Refarat Bedah Perforasi Gastritis- Kristian Lihardo Girsang 1261050086 (rsud Cibinong).docx

  • Uploaded by: laras
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Refarat Bedah Perforasi Gastritis- Kristian Lihardo Girsang 1261050086 (rsud Cibinong).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,648
  • Pages: 17
REFARAT PERFORASI GASTER

Pembimbing : dr.Mudianto , Sp.B

Disusun Oleh : Kristian Lihardo Girsang 1261050086

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH PERIODE 11 DESEMBER 2017– 24 FEBRUARI 2018 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA 2018

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

i

DAFTAR ISI

ii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Anatomi dan fisiologi gaster II.2. Fisiologi Gaster

2 4

II.3. Definisi perforasi gaster

6

II.4. Etiologi

7

II.5. Patofisiologi

7

II.6. Tanda dan gejala Perforasi Gastritis

8

II.7. Diagnosis Perforasi Gastritis

9

II.8. PenatalaksanaanPerforasi Gastritis

11

II.9. Komplikasi

12

II.10. Prognosis

13

BAB IIIKESIMPULAN A. Kesimpulan Perforasi Gastritis DAFTAR PUSTAKA

14 15

BAB I PENDAHULUAN Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke dalam rongga perut.Perforasi dari usus mengakibatkan secara potensial untuk terjadinya kontaminasi bakteri dalam rongga perut (keadaan ini dikenal dengan istilah peritonitis).Perforasi lambung berkembang menjadi suatu peritonitis kimia yang disebabkan karena kebocoran asam lambung kedalam rongga perut.Perforasi dalam bentuk apapun yang mengenai saluran cerna merupakan suatu kasus kegawatan bedah. Perforasi pada ulkus peptikum merupakn penyebab yang tersering. Pada ulkus gaster lebih sering menyerang usia tua dengan insidensi terbanyak pada umur 50-65 yang nantinya menyebabkan perforasi gaster. Perforasi duodenum memiliki insiensi lebih banyak 2-3 kali dibanding perforasi gaster. Hampir 1/3 dari perforasi lambung disebabkan oleh keganasan pada lambung. Sekitar 10-15 % penderita dengan divertikulitis akut dapat berkembang menjadi perforasi bebas. Perforasi pada saluran cerna sering disebabkan oleh penyakit-penyakit seperti ulkus gaster, appendicitis, keganasan pada saluran cerna, divertikulitis, sindroma arteri mesenterika superior,dan trauma. Dalam referat ini akan dibahas lebih lanjut tentang perforasi gaster.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi dan fisiologi gaster A. Anatomi Lambung merupakan bagian yang paling lebar dari saluran pencernaan, mulai dari esophagus sampai duodenum yang berfungsi sebagai tempat penampungan makan untuk dicerna dan mengatur pengaliran hasil cerna ke usus halus. Kapsitas lambung kurang lebih 1,5 liter tetapi dapat dilebarkan 2 sampai 3 liter. Terletak di regio hypochondria kiri, epigastrika, dan umbilikalis. Ostium cardiakum terletak

kurang lebih 3 cm di sebelah garis tengah, setinggi

vertebra thorakalis 11, dan 10 cm di sebelah dalam dari tulang rawan iga 7 kiri. Lubang ini merupakan tempat yang paling tetap dari lambung. Pylorus letaknya relative tetap, yaitu pada posisi berbaring terletak atau sedikit kanandari linea mediana setinggi vertebra lumbalis 1, pada linea transpyloricum. Pylorus dapat turun hingga vertebra lumbalis 2atau 3 pada posisi berdiri, atau bahkan dapat bergeser 5 cm ke kanan pada lambung yang penuh. Fundus letaknya paling superior di belakang iga ke-5 kiri di linea midclavikularis. Fiksasi paling kuat di lambung terdapat pada cardia karena hubungannya dengan esophagus yang tefiksasi pada diaphragm. Omentum minus juga membantu fiksasi pada tempatnya. Gaster berhubungan dengan sejumlah organ yaitu, hepar pada bagian atas, kanan, dan depan, diaphragm diatas, limpa kearah kiri, pancreas, ginjal dan glandula suprarenalis kiri di belakang, pada bagian bawah dengan colon dan mesocolon/omentum majus, serta dengan dinding depan abdomendan thorax ke depan.

Bagian lambung terdiri dari:

a.

Fundus ventrikuli, bagian yang menonjol ke atas terletak sebelah kiri osteum kardium dan biasanya penuh berisi gas.

b.

Korpus ventrikuli, setinggi osteum kardium, suatu lekukan pada bagian bawah kurvatura minor.

c.

Antrum pilorus, bagian lambung berbentuk tabung mempunyai otot yang tebal membentuk spinter pilorus.

d.

Kurvatura minor, terdapat sebelah kanan lambung terbentang dari osteum kardiak sampai ke pilorus.

e.

Kurvatura mayor, lebih panjang dari kurvatura minor terbentang dari sisi kiri osteum kardiakum melalui fundus ventrikuli menuju ke kanan sampai ke pilorus inferior. Ligamentum gastro lienalis terbentang dari bagian atas kurvatura mayor sampai ke limpa.

f.

Osteum kardiakum, merupakan tempat dimana osofagus bagian abdomen masuk ke lambung. Pada bagian ini terdapat orifisium pilorik.

B. Fisiologi Secara umum gaster memiliki fingsi motorik dan fungsi pencernaan serta sekresi, berikut adalah fungsi lambung: 1. Fungsi motorik  Fungsi reservoir. Menyimpan makanan sampai makanan tersebut sedikit demi sedikit dicerbakan dan bergerak ke saluran pencernaan. Menyesuaikan peningkatan volume tanpa menambah tekanan dengan relaksasi reseptif otot polos yang diperantarai oleh saraf vagus dan dirangsang oleh gastrin.

 Fungsi mencampur. Memecahkan makanan menjadi partikel-partikel kecil dan mencampurnya

dengan

getah

lambung melalui

kontraksi

otot

yang

mengelilingi lambung.  Fungsi pengosongan lambung : Diatur oleh pembukaan sfingter pilorus yang dipengaruhi oleh viskositas, volume, keasaman, aktivitas osmotik, keadaan fisik, serta oleh emosi, obat-obatan, dan olahraga. Pengosongan lambung diatur oleh faktor saraf dan hormonal, seperti kolesistokinin. 2. Fungsi pencernaan dan sekresi  Pencernaan protein oleh pepsin dan HCL dimulai disini; pencernaan karbohidrat dan lemak oleh amylase dan lipase dalam lambung kecil peranannya. Pepsin berfungsi memecah putih telur menjadi asam amino (albumin dan pepton). Asam garam (HCL) berfungsi mengasamkan makanan, sebagai antiseptic dan desinfektan, dan membuat suasana asam pada pepsinogen sehingga menjadi pepsin.  Sintesis dan pelepasaan gastrin dipengaruhi oleh protein yang dimakan, perangsangan antrum, alkalinisasi antrum, dan rangsangan vagus.  Sekresi factor intrinsic memungkinkan absorpsi vitamin B12 dari usus halus bagian distal.  Sekresi mucus membentuk selubung yang melindungi lambung serta berfungsi sebagai pelumas sehingga mekanan lebih mudah diangkut.  Sekresi bikarbonat, bersama dengan sekresi mucus, tampaknya berperan sebagai barier dari asam lumen dan pepsin.

Pengaturan sekresi lambung dapat dibagi manjadi fase sefalik, gastric dan intestinal. 1. Fase sefalik dimulai bahkan sebelum makanan masuk ke lambung, yaitu akibat melihat, mencium, memikirkan atau mengecap makanan. Fase ini diperantarai oleh saraf vagus. Sinyal neurogenik yang menyababkan fase sefalik berasal dari korteks serebri atau pusat nafsu makan. Impuls eferen kemudian dihantarkan melalui saraf vagus ke lambung. Hal ini mengakibatkan kelenjar gastric terangsang untuk mensekresikan HCL, pepsinogen dan menambah mucus. 2. Fase gasrtik dimulai saat makanan mencapai antrum pylorus. Distensi antrum juga dapat menyebabkan terjadinya rangsangan mekanis reseptor-reseptor pada dinding lambung. Impuls tersebut berjalan menuju medulla melalui aferen vagus dan kembali ke lambung melalui eferen vagus; impuls ini merangsang pelepasan hormone gastrin, dan secara langsung juga merangsang kelenjar-kelenjar lambung.

3. Fase intestinal dimulai oleh gerakan kimus dari lambung ke duodenum. Fase intestinal ini akan merangsang hormone enterooksintin untuk merangsang asam lambung setelah makanan sampai di usus halus. Seperti halnya proses sekresi dalam tubuh, cairan lambung bertindak sebagai penghambat sekresinya sendiri berdasarkan prinsip umpan balik. Keasaman yang tinggi di daerah antrum akan menghambat produksi gastrin oleh sel G sehingga sekresi gastric akan berkurang. Pada pH di bawah 2,5 produksi gastrin mulai dihambat.

C. Definisi perforasi gaster Perforasi gaster merupakan suatu bentuk akut abdomen yang sering disebabkan oleh karena komplikasi ulkus peptikum. Lebih sering mengenai laki-laki dengan umur rata-rata 50-70 tahun. Lokasi tersering ditemukan pada daerah antrum kurvatura minor.

D. Etiologi a) Cedera tembus yang mengenai dada bagian bawah atau perut(misalnya tertusuk pisau). b) Trauma tumpul perut yang mengenai lambung. Lebis sering ditemukan pada anakanak dibandingkan orang dewasa. c) Obat aspirin, NSAID (misalnya fenilbutazon, alantalgin, natrium diclofenac) serta golongan obat anti inflamasi steroid diantaranya deksametason dan prednisone. Sering ditemukan pada orang dewasa. d) Kondisi yang mempredisposisi: ulkus peptikum, appendicitis akut, divertikulosis akut, divertikulum meckel yang terinflamasi. e) Appendicitis akut: kondisi ini masih menjadi salah satu penyebab umum perforasi usus pada pasien yang lebih tua dan berhubungan dengan hasil akhir yang buruk.

E. Patofisiologi Secara fisiologis, gaster relative bebas dari bakteri dan mikroorganisme lain karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi. Kebanyakan orang yang mengalami trauma abdominal memiliki fungsi gaster yang normal dan tidak berada pada resiko kontaminasi bakteri yang mengikuti perforasi gaster. Bagaimanapun juga mereka yang memiliki masalah gaster sebelumnya berada pada resiko kontaminasi peritonela pada perforasi gaster. Kebocoran asam lambung kedalam rongga peritoneum sering menimbulkan peritonitis kimia. Bila kebocoran tidak ditutup dan partikel makanan mengenai rongga peritonimu, peritonitis kimia akan diperparah oleh perkembangan yang bertahap dari peritonitis bacterial. Pasien dapat asimptomatik untuk beberapa jam antara peritonitis kimia awal dan peritonitis bacterial lanjut. Mikrobiologi dari usus kecil berubah dari proksimal sampai ke distalnya. Beberapa bakteri menempati bagian proksimal dari usus kecil dimana pada bagian distal dari usus kecil

(jejunum dan ileum) ditempati oleh bakteri aerob (E.coli) dan anaerob (bacteriodes fragilis). Kecendrungan infeksi intra abdominal atau luka meningkat pada perforasi usus bagian distal. Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang masuknya sel- sel inflamasi akut. Omentum dan organ-organ visceral cenderung melokalisir proses peradangan, menghasilkan phlegmon (ini biasanya terjadi pada perforasi kolon). Hypoksia yang diakibatkan di daerah itu memfasilitasi tumbuhnya bakteri anaerob dan mengganggu aktifitas bakterisidal dari granulosit, yang mana mengarah pada peningkatan aktifitas fagosit daripada granulosit, degradasi sel-sel dan pengentalan cairan sehingga membantuk abses, efek osmotic, dan pergeseran cairan yang lebih banyak ke lokasi abses. Dan di ikuti pembesaran abses pada perut. Jika tidak ditangani terjadi bakteremia, sepsis, multiple organ failure serta syok.

F. Tanda dan gejala Perforasi gaster akan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi akan tampak sangat kesakitan, seperti di tusuk-tusuk pada bagian perut. Nyeri timbul mendadak, terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritoneum oleh asam lambung, empedu dan /enzim pancreas. Cairan lambung akan mengalir ke kelok parakolika kanan, menimbulkan nyeri perut kanan bawah, kemudian menyebar ke seluruh perut menimbulkan nyeri pada seluruh lapang perut. Pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteri, fase ini disebut fase peritonitis kimia. Adanya nyeri bahu menunjukan adanya rangsangan peritoneum di permukaan bawah diagfragma. Rekasi peritoneum berupa pengenceran zat asam yang merangsang itu akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bacteria. Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri tekan dan defens muskuler. Pekak hati bisa hilang karena adanya udara bebas di bawah diagfragma. Peristaltic usus menurun sampai menghilang akibat kelumpuhan sementara pada usu. Bila terjadi peritonitis bacteria, suhu tubuh akan

meningkat dan terjadi takikardi, hipotensi, dan penderita tampak letargi karena syok septic. Rangsangan peritoneum menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritoneum dengan peritoneum. Nyeri subjektif dirasakan waktu penderita bergerak, seperti berjalan, bernafas, menggerakan badan, batuk, dan mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri ketika digerakan seperti saat palpasi, tekan lepas, colok dubur, tes psoas sign, dan tes obturator sign.

G. Diagnosis a) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan pada abdomen yang diperiksa adalah apakah ada tanda-tanda eksternal seperti luka, abrasi, dan atau ekimosis. Pada Inspeksi dapat dilihat pola pernafasan dan pergerakan perut saat bernafas, adanya distensi dan perubahan warna kulit abdomen. Pada perforasi ulkus peptikum pasien tidak mau bergerak, biasanya pasien dengan posisi flexi pada lutut, dan abdomen seperti papan. Pada palapasi diperhatikan apakah ada atau tidaknya massa atau nyeri tekan. Bila ditemukan takikardi, febris, dan nyeri tekan seluruh abdomen mengindikasikan suatu peritonitis. rasa kembung dan konsistens sperti adonan roti mengindikasikan perdarahan intra abdominal. Nyeri pada saat perkusi mengindikasikan adanya peradangan pada peritoneum. Pada auskultasi, bila tidak ditemukan bising usus mengindikasikan suatu peritonitis difusa. b) Pemeriksaan penunjang Pada pemeriksaan laboratorium, leukositosis baru dijumpai apabila telah terjadi peritonitis bacterial, dan kadang tidak dijumpai pada pasien usia lanjut. Pemeriksaan kimia darah seperti fungsi hati dan ginjal, serum elektrolit dan asam basa menandakan adanya komplikasi sistemik seperti gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa serta gangguan fungsi organ. Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat dilakukan adalah: foto polos abdomen tiga posisi (Supine, LLD dan setengah duduk), ultrasonografi dan CT scan abdomen.

a. Radiologi Pada pemeriksaan radiologi memperlihatkan gambaran udara bebas subdiafragma (namun pada 30% kasus tidak dijumpai gambaran free-air). Udara bebas atau pneumoperitoneum terbentuk jika udara keluar dari sistem gastrointestinal. Hal ini terjadi setelah perforasi gaster, bagian oral duodenum, dan usus besar. Pada kasus perforasi usus kecil, yang dalam keadaan normal tidak mengandung udara, jumlah udara yang sangat kecil dilepaskan. Udara bebas terjadi di rongga peritoneum 20 menit setelah perforasi. Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan terjadinya peritonitis. Dilakukan foto polos abdomen dalam 3 posisi ataupun menggunakan kontras barium, yaitu: 1. Tiduran terlentang (supine), sina dari arah vertical dengan proyeksi anteroposterior (AP). Pada posisi ini didapatkan pre-peritonela fat menghilang, psoas line menghilang dan adanya kekaburan pada cavum abdomen. 2. Duduk atau setengah duduk (semi erect) atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal proyeksi AP. Didapatkan free air pada subdiagfragma berbentuk bulan sabit (semilunar shadow). 3. Tiduran miring ke kiri (Left Lateral Decubitus=LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi AP. Didapatkan free air intra peritonela pada daerah perut yang paling tinggi letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan dinding abdomen.

Gambar Perforasi Ulkus Peptikum

b. Ultrasonografi Pemeriksaan ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi akut abdomen. Pemeriksaan ultrasonografi untuk mendeteksi lokasi perforasi dan pengumpulan gas dirongga peritoneum. c. CT Scan CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untukmendeteksi adanya udarasetelah terjadi perforasi. Saat CT scan dilakukan dalam posisi supine, gelembung udara pada CT scan terutama berlokasi di depan bagian abdomen dan CT scan dapat memperlihatkan gelembung udara yang bergerak apabila pasien mengambil posisi decubitus kiri.

H. Penatalaksanaan Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki keadaan umunya sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan pipa nasogastrik, dan pemberian antibiotic mutlak diberikan. Jika gejala dan tanda-tanda peritonitis umum tidak ada, kebijakan non-operatif mungkin digunakan dengan terapi antibiotic langsung terhadap bakteri gram-negatif dan anaerob. Tujuan dari terapi bedah adalah: 1. Koreksi masalah anatomi yang mendasari. 2. Koreksi penyebab peritonitis. 3. Membuang setiap material asing di rongga peritoneum yang dapat menghambat fungsi leukosit dan mendorong pertumbuhan bakteri (darah, makanan, sekresi lambung). Operasi laparotomi dapat dilakukan segera setelah upaya suportif dikerjakan. Jahitan saja setelah eksisi tukak perforasi belum mengatasi masalah primernya, tetapi tindakan ini dianjurkan bila keadaan umum kurang baik, penderita usia lanjut dan terdapat peritonitis purulenta. Operasi ini untuk mengontrol sumber primer kontaminasi primer. Insisi yang dipilih adalah insisi vertical digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta di tutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan di atas tempat inflamasi. Teknik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologi dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus-menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.

Gambar Graham Patch Technique

I. Komplikasi a) Infeksi luka, angka kejadian infeksi berkaitan dengan muatan bakteri pada gaster. b) Kegagalan luka operasi. Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau total pada setiap lapisan luka operasi) dapat terjadi segera atau lambat. c) Abses abdominal terlokalisasi d) Kegagalan multi organ dan syok septic. e) Perdarahan mukosa gaster. Komplikasi ini biasanya dihubungkan dengan kegagalan system multiple organ dan mungkin berhubungan dengan defek proteksi oleh mukosa gaster. f) Obstruksi mekanik, sering disebabkan karena adhesi postoperative.

J. Prognosis Apabila tindakan operasi dan pemberian antibiotic bersprektum luas cepat dilakukan maka prognosisnya dubia ad bonam. Sedangkan bila diagnosis, tindakan, dan pemberian antibiotic terlambat dilakukan maka prognosisnya menjadi dubia ad malam. Hasil terapi meningkat dengan diagnosis dan penatalaksanaan dini. Factor-faktor berikut akan meningkatkan resiko kematian: 1. Usia lanjut. 2. Adanya penyakit yang mendasari sebelumnya. 3. Malnutrisi. 4. Timbulnya komplikasi.

BAB III KESIMPULAN Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke dalam rongga perut.Perforasi dari usus mengakibatkan secara potensial untuk terjadinya kontaminasi bakteri dalam rongga perut (keadaan ini dikenal dengan istilah peritonitis).Perforasi lambung berkembang menjadi suatu peritonitis kimia yang disebabkan karena kebocoran asam lambung kedalam rongga perut.Perforasi pada saluran cerna sering disebabkan oleh penyakitpenyakit seperti ulkus gaster, appendicitis, keganasan pada saluran cerna, divertikulitis, sindroma arteri mesenterika superior,dan trauma. Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki keadaan umunya sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan pipa nasogastrik, dan pemberian antibiotic mutlak diberikan.Apabila tindakan operasi dan pemberian antibiotic bersprektum luas cepat dilakukan maka prognosisnya dubia ad bonam. Sedangkan bila diagnosis, tindakan, dan pemberian antibiotic terlambat dilakukan maka prognosisnya menjadi dubia ad malam.

DAFTAR PUSTAKA 1. Debas HT, Gastrointestinal Surgery: Pathophysiology and Management. 2004. Springer: New York 2. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Empat, Jilid I, editor : Tanto R., Fakultas Kedokteran UI, Media Aesculapius, Jakarta : 2014 3. Sylvia A.Price, Lorraine M. Wilson, Patofisiologi Konsep Klinis proses-proses penyakit volume 1, Edisi 6, EGC : Jakarta, 2006 4. Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC. 5. Mostafa G, Cathey L, Greene FL. Review of Surgery Basic Science and Clinical Topic ABSITE. 2006. Springer: North Carolina. 6. Madiba TE, Nair R,Mulaudzi TV, Thomson SR. Perforated Gastric Ulcer-Reappraisal of Surgical Options.SAJS Article. 2005: 43(3). 7. Leeman FM, Skouras C, Peterson-Brown S. The Management of Perforated Gastric Ulcers. International Journal of Surgery Elsevier. 2013: 11; 322-4.

Related Documents


More Documents from "api-19916399"