Osteoporosis Hutri Mahardika.docx

  • Uploaded by: laras
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Osteoporosis Hutri Mahardika.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,730
  • Pages: 29
REFERAT OSTEOPOROSIS

Disusun oleh: Hutri Mahardika 1361050273

Pembimbing: dr. Ronald Munthe, Sp.OT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH PERIODE 11 DESEMBER 2017 – 24 FEBRUARI 2018 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan Referat yang berjudul ‘Osteoporosis’. Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah banyak mendukung dan membantu hingga selesainya referat ini. 1.dr. Ronald Munthe, Sp.OT selaku pembimbing Referat 
 2.Rekan-rekan satu kepaniteraan klinik Ilmu Bedah yang telah

memberikan

bantuan 
 baik material maupun spiritual. 
 Dalam penyusunan referat ini, penulis merasa masih banyak kekurangan baik secara teknik maupun materi penulisan, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan referat ini.

Jakarta, 26 Januari 2017

Penulis

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR........................................................................................................... i DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii BAB I: PENDAHULUAN..................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1 BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................ 2 2.1 Definisi ............................................................................................................... 2 2.2 Epidemiologi ...................................................................................................... 3 2.3 Anatomi dan Fisiologi Tulang ............................................................................. 4 2.4 Klasifikasi Osteoporosis ..................................................................................... 9 2.5 Etiologi ............................................................................................................... 13 2.6 Patogenesis ........................................................................................................ 14 2.7 Diagnosis Osteoporosis ...................................................................................... 15 2.8 Pemeriksaan Penunjang .................................................................................... 17 2.9 Penatalaksanaan Osteoporosis.......................................................................... 20 BAB III: KESIMPULAN ...................................................................................................... 27 DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Di negara berkembang insidensi penyakit degeneratif terus meningkat sejalan dengan meningkatnya usia harapan hidup. Dengan bertambah usia harapan hidup ini, maka penyakit degeneratif juga meningkat, salah satunya adalah penyakit osteoporosis.1 Saat ini osteoporosis menjadi permasalahan di seluruh negara dan menjadi isu global di bidang kesehatan. Osteoporosis atau keropos tulang adalah penyakit kronik yang ditandai dengan pengurangan massa tulang yang disertai kemunduran mikroarsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang. Keadaan ini berisiko tinggi karena tulang menjadi rapuh dan mudah retak bahkan patah.1,2 Sekitar 80% persen penderita penyakit osteoporosis adalah wanita, termasuk wanita muda yang mengalami penghentian siklus menstruasi (amenorrhea). Hilangnya hormon estrogen setelah menopause meningkatkan risiko terkena osteoporosis. Tidak dapat dipungkiri penyakit osteoporosis pada wanita ini dipengaruhi oleh hormon estrogen. Meskipun penyakit osteoporosis lebih banyak menyerang wanita, pria tetap memiliki risiko terkena penyakit osteoporosis. Sama seperti pada wanita, penyakit osteoporosis pada pria juga dipengaruhi estrogen. Bedanya, laki-laki tidak mengalami menopause, sehingga osteoporosis datang lebih lambat.3 Angka harapan hidup penduduk Indonesia tahun 2012 berdasarkan The World Factbook, penduduk pria 69,07 tahun dan penduduk wanita 74,29 tahun. Jumlah penduduk berusia diatas 64 tahun berdasarkan The World Factbook tahun 2012 sebanyak 6,1%, terdiri dari 6,6 juta pria dan 8,4 juta wanita.1 Penyakit yang biasanya dialami oleh lansia atau berhubungan dengan penuaan yang sering ditemukan adalah osteoporosis.4,6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan mikroarsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang.1,5 World Health Organisation (WHO) dan konsensus ahli mendefinisikan osteoporosis sebagai penyakit yang ditandai dengan rendahnya massa tulang dan memburuknya mikrostruktural jaringan tulang, menyebabkan kerapuhan tulang sehingga meningkatkan risiko terjadinya fraktur, umumya keadaan tersebut tidak memberikan keluhan klinis, kecuali apabila telah terjadi fraktur.4

Gambar 1. Tulang yang osteoporosis

2.2 Epidemiologi Osteoporosis merupakan masalah kesehatan utama global yang menyebabkan lebih dari 200 juta patah tulang osteoporosis di seluruh dunia setiap tahun, termasuk 1,6 juta fraktur panggul. Di Amerika Serikat pada tahun 2005, ada sekitar dua juta patah tulang diperkirakan terkait osteoporosis, termasuk sekitar 547.000 patah tulang belakang, 297.000 patah tulang pinggul, 397.000 patah tulang pergelangan tangan, 135.000 patah tulang panggul, dan 675.000 patah tulang di tempat lain. Jumlah

seluruh patah tulang di Amerika Serikat diproyeksikan mencapai lebih dari 3 juta tahun 2025. Sekitar 50% dari pasien yang patah tulang pinggul kehilangan kemampuan untuk berjalan secara mandiri, sekitar 24% wanita dan 30% pria meninggal dalam satu tahun pertama.4 Berdasarkan hasil analisa data yang dilakukan Puslitbang Gizi Depkes RI tahun 2004 pada 14 provinsi menunjukkan bahwa masalah osteoporosis di Indonesia telah mencapai tingkat yang perlu diwaspadai yaitu 19,7%. Tingkat kecenderungan ini 6 kali lebih besar dibandingkan Belanda. Lima provinsi dengaanresiko osteoporosis lebih tinggi yakni Sumatera Selatan (27,7%), Jawa Tengah (24,02%), DI Yogyakarta(23,5%), Sumatera Utara (22,8%), Jawa Timur (21,42%), dan Kalimantan Timur (10,5%).6 Osteoporosis menyebabkan lebih dari 8,9 juta kasus fraktur setiap tahun di dunia, dimana 4,5 juta kasus terjadi di Amerika dan Eropa. Saat ini diperkirakan ada sekitar 0,3 juta fraktur panggul pertahun di Amerika Serikat dan 1,7 juta di Eropa. Hampir semua peristiwa ini dikaitkan dengan osteoporosis, baik primer atau sekunder. Rasio wanita dan pria pada fraktur pinggul 2:1. Insiden fraktur pergelangan tangan di Inggris dan Amerika berkisar 400-800 per 100.000 wanita. Fraktur kompresi tulang belakang jauh lebih sulit untuk diperkirakan karena sering tanpa gejala. Diperkirakan lebih dari satu juta wanita pasca menopause Amerika akan mengalami patah tulang tulang belakang dalam perjalanan satu tahun. Diperkirakan 40% wanita dan 13% pria berusia 50 tahun dan lebih tua akan mengalami patah tulang osteoporosis pada kehidupan mereka. Ada kecenderungan angka kematian di masa depan akan meningkat menjadi 47% untuk wanita dan 22% untuk pria.4 2.3 Anatomi dan Fisiologi Tulang1,7,8

Sistem muskuloskeletal terdiri dari tulang, sendi, otot dan struktur pendukung lainnya (tendon, ligamen, fasia dan bursae).

1. Tulang Struktur tulang dan jaringan ikat menyusun kurang lebih 25% berat badan dan otot menyusun kurang lebih 50%. Kesehatan dan fungsi system musculoskeletal sangat bergantung pada system tubuh lain. Struktur tulang member perlindungan terhadap organ vital, termasuk otak, jantung dan paru-paru. Kerangka tulang merupakan kerangka yang kuat untuk menyangga struktur tubuh. Otot yang melekat ke tulang memungkinkan tubuh bergerak. Pembagian skeletal yaitu:

a. Axial skeleton terdiri dari kerangka tulang kepala dan leher, tengkorak, kolumnavertebrae, tulang iga, tulang hyoid sternum. b. Apendikular skeleton terdiri dari Kerangka tulang lengan dan kaki. Ekstrmitas atas (scapula, klavikula, humerus, ulna, radial) dan tangan (karpal, metacarpal, falang), Ekstremitas bawah (tulang pelvic, femur, patella, tibia, fibula) dan kaki(tarsal, metatarsal, falang).

2. Bahan-bahan penyusun tulang Bahan penyusun tulang terbagi menjadi 2 yaitu ada yang berasal dari zat organik dan zat anorganik; a) Organik 

Kolagen



Protein Polisakarida



Glikoaminoglikan

b) Anorganik 

Kalsium



Fosfat



Ion bikarbonat

2. Jenis Tulang

Ada 4 jenis tulang yaitu

A. Tulang Panjang Tulang panjang (mis, femur, humerus) bentuknya silindris dan berukuran panjang seperti batang (diafisis) tersusun atas tulang kompakta, dengan kedua ujungnya berbentuk bulat (epifisis) tersusun atas tulang kanselus. Tulang diafisis memiliki lapisan luar berupa tulang kompakta yang melindungi sebuah rongga tengah yang disebut kanal medulla yang mengandung sumsum kuning. Sumsum kuning terdiri dari lemak dan pembuluh darah, tetapi suplai darah atau eritrositnya tidak banyak. Tulang epifisis terdiri dari tulang spongiosa yang mengandung sumsuum merah yang

isinya sama seperti sumsum kuning dan dibungkus oleh selapis tipis tulang kompakta. Bagian luar tulang panjang dilapisi jaringan fibrosakuat yang disebut periosteum. Lapisan ini kaya dengan pembuluh darah yang menembus tulang. Periostenum member nutrisi tulang dibawahnya melalui pembuluh darah. Jika periostenum robek, tulang dibawahnya akan mati. Periostenum berperan untuk pertambahan kekebalan tulang melalui kerja osteoblas. Periostenum berfungsi protektif dan merupakan tempat pelekatan tendon. Periostenum tidak ditemukan pada permukaan sendi.

Gambar 2. Struktur Tulang Panjang B. Tulang Pendek Tulang pendek (mis,falang, karpal) bentuknya hampir sama dengan tulang panjang, tetapi bagian distal lebih kecil dari pada bagian proksimal, serta berukuran pendek dan kecil.

C. Tulang Pipih Tulang pipih (sternum, kepala, scapula, panggul) bentuknya gepeng, berisisel-sel pembentuk darah, dan melindungi organ vital dan lunak dibawahnya. Tulang pipih terdiri dari 2 lapis tulang kompakta dan di bagian tengahnya terdapat lapisan spongiosa. Tulang ini juga dilapisi oleh periostenum yang dilewati oleh dua kelompok pembuluh darah menembus tulang untuk menyuplai tulang kompakta dan tulang spongiosa. Struktur tulang tersusun oleh jaringan tulang kompakta (kortikal) dan kanselus (trabekular atau spongiosa). Tulang kompakta terlihat padat. Akan tetapi jika diperiksa dengan makroskop terdiri dari system havers. System havers terdiri dari kanal havers. Sebuah kanal havers mengandung pembuluh darah, saraf, dan pembuluh limfe, lamela (lempengan tulang yang mengelilingi kanal sentral), kaluna (ruang diantara lamella yang mengandung sel-sel tulang atau osteosit dan saluran limfe),dan kanalikuli ( saluran kecil yang menghubungkan lacuna dan kanal sentral). Saluran ini mengandung pembuluh limfe yang membawa nutrient dan oksigen ke osteosit.

3. Sel-sel Penyusun Tulang

Sel-sel penyusun tulang terdiri dari: a. Osteoblas berfungsi menghasilkan jaringan osteosid dan menyekresi sejumlah besar fosfatase alkali yang berperan penting dalam pengendapan kalsium dan fosfat kedalam matriks tulang b. Osteosit adalah sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai lintasan untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat. c. Osteoklas adalah sel-sel berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat diabsorbsi. Sel-sel ini menghasilkan enzim proteolitik yang memecah matriks dan beberapa asam yang melarutkan mineral tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas kedalam darah

4. Pertumbuhan dan Metabolisme Tulang Pertumbuhan dan metabolism tulang dipengaruhi oleh sejumlah mineral dan hormon yang meliputi: a. Kalsium dan Fosfor Jumlah kalsium dalam tulang 99% dan fosfor 90%. Konsentrasi kalsium dan fosfor mempunyai ikatan yang sangat erat. Jika kadar Ca meningkat, jumlah fosfor berubah. Keseimbangan kalsium dan fosfor dipertahankan oleh kalsitonin dan hormone paratiroid (PTH). b. Kalsitonin Diproduksi oleh kelenjar tiroid dan menurunkan konsentrasi Ca serum. Jika jumlah kalsitonin meningkat diatas normal, kalsitonin menghambat absorpsi kalsium dan fosfor dalam tulang serta meningkatkan ekskresi kalsium dan fosfor melalui urine sehingga dibutuhkan Ca dan fosfor. c. Vitamin D Tubuh manusia juga dapat memproduksi vitamin D. sinar ultra violet sinar matahari dapat mengubah ergosterol pada kulit menjadi vit.D. vitamin D diperlukan agar kalsium dan fosfor dapat diabsorpsi dari usus dan digunakan tubuh. Defisiensi vitamin D mengakibatkan deficit mineralisasi , deformitas, patah tulang, penyakit rikets pada anak-anak, dan osteomalasia pada orang dewasa

Gambar 3. Metabolisme Kalsium d. Hormon Paratiroid Pada saat kadar Ca menurun, sekresi PTH meningkat dan menstimulasi tulang untuk meningkatkan aktivitas osteoblastik dan menyumbangkan kalsium ke darah. Jika kadar Ca meningkatkan sekresi PTH diminimalkan, hormone tersebut mengurangi ekskresi Ca diginjal dan memfasilitasi absorpsinya dariusus halus. Hal ini untuk mempertahankan suplai Ca ditulang. Respon ini merupakan contoh umpan balik system Loop yang terjadi dalam systemendokrin. e. Glukokortikoid Mengatur metabalolisme protein. Pada saat dibutuhkan hormone dapat meningkatkan atau menurunkan katabolisme untuk mengurangi atau mengintensifkan matriks organik ditulang dan membantu dalam pengaturan kalsium di intestinum dan absorpsi fosfor. f.

Hormon Estrogen berfungsi untuk menekan osteoklast dan meningkatkan osteoblast. Jumlah

estrogen menurun saat menopause sehingga penurunan kadar kalsium pada tulang dalam waktu lama menyebabkan osteoporosis. Dan juga androgen seperti testosterone meningkatkan anabolisme dan massa tulang 2.4 Klasifikasi Osteoporosis Osteoporosis dibagi menjadi dua golongan besar menurut penyebabnya, yaitu: a. Osteoporosis primer yaitu osteoporosis yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit (proses alamiah). Osteoporosis primer berhubungan dengan berkurangnya massa tulang dan atau terhentinya produksi hormon (khusus

perempuan yaitu estrogen) disamping bertambahnya usia. Dapat terjadi pada berbagai usia, dihubungkan dengan faktor resiko meliputi, merokok, aktifitas, berat badan, ras putih kulit Asia,riwayat keluarga, postur tubuh dan asupan kalsium yang rendah.9 Osteoporosis primer terdiri dari: -

Osteoporosis primer tipe I. sering disebut dengan istilah osteoporosis pasca menopause yang terjadi pada wanita usia 50-65 tahun, fraktur biasanya pada vertebra (ruas tulang belakang), iga atau tulang radius.

-

Osteoporosis tipe II. Sering disebut dengan istilah osteoporosis senile, yang terjadi padausia lanjut. Hal ini kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidak seimbangan antara kecepatan hancurnya tulang (osteoklas) dan pembentukan tulang baru (osteoblas). Pasien biasanya berusia ≥70 tahun, pria dan wanita mempunyai kemungkinan yang sama terserang, fraktur biasanya pada tulang paha. Selain fraktur maka gejala yang pelu diwaspadai adalah kifosis dorsalis, makin pendek dan nyeri tulang berkepanjangan.

b. Osteoporosis sekunder yaitu osteoporosis yang disebabkan oleh berbagai kondisi klinis/penyakit, seperti infeksi tulang tumor tulang pemakaian obat-obatan tertentu dan immobilitas yang lama. Merupakan osteoporosis yang disebabkan oleh penyakit atau penggunaan obat tertentu. Penyebab paling umum osteoporosis sekunder adalah defisiensi vitamin D dan terapi glukokortikoid. Defisiensi vitamin D akan menyebabkan penurunan absorpsi kalsium di usus, sehingga kalsium dalam darah akan turun, sehingga untuk memenuhi kalsium darah akan diambil kalsium dari tulang yang dapat menyebabkan kerapuhan tulang.9 Mekanisme obat yang dapat memicu osteoporosis dapat digolongkan menjadi 3 kelompok besar yakni aktivasi osteolklast dan meningkatkan pergantian tulang. Kedua, menekan aktivitas osteoblast dan yang ketiga menghambat mineralisasi tulang. Beberapa obat yang memicu osteoporosis:1,9

1. Kortikosteroid Penggunaan kortikosteroid jangka panjang menjadi penyebab sekunder yang paling banyak ditemui, khususnya penggunaan sistemik. Pemberian lebih dari 7,5 mg prednisonselama 2-3 bulan dapat menyebabkan terjadinya kehilangan massa tulang yang cukup berarti(Mike, 2000). Glukokortikoid banyak digunakan dan efektif dalam mengobati penyakit paru,rematoid, gangguan saluran cerna, kondisi dermatologi, dan autoimun. Resiko kehilangan tulang yang terbesar terjadi dalam enam hingga 12 bulan pertama terapi jangka panjang. Pada tahap inisiasi penggunaan terapi steroid tersebut penurunan massa tulang mencapai 12%. Hal ini terjadi sejalan dengan meningkatnya dosis, tetapi biasanya terjadi pada dosis harian yang normal. Banyak penelitian telah mengevaluasi komorbiditas

terkait dengan steroid yang memicu osteoporosis, sekitar 30% hingga 50% pasien yang memakai secara sistemik dalam jangka waktu panjang, akhirnya mengalami fraktur.

2. Obat-obat antikonvulsi Antikonvulsant tertentu dapat menyebabkan kehilangan tulang. Obat yang paling sering dikaitkan dengan osteoporosis yakni fenitoin, fenobarbital, karbamazepin, dan primidone. Obat antiepilepsi (AED) semua ampuh menginduksi isoenzim CYP-450. Dalam salah satu penelitian terhadap masyarakat dengan populasi wanita lanjut usia, keropos tulang hampir duakali lipat pada mereka yang menggunakan AED dibandingkan dengan yang tidak menggunakan. Mekanisme yang terjadi pada penggunaan AED yang menyebabkan osteoporosis yakni dengan adanya penginduksian enzim hati CYP-450, yang menyebabkan metabolisme yang cepat vitamin D, dan mungkin estrogen. AED juga terkait dengan penurunan penyerapan kalsium, hiperparatiroid sekunder, dan meningkatnya pergantian tulang. Pada tingkat terapetik,fenitoin dan karbamazepin telah menunjukkan efek langsung pada penghambatan sel osteoblast tulang. Mekanisme yang mungkin terkait dengan fenitoin adalah penghambatan sekresiosteocalcin hormon yang mengatur kalsium pada tulang. AED mungkin menunjukkan kombinasi dari efek ini, dan dampaknya terhadap kehilangan tulang dapat menjadi aditif jika diberikan kombinasi.

3. Heparin Unfractionated Heparin (UFH) atau heparin alami juga merupakan obat pemicu osteoporosis. Komplikasi ini biasanya terlihat pada penggunaan terapi jangka panjang dengan dosis tinggi. Telah diperkirakan bahwa keropos tulang terjadi setelah enam bulan terapi heparin dengan dosis harian lebih besar dari 15.000 unit. Mekanisme seluler yang tepat dimana heparin menyebabkan keropos tulang belum sepenuhnya dipahami. Heparin menyebabkan resorpsi tulang dengan merangsang peningkatan osteoklas dan menekan fungsi osteoblas, yang menyebabkan massa tulang menurun. Mekanisme lainnya yakni menipisnya sel mast dalam sumsum tulang dan peningkatan fungsi hormon paratiroid (PTH), suatu regulator penting dari kalsium dalam tubuh. PTH meningkatkan pelepasan kalsium dan fosfor dari tulang ke dalam darah.

4. Progestin Salah satu obat yang terkait dengan osteoporosis adalah progestin. Progestin adalah jenis hormon yang biasa digunakan dalam berbagai bentuk kontrasepsi, serta dalam produk sulih hormon, dan digunakan pada wanita dari berbagai usia. Progestin paling sering dikaitkan dengan keropos tulang yakni medroksiprogesteron asetat (MPA). Ini adalah bentuk injeksi kontrol kelahiran yang dikenal

sebagai Depo-Provera dan juga merupakan bagian dari kombinasi hormon pengganti yang dikenal sebagai Premphase, dan Prempro. Resiko terjadinya keropos tulang setelah dua tahun penggunaan berkelanjutan. Sejak Depo-Provera umumnya digunakan pada anak perempuan remaja. Pada remaja, MPA dapat digunakan selama dua tahun jika tidak ada pilihan lain yang sesuai. Namun, jika mungkin dianjurkan untuk menggunakan bentuk lain atau sebaiknya digunakan dengan kombinasi pil kontrasepsioral. 5.

Hormon tiroid Kondisi hipertiroid maupun terapi menggunakan hormon tiroid sangat berpengaruh terhadap

kecepatan penurunan massa tulang. Pada anak-anak, jumlah hormon tiroid yang tinggi dapat memicu pertumbuhan karena hormon tiroid juga berperan dalam produksi energy tubuh. Akan tetapi, kelebihan asupan hormon tiroid pada orang dewasa dapat menyebabkan hipertiroid yang mengakibatkan hilangnya massa tulang. Pada kondisi hipertiroid, tubuh memberikan feedback negatif agar konsentrasi TSH menjadi menurun. Akibat dari kondisi ini adalah semakin cepatnya proses pemodelan kembali tulang dan massa tulang semakin menurun. Hal ini terjadi karena reseptor TSH juga terdapat pada sel prekursor osteoblas dan osteoklas. Pada kondisi dengan konsentrasi TSH terlalu kecil, resorpsi tulang berjalan lebih cepat sehingga terjadi pengeroposan tulang.

Tabel 1. Karakteristik Osteoporosis Tipe 1 dan Tipe 2

2.5 Etiologi Faktor-faktor yang mempengaruhi pengurangan massa tulang pada usia lanjut: a. Faktor genetik Perbedaan genetik mempunyai pengaruh terhadap derajat kepadatan tulang. Beberapa orang mempunyai tulang yang cukup besar dan yang lain kecil. Sebagai contoh, orang kulit hitam pada umumnya mempunyai struktur tulang lebih kuat/berat dari pada pacia bangsa Kaukasia. Jadi, seseorang yang mempunyai tulang kuat (terutama kulit Hitam Amerika), relatif imun terhadap fraktur karena osteoporosis.8,10

b. Faktor mekanis Beban mekanis berpengaruh terhadap massa tulang di samping faktor genetik. Bertambahnya beban akan menambah massa tulang dan berkurangnya beban akan mengakibatkan berkurangnya massa tulang. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa ada hubungan langsung dan nyata antara massa otot dan massa tulang. Kedua hal tersebut menunjukkan respon terhadap kerja mekanik. Beban mekanik yang berat akan mengakibatkan massa otot besar dan juga massa tulang yang besar. Sebagai contoh, pemain tenis atau pengayuh becak, akan dijumpai adanya hipertrofi baik pada otot maupun tulangnya terutama pada lengan atau tungkainya; sebaliknya atrofi baik pada otot maupun tulangnya akan dijumpai pada pasien yang harus istrahat di tempat tidur dalam waktu yang lama, poliomielitis atau pada penerbangan luar angkasa. Walaupun demikian, belum diketahui dengan pasti berapa besar beban mekanis yang diperlukan dan berapa lama untuk meningkatkan massa tulang di samping faktor genetik.1,8

c. Faktor makanan dan hormon Pada seseorang dengan pertumbuhan hormon dengan nutrisi yang cukup (protein dan mineral), pertumbuhan tulang akan mencapai maksimal sesuai dengan pengaruh genetik yang bersangkutan. Pemberian makanan yang berlebih (misainya kalsium) di atas kebutuhan maksimal selama masa pertumbuhan, disangsikan dapat menghasilkan massa tulang yang melebihi kemampuan pertumbuhan tulang yang bersangkutan sesuai dengan kemampuan genetiknya.1,8

2.6 Patogenesis

Dalam proses pembentukan tulang, hal yang sangat penting adalah koordinasi yang baik antara osteoklas, osteoblas, dan sel-sel endotel. Selama sistem ini berada dalam keseimbangan, formasi dan resorpsi tulang akan selalu seimbang. Pada usia reproduksi, di mana fungsi ovarium masih baik, terdapat keseimbangan antara proses formasi tulang (osteoblas) dan laju proses resorpsi tulang (osteoklas) sehingga tidak timbul pengeroposan tulang.1,10 Osteoporosis terjadi akibat adanya gangguan keseimbangan antara proses resorpsi tulang dan formasi tulang, dimana secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas (sel resorpsi tulang) melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas (sel formasi tulang). Keadaan ini mengakibatkan penurunan massa tulang.

Gambar 4. Struktur mikrografi tulang normal dan osteoporosis.

A. Peran Estrogen Estrogen manusia dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu estron (E1), 17

estradiol (E2) dan Estriol

(E3). Saat ini terdapat struktur lain yang dikenal sebagai anti estrogen, tetapi pada organ non reproduksi bersifat estrogenik, struktur ini disebut selective estrogen receptor modulators (SERMs). Estrogen utama yang dihasilkan oleh ovarium adalah estradiol. Saat ini telah ditemukan 2 macam reseptor estrogen (ER), yaitu reseptor estrogen alfa (ER ) dan reseptor estrogen beta (ER ). Pada tulang reseptor estrogen ini didstribusikan di berbagai sel, termasuk osteoblas,osteosit, osteoklas dan kondrosit. Ekspresi ER ER

dan

meningkat bersamaan dengan diferensiasi dan maturasi osteoblas.1,10

Estrogen merupakan regulator pertumbuhan dan homeostasis tulang yang penting. Estrogen memegang peran yang sangat penting dalam metabolisme tulang, mempengaruhi aktivitas sel osteoblas maupun osteoklas, termasuk menjaga keseimbangan kerja dari kedua sel tersebut. Efek tak langsung estrogen terhadap tulang berhubungan dengan homeostasis kalsium yang meliputi absorpsi kalsium di usus, modulasi 1,25(OH)2 vitamin D, eksresi kalsium di ginjal dan sekresi hormon paratiroid.10

2.7 Diagnosis Osteoporosis Hingga saat ini deteksi dini osteoporosis merupakan hal yang sangat sulit dilakukan. Osteoporosis merupakan penyakit yang hening (silent), kadang-kadang tidak memberikan tanda-tanda atau gejala sebelum patah tulang terjadi. Diagnosis penyakit osteoporosis terkadang baru diketahui setelah terjadinya patah tulang punggung, tulang pinggul, tulang pergelangan tangan atau patah tulang lainnya pada orang tua, baik pria atau wanita. Biasanya massa tulang yang sudah berkurang 30- 40% baru dapat dideteksi dengan pemeriksaan X-ray konvensional.11

A. Gejala Klinis Gejala klinis dapat ditemukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pengenalan terhadap faktor risiko osteoporosis akan sangat membantu dalam pendekatan diagnosis osteoporosis. Adapun faktor risiko terjadinya osteoporosis dapat dilihat pada table dibawah ini2,11

Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan osteoporosis bila didapatkan 1) patah tulang akibat trauma yang ringan, 2) tubuh makin pendek, kifosis dorsal bertambah, nyeri tulang, Evaluasi klinis terhadap penderita osteoporosis diarahkan pada identifikasi faktor risiko. Beberapa hal yang harus diperhatikan pada anamnesis faktor risiko osteoporosis : 1. Riwayat fraktur akibat trauma minimal, penurunan tinggi badan atau peningkatan kifosis torakal.

2. Penyakit-penyakit yang dapat menjadi predisposisi osteoporosis : a. Penyakit endokrin, misalnya sindroma cushing, diabetes melitus, penyakit tiroid, penyakit Adison, hiperparatiroidisme, hipogonadisme, menopause dini atau operasi ovarium yang menyebabkan menopause dini. b. Penyakit ginjal, misalnya gagal ginjal, riwayat transplantasi ginjal, riwayat urolithiasis (hiperkalsiuria). c. Kemungkinan defisiensi vitamin D, terutama pada orang-orang yang jarang terpajan dengan sinar matahari. d. Penyakit syaraf, dalam hal ini berbagai obat anti epileptik, seperti dilantin dan fenobarbital, ternyata dalam menurunkan densitas massa tulang. e. Penyakit gastrointestinal, misalnya sindroma malabsorpsi, penyakit kolon inflamatif, reseksi usus. f. Penyakit rematik, misalnya reumatoid arthritis, spondilosis ankilosis, penyakit Reiter. g. Riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat menebabkan osteoporosis, seperti kortikosteroid jangka panjang > 3 bulan, obat anti epilepsi, siklosporin, litium. h. Riwayat menopause dan riwayat kehamilan. i. Anamnesis asupan gizi, terutama asupan kalsium. j. Kebiasaan-kebiasaan buruk yang dapat menjadi faktor risiko osteoporosis, seperti merokok dan kurang olahraga. k. Riwayat terjatuh dan bagaimana penderita berusaha mengurangi faktor risiko ini.11

Pada pemeriksaan fisik, tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap pasien osteoporosis. Demikian juga dengan gaya berjalan pasien, deformitas tulang, leg-length inequality, nyeri spinal dan jaringan parut pada leher (bekas operasi tiroid).2,11

2.8 Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan densitas massa tulang Densitometri tulang merupakan pemeriksaan yang akurat dan presisi untuk menilai densitas massa tulang, sehingga dapat digunakan untuk menilai faktor prognosis, prediksi fraktur dan diagnosis osteoporosis. Metode yang dapat digunakan untuk menilai massa tulang adalah X-ray Absorptiometry (ada dua jenis, yaitu Single X-ray Absorptiometry = SXA dan Dual Energy X-ray Absorptiometry = DEXA).2,11 Saat ini gold standard pemeriksaan osteoporosis pada laki-laki maupun osteoporosis pascamenopause pada wanita adalah DEXA, yang digunakan untuk pemeriksaan vertebra, collum femur, radius distal, atau seluruh tubuh dan pemeriksan ini juga memungkinkan kita untuk mengukur baik massa tulang di permukaan maupun bagian yang lebih dalam.2,11 Dalam pemeriksaan massa tulang dengan densitometer DEXA kita akan mendapatkan informasi beberapa hal tentang densitas mineral tulang antara lain: 1. Densitas mineral tulang pada area tertentu dalam satuan gram/cm 2. Kandungan mineral tulang dalam satuan gram. 3. Perbandingan hasil densitas mineral tulang dengan nilai normal rata-rata densitas mineral tulang pada orang seusia dan dewasa muda etnis yang sama, yang dinyatakan dalam persentase. 4. Perbandingan hasil densitas mineral tulang dengan nilai normal rata-rata densitas mineral tulang pada orang seusia dan dewasa muda etnis yang sama, yang dinyatakan dalam skore standar deviasi (Z-score atau T-score). 5. T score hanya digunakan untuk wanita post atau perimenopause dan laki-laki diatas 50 tahun, sedangkan Z score digunakan pada wanita premenopause dan laki-laki dibawah 50 tahun.11

Gambar 5. Mesin Dexa

Ada empat kategori diagnosis massa tulang (densitas tulang) berdasarkan T-score adalah sebagai berikut : 1. Normal: nilai densitas atau kandungan mineral tulang tidak lebih dari 1 standar deviasi di bawah ratarata orang dewasa, atau kira-kira 10% di bawah rata-rata orang dewasa atau lebih tinggi (T-score lebih besar atau sama dengan -1 SD). 2. Osteopenia (massa tulang rendah): nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 1 standar deviasi di bawah rata-rata orang dewasa, tapi tidak lebih dari 2,5 standar deviasi di bawah rata-rata orang dewasa, atau 10-25% di bawah rata- rata (T-score antara -1 SD sampai -2,5 SD). 3. Osteoporosis: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5 standar deviasi di bawah nilai rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata atau kurang (T-score di bawah -2,5 SD).

4. Osteoporosis lanjut: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5 standar deviasi di bawah rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah rata-rata ini atau lebih, dan disertai adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis (T-score di bawah -2,5 SD dengan adanya satu atau lebih patah tulang osteoporosis).

Klasifikasi diagnostik osteoporosis (WHO study group 1994)

Setelah menerima diagnosis osteoporosis atau massa tulang yang rendah, kita harus memonitor massa tulang yang berkurang atau bertambah seiring dengan waktu. Pengukuran massa tulang ini penting secara klinis untuk mendiagnosis dan mengendalikan/pengobatan osteoporosis.2

2.9 Penatalaksanaan Osteoporosis kini telah ada upaya untuk memperluas pedoman diagnosis dan penatalaksanaan osteoporosis dalam rangka meningkatkan kualitas hidup, mencegah terjadinya komplikasi serta menurunkan angka kesakitan dan angka kematian akibat osteoporosis. Penatalaksanaan osteoporosis meliputi tindakan pencegahan dan pengobatan yang dilakukan secara dini, dengan demikian akan mencegah komplikasi fraktur fragilitas tulang. Tindakan yang dapat dilakukan berdasarkan T-score dapat dilihat pada tabel di bawah ini2,

Pencegahan didefinisikan sebagai pencegahan primer, yaitu, pencegahan kehilangan massa tulang pada wanita di awal pasca menopause tanpa ditetapkan menderita osteoporosis (dengan T-score BMD antara 1 dan -2,5). Pengobatan didefinisikan sebagai upaya mengurangi risiko patah tulang pada wanita pasca menopause yang ditetapkan menderita osteoporosis (BMD T-score di bawah -2,5 dengan atau tanpa riwayat fraktur sebelumnya). Biasanya, risiko fraktur fragilitas jauh lebih tinggi pada pengobatan populasi wanita tua di akhir pascamenopause yang memungkinkan penilaian dari efikasi anti-fraktur.2,12

1. Farmakologi Secara teoritis osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja osteoklas osteobla meningkatkan kerja osteoblast. Akan tetapi saat ini obat-obat yang beredar pada umumnya bersifat anti resorpsi. Yang termasuk obat anti resorpsi misalnya: estrogen, kalsitonin, bisfosfonat. Sedangkan Kalsium dan Vitamin D tidak mempunyai efek anti resorpsi maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan untuk optimalisasi meneralisasi osteoid setelah proses pembentukan tulang oleh sel osteoblast. Bisfosfonat merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan osteoporosis. Bisfosfonat merupakan analog pirofosfat yang terdiri dari 2 asam fosfonat yang diikat satu sama lain oleh atom karbon. Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi tulang oleh sel osteoklas dengan cara berikatan dengan permukaan tulang dan menghambat kerja osteoklas dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim lisosomal di bawah osteoklas.12 A. Bisfonat Pemberian bisfosfonat secara oral akan diabsorpsi di usus halus dan absorpsinya sangat buruk (kurang dari 55 dari dosis yang diminum). Absorpsi juga akan terhambat bila diberikan bersama-sama dengan kalsium, kation divalen lainnya, dan berbagai minuman lain kecuali air. Idealnya diminum pada pagi hari

dalam keadaan perut kosong. Setelah itu penderita tidak diperkenankan makan apapun minimal selama 30 menit, dan selama itu penderita harus dalam posisi tegak, tidak boleh berbaring. Sekitar 20-50% bisfosfonat yang diabsorpsi, akan melekat pada permukaan tulang setelah 12-24 jam. Setelah berikatan dengan tulang dan beraksi terhadap osteoklas, bisfosfonat akan tetap berada di dalam tulang selama berbulan- bulan bahkan bertahun-tahun, tetapi tidak aktif lagi. Bisfosfonat yang tidak melekat pada tulang, tidak akan mengalami metabolism di dalam tubuh dan akan diekresikan dalam bentuk utuh melalui ginjal, sehingga harus hati-hati pemberiannya pada penderita gagal ginjal. Efek samping bisfosfonat adalah refluks esofagitis, osteonekrosis jaw, hipokalsemia dan atrial fibrilasi. Oleh sebab itu, penderita yang memperoleh bisfosfonat harus diperhatikan asupan kalsiumnya.12 Contoh jenis obat Bisfonat: 

Disodium pamidronate (Aredia)



Ibandronic acid or ibandronate (Bondronat)



Sodium clodronate (Bonefos, Clasteon, Loron)



Zoledronic acid or zoledronate (Zometa)

Gambar 6. Obat-obat Bisfonat

B. Estrogen ( Hormon Replacement Therapy ) Mekanisme estrogen sebagai anti resorpsi, mempengaruhi aktivitas sel osteoblas maupun sel osteoklas, telah dibicarakan diatas. Pemberian terapi estrogen dalam pencegahan dan pengobatan osteoporosis dikenal sebagai Hormon Replacement Therapy (HRT). Estrogen sangat baik diabsorbsi melalui kulit,

mukosa vagina, dan saluran cerna. Efek samping estrogen meliputi nyeri payudara (mastalgia), retensi cairan, peningkatan berat badan, tromboemboli, dan pada pemakaian jangka panjang dapat meningkatkan risiko kanker payudara. Kontraindikasi absolut penggunaan estrogen adalah : kanker payudara, kanker endometrium, hiperplasi endometrium, perdarahan uterus disfungsional, hipertensi, penyakit tromboemboli, karsinoma ovarium, dan penyakit hati yang berat. Di beberapa negara, saat ini TSH hanya direkomendasikan untuk gejala klimakterium dengan dosis sekecilnya dan waktu sesingkatnya. TSH tidak direkomendasikan lagi sebagai terapi pilihan pertama untuk osteoporosis. Beberapa preparat estrogen yang dapat dipakai dengan dosis untuk anti resorpsi, adalah estrogen terkonyugasi 0,625 mg/hari, 17 -estradiol oral 1-2 mg/hari, 17 -estradiol perkutan 1,5 mg/hari, dan 17estradiol subkutan 25-50 mg setiap 6 bulan. Kombinasi estrogen dengan progesteron akan menurunkan risiko kanker endometrium dan harus diberikan pada setiap wanita yang mendapatkan TSH, kecuali yang telah menjalani histerektomi. Pada wanita pasca menopause, dosis estrogen terkonyugasi 0,3125 – 1,25 mg/hari, dikombinasi dengan medroksiprogesteron asetat 2,5 – 10 mg/hari, setiap hari secara kontinyu. Pada wanita pra menopause, estrogen terkonyugasi diberikan pada hari 1 s/d 25 siklus haid sedangkan medroksiprogesteron asetat diberikan hari 15 – 25 siklus haid, kemudian kedua obat tersebut dihentikan pada hari 26 s/d 28 siklus haid, sehingga penderita mengalami haid. Hari 29 dianggap sebagai 1 siklus berikutnya dan pemberian obat dapat diulang pemberiannya seperti semula.1,2,12 C. Vitamin D Vitamin D berperan untuk meningkatkan absorpsi kalsium di usus. Lebih dari 90% vitamin D disintesis dalam tubuh, prekursornya ada di bawah kulit oleh paparan sinar ultraviolet. Vitamin D dapat berupa alfacalcidol (25 OH vitamin D3) dan calcitriol (1,25 (OH)2 Vitamin D3), kedua dapat digunakan untuk pengobatan osteoporosis.12

D. Kalsitriol Saat ini kalsitriol tidak diindikasikan sebagai pilihan pertama pengobatan osteoporosis pasca menopause. Kalsitriol diindikasikan bila terdapat hipokalsemia yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian kalsium peroral. Kalsitriol juga diindikasikan untuk mencegah hiperparatiroidisme sekunder, baik akibat hipokalsemia maupun gagal ginjal terminal. Dosis kalsitriol untuk pengobatan osteoporosis adalah 0,25 g, 1-2 kali per hari.12 E. Kalsium Kalsium sebagai mono terapi ternyata tidak cukup untuk mencegah fraktur pada penderita osteoporosis. Preparat kalsium terbaik adalah kalsium karbonat, karena mengandung kalsium elemental 400 mg/gram,

disusul kalsium fosfat yang mengandung kalsium elemental 230 mg/gram, kalsium sitrat yang mengandung kalsium elemental 211 mg/gram, kalsium laktat yang mengandung kalsium elemental 130 mg/gram dan kalsium glukonat yang mengandung kalsium elemental 90 mg/gram. Pemberian kalsium dapat meningkatkan risiko hiperkalsiuria dan batu ginjal.12 Tabel Kebutuhan Asupan Kalsium

2. Non Farmakologi A. Edukasi dan Pencegahan 1. Anjurkan penderita untuk melakukan aktifitas fisik yang teratur untuk memelihara kekuatan, kelenturan dan keseimbangan sistem neuromuskular serta kebugaran, sehingga dapat mencegah risiko terjatuh. Berbagai latihan yang dapat dilakukan meliputi berjalan 30-60 menit per hari, bersepeda maupun berenang. 2. Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan sehari-hari maupun suplementasi. 3. Hindari merokok dan minum alkohol. 4. Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testesteron pada laki-laki dan menopause awal pada perempuan. 5. Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan osteoporosis. 6. Hindari mengangkat barang yang berat pada penderita yang sudah pasti osteoporosis. 7. Hindari berbagai hal yang dapat membuat penderita terjatuh, seperti lantai licin, obat-obat sedatif atau obat anti hipertensi yang dapat menimbulkan hipotensi orthostatik. 8. Hindari defisiensi vitamin D, terutama pada orang yang kurang terpajan sinar matahari atau penderita dengan fotosensitifitas, misalnya SLE (Systemic Lupus Erythematosus). Bila di duga ada defisiensi vitamin D, maka kadar 25(OH)D serum harus diperiksa. Bila kadar 25(OH)D serum menurun, maka suplementasi vitamin D 400 IU/hari atau 800 IU/hari pada orang tua harus diberikan. Pada penderita dengan gagal ginjal, suplementasi 12,5(OH)2D harus dipertimbangkan.

9. Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan membatasi asupan natrium sampai 3 gram/hari untuk meningkatkan resorpsi kalsium di tubulus ginjal. Bila ekskresi kalsium > 300 mg/hari, berikan diuretik tiazid dosis rendah (HCT 25 mg/hari). 10. Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi dan jangka panjang, usahakan pemberian glokokortikoid pada dosis serendah mungkin dan sesingkat mungkin. 11. Pada penderita artritis reumatoid dan artritis inflamasi lainnya, sangat penting mengatasi aktifitas penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi nyeri dan penurunan densitas massa tulang akibat artritis inflamasi yang aktif.11,12

B. Latihan dan Program Rehabilitasi Latihan dan program rehabilitasi sangat penting bagi penderita osteoporosis karena dengan latihan teratur penderita akan lebih lincah, tangkas dan kuat otot- ototnya sehingga tidak mudah jatuh. Selain itu latihan juga akan mencegah perburukan osteoporosis karena terdapat rangsangan biofisikoelektrokimikal yang akan meningkatkan remodelling tulang.11 Pada penderita yang belum mengalami osteoporosis, maka sifat latihan adalah pembebanan terhadap tulang, sedangkan pada penderita yang sudah osteoporosis, maka latihan dimulai dengan tanpa beban, kemudian ditingkatkan secara bertahap sehingga mencapai latihan dengan pembebanan yang adekuat. Latihan (olahraga) merupakan bagian yang sangat penting pada pencegahan maupun pengobatan osteoporosis. Program olahraga bagi penderita osteoporosis sangat berbeda dengan olahraga untuk pencegahan osteoporosis. Gerakan-gerakan tertentu yang dapat meningkatkan risiko patah tulang harus dihindari. Jenis olahraga yang baik adalah dengan pembebanan dan ditambah latihan kekuatan otot yang disesuaikan dengan usia dan keadaan individu masing-masing. Dosis olahraga harus tepat karena terlalu ringan kurang bermanfaat, sedangkan terlalu berat pada wanita dapat menimbulkan gangguan pola haid yang justru akan menurunkan densitas tulang. Jadi olahraga sebagai bagian dari pola hidup sehat dapat menghambat kehilangan mineral tulang, membantu mempertahankan postur tubuh dan meningkatkan kebugaran secara umum untuk mengurangi risiko jatuh.11

2.10 Komplikasi Komplikasi dari osteoporosis merupakan kondisi sekunder yaitu gejala atau keadaan lain yang disebabkan oleh osteoporosis. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah fraktur.10 Beberapa area predileksi yang sering terjadi fraktur pada penderita osteoporosis: 1. Fraktur collum femur 2. Fraktur tulang belakang (lumbal) 3. Fraktur radius distal

4. Fraktur panggul

BAB III KESIMPULAN

osteoporosis adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang. Osteoporosis merupakan masalah kesehatan utama global yang menyebabkan lebih dari 200 juta patah tulang osteoporosis di seluruh dunia setiap tahun. Osteoporosis dibagi menjadi dua golongan besar menurut penyebabnya, yaitu osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit (prose salamiah), sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang disebabkan oleh berbagai kondisi klinis/penyakit, seperti infeksi tulang tumor tulang pemakaian obat-obatan tertentu dan immobilitas yang lama. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengurangan massa tulang pada usia lanjut antara lain factor genetic,factor mekanis dan factor makanan dan homon. Osteoporosis terjadi akibat adanya gangguan keseimbangan antara proses resorpsi tulang dan formasi tulang, dimana secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas (sel resorpsi tulang) melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas (sel formasi tulang). Pemeriksaan penunjang gold standard untuk osteoporosis adalah Dual Energy X-ray Absorptiometry (DEXA). Untuk penatalaksanaan Osteoporosis dapat secara farmakologi atau non-farmakologi. Komplikasi tersering pada osteoporosis adalah fraktur, diantaranya yaitu fraktur collum femur, fraktur telang belakang (lumbal), fraktur radius distal.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Wardhana, Wisnu. Faktor-faktor Risiko Osteoporosis Pada Tahun. Jurnal Media Medika Mudatahun 2012.

2.

Setiyohadi B. Osteoporosis. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid II, Edisi IV, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2006; 1259-73.

3.

Permatasari, Defitaria., dkk. Hubungan Aktivitas Fisik Dan Terjadinya 
 Osteoporosis Pada

Pasien Dengan Usia Diatas 50

Wanita Pascamenopuose Di Poliklinik Bedah Tulang 
 RSUD Dokter Soedarsotahun 2013.


 4.

WHO. Scientific group the assesssment of osteoporosis at primary healht care level. Summary Meeting Report, Brussels, Belgium, 5-7 May 2004. WHO, 2007.

5.

Broto, R. 2004. Manifestasi Klinis dan Penatalaksanaan Osteoporosis. Dexa Media No. 2 Vol 17: 47 – 57

6.

Depkes. 2004. Kecendrungan Osteoporosis di Indonesia 6 kali lebih Tinggi Dibanding Negeri Belanda. http://www.depkes.go.id

7.

Djokomoeljanto R, 2003. Postmenopausal osteoporosis. Patofisiologi dan dasar pengobatan. Simposium Osteoporosis Postmenopausal. Semarang: p.1-12

8. Lane NE. 2003. Osteoporosis. Jakarta. Raja Grafindo Persada. 9. Kaltenborn, 1992. Osteoporosis Post Menopouse, a national clinical guideline, 2010. 10. National Osteoporosis Foundation. Clinician’s guide to prevention and treatment

of

osteoporosis. Washington, DC: National Osteoporosis Foundation; 2010. 


11. PEROSI. Panduan diagnosis dan penatalaksanaan osteoporosis. Pengurus Besar Perhimpunan Osteoporosis Indonesia. 2010 


12. Fuleihan GE, Baddoura R, Awada H, et al. Lebanese guidelines for osteoporosis assessment and treatment. Beirut, Lebanon. 2002.

Related Documents

Osteoporosis
May 2020 35
Osteoporosis
June 2020 36
Osteoporosis
November 2019 54
Osteoporosis
November 2019 46
Osteoporosis
May 2020 34

More Documents from "ulichin"