BAB 1 PENDAHULUAN
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya. Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu.
Selain itu, ada kolelitiasis yang masih merupakan masalah gastrointestinal yang sering dijumpai. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prevalensi terjadinya kolelitiasis. Batu empedu merupakan endapan dari salah satu atau beberapa komponen empedu, dimana batu empedu tersebut dapat digolongkan menjadi batu kolesterol, pigmen coklat, dan pigmen hitam. Terdapat 3 spektrum tahapan kolelitiasis, yakni asimtomatik, simtomatik, dan kolesistitis dengan komplikasi. Gejala klinis spesifik untuk mendiagnosis kolesistitis adalah kolik bilier. Metode pencitraan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis kolelitiasis adalah USG, ERCP, CT-scan, MRI, maupun MRCP. Telah menjadi kesepakatan bahwa kolelitiasis asimtomatik tidak memerlukan terapi, meskipun untuk tujuan profilaksis. Pilihan utama terapi kolelitiasis simtomatik adalah kolesistektomi, tetapi penentuan waktu operasi masih menjadi perdebatan (Keshav et al, 2015).
Kolesistektomi merupakan terapi definitif pada pasien dengan kolesistitis akut. Kolesistektomi awal (early cholecystectomy) dilakukan dalam waktu 2 sampai 3 hari, yang mana hal ini lebih disukai daripada kolesistektomi interval (interval
1
cholecystectomy) atau kolesistektomi tertunda (delayed cholecystectomy) yang dilakukan dalam waktu 6 sampai 10 minggu setelah terapi medis awal. Sekitar 20% dari pasien yang gagal dengan terapi medis awal dan memerlukan operasi selama pemberian terapi medis awal atau sebelum akhir dari periode cooling-off yang direncanakan.(Saquib, 2013).
Sejak 20 tahun terakhir, sejumlah ahli bedah menyukai kebijakan operasi awal. Beberapa penelitian acak yang dilakukan pada awal tahun 1980 telah menunjukkan bahwa melakukan kolesistektomi awal (early cholecystectomy) pada kolesistitis akut adalah lebih baik dari pada kolesistektomi tertunda (delayed cholecystectomy) dari segi lamanya rawat inap di rumah sakit yang lebih singkat, kelayakan operasi dan kedua operasi tersebut memiliki tingkat resiko mortalitas dan morbiditas yang sama (Saquib, 2013).
Tindakan early cholecystectomy dan interval cholesistectomy memiliki keuntungan dan kerugian, dimana keuntungan early cholecystectomy ialah lebih pendek perawatan dirumah sakit dibandingkan interval cholecystectomy dan kerugiannya ialah waktu operasi yang lebih lama dan tingkat kesulitan pre operatif yang lebih tinggi serta komplikasi post operatif yang lebih banyak dibandingkan interval cholecystectomy (Saquib, 2013).
2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Anatomi Kandung Empedu Kandung empedu merupakan kantong berbentuk alpukat yang terletak tepat
dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujungnya buntu dari kandung empedu. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah bagian yang sempit dari kandung empedu.(Albert et al, 2016) Ukuran kandung empedu pada orang dewasa adalah 7 cm hingga 10 cm dengan kapasitas lebih kurang 30 ml. Kandung empedu menempel pada hati oleh jaringan ikat longgar, yang mengandung vena dan saluran limfatik yang menghubungkan kandung empedu dengan hati. Kandung empedu dibagi menjadi empat area anatomi: fundus, korpus, infundibulum, dan kolum (Avunduk, 2002). Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus hepatosit, yang kemudian menuju ke duktus biliaris. Duktus yang besar bergabung dengan duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bermuara ke duktus hepatikus komunis di porta hepatis. Ketika duktus sistika dari kandung empedu bergabung dengan duktus hepatikus komunis, maka terbentuklah duktus biliaris komunis. Duktus biliaris komunis secara umum memiliki panjang 8 cm dan diameter 0.5-0.9 cm, melewati duodenum menuju pangkal pankreas, dan kemudian menuju ampula Vateri (Avunduk, 2002).
3
Suplai darah ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri sistika yang berasal dari arteri hepatikus kanan. Asal arteri sistika dapat bervariasi pada tiap tiap orang, namun 95 % berasal dari arteri hepatik kanan (Debas, 2004). Aliran vena pada kandung empedu biasanya melalui hubungan antara vena vena kecil. Vena-vena ini melalui permukaan kandung empedu langsung ke hati dan bergabung dengan vena kolateral dari saluran empedu bersama dan akhirnya menuju vena portal. Aliran limfatik dari kandung empedu menyerupai aliran venanya. Cairan limfa mengalir dari kandung empedu ke hati dan menuju duktus sistika dan masuk ke sebuah nodus atau sekelompok nodus. Dari nodus ini cairan limfa pada akhinya akan masuk ke nodus pada vena portal.
Kandung empedu diinervasi oleh cabang dari saraf simpatetik dan
parasimpatetik, yang melewati pleksus seliaka. Saraf preganglionik simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf postganglionik simpatetik berasal dari pleksus seliaka dan berjalan bersama dengan arteri hepatik dan vena portal menuju kandung empedu. Saraf parasimpatetik berasal dari cabang nervus vagus (Welling & Simeone, 2009). Empedu yang di sekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan hati sebagai duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus.(Albert et al, 2016)
4
Gambar 1. Gambaran anatomi kandung empedu (Winslow T, 2015)
2.2
Fisiologi
Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya antara 600-1200 ml/hari.Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu. Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan di sini mengalami pemekatan sekitar 50 %. Fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang kedap, yang terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali dan mengurangi volumenya 80-90%.(Albert et al, 2016). Menurut Albert et al, 2016 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu : 1.
Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,
karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain : asam empedu membantu
5
mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah pankreas, Asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal. 2.
Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati. Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin, hal ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit setelah makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding kandung empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi yang menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis kedalam duodenum. Selain kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh serat-serat saraf yang menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik. Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam duodenum terutama sebagai respon terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam makanan, pengosongan kandung empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang adekuat dalam makanan, normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam waktu sekitar 1 jam.
6
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan.(Albert et al, 2016) 2.3
Definisi
Kolelitiasis atau batu empedu pada hakekatnya merupakan endapan satu atau lebih komponen empedu (kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium dan protein.(Bravo et al, 2016).
Kolelitiasis (kalkuli atau batu empedu) biasanya di bentuk dalam kadung empedu dari bahan-bahan padat empedu dalam hal bentuk, ukuran, dan komposisinya ada dua jenis utama batu empedu : batu pigmen yang terdiri atas pigmen empedu tak jenuh yang jumlahnya berlebihan, dan batu kolestrol, yang merupakan bentuk paling umum. Faktor-faktor resiko pada batu empedu termasuk sirosis, hemolisis, dan infeksi percabangan saluran empedu faktor-faktor resiko untuk batu kolestrol termasuk kontrasepsi oral, estrogen, dan klofibrat. Wanita mengalami batu kolesterol dan penyakit kandung empedu empat kali lebih sering di banding pria : biasanya di atas 40 tahun, multi para, dan obesitas.
7
Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam kandung empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari kolesterol, pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganik.(Gustawan, 2011).
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat di dalam kandung empedu atau saluran empedu (duktus koledokus) atau keduanya.
Gambar 2. Batu Empedu (Albert J,2016)
2.4
Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti, adapun faktor predisposisi terpenting, yaitu : gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, statis empedu, dan infeksi kandung empedu.
Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol
8
mengekskresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu (dengan cara yang belum diketahui sepenuhnya) untuk membentuk batu empedu.
Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme spingteroddi, atau keduanya dapat menyebabkan statis. Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin) dapat dikaitkan dengan keterlambatan pengosongan kandung empedu.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu. Mukus meningkatkan viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi/ pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya batu, dibanding penyebab terbentuknya batu.(Keshav et al, 2015; Albert et al, 2016)
2.5
Epidemiologi
Dari mereka yang dirawat di rumah sakit karena penyakit traktus bilier, 20% mengalami kolesistitis akut. Dan jumlah kolesistektomi secara perlahan meningkat, terutama pada lansia. Distribusi jenis kelamin untuk batu empedu adalah 2-3 kali lebih sering pada wanita dibandingkan pada pria, sehingga insiden kolesistitis kalkulus juga lebih tinggi pada wanita. Kadar progesteron yang tinggi selama
9
kehamilan dapat menyebabkan empedu stasis, sehingga insiden penyakit kandung empedu pada wanita hamil juga tinggi. Kolesistitis kalkulus dijumpai lebih sering pada pria usia lanjut.
Insidensi kolesistitis meningkat seiring dengan usia. Penerangan secara fisiologi untuk meningkatnya kasus penyakit batu empedu dalam populasi orang yang lebih tua kurang difahami. Meningkatnya kadar insidensi untuk laki-laki yang lebih berusia telah dikaitkan dengan rasio perubahan androgen kepada estrogen.(Parmar et al, 2015)
2.6
Patofisiologi Seperti telah disebutkan sebelumnya, sembilan puluh persen kasus kolesistitis
melibatkan batu di saluran sistikus (kolesistitis kalkulus), dan 10% sisanya merupakan kasus kolesistitis kalkulus. Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh tersumbatnya duktus sistikus hingga menyebabkan distensi kandung empedu. Biasanya sumbatan ini adalah disebabkan adanya batu empedu yang mempunyai 2 tipe yaitu batu kolesterol dan batu pigmen. Pada batu kolesterol, empedu yang disupersaturasi dengan kolesterol dilarutkan dalam daerah hidrofobik micelle, kemudian terjadinya kristalisasi dan akhirnya prepitasi lamellar kolesterol dan senyawa lain membentuk matriks batu. Pada batu pigmen, ada dua bentuk yakni
10
batu pigmen murni dan batu kalsium bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil, sangat keras dan penampilannya hijau sampai hitam. Proses terjadinya batu ini berhubungan dengan sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan pigmen abnormal yang mengendap di dalam empedu. Sirosis dan statis biliaris merupakan predisposisi pembentukan batu pigmen.(Albert J, 2016) Batu empedu yang mengobstruksi duktus sistikus menyebabkan cairan empedu menjadi stasis dan kental, kolesterol dan lesitin menjadi pekat dan seterusnya akan merusak mukosa kandung empedu diikuti reaksi inflamasi atau peradangan dan supurasi. Seiring membesarnya ukuran kantong empedu, aliran darah dan drainase limfatik menjadi terganggu hingga menyebabkan terjadinya di dinding kandung empedu iskemia, nekrosis mukosa dan jika lebih berat terjadinya ruptur.(Albert J,2016) Sementara itu, mekanisme yang akurat dari kolesistitis akalkulus tidaklah jelas, namun beberapa teori mencoba menjelaskan. Radang mungkin terjadi akibat kondisi dipertahankannya konsentrat empedu, zat yang sangat berbahaya, di kandung empedu, pada keadaan tertentu. Misalnya pada kondisi puasa berkepanjangan, kantong empedu tidak pernah menerima stimulus dari kolesistokinin (CCK) untuk mengosongkan isinya, dengan demikian, empedu terkonsentrasi dan tetap stagnan di lumen.(Keshav et al, 2015; Albert et al, 2016)
11
Gambar3. Kolesistitis Akut yang disebabkan oleh batu empedu.(Albert J,2016) Batu empedu terjadi karena adanya zat tertentu dalam empedu yang hadir dalam konsentrasi yang mendekati batas kelarutan mereka. Bila empedu terkonsentrasi di dalam kandung empedu, larutan akan berubah menjadi jenuh dengan bahan-bahan tersebut, kemudian endapan dari larutan akan membentuk Kristal mikroskopis. Kristal terperangkap dalam mukosa bilier, akan menghasilkan suatu endapan. Oklusi dari saluran oleh endapan dan batu menghasilkan komplikasi penyakit batu empedu (Debas,2004) Pada kondisi normal kolesterol tidak mengendap di empedu karena mengandung garam empedu terkonjugasi dan lesitin dalam jumlah cukup agar kolesterol berada di dalam larutan misel. Jika rasio konsentrasi kolesterol berbanding garam empedu dan lesitin meningkat, maka larutan misel menjadi sangat jenuh. Kondisi yang sangat jenuh ini mungkin karena hati memproduksi kolesterol dalam
12
bentuk konsentrasi tinggi. Zat ini kemudian mengendap pada lingkungan cairan dalam bentuk kristal kolesterol.(Debas,2004) Bilirubin, pigmen kuning yang berasal dari pemecahan heme, secara aktif disekresi ke dalam empedu oleh hati. Sebagian besar bilirubin di dalam empedu berada dalam bentuk konjugat glukoronida yang larut dalam air dan stabil, tetapi sebagian kecil terdiri dari bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi, seperti lemak, fosfat, karbonat, dan anion lainnya cenderung untuk membentuk presipitat tak larut dengan kalsium. Kalsium memasuki empedu secara pasif bersama dengan elektrolit lain. Dalam situasi pergantian heme tinggi, seperti hemolisis kronis atau sirosis, bilirubin tak terkonjugasi mungkin berada dalam empedu pada konsentrasi yang lebih tinggi dari biasanya. Kalsium bilirubinat mungkin kemudian mengkristal dari larutan dan akhirnya membentuk batu pigmen hitam.(Debas,2004) Empedu yang biasanya steril, tetapi dalam beberapa kondisi yang tidak biasa (misalnya ada striktur bilier), mungkin terkolonisasi dengan bakteri. Bakteri menghidrolisis bilirubin terkonjugasi dari hasil peningkatan bilirubin tak terkonjugasi dapat menyebabkan presipitasi terbentuknya kristal kalsium bilirubinat, bakteri hidrolisis lesitin menyebabkan pelepasan asam lemak yang komplek dengan kalsium dan endapan dari larutan lain. Konkresi yang dihasilkan memiliki konsistensi disebut batu pigmen coklat.(Debas,2004)
13
Batu empedu kolesterol dapat terkoloni dengan bakteri dan dapat menimbulkan peradangan mukosa kandung empedu. Enzim dari bakteri dan leukosit menghidrolisis bilirubin konjugasi dan asam lemak. Akibatnya, dari waktu ke waktu, batu kolesterol bisa mengumpulkan proporsi kalsium bilirubinat dan garam kalsium, lalu menghasilkan campuran batu empedu.(Debas,2004) Kondisi batu kandung empedu memberikan berbagai manifestasi keluhan pada pasien dan menimbulkan berbagai masalah keperawatan. Jika terdapat batu empedu yang menyumbat duktus sistikus dan biliaris komunis untuk sementara waktu, tekanan di duktus biliaris akan meningkat dan peningkatan peristaltik di tempat penyumbatan mengakibatkan nyeri visera di daerah epigastrum, mungkin dengan penjalaran ke punggung. Respon nyeri, gangguan gastrointestinal dan anoreksia akan meningkatkan penurunan intake nutrisi.(Debas,2004) Respon komplikasi akut dengan peradangan akan memberikan manifestasi peningkatan suhu tubuh. Respon kolik bilier secara kronis akan meningkatkan kebutuhan metabolisme sehingga pasien cenderung mengalami kelelahan. Respon adanya batu akan dilakukan intervensi medis pembedahan, intervensi litotripsi atau intervensi endoskopi (Debas,2004). 2.7 Manifestasi Klinis Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah nyeri perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh.
14
Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif dan nyerinya bersifat konstan. Kadang-kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda.(Debas,2004) Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi volume vaskular dan ekstraselular. Pada pemeriksaan fisik, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkostae kuadran kanan atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti yaitu Murphy sign positif menandakan adanya peradangan kandung empedu. Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin<4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik misalnya duktus koledokus. Gejalanya juga bertambah buruk setelah makan makanan yang berlemak. Pada pasien-pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja.(Parmar et al, 2015). Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien
15
dengan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat tanda-tanda kolik kandung empedu.(Parmar et al, 2015) a.
Kolik Billier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas yang menjalar ke punggung atau bahu kanan; rasa nyeri ini biasanya disertai mual dan muntah dan bertambah hebat dalam makan makanan dalam porsi besar. Pada sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten. Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah kartilago kosta 9 dan 10 kanan. Sentuhan ini menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam dan menghambat pengembangan rongga dada. b.
Ikterus
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam dudodenum akan menimbulkan gejala yang khas, yaitu: gatah empedu yang tidak lagi dibawa ke dalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran mukosa berwarna kuning.
16
c.
Defisiensi vitamin
Obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu absorbsi vitamin A, D, E, K yang larut lemak. Karena itu pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi vitaminvitamin ini jika obstruksi bilier berlangsung lama. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang normal. d.
Kolesistitis Akut
Sebagian besar (90-95%) kasus kolesistitis akut disertai kolelitiasis dan keadaan ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ tersebut. Respon peradangan dapat dicetuskan tiga faktor yaitu: a) inflamasi mekanik yang dicetuskan oleh kenaikan tekanan intra lumen dan distensi menyebabkan iskemia mukosa dan dinding kandung empedu, b) inflamasi kimiawi akibat pelepasan lesitin, c) inflamasi bakteri yang memegang peran pada sebagian besar pasien dengan kolesititis akut. Pasien dianggap menderita kolesistitis akut jika mereka memiliki kriteria berikut.(Saquib, 2013) 1. Nyeri akut region hypochondria kanan dan / atau nyeri epigastric durasi > 8-12 jam. 2. Nyeri tekan/ teraba massa di kuadran kanan atas. 3. Peningkatan suhu (> 37.50C) dan / atau leukositosis (> 10x109 / L).
17
4. Bukti kolesistitis akut pada ultrasonografi. e.
Koledokolitiasis dan Kolangitis
Batu kandung empedu dapat bermigrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk dalam saluran empedu (koledokolitiasis primer). Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruksif, kolangitis dan pankreatitis. Tujuh puluh empat pasien dengan koledokolitiasis simtomatik memperlihatkan bahwa nyeri dan ikterus merupakan gejala utama. f.
Kolesistolitiasis
Kolesistolitiasis atau kolesistitis kalkulosus yaitu adanya batu di dalam kandung empedu yang biasanya disertai proses inflamasi. Batu empedu yang terdapat di dalam kandung empedu dapat memberikan gejala nyeri akut episodik akibat kolesistitis akut, kolik bilier, rasa tidak nyaman pada perut yang berulang dan kronik akibat episode berulang dari kolik bilier ringan atau gejala-gejala dyspepsia. Tertanamnya batu dalam leher kandung empedu diduga menyebabkan spasme belakang, kandung empedu di daerah kosong dan nyeri berhenti, dan jika batu tetap berada di leher kandung empedu akan terjadi nyeri yang terus menerus. Cairan empedu yang terperangkap akan berubah komposisinya menyebabkan inflamasi lokal dan menyebabkan rasa nyeri yang menetap beberapa saat, Isi kandung empedu dapat terinfeksi akibat adanya toksemia yang dapat menyebabkan empiema, gangren atau
18
perforasi. Kontraksi kandung empedu akibat batu adalah penjelasan tradisional terhadap post prandial discomfort, tetapi tidak terdapat hubungan yang jelas antara gejala ini dengan adanya batu empedu pada populasi umum. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda toksemia, kuadran kanan atas abdomen secara klasik ditemukan Murphy’s sign. Pada kasus yang lebih lanjut dapat diraba massa inflamasi akibat pembengkakan kandung empedu yang dikelilingi oleh omentum.(Albert et al, 2016). 2.8 Penatalaksanaan Untuk kasus kolesistitis akut, tindakan umum yang dapat dilakukan adalah tirah baring, pemberian cairan intravena dan nutrisi parentral untuk mencukupi kebutuhan cairan dan kalori, diet ringan tanpa lemak dan menghilangkan nyeri dengan petidin (demerol) dan buscopan dan terapi simtomatik lainnya. Antibiotik pula diberikan untuk mengobati septikemia serta mencegah peritonitis dan empiema. Antibiotik pada fase awal adalah sangat penting untuk mencegah komplikasi Mikroorganisme yang sering ditemukan adalah Eschteria coli, Stretococcus faecalis, dan Klebsiella, sering dalam kombinasi. Dapat juga ditemukan kuman anaerob seperti Bacteriodes dan Clostridia.Antibiotik yang dapat dipilih adalah misalnya dari golongan sefalosporin, metronidazol, ampisilin sulbaktam dan ureidopenisilin.
19
Terapi definitif kolestisistitis akut adalah kolesistektomi dan
sebaiknya
dilakukan kolesistektomi secepatnya yaitu dalam waktu 2-3 hari (dalam 7 hari sejak onset gejala) atau ditunggu 6-10 minggu selepas diterapi dengan pengobatan karena akan mengurangi waktu pengobatan di rumah sakit.(Peter et al, 2014). Sebagian dokter memilih terapi operatif dini untuk menghindari timbulnya gangren atau komplikasi kegagalan terapi konservatif. Beberapa dokter bedah lebih menyukai menunggu dan mengobati pasien dengan harapan menjadi lebih baik selama perawatan, dan mencadangkan tindakan bedah bila kondisi pasien benar-benar stabil, dengan dasar pemikiran bahwa aspek teknik kolesistektomi akan lebih mudah bila proses inflamasi telah mulai menyembuh. Terapi operatif lanjut ini merupakan pilihan yang terbaik karena operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi akan menjadi lebih sulit karena proses inflamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan gambaran anatomi. Namun, jika berlakunya kasus emergensi atau ada komplikasi seperti empiema atau dicurigai adanya perforasi, sebaiknya lansung dilakukan kolesistektomi.(Peter et al, 2014). Dibandingkan
kolesistektomi
konvensional,
pada
kolesistektomi
laparoskopik, pasien dapat keluar rumah sakit dalam 1-2 hari pascaoperasi dengan jarigan parut minimal dan dapat berkativitas lebih cepat. Sekitar 10% kolesistektomi laparoskopik harus diubah menjadi operasi terbuka (kolesistektomi konvensional) di kamar operasi karena adanya inflamasi yang luas, perlekatan, atau adanya
20
komplikasi, seperti cedera saluran empedu yang memerlukan perbaikan.(Freeman et al, 2015).
Gambar 4. Kolesistektomi terbuka dan laparoskopik (Albert J,2016) Pada pasien yang memerlukan penanganan secepatnya, namun dalam keadaan sakit keras atau sangat berisiko tinggi untuk kolesistektomi, pasien harus diterapi secara medis dengan pemberian cairan, antibiotika dan analgesik, bila terapi ini gagal, perlu dipertimbangkan suatu kolesistotomi perkutan. Di sini, isi kandung empedu dikeluarkan dan lumen didrainase dengan kateter yang ditinggalkan. Pada pasien yang mengalami kolesistosomi dan telah sembuh dari keadaan akut, harus dilakukan kolesitektomi 6-8 minggu kemudian bila kondisi medisnya cukup baik.(Freeman et al, 2015; Husain et al, 2015)
21
Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai 90% dari seluruh kolesisteksomi. Konversi ke tindakan bedah kolesisteksomi konvensional sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam mengenali duktus sistikus yang disebabkan perlengketan luas (27%), perdarahan dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan dan kebocoran empedu. Menurut kebanyakan ahli bedah tindakan kolesisteksomi laparoskopik ini sekalipun invasif mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi, menurunkan angka kematian, secara kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan di rumah sakit dan mempercepat aktifitas pasien (Emmanuel, 2014; Bravo et al, 2016). 2.9
Pemeriksaan Radiologi 1.
Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.
22
Gambar 5. USG batu empedu (Nathanson, 2009) 2. CT-Scan Metode ini juga merupakan pemeriksaan yang akurat untuk menentukan adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis.
Gambar 6. CT scan abdomen (Nathanson,2009) 3. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography) Yaitu sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut. Fungsi
23
ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk mengambil batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya sudah diangkat.
Gambar 7.ERCP(Nathanson,2009) Ultrasonografi (USG) merupakan modalitas penunjang yang murah, tidak invasif, aman dan tersedia dengan potensi sangat akurat untuk pencitraan pada pasien suspect cholelithiasis (Raymond, 2007). Pemeriksaan ultrasonografi pada perut kanan atas merupakan suatu metode pilihan untuk mendiagnosis cholelithiasis. Tingkat sensitivitasnya lebih dari 95% untukmendeteksi cholelithiasis dengan diameter 1,5 mm atau lebih.(Freeman et al, 2016).
24
2.10
Penatalaksanaan Bedah
a. Open Kolesistektomi Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan mortalitas pada pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989, angka kematian secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun angka kematian 0,03 % sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka kematian mencapai 0,5 %. (Fried,2007) Terdapat 2 incisi yang sering digunakan yaitu vertical pada midline dan subcostal oblique. Incisi linea mediana digunakan jika terdapat keadaan patologi seperti hernia hiatus atau ulkus duodenal yang memerlukan pertimbangan pembedahan. Incisi subcostal digunakan karena dipercaya memberikan area pandang yang baik, luka postoperatif yang lebih nyaman dan insidensi hernia postoperatif lebih jarang daripada incisi vertikal pada linea mediana. Setelah dilakukan incisi, detail prosedur tindakan tetap serupa. Sarung tangan steril yang telah dilembabkan dengan larutan garam fisiologis yang telah dihangatkan digunakan untuk eksplorasi cavum abdomen untuk mendeteksi adanya infeksi supuratif akut yang melibatkan kandung empedu. Perut dan terutama
25
duodenum dilakukan inspeksi dan palpasi dan kemudian ekplorasi abdomen secara menyeluruh termasuk evaluasi hiatus esophagus. Kemudian ahli bedah akan memasukkan tangannya melintasi kubah liver sehingga membiarkan udara diantara diafragma dan liver untuk mendorong liver kearah bawah. Ketika bantuan sangat terbatas, retraktor halsted digunakan pada sisi kanan untuk menarik kearah tepi costa. Klem digunakan untuk memegang ligamentum falsiform dan 1 klem lagi untuk memegang fundus kandung empedu. Sebagian besar ahli bedah lebih suka membelah ligamentum falsiform kemudian kedua ujungnya diligasi jika tidak maka akan terjadi perdarahan aktif dari arteri. Traksi ke bawah dipertahankan dengan klem pada fundus kandung empedu.
Gambar 8. Visualisasi kandung empedu (Zollinger, 2011)
26
Setelah liver ditarik ke bawah sejauh mungkin, klem ditarik kearah tepi costa untuk memvisualisasi permukaan bawah liver dan kandung empedu. Asisten akan memegang klem ini sementara ahli bedah mempersiapkan area visualisasi. Jika kandung empedu mengalami inflamasi akut dan distensi sebaiknya dilakukan aspirasi isinya terlebih dulu dengan trokar sebelum memasang klem pada fundus. Jika tidak batu kecil akan terdorong ke cyst dan duktus komunis. Adhesi antara permukaan bawah kandung empedu dengan jaringan sekitarnya seringkali ditemukan. Lapang pandang yang baik dipertahankan oleh asisten. Adhesi dipisahkan dengan gunting lengkung sampai tervisualisasi jaringan avascular dari sekitar dinding kandung empedu. Setelah incisi awal dibuat, sangat mungkin menyingkirkan adhesi berikutnya dengan kassa spons yang dipegang dengan forsep.(Zollinger, 2011) Setelah kandung empedu dibebaskan dari adhesi maka kandung empedu dapat diangkat ke atas untuk memberikan lapang pandang yang lebih baik. Untuk melakukan hal tersebut, jaringan sekitarnya dapat disingkirkan dengan kassa lembab, ahli bedah memasukkan tangan kiri ke luka iris mendorong kassa kebawah untuk mengarahkan kassa tersebut. Lambung dan colon transversum ditutup dengan kassa ke arah foramen winslow (Gambar 8). Kassa dipegang dengan retraktor S sepanjang bagian tepi bawah medan operasi atau dengan tangan kiri asisten 1, dimana, dengan jari secara perlahan menahan kearah bawah. Setelah area operasi telah tampak cukup, ahli bedah memasukkan jari telunjuk tangan kiri ke foramen winslow dan dengan ibu jari secara perlahan melakukan
27
palpasi pada area untuk membuktikan adanya batu pada duktus komunis
dan
penebalan pada kaput pankreas. Sebuah klem digunakan untuk mencengkram permukaan bawah kandung empedu supaya tervisualisasi oleh operator. Pemasangan klem pertama kali pada area ampula pada kandung empedu adalah penyebab utama cedera pada duktus komunis. Hal ini terjadi terutama kandung empedu bengkak akut karena ampula kandung empedu berjalan paralel terhadap duktus komunis. Jika pemasangan klem dilakukan secara sembarangan dimana bagian leher dari kandung empedu melewati ductus sistikus, maka sebagian atau seluruh ductus komunis akan ikut tercengkram.(Zollinger, 2011) Karena alasan tersebut selalu disarankan untuk memasang klem dengan baik ke arah atas pada permukaan bawah kandung empedu sebelum usaha apapun untuk visualisasi area ampula kandung empedu. Proses enukleasi kandung empedu dimulai saat memisahkan peritoneum pada aspek inferior dari kandung empedu dan melebarkannya kearah bawah ampula. Peritoneum biasanya dipisahkan dengan elektrokauter atau gunting metzenbaum. Incisi harus dilakukan dengan hati- hati sepanjang ligamentum hepatoduodenal. Sehingga diseksi tumpul pada ampula dibebaskan ke bawah area duktus sistikus. Setelah ampula kandung empedu terlihat jelas klem yang telah terpasang pada permukaan bawah kandung empedu diarahkan ke lebih rendah ke area ampula. (Zollinger, 2011) Dengan traksi dipertahankan pada ampula, ductus sistikus tervisualisasi dengan diseksi tumpul. Klem berukuran panjang dilewatkan di belakang ductus
28
sistikus. Bilah dari klem tersebut dilebarkan secara hati- hati. Secara perlahan ductus sistikus dipisahkan dari ductus komunis. Arteri sistikus diisolasi dengan klem panjang. Pada keadaan tersebut cedera pada duktus komunis atau cabangnya dapat terjadi ketika klem dipasang. Kejadian yang tidak diinginkan dapat terjadi ketika eksposure tampak terlalu mudah pada pasien yang kurus. Setelah duktus sistikus terisolasi, kemudian dipalpasi ada tidaknya batu yang terdorong ke duktus komunis karena pemasangan klem. Ukuran duktus sistikus diamati sebelum diregangkan. Jika duktus sistikus dilatasi dan dari palpasi teraba batu kecil- kecil sehingga mereka dapat lewat dengan mudah disarankan dilakukan koledokoostomi. Sebelumnya kolangiogram dilakukan rutin melalui ductus sistikus setelah dipisahkan.
29
Gambar 9. Visualisasi Kandung Empedu melalui retrogard (Zollinger, 2011) Ketika memungkinkan kecuali terjadi inflamasi berat duktus sistikus dan arteri sistikus diisolasi secara terpisah dengan ligasi. Setelah dilakukan kolangogram, duktus sistikus diligasi dengan benang transfixing. Secara umum area antar ikatan diperkirakan sesuai dengan diameter duktus atau pembuluh darah.(Zollinger, 2011) Kelainan letak suplai pembuluh darah pada area ini sangat sering terjadi sehingga setiap melakukan tindakan perlu dipertimbangkan ditiap kasus. Ligasi ductus sistikus dapat dilakukan setelah ligasi arteri sistikus. Jika klem arteri sistikus lepas sehingga menyebabkan perdarahan hebat, arteri hepatic dapat ditekan pada ligamentum gastrohepatik menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kanan (pringle manuver). Setelah duktus sistikus dan arteri diligasi, pengambilan kandung empedu dimulai. Inciseipada permukaan inferior kandung kencing 1 cm dari tepi liver diperluas memutari fundus. Kemudian kandung empedu diambil secara tajam.(Zollinger, 2011) b. Kolesistektomi Laparoskopik Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang. Kontra indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Dengan
30
menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas olahraga. (Fried,2007) Laparoskopi kolesistektomi adalah laparoskopi yang paling umum dilakukan di dunia. Penatalaksanaan awal dari kolesistitis akut termasuk bowel rest, hidrasi intravena, koreksi kelainan elektrolit, analgesia, dan antibiotik intravena. Setelah diberikan tatalaksana ini, pasien dengan penyakit tanpa komplikasi direncanakan untuk rawat jalan dan dilakukan laparoskopi kolesistektomi setelah periode 6-8 minggu. Pada kasus kolesistitis akut laparoskopi kolesistektomi dihindari karena kekhawatiran tentang adanya potensi timbulnya bahaya komplikasi, terutama common bile duct injury dan tingkat konversi yang tinggi pada kolesistektomi. Laparoskopi kolesistektomi awalnya dilakukan untuk kolesistitis kronis tetapi dengan munculnya instrumentasi modern dan perkembangan dalam teknik bedah dan tingkat pengalaman yang tinggi, ahli bedah memilih melakukan prosedur ini dalam kasus kolesistitis akut. (Fried,2007) Early Cholecystectomy Merupakan kolesistektomi awal yang dilakukan dalam kurun waktu 72 jam setelah pasien masuk rumah sakit. Meskipun telah banyak dibahas sebelumnya, belum terdapat bukti tegas yang mendukung keunggulannya. Dalam penelitian acak
31
yang baru-baru ini dipublikasikan, penelitian dilakukan pada pasien yang dirawatselama 24 jam awal setelah pasien masuk rumah sakit. Meskipun begitu, kolesistektomi mungkin tidak selalu dapat dilakukan dalam waktu 24 jam setelah pasien masuk dengan berbagai alasan yang berbeda. Pada kasus tersebut, operasi harus dilakukan dalam waktu 72 jam seperti yang direkomendasikan dalam beberapa jurnal. (NIC, 2014). Interval Cholecystectomy Merupakan kolesistektomi yang dilakukan setelah prosedur konservatif dengan antibiotik selama 6 minggu, setelah peradangan akut membaik. Hal ini diyakini jauh lebih aman dan juga tingkat konversi berkurang. Risiko yang paling ditakuti dalam melakukan operasi dalam fase akut ini adalah adanya peradangan yang menyebabkan diseksi jaringan menjadi sulit, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya komplikasi (NIC, 2014). Kolesistektomi dikenal sebagai prosedur pilihan untuk pengobatan batu empedu simtomatik. Beberapa dekade terakhir ini kolesistektomi dilakukan melalui sayatan subkostal panjang yang tepat. Teknik invasif minimal saat ini telah menjadikan tindakan laparoskopi kolesistektomi sebagai prosedur baku emas pada penghilangan kandung empedu. Prosedur ini lebih disukai karena hanya menimbulkan sedikit rasa sakit pasca operasi, hasil kosmetik yang lebih baik, lama rawat inap yang lebih singkat, dan pemulihan yang lebih cepat (Sushant et al, 2013).
32
Diamati bahwa laparoskopi kolesistektomi bila dilakukan pada kasus-kasus kolesistitis akut jika berhasil maka hal ini dapat dikaitkan dengan lama rawat inap di rumah sakit yang pendek dan pemulihan yang lebih cepat. (Emmanuel, 2014; Bravo et al, 2016)
33
DAFTAR PUSTAKA Albert J. Bredenoord, Andre S, Jan T. Functional Anatomy and Pysiology .A guide to Gastrointestinal Motility Disorder, Springer; 2016:1-13 Bravo E, Contardo J, Cea J. Frequency of cholelithiasis and biliary pathology in the easter island rapanui and non-rapanui population. Asian Pac J Cancer Prev. 2016;17(3):1458-8. Chandran P, Kuchak K, Grag.P, Pundir.C.S, An Extended Chemichal Analysis Of Gallstone : Indian Journal Of Clinical Biochemestry, 2007/22 (2) 145-150 16. Lun-Tsay. Wei et all, Composition Of Common Bile Duct Stones in Chinese Patients During and After Endocopic Sphincterotomy: World Journal Gastroenterology, Elsevier, July 2005 Vol 11, no 27,4246 – 4249 Debas Haile T.Biliary Tract In : Pathophysiology and Management.Springer – Verlaag 2004 ; Chapter 7 :198 – 224 Emmanuel A, Stephan I. Gastroenterologi dan hepatologi. Jakarta: Erlangga; 2014. Freeman HM. Mullen MG, Friel CM. The Progression of Cholelithiasis to Gallstone Illeus : Do Large Gallstone Warrant Surgery. Journal of Gastrointestinal Surgery: 2016:1-3 Fried GM, Feldman LS, Klassen DR, Cholecystectomy and common bile duct exploration. In Wiley SW, Mitchel FP, Gregory JJ, Larry KR,Wiliam PH, Jhon, Nathaniel SJ, editors ACS surgery : 6th Edition 2007: 21 Gladden D, Migala A et al. 2009. Cholecystitis eMedicine.com. Gladden D, Migala A Husain M. Gheewala, Surajsinh A. Chauhan, Akhil Palod, Dharmesh J. Balsarkar, Rahul V. Kandekar.A case of Gall Stone Ileus. Journal of Evolution of Medical and Dental Sciences 2015; 4(55);9670-9673
34
Jaraari Abdalla M et all, Quantitative Analysis of Gallstones in Libyan Patients, Original Article : Libyan Journal Medicine 2010,1 – 7 Keshav K, Chahal MS, Joshi H.S, Kashmir S, Agarwal R. Prevalece of different types Gallstone in the patient with cholelithiasis at rohilkhan medical college and hospital. International Journal of contemporary surgery: 2015:3(1):1-4 Lambou SG,Heller SJ.Lithogenesis and Bile Metabolism in :Surgical Clinics of North American .Elsevier Saunders 2008 Volume 88 :1175-1194 McDowell I, Newell C. Measuring Health a guide to rating scale and quetionaires.Second Edition.Oxford University Press.New York 2000; 33546. Nakeeb A, Ahrendt SA, Pitt HA, Calculous Biliary Disease In Mulhoulend M, Lillemoe KD, Doherty GM, Maier Ronald V, Upchurch GR, Greenfield’s surgery : Scientific principles and practise : 4th Edition. Lippincott William & Wilkins,2006;62:978- 983 Nathanson LK. Management of Common Bile Duct Stone in:Hepatobiliary And Pancreatic Surgery. Saunders 2009; 4th edition, Chapter 10:185-196. National Institute For Heatlh and Care Excellence. Gallstone disease. 2014 Nurhadi.Analisa Batu Kandung Empedu.2012.Bandung Oddsatir M, Hunter JG. Gallbladder and the Extra hepatic Biliary System in: Schawrtz’s Principles of Surgery. McGraw-Hill & Companies 2007, 8th edition Chapter 31: 821Parmar AD, Sheffield KM, Adhikari DMS, Davee RA, Vargas GM, Tamirisa NP, Kuo YF, Goodwin JS, Riall TS. PREOP-Gallstone : Aprocnostic
35
normogram the Management of Symptomatic Cholelithiasis in Older Patients. Annals of Surgery:2015;261(6):1184-1190. Peter A et. al. “Cholecystectomy for acute cholecystitis. How time-critical are the so called ‘golden 72 hours’? Or better ‘golden 24 hours’ and ‘silver 25–72 hour’? A case control study”. World Journal of Emergency Surgery 2014, 9:60. Pushpendra M et. al. “A prospective comparative study of early and interval laparoscopic cholecystectomy in Acute Cholecystitis”.Gujarat Medical Journal. 2014; 69 : 2 Saquib Zet. al. “Early vs Interval Cholecystectomy in Acute Cholecystitis: an Experience at Ghurki Trust Teaching Hospital, Lahore”. Department of Surgery, Ghurki Trust Teaching Hospital/Lahore Medical & Dental College, Lahore (2013) Sushant Verma et al. “Early versus Delayed Laparoscopic Cholecystectomy for Acute Cholecystitis: A Prospective Randomized Trial”. ISRN Minimally Invasive Surgery Volume 2013 (2013), Article ID 486107 Toouli J and Bhandari M, Anatomy and Physiology of the Biliary tree and Gallbladder and Bile ducts, in, Diagnosis and Treatment Blackwell Publishing 2006, Second Edition. Chapter I : 3-20 Verbesey JE, Desmond HB. Common Bile Duct Exploration for Choledecholithiasis in : Surgical Clinics of North American. Elsevier Saunders 2008, volume 88:1315-1328.
36