura menunjukkan bahwa kadar protein cairan pleura setara dengan kadar protein serum, namun kadar protein berat molekul rendah seperti albumin, lebih tinggi dalam cairan pleura. 6,7 Pleura berperan dalam sistem pernapasan melalui tekanan pleura yang ditimbulkan oleh rongga pleura. Tekanan pleura bersama tekanan jalan napas akan menimbulkan tekanan transpulmoner yang selanjutnya akan memengaruhi pengembangan paru dalam proses respirasi. Pengembangan paru terjadi bila kerja otot dan tekanan transpulmoner berhasil mengatasi rekoil. Elastik (elastic recoil) paru dan dinding dada sehingga terjadi proses respirasi. Jumlah cairan rongga pleura diatur keseimbangan Starling yang ditimbulkan oleh tekanan pleura dan kapiler, kemampuan sistem limfatik pleura serta keseimbangan elektrolit. Ketidakseimbangan komponen-komponen gaya ini menyebabkan penumpukan cairan sehingga terjadi efusi pleura.6,7 Tekanan pleura secara fisiologis memiliki dua pengertian yaitu tekanan cairan pleura dan tekanan permukaan pleura. Tekanan cairan pleura mencerminkan dinamik aliran cairan melewati membran dan bernilai sekitar -10 cmH2O. Tekanan permukaan pleura mencerminkan keseimbangan elastik rekoil dinding dada ke arah luar dengan elastik rekoil paru ke arah dalam. Nilai tekanan pleura tidak serupa di seluruh permukaan rongga pleura; lebih negatif di apeks paru dan lebih positif di basal paru.6,7,8 Perbedaan bentuk dinding dada dengan paru dan faktor gravitasi menyebabkan perbedaan tekanan pleura secara vertikal; perbedaan tekanan pleura antara bagian basal paru dengan apeks paru dapat mencapai 8 cmH2O, seperti terlihat pada gambar 3, tekanan alveolus relatif rata di seluruh jaringan paru normal sehingga gradien tekanan resultan di rongga pleura berbeda pada berbagai permukaan pleura. Gradien tekanan di apeks lebih besar dibandingkan basal sehingga formasi bleb pleura terutama terjadi di apeks paru dan merupakan

5

penyebab pneumotoraks spontan. Gradien ini juga menyebabkan variasi distribusi ventilasi.7,8 Pleura viseral dan parietal saling tertolak oleh gaya potensial molekul fosfolipid yang diabsorpsi permukaan masing-masing pleura oleh mikrovili mesotel sehingga terbentuk lubrikasi untuk mengurangi friksi saat respirasi.7,8 Proses respirasi melibatkan tekanan pleura dan tekanan jalan napas. Udara mengalir melalui jalan napas dipengaruhi tekanan pengembangan jalan napas yang mempertahankan saluran napas tetap terbuka serta tekanan luar jaringan paru (tekanan pleura) yang melingkupi dan menekan saluran napas. Perbedaan antara kedua tekanan (tekanan jalan napas dikurangi tekanan pleura) disebut tekanantranspulmoner. Tekanan transpulmoner memengaruhi pengembangan paru sehingga memengaruhi jumlah udara paru saat respirasi. 7,8

Gambar 3. Skema Tekanan Dan Pergerakan Cairan Pada Rongga Pleura Sumber : Sherwood. Fisiologi Manusia Edisi 6. 2012. EGC. Jakarta. Rongga pleura terisi cairan dari pembuluh kapiler pleura, ruang interstitial paru, saluran limfatik intratoraks, pembuluh kapiler intratoraks dan rongga peritoneum. Neergard mengemukakan hipotesis bahwa aliran cairan pleura

6

sepenuhnya bergantung perbedaan tekanan hidrostatik dan osmotik kapiler sistemik dengan kapiler pulmoner.7,8 Perpindahan cairan ini mengikuti hukum Starling berikut: Jv = Kf × ([P kapiler – P pleura] - σ [π kapiler – π pleura]) Jv : aliran cairan transpleura, Kf : koefisien filtrasi yang merupakan perkalian konduktivitas hidrolik membran dengan luas permukaan membran, P : tekanan hidrostatik, σ : koefisien kemampuan restriksi membran terhadap migrasi molekul besar, π : tekanan onkotik.

Gambar 4. Skema fisiologis aliran cairan transpleura Sumber : Sherwood. Fisiologi Manusia Edisi 6. 2012. EGC. Jakarta. Faktor-faktor dan keadaan-keadaan penyebab peningkatan pembentukan cairan pleura atau penurunan eliminasi cairan pleura pada keadaan efusi pleura dirangkum dalam Tabel. 8,9

7

Peningkatan Pembentukan Cairan Pleura -

Peningkatan cairan interstitital paru ;

Penurunan Eliminasi Cairan Pleura -

gagal jantung kiri, peumonia, emboli paru -

parietal

Peningkatan tekanan intravaskular pleura ; gagal jantung kanan atau kiri,

-

Obstruksinya aliran limfatik pleura

-

Peningkatan tekanan vaskular

sindroma vena kava superior

sistemik : sindrom vena kava

Peningkatan permeabilitas kapiler

superior, gagal jantung kanan

pleura ; inflamasi pleura, penignkatan kadar VEGF -

Penignkatan kadar protein cairan pleura

-

Penurunan tekanan pleura ; atelektasis, peningkatan tekanan rekoil elastik paru

-

Peningkatan akumulasi ceiran peritoneum ; Asites, dialisis peritoneum

-

Disrupsi duktus torsikus

-

Disrupsi pembuluh darah rongga dada

Tabel 1. Penyebab Penumpukan Cairan di Rongga Pleura Sumber : Sherwood. Fisiologi Manusia Edisi 6. 2012. EGC. Jakarta. Sylvia dkk.

Buku Ajar Patologi edisi 6. 2006. EGC. Jakarta. Jaringan interstitial secara fungsional mengalirkan cairan ke sistem penyaliran limfatik. Cairan pleura yang difiltrasi pada bagian parietal mikrosirkulasi sistemik masuk ke jaringan interstitial ekstrapleura menuju rongga pleura dengan gradien tekanan (aliran cairan) yang lebih kecil. Rongga pleura secara fisiologis terbagi menjadi lima ruang yaitu sirkulasi sistemik parietal, jaringan interstitial ekstrapleura, rongga pleura, jaringan interstitial paru dan mikrosirkulasi viseral.7,8 Jumlah cairan pleura tergantung mekanisme gaya Starling (laju filtrasi kapiler di pleura parietal) dan sistem penyaliran limfatik melalui stoma di pleura parietal. Senyawa-senyawa protein, sel-sel dan zat-zat partikulat dieliminasi dari rongga pleura melalui penyaliran limfatik ini. Peningkatan volume tidal maupun 8

frekuensi respirasi meningkatkan eliminasi limfatik pleura. Kapasitas eliminasi limfatik pleura secara umum 20 – 28 kali lebih besar dibandingkan pembentukan cairan pleura.7,8 Membran endotel sirkulasi viseral membatasi mikrosirkulasi viseral dengan jaringan interstitial paru dan membran endotel sirkulasi sistemik parietal membatasi sirkulasi sistemik dengan jaringan interstitial rongga pleura. Rongga pleura dibatasi oleh pleura viseral dan pleura parietal yang berfungsi sebagai membran. Penyaluran limfatik di lapisan submesotel pleura parietal bercabangcabang serta berdilatasi dan disebut lakuna. Lakuna di rongga pleura akan membentuk stoma. Aliran limfatik pleura parietal terhubung dengan rongga pleura melalui stoma dengan diameter 2 – 6 nm.7,8 B. Empyema Torasis a.

Definisi Empyema adalah suatu keadaan dimana pus dan cairan dari jaringan yang terinfeksi terkumpul di suatu rongga tubuh. Empyema berasal dari bahasa yunani “empyein” yang artinya kondisi yang menghasilkan nanah “proses supurasi”. Sehingga empyema toraks didefinisikan sebagai kondisi pengumpulan cairan nanah didalam rongga pleura seperti pada gambar 5.2,4,5

9

b. Etiologi Empyema toraks dapat disebabkan oleh infeksi yang berasal dari paru atau luar paru. Infeksi yang berasal dari paru adalah Pneumonia’ 40-60% (streptococcus, staphylococcus aureus, escherichia coli, haemophilus influenzae, klebsiella), Abses paru, Fistel bronkopleura, Bronkiektasis, Tuberculosis paru, Infeksi berasal dari luar paru, Post surgical 20-30% : Lung resection, Esophagectomy, dan Mediastinal procedures, Post traumatic 5-10%. 2,5 Penyebab empyema yang lain adalah Trauma, Iatrogenic infection, Thorachic drainage system, thoracentecis, Blood or lymph dissemination of extrathoracic infrection, Endocarditis, Mediastinitis, Esophageal rupture. Mikroorganisme penyebab tersering adalah staphylococcus, pneumococcus, dan stresptococcus, jarang terjadi empiema yang disebabkan oleh bakteri gram negatif seperti hemophilus influenza.2,5

10

c. Epidemiologi Hampir 90 % kasus empiema toraks disebabkan oleh staphylococcus aureus,kemudian penyebab kedua tersering diakibatkan oleh mikoorganisme pneumococcusdan terakhir penyebab yang paling jarang pada empyema adalah haemophilus influenza. Penurunan jumlah insiden kasus yang disebabkan oleh haemophilus influenza disebabkan oleh pengenalan vaksinasi HiB.1,2 Di negara yang sudah maju insiden empyema toraks pada saat ini sudah sangat menurun. Namun, di negara yang berkembang, insiden masih tinggi terutama pada masa bayi. 70% kasus terjadi sebagai parapneumonic effusion murni, 5-10% sebagai parapneumonic effusionsederhana dengan komplikasi, sementara sekitar 5% terjadi akibat trauma dada.1,2

d. Klasifikasi American thoracic society menjelaskan klasifikasi empyema toraks berdasarkan progres perkembangan pasien empyema:4,9 1) Tingkat Eksudatif (akut) Pada tingkatan ini terjadi inflamasi pada pleura yang menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas dan penumpukan cairan pada pleura. Pada tahap ini, cairan pleural mengandung banyak protein. Jumlah neutrofil meningkat dengan cepat. Kadar Glukosa dan pH normal. Terapi yang sesuai dengan tingkat ini adalah drainase efusi dan terapi antimikrobial. cairan pleural yang steril dengan cepat terakumulasi di ruang pleural. Cairan Pleural ini terakumulasi di ruang interstitial paru dan kapiler pleura viseral oleh karena adanya peningkatan permeabilitas. Cairan Pleural ini mengandung konsentrasi LDH dan leukosit yang rendah, dengan kadar glukosa dan pH dalam batas normal. Stadium ini umumnya berlangsung selama 24-72 jam kemudian berkembang menjadi stadium fibropurulen. 4,9

11

2) Tingkat Fibrinolitik / transisional Terdapat peningkatan kekentalan cairan pleural. Faktor pembekuan diaktifkan dan terdapat aktivitas fibroblastik yang mulai melapisi selaput pleural dengan suatu perekat. Kadar glukosa dan pH kurang dari normal. Sepanjang fase fibropurulen, invasi bakteri dari ruang pleural telah terjadi, yang ditandai dengan dengan adanya akumulasi dari leukosit polimorfonuklear, bakteri, dan debris selular. Akumulasi protein dan fibrin disertai pembentukan membran fibrin, yang membentuk bagian atau lokulasi dalam rongga pleura. Terdapat kecenderungan ke arah adanya lokulisasi, cairan pleural dengan kadar pH dan glukosa lebih rendah dan kadar LDH meningkat. Stadium ini berlangsung sekitar 7-10 hari dan sering membutuhkan penanganan yang lanjut seperti torakostomi dan pemasangan tube.4,9 3) Tingkat Organisir Aktivitas Fibroblastik pada fase ini menyebabkan terjadinya perlengketan yang kuat antara pleura viseral dan parietal. Aktivitas ini dapat terus berjalan sehingga tidak dapat dibedakan lagi antara pleura viseral dan parietal. Pus adalah suatu cairan yang kaya protein dan mediator pro inflamai. Pus berada di dalam ruang pleural. Tindakan pembedahan sering diperlukan pada tingkat ini. Sepanjang fase organisasi, fibroblas tumbuh dari permukaan pleural visceral dan parietal, dan mereka membentuk suatu membran tidak elastis disebut pleural kulit. Pada pasien yang tidak terapi, cairan pleural bisa mengalirkan secara spontan melalui dinding dada (disebut empyema nesesitasi). Empyema dapat muncul tanpa didahului dengan pneumonia. Penyebab yang paling umum adalah perforasi esofageal, trauma, prosedur yang berhubungan dengan pembedahan di ruang pleural dan sepsis. Stadium ini biasanya terjadi selama 2-4 minggu setelah gejala awal.4,9 Proses penyebaran empyema Terjadinya empiema toraks dapat melalui penjalaran hematogen maupun secara per continuitatum,4,9

12

1. Terjadi melalui penjalaran per continuitatum. Empyema toraks terjadi sebagai komplikasi

penyakit

pneumonia atau

bronchopneumonia dan abscessus

pulmonum, yang menjalar dan selanjutnya menembus pleura visceralis. 2. Terjadi melalui penjalaran hematogen. Empyema toraks terjadi sebagai manifestasi penjalaran infeksi dari focus lain misalnya pada trauma thoracis atau pada abses dinding toraks, yang kemudian menyebar melalui pembuluh darah dan sampai di pleura visceralis. Terjadinya empyema toraks adalah sebagai akibat dari invasi basil piogenik ke pleura, timbul peradangan akut yang diikuti dengan pembentukan eksudat serous yang didominasi oleh sel PMN dan terjadinya peningkatan kadar protein, sehingga membuat cairan pada empyema toraks menjadi keruh dan kental. 4,9 Pada empyema toraks terbentuk pula endapan-endapan fibrin yang membentuk ruang berisi cairan keruh dan kental. Apabila cairan ini menembus bronkus timbul fistel bronko pleura, atau menembus dinding toraks dan keluar melalui kulit disebut empyema nasessitasis.5,9 Empyema toraks dapat melibatkan salah satu atau kedua rongga pleura. Jika cairan pada rongga pleura tersebut tertimbun dan tidak disalurkan keluar, maka akan menembus ke dalam parenkim paru-paru dan menyebabkan terjadinya fistula.

5,9

Gambar 6. Jalur penjalaran bakteri yang menyebabkan infeksi pleura Sumber : Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit DalamJilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM; 2007.

13

Penegakan Diagnosis Empyema 1.

Anamnesis Gejala klinis yang paling sering adalah, Demam (keringat malam hari), Letargi, Dyspneu, Anorexia, Penurunan berat badan, Bunyi pernapasan menurun, Nyeri dada, Batuk, Sputum purulen 10,11

2.

Pemeriksaan fisik5,10,11 

Pada inspeksi nampak sisi yang sakit lebih cembung, tertinggal pada pernapasan.



Pada auskultasi dada ditemukan penurunan suara napas.



Pada perkusi dada ditemukan suara flatness.



Pada palpasi ditemukan penurunan focal fremitus.



Mediastinum terdorong ke sisi yang sehat.



Pada empiema yang kronis hemitoraks yang sakit mungkin sudah mengecil karena terbentuknya schwarte.

3.

Pemeriksaan penunjang



Foto toraks Pada pasien empyema, aliran bebas cairan pleura terkumpul di bagian tertentu

dari cavum pleura dan mengaburkan sudut kostophrenikus. Jumlah cairan pleura yang menyebabkan penumpulan sudut kostophrenikus pada foto toraks posisi lateral dekubitus sekitar 75 ml. Pada foto toraks PA jumlah cairan yang menyebabkan penumpulan sudut kostophrenikus sekitar 200 ml. Kedua posisi pada pemeriksaan foto toraks pasien empyema mempunyai arti penting untuk diagnosis empyema. 5,10 

USG Ultrasonografi (USG) selain dapat menunjukkan adanya cairan pleural dalam

volume kecil, juga dapat menyediakan informasi mengenai kekentalanya. Ultrasonografi dapat juga mempertunjukkan adanya pengumpulan cairan pleural dalam septa dengan cepat. Ultrasonografi juga digunakan sebagai pemandu dalam 14

penempatan kateter untuk drainase. Ultrasonografi dapat mempertunjukkan cairan pleural di dalam septa, tetapi kurang baik dalam menunjukkan adanya ketebalan pleura.5,10 

CT Scan CT scan digunakan untuk membedakan kelainan parenkim terhadap pleura,

mengevaluasi kelainan parenkim, menentukan lokasi, mengevaluasi permukaan pleura, dan membantu dalam penentuan terapi. 5,10 

MRI MRI jarang digunakan untuk tujuan melihat gambaran cairan pada rongga

pleura pasien empiema. MRI lebih umum digunakan untuk mengevaluasi penebalan

membran

pleura

ketika

pemberian

kontras

merupakan

kontraindikasi.5,10 

Analisis cairan pleura Rasio protein

Rasio laktat

Serum laktat

cairan pleura

dehidrogenase

dehidrogenase

cairan pleura Transudat

≤0,5

≤0,6

≤200 U/L

Eksudat

>0,5

>0,6

>200 U/L

Tabel 2. Analisis cairan pleura berdasaran kriteria Light

Penatalaksanaan Pengobatan bersifat individual pada tiap pasien, bergantung pada jenis atau fase dari empiema yang terjadi pada pasien. Pengobatan awal pasien dengan empiema melibatkan dua keputusan besar. Pertama, memilih suatu antibiotik yang sesuai. Kedua, memutuskan waktu yang tepat untuk pemasangan kateter drainase. Terapi Suportif Umum5,9 a) Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96% berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah. b) Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, dapat disertai nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme.

15

c) Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk dan napas dalam. Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan pengeluarn CO2. Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan. d) Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia, dan paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral. Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik, termasuk pada keadaan gangguan sirkulasi dan gagal ginjal. Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak diperkenankan. e) Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan. Terapi ini tidak bermanfaat pada keadaan renjatan septik. f) Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal.5 Prinsip pengobatan empiema adalah :5,11 

Pengosongan rongga pleura Prinsip ini seperti yang dilakukan pada abses dengan tujuan mencegah efek

toksis dengan cara membersihkan rongga pleura dari nanah dan jaringan-jaringan yang mati. Pengosongan rongga pleura dari cairan nanah, dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : 1) Closed drainage / tube thoracostomy / water sealed drainage (WSD) seperti pada gambar 7 Indikasi : -

Nanah sangat kental dan sulit di aspirasi

-

Nanah terus terbentuk setelah dua minggu

-

Terjadinya piopneumotoraks Upaya pemasangan WSD juga dapat dibantu dengan pengisapan negatif

sebesar 10-20 cmH2O jika peghisapan cairan nanah telah berjalan 3-4 minggu, tetapi tidak menunjukan adanya perbaikan kondisi, maka harus dipertimbangkan upaya terapi lain. 5,11

16

Gambar 7. Sistem Drainase Pada Pasien Empiema Sumber : Rosenstengel A (2012) Pleural infection: current diagnosis and management. Journal of ThoracicDisease. 4, 2, 186-193. 2) Open window thoracostomy / Open drainage (drainage terbuka) Pada prosedur ini dibutuhkan tindakan reseksi tulang iga karena menggunakan kateter toraks yang besar. Open drinage dikerjakan pada pasien empiema kronis karena terapi farmakologi yang terlambat diberikan, terapi farmakologi yang belum cukup adekut, atau karena prosedur drainage sebelumnya yang kurang bersih seperti pada gambar 8. 5,11

17

Gambar 8. Terapi open drainage pada pasien empiema Sumber : Rosenstengel A (2012) Pleural infection: current diagnosis and management. Journal of ThoracicDisease. 4, 2, 186-193. Keputusan dasar untuk memasang kateter adalah untuk kepentingan pemeriksaan cairan pleura. Jika thoracentesis diagnostik menghasilkan nanah yang kental, maka keadaan tersebut disebut empyema. 5,11 

Pemberian antibiotik yang tepat Mengingat penyebab utama kematian pasien empyema adalah karena

terjadinya sepsis, maka antibiotik memegang peranan penting. Antibiotik harus segera diberikan begitu diagnosis ditegakan dan dosisnya harus tepat. Pemilhan antibiotik didasarkan pada hasil pewarnaan gram dan apusan nanah. Pengobatan selanjutnya tergantung pada hasil uji kultur dan uji sensitivitasnya. Antibiotik dapat diberikan secara sistematik atau topikal. 5,11

18

Pemilihan terapi awal didasarkan pada CAP dan HAP (β lactam, penicilin, sefalosporin, atau kabapenem). Pada pasien dengan pneumonia yang diperolehmasyarakat, antibiotik yang direkomendasikan adalah generasi kedua atau generasi ketiga sefalosporin dan makrolide sebagai tambahan. Pada pasien yang dirawat dengan peumonia diperoleh-masyarakat yang berat, sebagai terapi awal adalah

makrolid

dan

sefalosporin

generasi

ketiga

dengan

aktivitas

antipseudomonas. Bakteri gram negatif sering menjadi penyebab pada pneumonia yang diperoleh dari RS sehingga perlu ditambahkan antipseudomonas pada therapinya. 5,11 Empyema yang disebabkan oleh stafilococcus paling baik diterapi dengan pemberian penisilin G atau vankomisin. Infeksi yang disebabkan oleh pneumococcus berespon dengan pemberian penisilin G, seftriakson atau sefotaksim, namun perlu dipertimbangkan pemberian vankomisin jika terjadi resistensi terhadap penisilin G pada pasien. Sementara pasien dengan empyema yang disebabkan oleh H. Influenza berespon terhadap sefotaksim, seftriakson, ampisilin atau kloramfenikol. Jika dicurigai bakteri anaerob, maka terapi ditambahkan metronidazole atau clyndamycin. Lama pemberian antibiotik 2-4 minggu.5,11

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP) : - Golongan Penisilin - TMP-SMZ - Makrolid Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP) : - Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan) - Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi - Marolid baru dosis tinggi - Fluorokuinolon respirasi Pseudomonas aeruginosa : - Aminoglikosid

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA) : - Vankomisin - Teikoplanin - Linezolid Hemophilus influenza : - TMP-SMZ - Azitromisin - Sefalosporin gen. 2 atau 3 - Fluorokuinolon respirasi

Legionella : - Makrolid

19

-

-

Seftazidim, Sefoperason, Sefepim - Tikarsilin, Piperasilin - Karbapenem : Meropenem, Imipenem - Siprofloksasin, Levofloksasin Mycoplasma pneumoniae : - Doksisiklin - Makrolid - Fluorokuinolon

Fluorokuinolon Rifampisin

Chlamydia pneumoniae : - Doksisikin - Makrolid - Fluorokuinolon

Tabel 2. Pemilihan antibiotik berdasarkan bakteri penyebab pneumonia Sumber : Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM; 2007. Kategori

Keterangan

Kuman Penyebab

Kategori I

Usia penderita

-S.pneumonia

< 65 tahun

-M.pneumonia

-Penyakit

-C.pneumonia

Penyerta (-)

-H.influenzae

-

-Dapat berobat -Legionale sp jalan

Obat Pilihan I Klaritromisin -

- Siprofloksasin2x500mg

2x250 mg

atau Ofloksasin

-Azitromisin

2x400mg

1x500mg -

Obat Pilihan II

- Levofloksasin 1x500mg

Rositromisin

atau Moxifloxacin

-S.aureus

2x150 mg atau

1x400mg

-M,tuberculosis

1x300 mg

- Doksisiklin 2x100mg

-Batang Gram (-) Kategori II

-Usia penderita

-S.pneumonia

-Sepalospporin

-Makrolid

> 65 tahun

H.influenzae Batang

generasi 2

-Levofloksasin

- Peny.

gram(-) Aerob

-Trimetroprim

-Gatifloksasin

Penyerta (+)

S.aures

+Kotrimoksazol

-Moxyfloksasin

-Dapat berobat

M.catarrhalis

-Betalaktam

jalan

Legionalle sp

20

Kategori III

-Pneumonia

-S.pneumoniae

- Sefalosporin

-Piperasilin + tazobaktam

berat. Perlu

-H.influenzae

Generasi 2 atau 3

-Sulferason

dirawat di

-Polimikroba

- Betalaktam +

RS,tapi tidak

termasuk Aerob

Penghambat

perlu di ICU

-Batang Gram (-)

Betalaktamase

-Legionalla sp

+makrolid

-S.aureus M.pneumoniae Kategori IV

- Sefalosporin

-Pneumonia

-S.pneumonia

berat. Perlu

-Legionella sp

generasi 3 (anti

meropenem

dirawat di ICU

-Batang Gram (-)

pseudomonas) +

-Vankomicin

aerob

makrolid

-Linesolid

-M.pneumonia -Virus -H.influenzae

- Sefalosporin

-Carbapenem/

-Teikoplanin

generasi 4 - Sefalosporin

-M.tuberculosis

generasi 3 +

-Jamur endemic

kuinolon

Tabel 3. Rekomendasi Terapi Empiris Sumber : Fauci. Harrison’s manual of Medicine 17thed:Pneumonia. North

America: McGraw Hill. 2009. 

Pertimbangkan pemberian fibrinolitik intrapleura jika perlu Diberikan pada empiema dengan cairan pus yang kental dan atau empiema

yang berkantong-kantong. Ketika ruang pleura yang terinfeksi berkembang ke fase fibrinopurulen, fibrin menciptakan ruang intrapleural yang menghambat drainase chest tube. Pemberian fibrinolitik bekerja dengan melisiskan adhesi fibrin menggunakan terapi dengan streptokinase, urokinase, dan aktivator plasminogen jaringan (rtPA) untuk menghindari operasi. 5,11

21

Fibrinolytic Streptokinase

Dose

Instillation1

Duration

250,000 IU

100–200 ml

Daily for up to

saline

7 days (until drainage <100 ml/day)

Urokinase

100,000 IU

100 ml saline Daily for up to 3 days

rtPA

10-25 mg

100 ml saline Twice daily for up to 3 days

Tabel 4. Sediaan terapi fibrinolitik Sumber : Rosenstengel A (2012) Pleural infection: current diagnosis and management. Journal of ThoracicDisease. 4, 2, 186-193. Beberapa menggunakan uji kasus dan uji coba terkontrol telah menunjukkan bahwa fibrinolisis selain aman, untuk intrapleural , juga memaksimalkan drainase chest tube dan memperbaiki gambaran radiologis. Saat pemberian fibrinolitik intrapleura, wsd harus di klem sekitar 4-8 jam. Obat diberikan selama 3 hari berturut-turut.5,11 

Penutupan rongga empyema

Pada empyema yang sudah berjalan ke tahap kronik, sering kali rongga empyema tidak menutup karena penebalan dan kekakuan pleura. Bila hal ini terjadi, maka dilakukan pembedahan, yaitu dekortikasi atau torakoplasti. Pada intinya dua tindakan ini bertujuan agar memaksimalkan kembali fungsi dan kondisi dari rongga pleura yang sulit menutup akibat kondisi penyakit yang kronik.5,11

Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien empyema4,5 

Sebagian komplikasi dapat terjadi perluasan secara per kontinuitatum, pada infeksi staphilococcus, sering timbul fistula brobcopleura dan pneumotoraks

22

yang terjadi secara spontan maupun terjadi karena sebelumnya dipicu oleh pneumonektomi atau reseksi paru. 

Kondisi pasien akan memburuk dan perjalanan penyakit menjadi kronis, biasanya disebabkan akibat pemasangan drainase yang tidak adekuat.



Komplikasi lokal lainnya, meliputi perikarditis purulen, abses paru, peritonitis akibat robekan melalui diafragma, dan osteomielitis costa.



Komplikasi sepsis seperti meningitis, arthritis, dan osteomielitis dapat juga terjadi secara hematogen.



Pada empyema staphilococcus, septikimia jarang terjadi, komplikasi ini lebih sering terjadi pada empiema yang disebabkan infeksi H. Influenza dan pneumococcus.

Prognosis Prognosis pada pasien empyema dipengaruhi oleh usia pasien serta penyakityang melatar belakanginya. Angka kematian meningkatpada usia tua, penyakit asal yang memberat, dan pengobatan yang terlambat. Faktor prognosis buruk pada empyema bila : 4,5 

Hasil pewarnaan gram cairan pleura positif



Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 40 mg/dl



Biakan cairan pleura positif



pH cairan pleura <7,0



kadar LDH cairan pleura > 3 kali nilai normal serum Prognosis CAP bergantung pada usia pasien, penyakit komorbid, dan tempat perawatan. Pasien usia muda tanpa penyakit komorbid, tata laksana dapat berjalan lancar dan biasanya pulih penuh setelah kurang lebih 2 minggu. Pada pasien usia tua dan yang memiliki penyakit komorbid, tata laksana dapat berjalan lebih lama yaitu beberapa minggu lebih lama dari usia muda tanpa penyakit komorbid untuk kembali pulih penuh. Angka mortalitas rata-rata untuk pasien rawat jalan kurang dari 1%. Untuk pasien rawat inap, angka mortalitas kira-kira 10%, dengan 50% kematian langsung diakibatkan pneumonia.3,5

23

BAB III

LAPORAN KASUS IDENTITAS Nama

: M. A. T. P.

Umur

: 14 Tahun

Nomor RM

: 529154

Alamat

: Ds Kabobona, Kec. Dolo, Kab. Sigi, Dusun 2

Pendidikan terakhir

: SMP

Pekerjaan

: Siswa Pelajar

Agama

: Islam

Tanggal pemeriksaan

: 11 Februari 2019

Ruangan

: Pipit

No. Tlp/ HP

: 085332330787

A. ANAMNESIS  Keluhan utama: Batuk  Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan batuk selama 1 bulan yang lalu, batuk dirasakan terus menerus. Pasien juga disertai sesak dan sakit dada sebelah kiri. Pasien juga menegeluh demam hialng timbul tidak ada waktu tertentu sejak 1 bulan yang lalu, sulit tidur, nyeri epigastrium, dan nafsu makan yang mulai berkurang. Konsistensi feses, warna dan frekuensi BAB normal seperti biasa, warna urine dan frekuensi BAK lancar seperti biasa. Pasien mengaku ada riwayat menghirup lem fox selama 3 tahun terakhir, dengan frekuensi 2-3 dalam seminggu, ada riwayat merokok sejak 3 tahun yang lalu, pasien mengaku menghisap rokok 3-4 batang dalam sehari, dan sekarang sudah jarang merokok setelah mengalami batuk yang lama.

24

 Riwayat Penyakit Terdahulu : -

Pasien pernah dirawat di RSAP dibagian penyakit dalam, di ruang perawatan rajawali bawah dengan diagnosis DBD selama 13 hari

 Riwayat Penyakit Dalam Keluarga: -

Dalam keluarga tidak ada yang menderita sakit yang sama

 Riwayat Pengobatan : -

Pasien sebelumnya sudah mengomsumsi obat penurun panas dan obat batuk tetapi tidak ada perubahan.

 Riwayat Kebiasaan : -

Menghirup lem fox

-

Merokok

-

Seks bebas

B. PEMERIKSAAN FISIS  Keadaan umum : Kondisi

: Sakit sedang

Kesadaran : E 4 V 5 M 6 (composmentis) Status gizi : Gizi Kurang BB

: 45 kg

TB

: 158 cm

IMT

: 18.0

 Vital Sign: Tekanan darah

: 110/70 mmHg

Nadi

: 80 x/menit (reguler)

Pernapasan

: 26 x/menit

Suhu axilla

: 37,6°C

 Pemeriksaan Kulit Tampak sianosis (-), ikterus (-), eritema (-)  Pemeriksaan Kepala Kepala

: Normocephal, deformitas (-), jejas (-), massa (-)

Rambut

: Warna hitam, lurus 25

Wajah

: Tampak lemas, edema (-), ruam (-), jejas (-)

 Pemeriksaan Mata Palpebra

: Edema (-/-)

Konjungtiva

: Anemis (-/-)

Sklera

: Ikterik (-/-)

Pupil

: Ukuran ± 2 mm / ± 2 mm, isokor/isokor

 Pemeriksaan Mulut –

Bibir

: Sianosis (-)



Gigi

: Susunan normal



Lidah

: Eutrofi, tremor (-), massa (-)



Mukosa mulut

: Stomatitis (-), massa (-)



Faring

: Hiperemis (-/-)



Tonsil

: Ukuran T1/T1

 Pemeriksaan Hidung Bentuk simetris, deviasi (-),sekret (-), darah (-), massa (-).  Pemeriksaan Telinga Bentuk normal, jejas (-), sekret (-), massa (-)  Pemeriksaan leher Kelenjar getah bening

: Pembesaran (-), nyeri tekan (-)

Kelenjar tiroid

: Pembesaran (-), nyeri tekan (-)

JVP

: Peningkatan (-)

Trakea

: Deviasi (-)

 Pemeriksaan toraks Inspeksi : Ekspansi dada tidak simetris, pergerakan dinding dada bagian kiri tertinggal, retraksi otot interkosta (+/-), bentuk dada normal. jejas (-), massa (-). Palpasi : nyeri tekan pada dada kiri (-/+), vokal fremitus kiri menurun dibanding kanan. Perkusi : sonor pada paru kanan, pekak pada paru kiri setinggi ICS 3 kebawah. Auskultasi : Suara napas menghilang pada paru kiri setinggi ICS 3 kebawah, Ronkhi basah halus dibasal paru kanan, Wheezing (-/- )  Pemeriksaan Jantung

26

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak Palpasi : sulit dinilai Perkusi : Batas jantung : sulit dinilai Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 murni reguler, murmur (-)  Pemeriksaan abdomen Inspeksi : Kesan datar, jejas (-), massa (-) Auskultasi : Bunyi peristaltik usus terdengar, frekuensi kesan normal. Perkusi : Perubahan bunyi dari pekak ke timphany 3 cm di bawah arcus costa Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-), nyeri ketok costovertebra (-), hepatomegali (-), spleenomegali (-), massa (-), Murphy Sign (-)  Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas superior : Akral hangat, edema -/Ekstremitas inferior : Akral hangat, edema -/C. PEMERIKSAAN PENUNJANG  Hasil Pemeriksaan laboratorium Darah lengkap (11 februari 2019) Parameter

Hasil

Nilai rujukan

WBC

17.4

4.8 – 10.8

RBC

3.7

4.7 – 6.1

HGB

9.9

14 – 18

HCT

29.9

42 - 52

PLT

782

150 – 450

NEUT#

12.5

1.5 – 7

LYM#

2.6

1 – 3.7

UREA

25

10 – 50 mg/dL

CREATININ

1,01

0,70 – 1,20 mg/dL

SGOT

20

0 – 35 U/L

SGPT

53

0 – 45 U/L

ALBUMIN

3.5

3.5-5.2 g/dL

27

 Hasil GenExpert (14 Februari 2019) -

MTB Not Detected

-

Rapid test : Non Reaktif

 Hasil Sitologi Cairan Pleura (16 Februari 2019) -

Makroskopik : cairan berwarna kuning kental

-

Mikroskopik : sediaan apusan dibuat 4 slide umumnya terdiri dari selsel limfosit, 1-2 sel-sel mesotel. Tidak ditemukan tanda-tanda keganasan pada sediaan ini.

-

Kesimpulan : limfositik pleura

 Hasil pemeriksaan foto toraks (11 Februari 2019) -

Kesan : Efusi pleura kiri

Gambar 9. Foto toraks posisi AP (24 Januari 2019)

Gambar 10. Foto toraks posisi AP (11 Februari 2019)

Gambar 12. Hasil thorakosentesis sebanyak 25 cc (12 Februari 2019) Gambar 11. Foto toraks posisi AP (28 Maret 2019

28

D. Resume Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan batuk selama 1 bulan yang lalu, batuk dirasakan terus menerus batuk berdahak berwarna kuning. Pasien juga disertai sesak dan sakit dada sebelah kiri. Pasien juga mengeluh demam hilang timbul tidak ada waktu tertentu sejak 1 bulan yang lalu, sulit tidur, nyeri epigastrium, dan nafsu makan yang mulai berkurang. Konsistensi feses, warna dan frekuensi BAB normal seperti biasa, warna urine dan frekuensi BAK lancar seperti biasa. Pasien mengaku ada riwayat menghirup lem fox selama 3 tahun terakhir, dengan frekuensi 2-3 dalam seminggu, ada riwayat merokok sejak 3 tahun yang lalu, pasien mengaku menghisap rokok 3-4 batang dalam sehari, dan sekarang sudah jarang merokok setelah mengalami batuk yang lama. Pada pemeriksaan fisis didapatkan inspeksi dinding dada kiri tidak mengembang dengan baik, pada palpasi didepatkan nyeri tekan pada dada sebelah kiri, pada perkusi didapatkan bunyi pekak pada dinding dada kiri setinggi ICS 3 kebawah, dan pada auskultasi didapatkan bunyi napas menghilang pada paru sebelah kiri setinggi ICS 3 kebawah. Hasil pemeriksaan laboratorium didapat WBC meningkat ( 17.4 103 ). Diagnosis kerja -

Efusi Pleura ec Empyema Torasis Kiri

E. Penatalaksanaan Non medikamentosa -

Latihan mengontrol batuk Medikamentosa - O2 3-4 liter/ menit - IVFD Nacl 0.9% : Dextrose 5 % 20 tetes/menit - Inj. Levofloxacin 750 mg/24 jam /iv - Ambroxol 3x30 mg/hari - Paracetamol 3x500 mg (k/p) - Inhalasi ventolin/ 8 jam

Anjuran : WSD

- Metronidazole 500 mg/8 jam/iv

Prognosis : Dubia ad Bonam

29

BAB IV

DISKUSI KASUS Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan batuk selama 1 bulan yang lalu, batuk dirasakan terus menerus batuk berdahak berwarna kuning. Pasien juga disertai sesak dan sakit dada sebelah kiri. Pasien juga menegeluh demam hialng timbul tidak ada waktu tertentu sejak 1 bulan yang lalu, sulit tidur, nyeri epigastrium, dan nafsu makan yang mulai berkurang. Konsistensi feses, warna dan frekuensi BAB normal seperti biasa, warna urine dan frekuensi BAK lancar seperti biasa. Pasien mengaku ada riwayat menghirup lem fox selama 3 tahun terakhir, dengan frekuensi 2-3 dalam seminggu, ada riwayat merokok sejak 3 tahun yang lalu, pasien mengaku menghisap rokok 3-4 batang dalam sehari, dan sekarang sudah jarang merokok setelah mengalami batuk yang lama. TTV

; Tekanan darah : 110/70 mmHg , Nadi: 80 kali/menit (reguler),

Pernapasan: 26 kali/menit, Suhu axilla: 37,6°C Pada pemeriksaan fisis didapatkan inspeksi dinding dada kiri tidak mengembang dengan baik atau tertinggal jika dibandingkan dengan dada sebelah kanan, pada palpasi didepatkan nyeri tekan pada dada sebelah kiri, pada perkusi didapatkan bunyi pekak pada dinding dada kiri setinggi ICS 3 kebawah, dan pada auskultasi didapatkan bunyi pernapas menghilang pada paru sebelah kiri setinggi ICS 3 kebawah. Hasil pemeriksaan laboratorium didapat WBC meningkat ( 17.4 103 ). 

Hasil pemeriksaan laboratorium Darah lengkap : WBC 17,4 x 103mm3, RBC 3,7 x 106 mm3, HGB 9,9 g/dl , PLT 786 x 103 mm3 Kimia darah : Glukosa Sewaktu 117 mg/dl, Urea 25 mg/dl, Creatinin 1,01 mg/dl, SGOT 20 U/L, SGPT 53 U/L, Albumin 3.5 g/dL. Pemeriksaan Sputum BTA : Negatif GenExpert : MTB Not Detected Rapid test : Non Reaktif

30



Hasil pemeriksaan foto toraks AP

-

Kesan : Efusi Pleura Kiri Dan telah dilakuakn thoracosentesis pada pasien ini dan dikeluarkan berupa cairan eksudat berwarna coklat kekuningan sebanyak 25 cc. Berdasarkan dari semua hasil pemeriksaan yang dilakukan yang didapatkan maka diagnosis pada pasien ini adalah empyema torasis kiri. Terjadinya empiema pada pasien ini dapat dikaitkan dengan riwayat sesak, nyeri dada, batuk berdahak kuning demam dan menghirup lem fox yang sudah lama dilakukan yaitu sekitar 3 tahun yang lalu. Seperti yang diketahui bahwa penumpukan pus maupun cairan sisa jaringan pada suatu rongga (secara anatomi telah ada) pada tubuh atau yang sebut dengan empyema dapat terjadi karena adanya proses infeksi maupun inflamasi yang disebabkan oleh pneumonia. Efusi Parapneumonik adalah penyebab yang paling sering terjadi empyema serta dapat mencetuskan terjadinya pneumonia. Sebanyak 70% dari empyema merupakan komplikasi pneumonia. Kebanyakan efusi dan empiema telah dikaitkan dengan Streptococcus pneumoniae sebagai penyebab utamanya . Infeksi maupun inflamasi dapat menjadi port the entry atau jalan masuk bakteri pada rongga pleura yang kemudian bakteri tersebut akan mengeluarkan toksin yang merangsang aktivasi sitokin pro inflamasi yang mengakibatkan terbentuknya pus atau cairan sisa jaringan pada rongga pleura sehingga berlanjut mengakibatkan gejala klinis berupa dyspnea dan leukositosis pada pemeriksaan darah rutin. Early goal directed therapy menggunakan prinsip “ubi pus evacua” yang memiliki makna jika ditemukan pus pada rongga pleura maka harus segera dikeluarkan. Sehingga sangat penting melakukan prosedur drainage (pengeluaran) cairan purulent pada rongga pleura yang menjadi penyebab utama keluhan dyspnea pada pasien. Pendekatan terapi ini merupakan area kompetensi dokter spesialis paru dan bedah untuk melakukan prosedur tindakan pemasangan WSD pada ICS 5 linea axillaris. Selanjutnya mengontrol sekaligus mengatasi infeksi sebagai penyebab produksi cairan purulent pada rongga pleura dengan pemberian antibiotik yang

31

rasional. Prosedur yang tidak boleh diabaikan juga adalah melakukan reseksi/penutupan pada “kantung-kantung” tempat cairan purulent untuk mencegah kondisi berlanjut ke tahap kronis yang dapat memungkinkan perluasan kantung tempat penumpukan cairan purulent, tetapi pasien menolak untuk dilakukan tindakan pemasangan WSD karena alasan takut merasa sakit saat dilakukan tindakan pemasangan WSD. Pada pasien ini cairan yang diberikan adalah Nacl 0.9 % dibanding dengan Dextrose 5%, hal ini dikarenakan kondisi pasien yang mengalami kurang gizi dan berat badan yang rendah yang dapat memperlambat proses penyembuhan akibat hipovolemi ataupun hipoglikemi. Pemberian ini dikarenakan asupan makanan pada pasin yang kurang (pasien mengalami anoreksia) sehingga dibutuhkan cairan dengan fungsi untuk memenuhi kebutuhan yang sesuai dengan komponen – komponen yang ada pada cairan tubuh manusia. Pasien ini juga diberikan beberapa antibiotik, pertama antibiotik dengan sediaan infus dengan tujuan pemberiannya dapat segera beredar dalam pembuluh darah. Antibiotik tersebut adalah Levofloxacin 750 mg / 24 jam/ iv yang merupakan antibiotik golongan fuoroquinolon generasi ketiga dan metronidazole 500 mg / 8 jam / iv Pada awal perawatan pasien di RS keluhan nyeri dada disertai sesak nafas berat akibat penumpukan cairan di rongga pleura dirasakan sangat mengganggu oleh pasien sehingga dipertimbangkan untuk pemberian paracetamol 500mg tab 3x1 termasuk untuk menurunkan demamnya disertai pemberian nebulisasi berisi obat ventolin dengan dosis 3x1 per-inhalasi Untuk mengatasi keluhan nyeri ulu hati yang dialami pasien, diberikan ranitidine 1 ampul / 12 jam yang merupakan golongan obat H2-antagonis. Untuk keluhan batuk pada pasien diberikan ambroxol 30mg tab 3x1 yang diharapkan selain mengatasi batuk juga dapat membuat keluhan insomnia pada pasien menjadi teratasi, karena pasien selama berada dirumah tidak dapat tidur karena keluhan batuk yang terus menerus. Pada perawatan pasien selama di RS belum ada perbaikan yang signifikan dari semua gejala2 yang dirasakan, pasien masih sering batuk, sesak, nyeri dada

32

sebelah kiri dan demam yang naik turun. Tindakan WSD merupakan kunci untuk menghilangkan semua gejala tersebut secara bertahap, karena pada paru bagian bagian kiri, cairan nekrosis jaringan/pus yang menumpuk terbentuk akibat infeksi mengakibatkan timbulnya semua gejala yang dirasakan pasien. Tetapi pasien ini menolak untuk dilakukan tindakan pemasangan WSD karena alasan takut merasa akan sakit pada saat tindakan pemasangan WSD dilakukan. Padahal dokter telah memberikan penjelasan ataupun informed consent kepada pasien dan keluarga pasien tentang prosedur tindakan pemasangan WSD akan dilakukan dengan sebaik-baiknya walaupun memiliki resiko. Dan pada hari parawatan ketiga di ruagan pasien meminta pulang atas permintaan sendiri (pulang paksa).

33

KESIMPULAN Empyema adalah suatu keadaan dimana pus dan cairan dari jaringan yang terinfeksi terkumpul di suatu rongga tubuh. Empyema toraks didefinisikan sebagai kondisi pengumpulan cairan nanah didalam rongga pleura2,4,5 Gejala klinis yang paling sering adalah, Demam (keringat malam hari), letargi, dyspneu, anorexia, penurunan berat badan, bunyi pernapasan menurun, nyeri dada, batuk, sputum purulen, pemriksan fisik akan nampak sisi yang sakit lebih cembung, ada sisi yang tertinggal pada pernapasan. pada auskultasi dada ditemukan penurunan suara napas, perkusi dada ditemukan suara flatness, palpasi ditemukan penurunan focal fremitus, mediastinum terdorong ke sisi yang sehat. Dan pada empiema yang kronis hemitoraks yang sakit mungkin sudah mengecil karena terbentuknya schwarte. 5,10,11 Pada pasien empyema, aliran bebas cairan pleura terkumpul di bagian tertentu dari cavum pleura dan mengaburkan sudut kostophrenikus. Jumlah cairan pleura yang menyebabkan penumpulan sudut kostophrenikus pada foto toraks posisi lateral dekubitus sekitar 75 ml. Pada foto toraks PA jumlah cairan yang menyebabkan penumpulan sudut kostophrenikus sekitar 200 ml. Kedua posisi pada pemeriksaan foto toraks pasien empyema mempunyai arti penting untuk diagnosis empyema. 5,10 Pada pemeriksaan penunjang dapat di lakukan pemeriksaan USG, CT-Scan, dan MRI. Pada Ultrasonografi (USG) selain dapat menunjukkan adanya cairan pleural dalam volume kecil, juga dapat menyediakan informasi mengenai kekentalanya. Ultrasonografi dapat juga mempertunjukkan adanya pengumpulan cairan pleural dalam septa dengan cepat. Ultrasonografi juga digunakan sebagai pemandu dalam penempatan kateter untuk drainase. Ultrasonografi dapat mempertunjukkan cairan pleural di dalam septa, tetapi kurang baik dalam menunjukkan adanya ketebalan pleura. Selain USG, CT-scan digunakan untuk membedakan kelainan parenkim terhadap pleura, mengevaluasi kelainan parenkim, menentukan lokasi, mengevaluasi permukaan pleura, dan membantu dalam penentuan terapi. Dan dapat juga di gunakan MRI, tetapi agak jarang

34

digunakan, tetapi MRI dapat juga untuk tujuan melihat gambaran cairan pada rongga pleura pasien empyema. MRI lebih umum digunakan untuk mengevaluasi penebalan

membran

pleura

ketika

pemberian

kontras

merupakan

kontraindikasi.5,10 Pengobatan bersifat individual pada tiap pasien, bergantung pada jenis atau fase dari empiema yang terjadi pada pasien. Pengobatan awal pasien dengan empiema melibatkan dua keputusan besar. Pertama, memilih suatu antibiotik yang sesuai. Kedua, memutuskan waktu yang tepat untuk pemasangan kateter drainase.5,9 Pengosongan rongga pleura dari cairan nanah, dapat dilakukan dengan beberapa cara, dan yang paling sering di lakukan yaitu: Closed drainage / tube thoracostomy / water sealed drainage (WSD) di mana Indikasi WSD yaitu : -

Nanah sangat kental dan sulit di aspirasi

-

Nanah terus terbentuk setelah dua minggu

-

Terjadinya piopneumotoraks Upaya pemasangan WSD juga dapat dibantu dengan pengisapan negatif

sebesar 10-20 cmH2O jika peghisapan cairan nanah telah berjalan 3-4 minggu, tetapi tidak menunjukan adanya perbaikan kondisi, maka harus dipertimbangkan upaya terapi lain. 5,11

35

DAFTAR PUSTAKA

1.

Maskell NA, Batt S, Hedley EL, Davies CW, Gillespie SH, Davies RJ (2006) The bacteriology of pleural infection by genetic and standard methods and its mortality significance. AmericanJournal of Respiratory andCritical Care Medicine. 174, 7, 817-823.

2.

British Medical Journal (2013) Empyema. Best Practice Guidelines. bestpractice.bmj.com/bestpractice/

monograph/1008/

diagnosis/step-by-

step.html (Last accessed: March 4 2014.) 3.

Nabil A. profil pasien pneumonia komunitas di rumah sakit umum daerah cengkareng tahun 2013-2014. Fakultas Kedokteran universitas Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta. 2015.

4.

Dahlan, Z. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006.

5.

Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM; 2007.

6.

F. Paulse, J waschke. 2012. Atlas sobota anatomi ed. 23. Jakarta: EGC.

7.

Bagian anatomi Fk Unisa.Anatomi Umum. 2011.

8.

Sherwood. Fisiologi Manusia Edisi 6. 2012. EGC. Jakarta.

9.

Sylvia dkk. Buku Ajar Patologi edisi 6. 2006. EGC. Jakarta.

10. British Medical Journal (2013) Empyema. Best Practice Guidelines. bestpractice.bmj.com/bestpractice/

monograph/1008/

diagnosis/step-by-

step.html (Last accessed: March 4 2014). 11. Rosenstengel A (2012) Pleural infection: current diagnosis and management. Journal of ThoracicDisease. 4, 2, 186-193. 12. Fauci. Harrison’s manual of Medicine 17thed:Pneumonia. North America: McGraw Hill. 2009.

36

13. (R.E. Strachan et al, “Paediatric Empyema Thoracis: Recommendations for Management” Position statement from the Thoracic Society of Australia and New Zealand, 2011).

37

Related Documents

Refarat Empiema Fixed.docx
November 2019 1
Refarat Insomnia.docx
November 2019 23
Refarat Hifema.docx
May 2020 21
4 Empiema Subdural
October 2019 2
Refarat Oa.docx
April 2020 27
Refarat Dhea.docx
November 2019 33

More Documents from "dhea"