BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Trauma tembus abdomen adalah segala bentuk trauma yang menyebabkan
terjadinya diskontinuitas pada dinding abdomen, yang menghubungkan ruang intraabdominal dengan dunia luar. Trauma tembus abdomen umumnya melibatkan terjadinya proses kekerasan pada dinding luar abdomen melalui luka tusuk atau luka tembak.1 Frekuensi terjadinya trauma tembus abdomen di seluruh dunia berhubungan erat dengan perkembangan industri, ketersediaan senjata tajam, senjata api yang berhubungan dengan tingkat kriminalitas suatu daerah, dan adanya konflik-konflik militer pada suatu daerah. Oleh karena itu, frekuensi terjadinya luka tembus abdomen sangat bervariasi dari suatu daerah ke daerah lainnya.2 Sampai saat ini, cedera abdomen yang luput dari diagnosis masih merupakan penyebab kematian yang dapat dicegah (preventable death) pada penderita trauma pada batang tubuh, oleh karena itu penting bagi seorang dokter untuk mendiagnosa secara tepat kerusakan organ dalam yang terlibat pada suatu kasus trauma tembus abdomen.3 Luka tusuk melintas struktur abdomen didekatnya, dan paling umum mengenai hati, usus halus, diafragma, dan kolon. Luka tembak menyebabkan lebih banyak cedera di dalam abdomen karena perjalannya lebih panjang di dalam tubuh, 1
dan juga menimbulkan energi kinetis yang lebih besar, paling banyak mengenai usus halus, kolon, hepar, dan struktur vaskuler abdomen seperti aorta dan vena kava inferior.4 Kematian akibat syok perdarahan refraktorik dan eksanguinasi dalam 24 jam pertama tetap menjadi penyebab kematian tersering pada kasus trauma tembus abdomen. Tindakan operatif yang bersifat damage control semakin pesat dan sering dilaksanakan guna meningkatkan prosentase harapan hidup penderita.5
BAB II 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Trauma Tembus Abdomen. Trauma tembus abdomen adalah segala bentuk kekerasan yang
menyebabkan terputusnya kontinuitas dinding abdomen dari kulit hingga peritoneum, sehingga membuat suatu luka terbuka dan menimbulkan hubungan antara ruang intraabdominal dengan dunia luar. 1 Luka tembus abdomen seringkali ditimbulkan oleh suatu kekerasan akibat tusukan maupun tembakan.1
Gambar 1. Gambaran Luka Tusuk pada Abdomen
2.2
Anatomi Abdomen 2.2.1
Anatomi Abdomen Luar Dalam mengevaluasi pasien dengan trauma tembus abdomen,
umumnya abdomen luar dibagi menjadi beberapa area sebagai berikut:6 A. Area Abdomen Anterior 3
Merupakan area yang dibatasi oleh margo anterior arkus kostae dan ligamentum inguinalis - simfisis pubis secara kraniokaudal, dan dibatasi oleh garis imajiner linea aksilaris anterior secara laterolateral. B. Area Torakoabdominal Dibatasi oleh Ruang interkosta 4 di anterior dan ruang interkosta 7 secara posterior sampai dengan margo kostalis inferior. C. Pinggang (Flank) Daerah ini berada antara garis aksilaris anterior dan garis aksilaris posterior, dari ruang interkostal ke-6 di superior sampai krista iliaka di inferior. Berbeda dengan dinding abdomen depan yang tipis, otot-otot dinding abdomen di daerah pinggang lebih tebal dan dapat merupakan perintang terhadap luka tembus, khususnya luka tusuk. D. Punggung Daerah ini bertempat di belakang garis aksilaris posterior dari ujung skapula sampai krista iliaka. Sama dengan otototot dinding abdomen disamping, otot punggung dan paraspinalis bertindak sebagai sebuah perintang bagi luka tembus.
4
Gambar 2. Pembagian Area pada Kasus Trauma Tembus Abdomen
2.2.2
Anatomi Abdomen Dalam Daerah abdomen dalam dibagi menjadi 3 bagian yaitu rongga peritoneum, rongga pelvis, dan rongga retroperitoneal:6
A. Rongga Peritoneum Rongga peritoneum dibagi dalam bagian atas dan bagian bawah. Abdomen atas atau daerah torakoabdominal ditutup oleh bagian bawah dari tulang-tulang torakal, dan isinya meliputi diafragma, hati, limpa, lambung, dan kolon transversum. Karena diafragma naik ke ruang interkostal ke-4 saat ekpirasi penuh, patahan iga bawah atau luka tembus di daerah tersebut juga dapat mencederai isi abdomen. Abdomen bawah berisikan usus halus dan kolon sigmoid.
5
B. Rongga Pelvis Rongga pelvis yang dikelilingi tulang pelvis, berada di bagian bawah dari ruang retroperitoneum dan berisikan rektum, kandung kemih, pembuluh-pembuluh iliaka, dan genitalia interna wanita. Sama seperti di daerah torakoabdominal, pemeriksaan untuk mengetahui cedera pada struktur pelvis dipersulit oleh tulang-tulang di atasnya.
C. Rongga Retroperitoneum Daerah ini meliputi aorta abdominalis, vena kava inferior, sebagian besar dari duodenum, pankreas, ginjal, dan saluran kencing, kolon asenden, kolon desenden. Cedera di daerah ini sulit dikenali dengan pemeriksaan fisik maupun pencucian (lavase) peritoneum.
Gambar 3. Organ-Organ Rongga Peritoneum dan Retroperitoneum.
6
2.3
Etiologi Trauma Tembus Abdomen
Luka tembak, dianggap sebagai luka akibat proyektil kecepatan tinggi, adalah etiologi trauma tembus abdomen yang paling umum dijumpai (64%), diikuti dengan luka tusuk (31%) dan luka akibat shotgun (5%).8 Luka tembus abdomen merupakan dampak dari kekerasan domestik. Kekerasan domestik dapat dijumpai di seluruh kelas sosioekonomik dan merupakan suatu kausa yang penting untuk dipertimbangkan dalam mengevaluasi suatu kasus cedera yang diderita di rumah.8 Dari perspektif global, trauma tembus abdomen sebagian besar terjadi akibat kegiatan militer dan perang.8 Luka tembus abdomen juga dapat terjadi secara iatrogenik. Pada prosedur Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) komplikasi yang dapat dijumpai adalah cedera terhadap usus, bulu, ataupun pembuluh darah besar seperti aorta dan vena cava. Namun, insidensi komplikasi-komplikasi ini sangat sedikit dan jarang terjadi.8
2.4
Mekanisme Cedera Trauma Tembus Abdomen
Luka tusuk dan luka tembak kecepatan rendah menyebabkan kerusakan jaringan akibat laserasi atau terpotongnya organ atau penggantung organ. Luka tembak kecepatan tinggi mengalihkan lebih banyak energi kepada organ-organ abdomen, mempunyai efek perlubangan tambahan sementara (temporary 7
cavitation), dan peluru mungkin berputar atau pecah sehingga menyebabkan cedera yang masif yang dapat menimbulkan perdarahan hebat.7
2.4.1
Trauma Tusuk Abdomen Trauma tusuk disebabkan oleh penetrasi dinding abdomen oleh
objek tajam. Jenis luka ini umumnya mempunyai pola kerusakan organ yang dapat diprediksi. Namun, perlukaan organ yang tidak spesifik dapat tidak terdiagnosis oleh klinisi, sehingga menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa korban.7 Pada luka tembus abdomen akibat kekerasan benda tajam, organorgan yang palin umum terluka adalah sebagai berikut:
Hati (40%)
Usus halus (30%)
Diafragma (20%)
Kolon (15%)
8
Gambar 4. Korban Luka Tusuk Abdomen.
Pada Gambar 4, terlihat jelas usus halus pasien mengalami protrusi menembus dinding anterior abdomennya, setelah mengalami luka tembus akibat tusukan golok. Tindakan operatif sangat diperlukan untuk mengatasi keadaan pasien.7
Gambar 5. Korban Luka Tusuk Abdomen.
Pada Gambar 5, didapatkan seorang korban luka tembus abdomen akibat tusukan palang besi. Dengan seorang dokter yang mempertahankan 9
posisi palang besi tersebut agar batang palang tersebut tidak berpindah posisi atau terlepas sehingga dapat menimbulkan kerusakan yang lebih berat pada organ sekitarnya dan perdarahan hebat. Palang tersebut dilepaskan didalam Kamar Operasi, diikuti dengan reseksi segmen kolon korban tersebut yang tertembus palang.7
2.4.2
Trauma Tembak Abdomen Luka tembak disebabkan oleh peluru balistik yang melesat akibat
dorongan oleh ledakan bubuk mesiu. Luka jenis ini melibatkan transfer energi tinggi dan dapat menimbulkan cedera dengan pola yang tidak dapat diprediksi. Senjata api militer dan senjata api untuk berburu memiliki velositas balistik yang lebih tinggi daripada pistol biasa, dan mengakibatkan transfer energi yang lebih besar dari senjata ke abdomen korban sehingga dapat menembus dan bahkan menghancurkan organ didalam abdomen.7 Luka akibat tembakan umumnya lebih merusak dibandingkan dengan luka tusuk karena luka tusuk memiliki proyeksi terbatas dan terlokalisir.7 Pada luka tembus abdomen akibat tembakan senjata api, organ tersering yang mengalami cedera adalah:
Usus halus (50%)
Kolon (40%)
Liver (30%)
Struktur vaskular abdomen (25%)
10
Gambar 6. Luka Tembak Abdomen Mengenai Limpa.
Gambar 6, seorang wanita 22 tahun menderita luka tembak di area flank kiri. Saat menjalani laparotomi eksplorasi, korban ini ditemukan mengalami laserasi tembus di limpanya. Perdarahan ditahan dengan kompresi jari pada hilus limpa. Kemudian dilakukan splenektomi untuk menyelamatkan nyawa pasien karena peluru menembus hilum limpa yang merupakan tempat masuk dan keluarnya pembuluh darah.7
Mekanisme yang mendasari trauma tembus abdomen berhubungan dengan cara terjadinya cedera (kecelakaan, disengaja, percobaan pembunuhan, bunuh diri) dan objek yang digunakan karena mempengaruhi kecepatan dan kedalaman pada luka tusuk maupun jarak tembak pada luka akibat senjata api. Faktor-faktor ini dapat digunakan untuk memperkirakan organ-organ yang mengalami perusakan oleh mekanisme trauma yang terjadi pada korban. Pembuhunan atau cedera yang disengaja merupakan cara yang paling umum dijumpai pada populasi pasien dengan trauma abdomen. Cedera akibat kecelakaan merupakan yang paling umum ditemui pada pasien anak dan seringkali terjadi akibat luka tusuk, luka tembus tidak 11
disengaja akibat tembakan pada anak-anak jarang terjadi, dan umumnya terjadi pada negara dimana senjata api dapat diperoleh secara bebas. Percobaan bunuh diri dengan cara luka tusuk abdomen tidak umum dijumpai.7
Gambar 7. Mekanisme Luka Tembak Abdomen.
2.5
ATLS pada Trauma Tembus Abdomen Pada trauma tembus abdomen, penerapan primary survey untuk
menyelamatkan nyawa pasien adalah hal yang harus didahulukan. Bahaya utama yang dapat mengancam nyawa pasien adalah gangguan sirkulasi, yaitu ancaman perdarahan akibat laserasi tusuk maupun tembusan peluru terhadap organ padat seperti hati dan limpa yang berujung pada syok perdarahan refraktorik dan kemudian kematian. Pada korban yang mengalami hipotensi, tujuan sang dokter adalah secepatnya menentukan apakah ada cedera abdomen dan apakah cedera 12
tersebut penyebab hipotensinya. Penderita yang hemodinamikanya normal tanpa tanda-tanda peritonitis dapat dievaluasi secara lebih teliti untuk menentukan cedera spesifik yang ada atau apakah tanda-tanda peritonitis atau perdarahan terjadi selama suatu rentang waktu saat observasi.9,10
2.6
Diagnosis Trauma Tembus Abdomen 2.6.1
Anamnesis Riwayat Trauma Riwayat trauma sangat penting untuk menilai keadaan pasien.
Dalam memeriksa riwayat trauma penderita trauma tembus, informasi yang harus diperoleh adalah antara lain onset terjadinya cedera, jenis senjata (pisau, golok, pistol, senapan, shotgun), jarak dari penyerang (penting untuk luka tembakan, karena kemungkinan cedera organ abdomen yang parah akan berkurang apabila penembak berjarak lebih dari 2 meter), jumlah luka tusuk atau tembakan yang mengenai tubuh pasien, dan jumlah perdarahan yang diderita pasien di lokasi kejadian untuk memperkirakan seberapa banyak darah yang telah hilang. Keterangan ini dapat diberikan oleh penderita, orang sekitar, polisi, maupun petugas medis gawat-darurat. Keterangan mengenai tanda-tanda vital, cedera yang terlihat, dan respon terhadap perawatan prarumah sakit juga harus diberikan oleh para petugas yang memberi perawatan pra rumah sakit.9 Selain semua hal diatas, keterangan penting yang harus diperoleh dari penderita yang menderita trauma abdomen tembus maupun tumpul
13
adalah besarnya dan lokasi rasa sakit di abdomen dan apakah sakit ini menjalar ke bahu kanan maupun kiri.10
2.6.2
Pemeriksaan Fisik pada Trauma Abdomen Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan
sistematis dengan urutan : inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. Penemuannya baik positif atau negatif, harus direkam dengan teliti dalam catatan medis. 1. Inspeksi: Penderita harus ditelanjangi. Bila sudah terpasang Pneumatic Anti Shock Garment (PSAG) dan penderita dalam keadaan hemodinamika stabil, segmen abdominal dikempeskan sambil mempertahankan keadaan sirkulasi dengan cara memantau tekanan darah penderita dengan teliti, kemudian mulai lakukan pemeriksaan inspeksi. Penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 5 mmHg adalah tanda untuk menambah
resusitasi
cairan
sebelum
meneruskan
pengempesan PSAG. Dalam menginspeksi, perut depan, belakang, dan juga bagian bawah dada dan perineum harus diperiksa untuk adanya goresan, robeka, luka tembus, benda asing yang tertancap, keluarnya omentum atau usus kecil, dan status kehamilan penderita. Penderita dapat dibalikan
14
hati-hati dengan manuver log roll untuk melengkapi pemeriksaan.11 2. Auskultasi Melalui auskultasi, ditentukan apakah bising usus pasien ada atau tidak. Darah intraperitoneum yang bebas atau kebocoran (ekstravasasi) abdomen dapat memberikan ileus, dan mengakibatkan hilangnya bising usus. Cedera pada struktur berdekatan seperti tulang iga, tulang belakang atau panggul juga dapat mengakibatkan ileus meskipun tidak ada cedera di abdomen dalam, sehingga tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada cedera intraabdominal.11
3. Perkusi Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat menunjukan ada peritonitis yang masih meragukan. Perkusi juga dapat menunjukan adanya bunyi timpani akibat dilatasi lambung akut di kuadran atas dan bunyi redup apabila terjadi hemoperitoneum. 4. Palpasi Kecenderungan korban trauma abdomen untuk mengeraskan dinding abdomen (voluntary guarding) dapat menyulitkan pemeriksaan
abdomen.
Sebaliknya
defans
muskular 15
(involuntary guarding) adalah tanda yang spesifik ditemukan akibat adanya iritasi peritoneum. Tujuan palpasi adalah untuk mendapatkan adanya dan menentukan lokasi nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam atau nyeri lepas. Nyeri lepas terjadi ketika tangan yang menyentuh perut diangkat tiba-tiba, dan biasanya menandakan peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus.11 5. Evaluasi Luka Tembus Bila ada dugaan bahwa ada luka tembus dinding abdomen, maka penting untuk memeriksa lukanya secara lokal untuk menentukan kedalaman luka. Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada luka masuk dan luka keluar yang berdekatan. Prosedur ini tidak digunakan untuk luka diatas tulang
iga
karena
akan
berisiko
menyebabkan
pneumothorax.12 6. Pemeriksaan Lokal Luka Tusuk Pada penderits tanpa peritonitis maupun hipotensi maka pemeriksaan lokal pada luka tusuk yang dilakukan ahli bedah akan bermanfaat karena 25% sampai 33% dari luka tusuk di abdomen anterior tidak menembus peritoneum. Dengan kondisi steril, dan anestesia lokal, jalan luka diikuti melalui lapis dinding abdomen. Bila ditemukan penetrasi melalui fasia
depan,
maka
kemungkinan
adanya
cedera 16
intraperitoneum akan lebih tinggi. Setiap penderita dimana jalan luka tidak dapat diikuti karena kegemukan, kurang kooperatif, atau perdarahan jaringan lunak atau distorsi harus diadakan evaluasi lanjutan.12
2.7
Pemeriksaan Laboratorium Penting untuk melakukan pemeriksaan golongan darah dan pemeriksaan
laboratorium rutin pada penderita yang hemodinamiknya normal, atau golongan darah dan crossmatch pada penderita yang hemodinamikanya abnormal, dan juga pada kasus tertentu dilakukan pemeriksaan laboratorium khusus seperti pemeriksaan darah lengkap, potasium, glukosa, amilase (untuk trauma tumpul), tingkat alkohol, dan tingkat Human Chorionic Gonadotropin (HCG) untuk menentukan kehamilan korban wanita usia subur. 13 Tes laboratorium tambahan tersebut, walaupun pada kebanyakan penderita tidak perlu dilakukan, dapat dilakukan terkhusus untuk penderita dengan penyakit penyerta, atau bila akan dilakukan pemeriksaan imaging dengan menggunakan yodium intravena.13
2.8
Pemeriksaan Radiologis Trauma Tembus Abdomen Penderita yang hemodinamis abnormal atau mengalami eviserasi usus
akibat luka tembus di abdomen tidak memerlukan pemeriksaan radiologis di bagian gawat darurat karena merupakan indikasi untuk dilakukannya laparotomi cito.
17
Penderita hemodinamis normal dengan trauma tembus diatas pusar atau diduga menembus ke regio torakoabdominal dapat terbantu diagnosisnya dengan menggunakan foto ronsen toraks posisi tegak untuk menyingkirkan kemungkinan hemothoraks maupun pneumothoraks, atau untuk menemukan adanya udara intraperitoneum subdiafragmatik. Berbeda dengan trauma tumpul, FAST tidak digunakan dalam trauma tajam karena risiko perdarahan dapat diperkirakan. Setelah clip penanda dipasang pada semua tempat luka keluar masuk toraks, abdomen, dan panggul pada penderita dengan hemodinamika normal, dapat dibuat pemeriksaan ronsen abdomen dalam posisi supine untuk menentukan jalannya peluru atau adanya udara retroperitoneum.14
2.8.1
Pemeriksaan Radiologis Trauma Tusuk Abdomen15
Foto Rontgen thoraks posisi tegak (atau foto lateral supine abdomen)
untuk
melihat
keberadaan
udara
bebas
subdafragmatik.
Foto Polos Abdomen tidak berguna kecuali apabila objek tajam penyebab trauma masih tertancap.
Jika curiga adanya cedera vaskuler (tusukan pada fossa iliaka sinistra dengan penurunan pulsasi nadi distal), CT angiografi harus dilakukan.
Jika dicurigai adanya tusukan buli (tusukan suprapubik dengan atau tanpa hematuri), perlu di pertimbangkan pemeriksaan sistografi, 18
Jika dicurigai adanya cedera rektal (tusukan pelvik di regio rektum), pertimbangkanlah rigid sigmoidoskopi, atau radiografi kontras enema, atau CT Scan abdomen dengan kontras rektal.
2.8.2
Pemeriksaan Radiologis Trauma Tembak Abdomen15
Seluruh indikasi diatas juga berlaku bagi luka tembak Dengan
terjadinya
luka
tembak,
penting
untuk
memperkirakan trayeksi peluru, karena dapat membantu memprediksi organ yang tertembus peluru tersebut.
Foto Polos Abdomen perlu dilakukan dengan memberikan penanda pada setiap lokasi luka (seperti penjepit kertas yang direkatkan pada semua luka tembak anterior, dan penjepit kertas terbuka pada semua luka tembak posterior).
Pada luka tembak, seharusnya ditemukan jumlah lobang luka yang genap atau lobang dengan peluru. Jika jumlah total ganjil, pemeriksaan rontgenologis lanjutan harus dilakukan di regio lainnya untuk menemukan peluru yang hilang tersebut.
Peluru yang berjalan ke regio tubuh lain dapat menjadi indikasi adanya cedera serius pada organ-organ disepanjang trayeksinya.
19
CT dengan kontras tunggal pada abdomen harus dilakukan terhadap pasien yang stabil dengan luka tembak terisolasi pada kuadran kanan atas (luka tembak masuk dan luka tembak keluar pada kuadran kanan atas. Jika CT menunjukan cedera terisolir pada hati (atau hati dan ginjal), maka dapat dilakukan tatalaksana nonoperatif, seperti pada trauma tumpul pada organ padat.
Pada pasien obesitas dengan trayeksi luka tembak yang dicurigai bersifat tangensial (hanya menembus lemak ekstraperitoneal), pemeriksaan CT juga dapat dilakukan. Jika gambaran CT memperkuat dugaan trayeksi tangensial, pasien dapat dipulangkan. Jika CT tidak tersedia, pasien tersebut harus dirawat dan diobservasi.
2.9
Pemeriksaan Tambahan Trauma Tembus Abdomen Sekitar 55% sampai 60% dari semua penderita luka tusuk yang menembus
peritoneum anterior menderita hipotensi, peritonitis, atau sebagian omentum dan usus halus keluar (eviserasi), hal yang menuntut laparotomi segera. Pada 40-45% penderita lainnya dimana dapat dikonfirmasi atau diduga keras penetrasi peritoneum depan dengan eksplorasi luka secara lokal, kira-kira setengahnya memerlukan operasi. Pilihan diagnostik untuk kelompok 40-45% ini yang relatif asimtomatik (yang mungkin hanya merasakan sakit di lokasi tusuk) meliputi pemeriksaan fisik serial selama jangka waktu 24 jam dan jika diperlukan, 20
Diagnostic Peritoneal lavage (DPL). Pemeriksaan fisik berurutan memiliki ratarata ketelitian 94%. DPL diagnostik memberikan diagnosis cedera lebih dini pada penderita yang relatif asimmtomatis dan punya rata-rata ketelitian hingga 90%.15
2.10
Penatalaksanaan Trauma Tembus Abdomen16 Manajemen trauma abdomen sangat bervariasi namun umumnya berlandaskan pada 4 faktor:
Mekanisme dan lokasi trauma
Status hemodinamika dan neurologi pasien
Cedera lain yang bersangkutan
Ketersediaan modalitas pada institusi yang menangani
2.10.1 Penatalaksanaan Trauma Tusuk Abdomen16 Tidak ada tatalaksana yang serupa dalam manajemen kasus trauma tusuk pada bagian abdomen. Namun secara umum manajemen luka tusuk dibagi menjadi dua: 2.10.1.1 Luka Tusuk Abdomen Anterior Pasien dengan luka tusuk di regio abdomen anterior umumnya akan merasakan nyeri tekan dan defans lokal pada pemeriksaan palpasi di daerah luka, namun di area abdomen lain akan terasa supel dan tidak nyeri. Secara umum tatalaksana luka tusuk abdomen anterior mencakup rawat inap, analgesik IV, puasakan pasien, dan observasi hemodinamika pasien per 2 jam. Tatalaksana spesifik antara lain: 21
Jika nyeri tekan menyebar lebih jauh dari lokasi luka tusuk dan melinatkan seluruh permukaan abdomen, sangat memungkinkan terjadinya cedera organ berongga dan laparotomi darurat harus segera dilakukan.
Jika dalam observasi 24 jam tidak ditemukan perubahan klinis ke arah yang lebih buruk, pasien diperbolehkan untuk makan dan dipulangkan.
Pengecualian diterapkan pada pasien dengan luka tusuk kuadran kiri atas. Isi lambung dapat menyebabkan peritonitis dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan isi usus halus dan kolon dimana sudah terjadi proses fermentasi sisa bolus makanan. Oleh karena itu diperlukan observasi yang lebih lama.
Eviserasi
(pengeluaran)
omentum:
bersihkan,
reduksi, dan tutup abdomen, kemudian dilakukan manajemen seperti diatas.
Jika terjadi eviserasi usus, tinggi kemungkinan terjadinya cedera terhadap usus tersebut, segera lakukan laparotomi darurat o Jika pasien akan dirujuk ke instalasi medis lain, reduksi usus dan tutup perlukaan. 22
o Jika luka abdomen tersebut berukuran kecil dan
usus
yang tereviserasi
mengalami
strangulasi, maka luka harus diperbesar dan kemudian diikuti dengan reduksi usus. o Tidak mereduksi usus yang terstrangulasi akan menimbulkan komplikasi berupa infark yang berujung nekrosis signifikan pada waktu laparotomi.
Luka tusuk pada rusuk bawah kiri (dibawah garis mendatar yang melewati puting dan sudut bawah skapula) memiliki 30% kemungkinan terjadinya cedera diafragma. o Segera lakukan foto toraks untuk mencari adanya herniasi organ berongga melalui diafragma. o Ketiadaan
hernia
menyingkirkan
tersebut
kemungkinan
tidak perlukaan
diafragma. o Segera rawat inap dan observasi dan jika pasien tetap stabil, lakukan laparoskopi semielektif untuk melihat kondisi diafragma kiri.
Jika
ditemukan
defek,
diafragma
23
diperbaikia
secara
laparoskopik
atau
laparotomi.
2.10.1.2 Luka Tusuk Abdomen Posterior
Disarankan melakukan pendekatan selektof nonoperatif
Jangan jahit luka posterior, karena luka pada organ berongga retroperitonial dapat berlanjut menjadi fascitis nekrotif. Pasang kantong kolostomi untuk luka tusuk posterior.
Pasien harus dirawat dan diobservasi (termasuk pemeriksaan abdomen serial). Kebanyakan kasus luka tusuk posterior tidak memerlukan laparotomi.
Fistula kolon onset tertunda umumnya sembuh dengan manajemen konservatif.
Pasien dengan hematuri harus diperiksa radiologis dengan CTIVP dan ditatalaksana sebagai cedera urologi.
2.10.2 Penatalaksanaan Trauma Tembak Abdomen
Luka tembak memiliki kemungkinan tinggi untuk menyebabkan perlukaan organ berongga, oleh karena itu umumnya merupakan indikasi untuk dilakukannya laparotomi darurat. 24
Pengecualian terhadap dilakukannya laparotomi antara lain adalah cedera hepar yang terisolir dan cedera tangensial.
Gambar 7. Algoritma Tatalaksana Trauma Tembus Abdomen
2.10.3 Tindakan Operatif Tindakan operatif yang menjadi tatalaksana utama pada trauma abdomen jika indikasi dipenuhi adalah tindakan laparotomi (celiotomi) eksplorasi. Secara definisi, laparotomi eksplorasi adalah suatu tindakan insisi kedalam kavum abdomen yang dilakukan dengan tujuan memperoleh informasi mengenai gangguan yang diderita pasien yang tidak dapat diperoleh melalui metodi diagnostik klinis, dan mengatasinya.17 Umumnya 25
tindakan ini dilaksanakan pada pasien dengan gejala akut abdomen atau nyeri abdomen yang tidak dapat dijelaskan, pada pasien yang menderita trauma abdomen, dan terkadang pada pasien yang menderita keganasan. Setelah patologi dibalik penyakit pasien telah diungkap, sebuah tindakan laparotomi eksplorasi dapat berlanjut dan berfungsi sebagai prosedur terapeutik; terkadang, tindakan ini dapat menjadi saran untuk menegakkan diagnosis saja, seperti pada kasus laparotomi-biopsi untuk masa intraabdominal yang dianggap tidak dapat diangkat. Prosedur laparotomi yang demikian berbeda dengan lyang dilakukan pada pasien trauma
tajam
abdomen,
dimana
ahli
bedah
merencanakan
dan
melaksanakan prosedur terapeutik spesifik untuk mengatasi permasalahan pasien.17 Pasien trauma tembus abdomen dengan status hemodinamika yang tidak stabil dengan suspek hemoperitoneum harus ditindak dengan laparotomi eksplorasi tanpa dapat ditunda lagi. Pasien seperti ini sangat mungkin mengalami cedera tembus akibat tusukan maupun tembakan pada organ viskus padat seperti hepar dan limpa, ataupun mesenterium yang kaya akan arteri. Pasien trauma tembus juga sangat mungkin mengalami perforasi intestinal yang membutuhkan perbaikan darurat.18 Pada pasien dengan trauma tembus abdomen, laparotomi eksplorasi merupakan metode konvensional yang dilakukan untuk menyingkirkan atau menegakan keberadaan cedera intraabdominal. Namun, Kevric et al 26
menemukan bahwa kebocoran peritoneum tidak selalu berarti terdapat cedera dalam peritoneum yang memerlukan laparotomi; maka disarankan untuk dilakukan pemeriksaan berkala saat CT ditemukan normal.19 Selain laparotomi, laparoskopi juga berperan dan diteliti kegunaanya secara sistematis bagi pasien dengan trauma tembus abdomen. Laparoskopi didapati sangat berguna dalam mengidentifikasi keberadaan cedera diafragma namun kurang sensitif dalam mendeteksi cedera organ berongga. Namun, laparoskopi sangat baik sebagai pemeriksaan pendahuluan untuk menentukan butuh atau tidaknya tindakan laparotomi.19 Indikasi dilakukannya laparotomi pada trauma abdomen adalah sebagai berikut:19 A. Indikasi Berdasarkan Evaluasi Abdomen:
Trauma tumpul abdomen dengan DPL atau FAST positif.
Trauma tumpul abdomen dengan hipotensi yang berulang walaupun dilaksanakan resusitasi adekuat.
Peritonitis dini atau menyusul
Trauma tembus abdomen dengan hemodinamika tidak stabil
Perdarahan gaster, dubur, atau daerah urogenital akibat trauma tembus 27
Luka
tembak
melintasi
rongga
peritoneum
atau
retroperitoneum visceral atau mengenai vaskular
Eviserasi (pengeluaran isi usus)
B. Indikasi Berdasarkan Pemeriksaan Radiologis.
Udara
bebas,
udara
retroperitoneum
atau
ruptur
hemidiafragma setelah trauma tumpul.
CT dengan kontras memperlihatkan ruptur traktus gastrointestinalis, cedera kandung kemih intraperitoneal, cedera renal pedicle, atau cedera organ viseral yang parah setelah trauma tumpul atau tembus.
28
Gambar 8. Laparotomi untuk menegakan kemungkinan cedera intraabdominal
Gambar 9. Laserasi Hepar pada Korban Luka Tusuk Abdomen dengan Hemoperitoneum
29
BAB III KESIMPULAN Trauma tembus abdomen adalah segala bentuk trauma yang menyebabkan
terjadinya
diskontinuitas
pada
dinding
abdomen,
yang
menghubungkan ruang intraabdominal dengan dunia luar. Trauma tembus abdomen umumnya melibatkan terjadinya proses kekerasan pada dinding luar abdomen melalui luka tusuk atau luka tembak. Pengelolaan luka tembus abdomen meliputi pemulihan fungsi vital dan hemodinamika, menguraikan mekanisme cedera, pemeriksaan fisik yang teliti dan diulang dalam interval waktu tertentu (observasi), memilih manuver diagnostik seperlunya tanpa membuang waktu, mempertahankan indeks kecurigaan tinggi terhadap cedera, dan pengenalan dini tanda-tanda indikasi laparotomi untuk intervemsi pembedahan secepatnya. Semua penderita dengan luka tembus dekat perut dan disertai hipotensi, peritonitis, atau eviserasi memerlukan laparotomi segera. Penderita dengan luka tembak yang jels melinas rongga peritoneum atau daerah viseral/vasky;ar dari retroperitoneum pada waktu pemeriksaan fisik atau pemeriksaan ronsen membutuhkan laparotomi segera. Penderita tanpa simptom dengan luka tusuk perut anterior yang menembus fasia atau peritoneum waktu pemeriksaan luka lokal dievaluasi melalui pemeriksaan fisik serial atau DPL. 30
DAFTAR PUSTAKA
1.
Varin DS, Ringburg AN, van Lieshout EM, Patka P, Schipper IB. Accuracy of conventional imaging of penetrating torso injuries in the trauma resuscitation room. Eur J Emerg Med. 2009 Dec. 16(6):305-11.
2.
Feliciano DV, Rozcyki GS. The management of penetrating abdominal trauma. Adv Sur. 1995. 28:1-39.
3.
Nicholas JM, Rix EP, Easley KA, et al. Changing patterns in the management of penetrating abdominal trauma: the more things change, the more they stay the same. J Trauma. 2003 Dec. 55(6):1095-108; discussion 1108-10.
4.
Alzamel HA, Cohn SM. When is it safe to discharge asymptomatic patients with abdominal stab wounds. J Trauma. 2005 Mar. 58(3):523-5.
5.
Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-9.
6.
Eddy VA, Morris JA, Rozycki GS. The Textbook of Penetrating Trauma. Trauma and pregnancy. Lippincott Williams & Wilkins; 1996. 695701.
7.
Udobi KF, Rodriguez A, Chiu WC, Scalea TM. Role of ultrasonography in penetrating abdominal trauma: a prospective clinical study. J Trauma. 2001 Mar. 50(3):475-9.
8.
Boulanger BR, Kearney PA, Tsuei B, Ochoa JB. The routine use of sonography in penetrating torso injury is beneficial. J Trauma. 2001 Aug. 51(2):320-5.
9.
Isenhour JL, Marx J. Advances in abdominal trauma. Emerg Med Clin North Am. 2007 Aug. 25(3):713-33,
31
10. Ali J, Aprahamian C, Bell RM, et al. Advanced Trauma Life Support for Doctors. American College of Surgeons; 1997.6. 165-194 11. Hedges JR, Roberts JR. Clinical Procedures in Emergency Medicine. Peritoneal procedures. 3rd ed. Philadelphia, Pa: WB Saunders; 1997. 12. Boggs W. CT scans may not be necessary for abdominal stab wounds. Reuters Health Information. July 9, 2013. Available at http://www.medscape.com/viewarticle/807525. 13. Demetriades D, Velmahos G, Cornwell E 3rd, et al. Selective nonoperative management of gunshot wounds of the anterior abdomen. Arch Surg. 1997 Feb. 132(2):178-83. 14. Feliciano DV, Burch JM, Spjut-Patrinely V, Mattox KL, Jordan GL Jr. Abdominal gunshot wounds. An urban trauma center's experience with 300 consecutive patients. Ann Surg. 1988 Sep. 208(3):362-70. 15. Velmahos GC, Constantinou C, Tillou A, Brown CV, Salim A, Demetriades D. Abdominal computed tomographic scan for patients with gunshot wounds to the abdomen selected for nonoperative management. J Trauma. 2005 Nov. 59(5):1155-60; discussion 1160-1. 16. Drost TF, Rosemurgy AS, Kearney RE, Roberts P. Diagnostic peritoneal lavage. Limited indications due to evolving concepts in trauma care. Am Surg. 1991 Feb. 57(2):126-8. 17. Kevric J, Aguirre V, Martin K, Varma D, Fitzgerald M, Pilgrim C. Peritoneal Breach as an Indication for Exploratory Laparotomy in Penetrating Abdominal Stab Injury: Operative Findings in Haemodynamically Stable Patients. Emerg Med Int. 2015. 2015:407173. 18. O'Malley E, Boyle E, O'Callaghan A, Coffey JC, Walsh SR. Role of laparoscopy in penetrating abdominal trauma: a systematic review. World J Surg. 2013 Jan. 37 (1):113-22. 19. Harvin JA, Maxim T, Inaba K, et al. Mortality Following Emergent Trauma Laparotomy: a Multicenter, Retrospective Study: Mortality after Emergent Trauma Laparotomy. J Trauma Acute Care Surg. 2017 Jun 9.
32