Rangkuman Gelatin Ceker Ayam
Kaki ayam yang dalam bahasa Jawa disebut “ceker”, berasal dari limbah usaha ayam potong, bukan benda bernilai ekonomis tinggi. Namun di tangan peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), ceker ayam bisa diubah menjadi gelatin yang kaya manfaat. Temuan ini menjadi kabar bagus untuk pelaku industri pangan dan farmasi serta industri lainnya. Pilihan bahan baku gelatin pun lebih beragam dan murah, serta halal. Selama ini, masyarakat awam masih sering mengasosiasikan sumber gelatin banyak berasal dari babi. Padahal sumber gelatin sangat beragam, seperti tulang sapi, tulang ikan, kulit ikan, kulit ayam, kulit domba dan kaki bebek. Mengapa ceker ayam? Ceker ayam berdaya jual rendah, sehingga kurang diminati untuk diolah menjadi bahan pangan. Bahkan, ada pula yang membuangnya begitu saja. Nah, penggunaan ceker ayam sebagai bahan baku gelatin merupakan upaya untuk meningkatkan nilai jualnya. Berdasarkan paten terdaftar, bahan baku produksi gelatin berasal dari hewan akuatik, bunga karang, invertebrata laut, ikan, ayam, bebek, kalkun, babi, dan domba. Akan tetapi, paten tersebut punya kelemahan. Yaitu, proses produksi cukup panjang dan waktu ekstraksi lebih lama. Kelemahan lain, adalah perlu energi besar untuk menghasilkan tekanan tinggi pada teknik ekstraksi gelatin. Teknik ini juga memakan waktu lama. "Balutan gelatin berfungsi menjaga warna daging agar tidak memudar, sekaligus menekan pertumbuhan bakteri dan menjaga oksidasi lemak. Kalau lemak teroksidasi akan menjadikan daging berbau tengik. Gelatin ini mencegah adanya perubahan pada bau, warna dan tekstur daging selama penyimpanan di kulkas" Proses Produksi Lebih Cepat Miskiyah dan tim peneliti Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian menciptakan proses produksi yang sangat sederhana, bahkan cukup dengan peralatan rumahtangga, Miskiyah sudah bisa memproduksi gelatin dari ceker ayam. Teknologinya mudah diaplikasikan oleh industri skala kecil. Saat ini, paten untuk proses produksi gelatin ceker ayam itu telah didaftarkan. Miskiyah menerangkan rendemen yang dihasilkan dari proses pembuatan gelatin ceker ayam ini sebesar 8% serta memiliki kandungan protein yang tinggi (64,05%), kadar lemak 14,74%, disamping itu juga mengandung beberapa mineral penting lainnya. Dari segi karakteristiknya, gelatin ceker ayam berpotensi menjadi alternatif pemenuhan gelatin halal bagi konsumen yang lebih luas. Sedikitnya 9-10
persen dari berat “ceker” ayam dapat diubah menjadi serbuk gelatin. Gelatin, lanjut Miskiyah, merupakan bahan penting yang dapat diaplikasikan dalam makanan, obatobatan, dan industri fotografi serta keperluan teknis lainnya seperti pembuatan kertas dan kosmetika. Berdasarkan komposisi asam amino, gelatin menunjukkan kaya akan residu asam amino glisin (hampir selalu terdapat satu dari setiap tiga residu), prolin, dan hidroksiprolin. Pada industri farmasi, gelatin paling banyak digunakan sebagai bahan pembuatan cangkang kapsul keras maupun lunak, dan pula untuk tablet seperti pelapis (coating) tablet, granulasi, dan enkapsulasi. Kapsul gelatin biasanya digunakan untuk mengenkapsulasi berbagai jenis bahan suplemen dan obatobatan, dan penggunaannya di industri makanan pun meningkat karena bahan yang dienkapsulasi dapat terlindung dari kelembaban, panas, atau kondisi ekstrem sehingga dapat mempertahankan stabilitas bahan. Kepala Balai PATP, Retno Mulyandari menyatakan bahwa gelatin ceker ayam ini telah didaftarkan patennya dengan no S00201701887. Mengawetkan Daging dan Ikan Penggunaan serbuk gelatin dari ekstraksi “ceker” ayam untuk mengawetkan daging dan ikan, dengan cara dilarutkan dalam air agar gelatin menjadi gel. Kemudian daging dan ikan dibalut atau di-coating dengan gel gelatin sampai tertutup sempurna dan disimpan dalam wadah semacam ice box atau disimpan di kulkas dengan suhu 4 derajat Celsius. “Balutan gelatin berfungsi menjaga warna daging agar tidak memudar, sekaligus menekan pertumbuhan bakteri dan menjaga oksidasi lemak. Kalau lemak teroksidasi akan menjadikan daging berbau tengik. Gelatin ini mencegah adanya perubahan pada bau, warna dan tekstur daging selama penyimpanan di kulkas,” kata Miskiyah. Sumber : http://pascapanen.litbang.pertanian.go.id/actual.html?type=news&id=258
Jurnal Teknologi Kimia Unimal 4 : 2 (November 2015) 66-79 Jurnal Teknologi Kimia Unimal http://ft.unimal.ic.id/teknik_kimia/jurnal Jurnal Teknologi Kimia Unimal Pembuatan dan Karakterisasi Gelatin dari Ceker Ayam dengan Proses Hidrolisis Suryati1, Nasrul ZA1, Meriatna1, Suryani1 Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Malikussaleh Laboratorium Teknik Kimia, Jl. Batam No. 2, Bukit Indah, Lhokseumawe 24353 e-mail:
[email protected] 1 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji proses pembuatan gelatin dari ceker ayam dengan proses hidrolisis asam. Gelatin adalah hidrokoloid yang berasal dari hewan yang berfungsi untuk meningkatkan kekentalan dan pembentuk gel dalam berbagai produk pangan. Proses pengolahan hidrolisis dilakukan dengan variasi perendaman 5 hari, 10 hari dan 15 hari, dengan menggunakan HCl 7% sebagai larutan perendam kaki ayam. Suhu perendaman digunakan dalam penelitian ini adalah 50oC, 60oC, 70oC, 80oC dan 90oC, dengan waktu hidrolisa untuk masing-masing sampel selama 4 jam. Hasil penelitian menunjukkan rendemen tertinggi yang didapat adalah 13,96%, pada proses perendaman selama 10 hari dengan suhu hidrolisis 90oC. Kadar air yang terbaik 14,98% dengan waktu perendaman selama 10 hari dan suhu hidrolisis 60oC, dan kadar abu y a n g t e r b a i k 3% diperoleh dengan perendaman selama 15 hari dan suhu hidrolisis 70oC. Analisis FTIR menunjukkan adanya serapan khas gugus fungsi gelatin pada daerah Amida A, Amida I, Amida II dan Amida III. Kata Kunci: gelatin, ceker ayam, hidrolisis, kolagen, rendemen ABSTRACT This study aims to assess the process of making gelatine from chicken claw with acid hydrolysis process. Gelatine is a hydrocolloid of animal origin that serves to increase the viscosity and gelling agent in food products. Hydrolysis processing is done by varying the immersion 5 days, 10 days and 15 days, using a solution of HCl 7% as shredded chicken legs. Soaking temperature used in this study is 50oC, 60oC, 70oC, 80oC and 90oC, with the hydrolysis time for each sample for 4 hours. The results showed the highest yield obtained was 13.96%, in the process of immersion for 10 days at a temperature of 90oC hydrolysis. Best water content 14.98% with a soaking time for 10 days and hydrolysis temperature 60°C, and the ash content of 3% is best obtained by soaking for 15 days and hydrolysis temperature of 70°C. FTIR analysis showed typical absorption functional group Amide A gelatine in the area, I Amida, Amida Amida II and III. Keywords: gelatine, chicken claw, hydrolysis, collagen, yield Suryati dkk / Jurnal Teknologi Kimia Unimal 4 : 2 (November 2015) 66 - 79 1. Pendahuluan Gelatin
merupakan produk yang diperoleh kolagen (protein utama dari hasil hidrolisis daging/tulang/kulit hewan), sedangkan kolagen diperoleh dari proses ekstraksi kulit, daging, tulang hewan segar. Pemanfaatan gelatin sangat luas seperti sebagai bahan kosmetik, produk farmasi, bahan tambahan pangan (es krim, permen karet, pengental, dan mayonaise), bahan film, material medis, dan bahan baku kultur jasad renik. Secara fisik gelatin berbentuk padat, kering, tidak berasa, dan transparan (Wulandari, 2006). Menurut multinasional data bahwa dari produk SKW Biosystem gelatin suatu dunia, pada perusahaan gelatin tahun 1999 sebanyak 254.000 ton, yang bersumber dari kulit sapi sebanyak 28,7%, kulit babi sebanyak 41,4% serta kontribusi tulang sapi sebesar 29,8%, dan sisanya dari ikan. Gelatin komersial yang ada di pasaran dikategorikan sebagai gelatin tipe A dan tipe B. Pengelompokan ini berdasarkan jenis prosesnya, yaitu proses perendaman asam dan basa. Proses perendaman asam menghasilkan gelatin tipe A dan perendaman basa menghasilkan gelatin tipe B. berasal dari
kulit babi yang Gelatin tipe A umumnya memiliki titik isoelektrik (titik pengendapan protein) pada pH yang lebih tinggi (7,5–9,0), dari pH isoelektrik gelatin tipe B (4,8–5,0). Sedangkan gelatin tipe B biasanya bersumber dari kulit jangat sapi dan tulang sapi. Sedangkan gelatin sebagai gelatin tipe A. Proses pembuatan gelatin ikan dikategorikan yang berasal dari tulang dapat dilakukan juga dengan menggunakan cara asam yang lebih sederhana yang akhirnya juga menggeser pH isoelektrik pada sekitar 5,5 – 6,0. Indonesia merupakan salah satu negara yang mayoritas penduduknya muslim dan gelatin yang beredar di pasaran adalah kebanyakan berbahan dari tulang sapi dan kulit babi, yang mana kulit babi tersebut tidak boleh dikonsumsi oleh seseorang yang beragama Islam. Oleh karena itu penelitian pembuatan 67 Suryati dkk / Jurnal Teknologi Kimia Unimal 4 : 2 (November 2015) 66 - 79
gelatin berbahan dasar halal terus dikaji agar dihasilkan gelatin yang dapat dan boleh dikonsumsi oleh orang Islam khususnya dan khalayak ramai umumnya. Ceker ayam (shank) adalah suatu bagian dari tubuh ayam yang kurang diminati, yang terdiri atas komponen kulit, tulang, otot, dan kolagen sehingga perlu diberikan sentuhan teknologi untuk diolah menjadi produk yang memiliki nilai tambah. Berdasarkan data tentang tingginya kandungan protein dalam kulit ayam, maka perlu dilakukannya penelitian selanjutnya untuk mendapatkan gelatin yang berkualitas untuk dapat memenuhi pasar yang ada. Salah satu contoh pemanfaatan kulit ceker ayam yang telah dilakukan oleh Miwada dan Simpen (2007) melalui proses ekstraksi termodifikasi yang diekstraksi dengan campuran kloroform dan metanol. Hasil penelitian yang mereka lakukan menunjukkan bahwa hasil persentase rendemen gelatin yang mereka dapatkan adalah 69,43%, kadar air gelatin adalah 95,77% dan kadar lemak gelatin adalah 7,99%. Pada hasil penelitian yang dilakukan dengan metode curing hasil yang didapatkan adalah 99,07% rendemen, kadar air adalah 66,6%, kadar protein adalah 58,10%. Dalam metode ini terdapat kelemahan yang diantaranya kulit kaki ayam menjadi kering dan membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya yang dapat mengurangi kelemahan yang dapat mengakibatkan produk yang dihasilkan dapat diterima di pasaran nasional maupun internasional. Pemanfaatan kulit kaki atau ceker ayam (shank) sebagai bahan baku gelatin perlu dikaji potensinya, mengingat komponen tersebut keberadaannya sangat melimpah yang selama ini pemanfaatannya belum optimal, tetapi memiliki komposisi kimia yang mendukung yakni kadar protein total lebih dari 80% (Purnomo, 1992). Oleh karena itu dilakukan proses sederhana namun dapat menghasilkan gelatin yang dapat memenuhi pasar nasional dan internasional. Dan proses yang lakukan adalah hidrolisis. Mekanisme reaksi hidrolisis dapat terjadi sebagai berikut: C102H149N31O38 + H2O → C102H151N31O39 Kolagen air gelatin 68 Suryati dkk / Jurnal Teknologi Kimia Unimal 4 : 2 (November 2015) 66 - 79 Menurut Johns dan Courts (1977), perubahan kolagen menjadi gelatin terjadi dalam tiga tahap, yaitu: hidrolisa lateral, diikuti hidolisa ikatan peptida terutama pada glysin dan perusakan struktur helik kolagen. 2. Metode Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah: ceker ayam segar, NaOH untuk proses degreasing (5%) dan untuk netralisasi 0,15%, HCl (7%) dan aquadest. Proses pengolahan hidrolisis dilakukan untuk menghasilkan gelatine dengan variasi suhu 50oC, 60oC, 70oC, 80oC dan 90oC dan waktu perendaman 5 hari, 10 hari dan 15 hari. Uji yang dilakukan adalah rendemen (%), -1 kadar air (%), kadar abu (%) dan uji gugus fungsi (cm ). 3. Hasil dan Diskusi Rendemen Rendeman merupakan persentase berat gelatin yang didapat dari denaturasi kolagen. Semakin besar rendemen yang didapat, maka semakin efisien perlakuan yang diterapkan. Gambar 1. Pengaruh Suhu hidrolisis terhadap Rendemen Gelatin Ceker Ayam 69 Suryati dkk / Jurnal Teknologi Kimia Unimal 4 : 2 (November 2015) 66 - 79 Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa rendemen gelatin yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 7,08–13,96 %. Lama perendaman dalam HCl berpengaruh terhadap rendemen gelatin yang dihasilkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa perendaman dalam HCl selama 10 hari menghasilkan rendemen tertinggi yaitu 13,96%. Lama perendaman dalam asam dengan jumlah gelatin yang dihasilkan menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah gelatin dari perendaman 5 hari ke 10 hari. Tetapi apabila waktunya diperpanjang sampai 15 hari, maka terjadi penurunan jumlah gelatin. Hal ini disebabkan karena banyak jaringan fibril kolagen yang rusak dengan peningkatan waktu perndaman sehingga jumlah komponen kolagen yang terlaurt menjadi tinggi, yang berarti rendemen menjadi rendah. Tingginya suhu yang digunakan pada proses hidolisis akan membuat gelatin pecah, yaitu pada suhu lebih dari 75oC. Komponen kolagen akan terpecah menjadi komponen penyusun nya dan dikategorikan sebagai gelatin kualitas rendah. Pengaruh kenaikan suhu hidrolisis terhadap rendemen gelatin pada masing kadar gelatin berbeda. Semakin tinggi suhu hidrolisis, maka denaturasi kolagen menjadi gelatin akan semakin cepat. Kadar Air Kadar air merupakan salah satu parameter dalam pengujian daya simpan produk, terutama produk-produk pangan yang bersifat kering. Kadar air standar bagi gelatin komersil adalah maksimal 16%. Analisa yang dilakukan terhadap kadar air bertujuan untuk mengetahui kandungan kadar air dalam gelatin. Jika kadar air yang terkandung dalam bahan, maka dapat mempengaruhi penampakan, tekstur produk dan daya simpannya (Winaryo, 1992). Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa kadar air yang paling rendah didapatkan pada hidrolisis dengan suhu 60oC dengan lama perendaman selama 10 hari, yaitu 14,98%, dan kadar air paling tinggi terdapat pada suhu hidrolisis 90oC, dengan lama perendaman selama 15 hari, yaitu 16,19%. Kadar air dalam gelatin akan meningkat dengan semakin tingginya suhu hidrolisis, hal ini disebabkan oleh termobilisasinya air di dalam struktur jaringan protein. Berdasarkan SNI (1995), kadar air yang boleh kandung dalam gelatin adalah maksimum 16%. Maka, dari
70 Suryati dkk / Jurnal Teknologi Kimia Unimal 4 : 2 (November 2015) 66 - 79 hasil yang didapatkan terdapat beberapa hasil yang kadar airnya melebihi kadar maksimum yang ditentukan. Gambar 2 Pengaruh Suhu Hidrolisis Terhadap Kadar Air Gelatin Ceker Ayam Kadar Abu Kadar abu merupakan residu anorganik dari pembakaran bahan-bahan organik dan biasanya komponenkomponen tersebut terdiri dari kalsium, natrium, besi magnesium dan mangan. Abu yang terbentuk berwarna putih abu-abu, berpartikel halus dan mudah dilarutkan. Kadar abu menunjukkan kemurnian produk, yang dipengaruhi pula oleh kandungan mineral bahan baku. Kadar abu gelatin yang dibolehkan adalah maksimum 3,25%. Berdasarkan Gambar 3, lama waktu perendaman tidak menjadi tolak ukur terhadap tinggi rendahnya kadar abu. Kadar abu yang diperoleh dari penelitian berkisar antara 3-3,52%. Kadar abu yang paling rendah terdapat pada suhu hidrolisis 70oC dengan lama perendaman selama 15 hari, yaitu 3%, dan kadar abu yang paling tinggi terdapat pada suhu hidrolisis 50oC dengan lama perendaman selama 5 hari, yaitu 3,52%. Kadar abu yang didapatkan ini adalah melebihi Standar Nasional Indonesia (SNI) 1995, yang mana maksimum kadar abu yang dibolehkan adalah 3,25%. Tingginya kadar abu gelatin yang dihasilkan dipengaruhi oleh kandungan mineral bahan baku, tergantung pada proses penyaringan dan hidrolisis yang dilakukan. Penyaringan yang kurang sempurna 71 Suryati dkk / Jurnal Teknologi Kimia Unimal 4 : 2 (November 2015) 66 - 79 menyebabkan banyak serbuk ossein yang terbawa dalam filtrat gelatin. Serbuk ossein yang halus lolos dari saringan, membentuk endapan pada saat gelatin diubah menjadi gel. Gambar 3 Pengaruh Suhu hidrolisis Terhadap Kadar Abu Gelatin Ceker Ayam Uji FTIR (Fourier Transform Infra Red) Untuk membuktikan bahwa hasil penelitian ini adalah gelatin, maka dilakukan karakterisasi serapan gugus fungsi khas gelatin dengan FTIR. Setiap gugus fungsi yang berbeda, seperti O-H, C-H, atau C=C, menyerap dalam range atau frekuensi yang sempit, sehingga gugus fungsi dalam molekul dapat diidentifikasi melalui adanya pita serapan dalam range tertentu pada spektrum inframerah. Gelatin seperti umumnya protein memiliki struktur terdiri dari karbon, hidrogen, gugus hidroksil (OH), gugus karbonil (C=O) dan gugus amina (NH). Spektra infra merah (Gambar 4) menunjukkan bilangan gelombang 2927,1 cm-1 dan 2854,77 cm-1, dimana panjang gelombang ini disebut dengan Amida A. Menurut Kemp (1987), puncak ini menunjukkan bahwa gugus NH dalam amida akan cenderung berikatan dengan regangan CH2 apabila gugus karboksilat dalam keadaan stabil. Pada gugus gelatin selanjutnya
adalah Amida I. Puncak serapan 72 Suryati dkk / Jurnal Teknologi Kimia Unimal 4 : 2 (November 2015) 66 - 79 pada frekuensi 1636-1661 cm-1 yang disebut sebagai kurva serapan Amida I (Muyongga, dkk, 2004). Serapan ini disebabkan oleh adanya regangan ikatan ganda gugus karbonil C=O, bending ikatan NH dan regangan CN. Daerah serapan Amida I ini menunjukkan adanya regangan C=O dan gugus OH yang berpasangan dengan gugus karboksil. Daerah serapan 1660-1650 cm-1 dikenal sebagai daerah serapan residu imida (struktur random coil) dan pada 1635-1645 cm-1 meruapakan residu struktur β-sheet (Prystupa dan Donald, 1996). Pada kurva amida I Gambar 4 ditutupi oleh puncak C=O streching/ikatan hidrogen yang bergandengan dengan COO-, dengan spektra 1744,69 cm-1 Streching ini menandakan regangan dalam ikatan sehingga terjadinya perubahan jarak dan akan bergerak terus seiring dengan suhu tinggi. Gambar 4 Spektra dengan waktu perendaman 5 hari dan suhu hidrolisis 50oC Pada Gambar 5, spektra yang ditunjukkan oleh puncak serapan adalah 1665 cm-1 yang menandakan bahwa puncak serapan tersebut masuk dalam struktur random coil yang menjadi gugus khas gelatin (Prystupa dan Donald, 1996). Puncak serapan khas gelatin pada kurva amida II yaitu pada spektra 13351560 cm-1 (Muyongga, dkk., 2004). Vibrasi amida II disebabkan oleh deformasi ikatan N-H dalam protein. Daerah serapan ini berikatan dengan deformasi 73 Suryati dkk / Jurnal Teknologi Kimia Unimal 4 : 2 (November 2015) 66 - 79 tropokolagen menjadi rantai α-helix. Pada gambar-gambar diatas spektra yang ditunjukkan oleh serapan puncak menandakan bahwa salah satu gugus khas gelatin ada pada hasil yang didapat. Daerah serapan spesifik terakhir adalah amida III. Puncak serapannya adalah 1200-1300 cm-1 (Muyongga, dkk., 2004), yang berhubungan dengan struktur triple-helix (kolagen). Gambar 5 Spektra dengan perendaman 5 hari dan suhu hidrolisis 60oC Pada kurva serapan amida A, Gambar 6 menunjukkan serapan melebar pada spektra 3272,38 cm-1. Puncak serapan ini disebabkan oleh adanya ikatan regangan N-H dari gugus amida yang berasosiasi dengan ikatan hidrogen, dan adanya gugus OH. Bentuk puncak yang melebar membuktikan adanya gugus hidroksiprolin. Pada puncak serapan untuk amida I menunjukkan spektra 1742,76 cm-1. Menurut Muyongga (2004), puncak serapan amida I yang melebar ke arah amida A adalah gugus
C=O streching/ ikatan hidrogen yang bergandengan dengan COO-. Spektra yang 1526,72 cm-1 menunjukkan vibrasi amida II yang disebabkan oleh deformasi ikatan N-H dalam protein. Daerah serapan ini berkaitan dengan deformasi rantai α-helix.. Daerah spesifik untuk amida III adalah 1200-1300 cm-1 (Fries and Lee, 1996) yang berhubungan dengan struktur triple-helix (kolagen). 74 Suryati dkk / Jurnal Teknologi Kimia Unimal 4 : 2 (November 2015) 66 - 79 Pada Gambar 6 menunjukkan serapan 1237,39 cm-1, pada spektra ini menunjukkan bahwa masih ada struktur kolagen yang belum terdenaturasi menjadi gelatin dan lolos dalam proses penyaringan, dapat dikatakan bahwa ikatan hidrogen intermolekul masih banyak berikatan pada gugus tersebut. Gambar 6 Spektra dengan perendaman 10 hari dan suhu hidrolisis 70oC Gambar 7 Spektra dengan perendaman 15 hari dan suhu hidrolisis 80oC Puncak serapan yang ditunjukkan oleh Gambar 7 adalah 3273,34 cm-1, pada puncak ini menunjukkan vibrasi streching OH dengan serapan yang melebar. Puncak ini disebabkan oleh adanya ikatan regangan N-H dari gugus amida yang 75 Suryati dkk / Jurnal Teknologi Kimia Unimal 4 : 2 (November 2015) 66 - 79 berasosiasi dengan ikatan hidrogen. Bagian amida A selanjutnya adalah serapan pada puncak 2927,10 cm-1 dan 2855,73 cm -1, menurut Kemp (1987), puncak ini menunjukkan bahwa gugus NH dalam amida akan cenderung berikatan dengan regangan CH2 apabila gugus karboksilat dalam keadaab stabil. Pada amida I, puncak serapan adalah 1661,75 cm-1, yang mana serapan ini disebabkan oleh adanya regangan ikatan ganda gugus karbonil C=O, bending ikatan NH dan regangan CN. Daerah serapan amida II adalah puncak serapan pada 1560-1335cm-1 (Muyongga, 2004). Vibrasi amida II pada spektra diatas menunjukkan kurva pada 1546,01cm-1, 1460,18cm-1 dan 1410,02cm-1. Daerah serapan ini berkaitan dengan deformasi tropokolagen menjadi rantai-α. Daerah serapan yang terakhir adalah amida III, yang
puncak serapannya adalah 1240-670cm-1 dan berhubungan dengan triple-helix (Hashim, dkk., 2009). Gugus tersebut adalah gugus yang berkaitan dengan kolagen, yang berarti masih ada sebagian struktur kolagen yang belum terhidrolisa menjadi gelatin dan lolos saat dilakukannya penyaringan gelatin. Gambar 8 Spektra dengan perendaman 15 hari dan suhu hidrolisis 90oC Spektra infra merah (Gambar 8) menunjukkan bending dan streching CH ditunjukkan pada daerah 3000-2800 cm-1 ditunjukkan oleh panjang gelombang 3265,52 cm-1, 2854,77 cm-1 dan 2855,73 cm-1 yang mana panjang gelombang ini disebut dengan Amida A dengan bentuk kurva yang lebar. Kebanyakan puncak NH yang diserap mempunyai bentuk yang tajam dan sempit. Oleh karena itu, 76 Suryati dkk / Jurnal Teknologi Kimia Unimal 4 : 2 (November 2015) 66 - 79 puncak yang diserapn sebenarnya membuktikan adanya gugus OH. Pada serapan amida I spektra yang ditunjukkan adalah 1741,80 cm-1 dan 1662,71 cm-1, hal ini menunjukkan adanya serapan regangan C=O karbonil asam karboksilat yang disebabkan oleh proses perendaman dengan asam. Gugus khas gelatin selanjutnya adalah amida II 1526,72 cm-1, 1457,28 cm-1 dan 1336,73 cm-1, pada panajng gelombang ini berkaitan dengan deformasi tropokolagen menjadi rantai α-helix. Serapan panjang gelombang yang terakhir adalah amida III yang ditunjukkan oleh panjang gelombang 1239,32 cm-1, 1165,91 cm-1, 1084,04 cm-1 dan 1031,96 cm-1, panjang gelombang yang ditunjukkan oleh Gambar 8 pada amida III bervibrasi dengan dengan regangan C-O dari rantai pendek peptida yang terjadi karena degradasi rantai peptida. 4. Simpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai bahwa ceker ayam (shank) dapat digunakan sebagai alternatif bahan baku pengganti tulang sapi dan babi dalam pembuatan gelatin. Rendemen tertinggi yang didapat adalah 13,96% yang didapatkan pada proses perendaman selama 10 hari dengan suhu hidrolisis 90oC. Kadar air terendah pada perendaman selama 10 hari dan suhu hidrolisis 60oC, dengan kadar 14,98%. Kadar abu t e r e n d a h adalah pada perendaman selama 15 hari dan suhu hidrolisis 70oC dengan kadar 3%. Hasil uji FTIR menunjukkan adanya serapan khas gugus fungsi gelatin pada daerah Amida A, Amida I, Amida II dan Amida III. 5. Daftar Pustaka 1. Arthadana, L. N. 2001. Kajian Proses Produksi Gelatin Tipe A Berbahan Kulit Sapi dengan
Metode Perendaman Asam. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. 2. Astawan, M dan T. Aviana. 2003. Pengaruh Jenis Larutan Serta Metode Pengeringan Terhadap Sifat Fisik, Kimia Dan Fungsional Gelatin Dari Kulit Ikan Cucut. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan., Vol. XIV No. 1: 7-13. 77 Suryati dkk / Jurnal Teknologi Kimia Unimal 4 : 2 (November 2015) 66 - 79 3. Chaplin, M. 2005. Gelatin. www//isbuc.ac.uk Chen, H. 1995. Functional Properties And Applications Of Edible Films Made Of Milk Proteins. J. Of Dairy Sci., 78(11): 2563-2583. 4. Friess, W., and Lee, G., 1996, Basic thermoanalytical studies of insoluble collagen matrices, Biomaterials, 17 (23) : 2289–2294. 5. Grobben, A.H.; P.J. Steele; R.A. Somerville; and D.M. Taylor. 2004. Inactive of The Bovine-Spongiform-Encephalopathy (BSE) Agent by Acid and Alkali Processes Used The Manufacture of Bone Gelatine. Biotechnology and Applied Biochemistry, 39:329 – 338. 6. Hardinsyah dan Drajat, M. (1989). Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta Penilaian Mutu Gizi Konsumsi Pangan. Cetakan Pertama. Jakarta: Wirasari. 7. Jackson, M., Choo, L. P., Watson, Halliday, W. C., and Mantsch, H. H., 1995, Beware of connective tissue proteins: assignment and implications of collagen absorption in infrared spectra of human tissues, Biochimica et Biophysica Acta–Molecular Basic of Disease, 1270 : 1–6. 8. Kusumawati, Rinta. 2008. Pengaruh Perendaman dalam Asam Klorida Terhadap Kualitas Gelatin Tulang Kakap Merah (Lutjanus Sp). Jurnal Pascapanen Dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 9. M.N., Puspawati, dkk. ISSN 1907-9850. Isolasi Gelatin dari Kulit Kaki Ayam Broiler dan Karakteristik Gugus Fungsinya dengan Spektrofotometri FTIR. Jurnal kimia 6 (1), januari 2012 : 79-87. 10. Montero, P; and M.C. Gomez-Guillen. 2000. Extracting Condition for Mergin (Lepidorhombus boscii) Skin Collagen Affect Functional Properties of Resulting Collagen. Jurnal of Food Science, 55(2) 1-5. 11. Muyonga, J. H., Cole, C. G. B., and Duodu K. G., 2004, Extraction and physicochemical characterisation of Nile perch (Lates niloticus) skin and bone gelatin, Food Hydrocolloids, 18 (4) : 581–592. 12. Prystupa, D. A. and Donald, A. M. 1996. Infrared study of gelatin conformations in gel and sol states, Polymer Gels and Networks. 4 : 87– 110. 13. SNI 06-3735-1995. Mutu dan Cara Uji Gelatin. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. p.1-2. 14. Wiyono, V.S. 2001. Gelatin Halal Gelatin Haram. Jurnal Halal LPPOMMUI No. 36. 78 Suryati dkk / Jurnal Teknologi Kimia Unimal 4 : 2 (November 2015) 66 - 79 15. Wulandari, D. 2006. Ekstraksi Dan Karakteristik Gelatin Dari Kulit Kaki Ayam.Program Studi Ilmu Peternakan. Tesis. Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta. 79
Sumber : https://anzdoc.com/pembuatan-dan-karakterisasi-gelatin-dari-ceker-ayamdengan-p.html
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM PEMBUATAN GELATIN DENGAN CEKER AYAM www.wereview-organic614b.blogspot.com Bayu Aji Satrio, Devi Nur Indrawati, Risna Ayu Fadilah, Widia Apriliani Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Sains dan Teknologi
Abstrak Gelatin merupakan salah satu bahan yang semakin luas penggunaannya, baik untuk industri pangan ataupun industri non pangan. Industri pangan yang menggunakan bahan gelatin ini antara lain, yaitu industri permen, es krim, jelly, sedangkan industri non pangan yang menggunakan bahan gelatin antara lain industri fotografi , kertas, farmasi, kosmetik. Selama ini sumber bahan baku utama gelatin yang banyak dimanfaatkan oleh industri adalah kulit dan tulang dari sapi atau babi. Penggunaan kulit dan tulang babi sebagai bahan baku gelatin tidaklah tepat bila diterapkan di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia. Hal ini dikarenakan babi merupakan hewan yang diharamkan untuk dikonsumsi, sedangkan penggunaan gelatin dari tulang sapi juga masih dikhawatirkan karena adanya wabah penyakit yang dibawa oleh sapi antara lain penyakit anthrax dan sapi gila. Ceker ayam dapat menjadi alternatif pembuatan gelatin, disamping harganya yang terjangkau juga kandungan kalsiumnya baik. Ceker ayam sering tidak digunakan oleh perusahaan makanan. Jika dijual dalam bentuk ceker saja sudah tentu harga jualnya pun rendah , oleh karena itu kita harus meningkatkan nilai jual ceker ayam dengan menjadikannya bahan baku pembutatan gelatin. Pembuatan gelatin ceker ayam dengan metode ekstraksi menggunakan asam kuat yaitu HCL 4%. Setelah diuji secara fisik, gelatin dari ceker ayam dapat memenuhi ciri-ciri sebagai gelatin, yaitu tidak berbau, warnanya krim kecokelatan dan saat disentuh dengan tangan
basah dapat dirasakan seperti kita memegang kapsul ketika keadaan tangan kita basah. Jadi ceker ayam dapat menghasilkan gelatin dengan kualitas baik dengan metode pengasaman menggunakan HCl. Kata kunci : Gelatin , ekstraksi , ceker ayam , HCl 4%
Waktu Praktikum
t Praktikum
: 8-22 September 2014
: Pusat Laboratorium Terpadu Lt. 3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
I.
Tujuan
Memberikan solusi akan kebutuhan gelatin halal di Indonesia
Mengurangi limbah ceker ayam yang tidak terpakai
Meningkatkan nilai ekonomis dari limbah ceker ayam
Memberikan wawasan kepada masyarakat bahwa limbah ceker ayam dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan gelatin
II.
Dasar Teori Gelatin adalah suatu jenis protein yang diekstraksi dari jaringan kolagen kulit, tulang atau ligamen (jaringan ikat) hewan. Pembuatan gelatin merupakan upaya untuk mendayagunakan limbah tulang yang biasanya tidak terpakai dan dibuang di rumah pemotongan hewan. Penggunaan gelatin dalam industri pangan terutama ditujukan untuk mengatasi permasalahan yang timbul khususnya dalam penganekaragaman produk. Pada prinsipnya gelatin dapat dibuat dari bahan yang kaya akan kolagen seperti kulit dan tulang baik dari babi maupun sapi atau hewan lainnya. Gelatin sangat penting dalam rangka diversifikasi bahan makanan, karena nilai gizinya yang tinggi yaitu terutama akan tingginya kadar protein khususnya asam amino dan rendahnya kadar lemak. Gelatin kering mengandung kira-kira 84 – 86 % protein, 8 – 12 % air dan 2 – 4 % mineral. Dari 10 asam amino essensial yang dibutuhkan tubuh, gelatin mengandung 9 asam amino essensial, satu asam amino essensial yang hampir tidak terkandung dalam gelatin yaitu triptofan.
Fungsi-fungsi gelatin dalam berbagai contoh jenis produk yang biasa menggunakannya antara lain :
a.
Jenis produk pangan secara umum: berfungsi sebagai zat pengental, penggumpal, membuat produk menjadi elastis, pengemulsi, penstabil, pembentuk busa, pengikat air, pelapis tipis, pemerkaya gizi.
b.
Jenis produk daging olahan: berfungsi untuk meningkatkan daya ikat air, konsistensi dan stabilitas produk sosis, kornet, ham, dll.
c.
Jenis produk susu olahan: berfungsi untuk memperbaiki tekstur, konsistensi dan stabilitas produk dan menghindari sineresis pada yoghurt, es krim, susu asam, keju cottage, dll.
d.
Jenis produk bakery: berfungsi untuk menjaga kelembaban produk, sebagai perekat bahan pengisi pada roti-rotian, dll
e. Jenis produk minuman: berfungsi sebagai penjernih sari buah (juice), bir dan wine. f.
Jenis produk buah-buahan: berfungsi sebagai pelapis (melapisi pori-pori buah sehingga terhindar dari kekeringan dan kerusakan oleh mikroba) untuk menjaga kesegaran dan keawetan buah.
g.
Jenis produk permen dan produk sejenisnya: berfungsi untuk mengatur konsistensi produk, mengatur daya gigit dan kekerasan serta tekstur produk, mengatur kelembutan dan daya lengket di mulut. (www.indohalal.com) Ceker adalah bagian dari tubuh ayam yang berhubungan langsung dengan benda - benda kotor. Ceker ayam sendiri memiliki kandungan protein dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan kandungan lemak dan karbohidrat, masing–masing sebanyak 19,8 per 100 gram ceker. Kemudian protein yang cukup tinggi tersebut dapat memberikan zat gizi yang sangat bagus untuk dikonsumsi oleh anak-anak yang sedang mengalami proses tumbuh kembang. Selain rasanya gurih ternyata ceker ayam sangat kaya dengan kandungan omega 3 dan omega 6, masing - masing 187 mg dan 2,571 mg per 100 gram. Omega 3 dan omega 6 merupakan asam lemak tak jenuh yang sangat penting bagi kesehatan tubuh (Purwatiwidiastuti, 2011). Tulang sendiri merupakan jaringan tulang yang berbentuk padat dan kuat, dan tulang terdiri dari jaringan ikat yang mengandung sel. Tulang sendiri berfungsi sebagai pembentuk, penegak tubuh serta pelindung bagian tubuh yang lemah, tulang juga merupakan gudang kalsium yang bila perlu dapat digunakan untuk mempertahankan kadar dalam darah (Hartono,1989). Table 2.1. Komposisi Zat Gizi Per 100 Gram
III.
Zat Gizi
Jumlah
Energi (kkal)
150
Protein (g)
19
Karbohidrat (g)
0,4
Lemak (g)
8
Vitamin A (IU)
100
Asam Folat (mkg)
86
Kolin (mg)
13
Kalsium (mg)
88
Fosfor (mg)
83
Asam lemak omega 3 (mg)
187
Asam lemak omega 6 (mg)
2,571
Alat dan Bahan
-
-
ALAT : •
Pisau
•
Nampan
•
Tang Kruss
•
Pembakar Bunsen
•
Statif
•
Temometer
•
Gunting
•
Spatula
•
Erlenmeyer
•
Water Bath
•
Kaca Arloji
•
Gelas Kimia 250 ml
•
Gelas Kimia 50 ml
•
Timbangan Elektronik
•
Gelas Ukur 100 ml
•
Gelas Ukur 10 ml
•
Aluminium Foil
•
pH Meter
•
Batang Pengaduk
•
Oven
•
Blender
•
Heater
BAHAN: Ceker ayam sebanyak 15 gram HCl 4 % atau 1,3 M 100 ml Aquadest
Cara Kerja 2.2.1. Persiapan bahan baku Ceker ayam yang telah didapat, dicuci terlebih dahulu dengan air bersih, kemudian dikeringkan. Kulit dan tulang kaki ayam kemudian dipotong kecil-kecil dengan ukuran 2- 5 cm.
2.2.2 Prosedur Kerja Penelitian • Ditimbang ceker ayam seberat 15 gram. • Disiapkan HCl 4% atau 1.3 M . Dimasukkan ceker ayam dan HCl 4% ke dalam breaker gelas dengan perbandingan 1 : 6. • Ditutup dengan aluminium foil dan direndam selama 2 hari. Dengan penggantian HCl setiap hari. • Setelah 2 hari ceker ayam yang direndam HCl melunak dan disebut ossein. Ossein dicuci dengan aquadest sampe memiliki pH 5 – 6. • Dikeringkan ossein. Dapat dengan cara manual seperti dijemur dan juga dikeringkan dengan hair dryer atau dengan pengovenan. • Ditimbang massa ossein kering. • Disiapkan aquadest dengan perbandingan antara ossein dan aquadest adalah 1 : 3. • Direndam ossein dengan aquadest . Lalu, dilakukan ekstraksi dengan waterbath pada suhu 80°C selama 2.5 jam. • Disaring larutan dan diambil filtratnya. • Dilakukan evaporasi dengan memanaskannya pada heater dengan suhu 55°C. • Pada tahapan ini gelatin sudah terbentuk dan hanya memerlukan waktu untuk dikeringkan. Lalu dihancurkan, ditimbang dan dilakukan pengujian.
I.
Data Percobaan Berat Gelatin Ceker Ayam: 0,06 gram Berwarna Coklat Krim Gelatin yang kami hasilkan tidak berbau Rendemen = Berat Gelatin Berat Sample
II.
x 100 % = 0.06 x 100 % = 0.4 % 15
Pembahasan Nilai rendemen dari suatu pengolahan bahan merupakan parameter yang penting diketahui untuk dasar perhitungan analisis finansial, memperkirakan jumlah bahan baku untuk memproduksi produk dalam volume tertentu, dan mengetahui tingkat efisiensi dari suatu proses pengolahan. Dan diketahui bahwa rendemen dari tulang ceker ayam yaitu 6,38 %. Gelatin merupakan hasil transformasi dari kolagen. Semakin banyak kolagen terdapat dalam tulang maka semakin banyak gelatin yang diperoleh dari hasil transformasi tersebut. Faktor
lain yang mempengaruhi nilai rendemen gelatin adalah struktur tulang. Rendahnya nilai rendemen gelatin dari tulang kaki Ayam disebabkan struktur tulangnya berongga, didalam rogga tersebut banyak terdapat sumsum yang bukan tersusun dari kolagen sehingga memperkecil nilai rendemen yang diperoleh. Penghitungan nilai rendemen didasarkan atas perbandingan antara berat hasil yang diharapkan dengan berat bahan baku yang diolah. Nilai rendemen dari setiap tulang yang berbeda disebabkan oleh perlakuan dalam proses pengolahannya yang tidak sama terutama dalam perlakuan konsentrasi asam yang digunakan dalam perendaman dan suhu serta waktu pemanasan pada proses ekstraksi. Menurut Poppe (1992), pemecahan triple helik akan semakin besar jika laju hidrolisis semakin cepat, sehingga proses transformasi kolagen menjadi gelatin akan semakin banyak. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Edi (1998) yaitu rendemen gelatin semakin meningkat sejalan dengan penurunan pH yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi ion H yang akan mempercepat laju hidrolisis. Proses pemanasan umumnya dilakukan diatas suhu susut kolagen yaitu lebih tinggi dari suhu 60o – 70o C. Jika suhu ekstraksi dilakukan diatas suhu tersebut, serabut triple heliks yang dipecah menjadi lebih panjang sehingga kolagen diubah menjadi gelatin. Suhu dan lama ekstraksi yang kami gunakan pada praktikum ini yaitu 80 o C selama 2,5 jam. Kadar air suatu bahan sangat berpengaruh terhadap mutu atau kualitasnya. Air yang terkandung dalam bahan dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, cita rasa, dan masa simpannya. Kadar Air gelatin dari tulang ceker ayam yaitu sekitar 11 %. Nilai kadar air tersebut masih berada dalam kisaran kadar air yang diperkenankan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 3735 tahun 1995 untuk produk gelatin yaitu maksimum 16. Dengan demikian kadar air gelatin hasil penelitian ini memenuhi standar Nasional Indonesia. Pada percobaan ini pengeringan dilakukan dalam oven selama 2 hari. Kadar abu suatu bahan menunjukkan kuantitas keberadaan mineral dalam bahan tersebut. Umumnya mineral yang terdapat dalam gelatin yang diekstraksi dari tulang terdiri dari kalsium, natrium, klor, fosfor, magnesium, dan belerang. Kadar abu gelatin dari tulang ceker ayam yaitu sekitar 2,25 %. Menurut Standar Nasional Indonesia (1995), nilai kadar abu gelatin yang diperoleh dari penelitian ini memenuhi standar mutu yang diharapkan. Standar Nasional Indonesia mensyaratkan untuk kadar abu gelatin maksimum 3,25% Penghilangan mineral dari tulang dalam proses ektraksi gelatin terjadi pada saat demineralisasi. Besar kecilnya kadar abu gelatin sangat ditentukan pada saat demineralisasi. Demineralisasi yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan dengan perendaman dalam
larutan HCl 5% selama 48 jam. Selama perendaman dalam larutan asam terjadi reaksi antara asam klorida dengan kalsium phosphat yaitu komponen senyawa pembentuk struktur tulang. Hasil reaksi antara keduanya menghasilkan garam kalsium yang larut sehingga tulang menjadi lunak. Persamaan reaksi dapat digambarkan sebagai berikut : Ca3(PO4)2 + 6 HCl 3 CaCl2 + 2 H3PO4 Dengan demikian semakin banyak kalsium yang luruh maka kadar abu gelatin yang diperoleh semakin rendah. Nilai pH gelatin dalam percobaan ini dipengaruhi oleh jenis tulang yang diekstraksi. PH yang didapatkan dari gelatin pada percobaan kali ini yaitu 6. nilai pH gelatin dari tulang kaki Ayam ini dapat disebabkan pada saat terjadi pengembangan kolagen waktu perendaman, banyak sisa HCl yang tidak bereaksi terserap dalam kolagen yang mengembang dan terperangkap dalam jaringan fibril kolagen sehingga sulit dinetralkan pada saat pencucian yang akhirnya ikut terhidrolisis pada proses ekstraksi dan mempengaruhi tingkat keasaman gelatin yang dihasilkan (Yustika, 2000).
III.
Kesimpulan Gelatin merupakan salah satu bahan penting dalam industri makanan dan obat-obatan Limbah Ceker ayam dapat digunakan untuk membuat gelatin Gelatin dapat dibuat dengan cara pengasaman Gelatin dapat diuji dengan cara fisika dan kimia Gelatin yang kami hasilkan memenuhi syarat untuk standar gelatin yang baik
IV.
Daftar Pustaka -
-
-
-
-
Aviana, T. 2002. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendaman serta Metode Pengeringan terhadap Sifat Fisik, Kimia, dan Fungsional Gelatin dari Kulit dan Tulang Cucut. Skripsi. Fakultas Teknik Pertanian – IPB, Bogor. Baily, A.J; and N.D. Light. 1989. Genes, Biosynthesis and Degradation of Collagenin Connetive tissue in Meat and Meat Products. Elsevier Applied Science. London and Newyork. Grobben, A.H.; P.J. Steele; R.A. Somerville; and D.M. Taylor. 2004. Inactivation of The Bovine-Spongiform-Encephalopathy (BSE) Agent by The Acid and Alkali Processes Used The Manufacture of Bone Gelatin. Biotechnology and Applied Biochemistry, 39: 329 – 338. Junianto, Haetami K, Maulina I. 2006. Produksi Gelatin Dari Tulang Ikan Dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Cangkang Kapsul. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Padjajaran.Bandung SNI 06-3735. 1995. Mutu dan Cara Uji Gelatin. Dewan Standarisasi Nasional.Jakarta
Lampiran
tulang ayam sebelum dan sesudah dibersihkan
tulang ayam yang telah direbus dan dihancurkan. sedang ditimbang.
Ekstraksi ossein menggunakan heater dengan suhu 80 derajat celcius
hasil percobaan gelatin dari ceker ayam.
Sumber : http://wereview-organic614b.blogspot.com/2014/09/laporan-akhir-praktikumpembuatan.html