Ramadhan Terakhir Bersama Emak.docx

  • Uploaded by: Ramadanti Prativi
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ramadhan Terakhir Bersama Emak.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,446
  • Pages: 6
Ramadhan Terakhir bersama Emak “Cinta ibu memang luar biasa, namun cinta seorang ibu dari ibu juga tak kalah luar biasanya” Kerinduan, rasa itu yang selalu bersemayam dalam hati saat bulan Sya’ban dalam kalender Islam segera berakhir. Ya, itu artinya bulan Ramadhan akan segera tiba. Semua umat Islam pastilah bersemangat menyongsong Ramadhan. Sebenarnya, aku juga bersemangat menyambutnya, namun entah mengapa ada rasa nyeri yang menyelinap dalam qolbu. “hhhh…..” aku menghela napas sembari meletakkan kembali kalender ke atas meja belajarku. Sayup sayup kudengar adzan isya berkumandang. Segera ku mengambil air wudhu dan melaksanakan solat isya dan solat tarawih berjamaah di masjid dekat rumah. “Bu, hari ini ibu nggak solat tarawih?” tanyaku pada ibu yang masih belum beranjak dari tempatnya duduk sembari asyik melipat baju. “enggak dik, ibu lagi halangan” jawab ibuku, menatapku sambil tersenyum. “oh ya sudah bu, Ratna ke masjid dulu ya” pamitku pada ibu sambil beringsut mendekat untuk mencium tangan ibu dan bergegas menuju masjid. Sepanjang jalan, berbondong-bondong orang beriringan menuju masjid, rumah Allah. Anakanak, muda-mudi, dan orang tua yang beragama muslim seakan bergairah menyambut bulan yang penuh ampunan tersebut. “bruk” tiba tiba saja ada seorang bocah menabrakku dari belakang. “eh Mila, hati hati to nduk, nabrak mbak Ratna kan” seru Mbah Suginem tetanggaku, nenek bocah tersebut. “eh iya, nggak apa apa kan dik? lain kali hati hati ya” kataku pada Mila, cucu Mbah Suginem. “Mila, minta maaf dulu ayo sama mbak Ratna!” perintah Mbah Suginem sambil memandang cucunya tersebut yang dipandang hanya tertunduk, tak berani menatap balik. “Mbak Ratna, maaf ya?” katanya lirih sambil malu-malu mengulurkan tangannya padaku.

“iya gapapa Mila” jawabku sambil mengambil uluran tangan Mila, berjabat tangan, tanda saling memaafkan. “Yaudah, ayo Mbak Ratna, jalan lagi nanti keburu ketinggalan solatnya!” ajak Mbah Suginem. “Oh iya Mbah,mari” jawabku “Sini, Mila Mbah gandeng aja, nanti lari-larian lagi” kata beliau lantas menggandeng tangan bocah berumur 5 tahun tersebut. “Mbah, nanti kita dapat saf depan nggak ya Mbah? Mila kan tadi lari-lari karena pingin dapet saf depan” kata Mila polos “InsyaAllah ndhuk, tapi kalau ke masjid jangan lari-larian juga, nanti Mila jatuh kalau larilarian” jawab Mbah Suginem. “Emang Mila kenapa mau di saf depan?” tanyaku “Mila pingin dapat unta besok di surga, kata Mbah, kalau kita solat di saf depan, besok di surga kita bakal dapet unta, iya kan Mbah?” jawab Mila polos sembari menatap mbahnya, meminta persetujuan. “Iya”kata Mbah Suginem sambil memandang cucunya dan tersenyum. Melihat Mila dan Mbah Suginem, aku seketika teringat dengan mendiang emakku. Emak, ibu dari ibuku. Sama seperti Mila, aku dulu juga sangat bersemangat menuju masjid digandeng emak. Sama seperti Mbah Suginem, emakku juga sering memberi tahuku bahwa kalau kita solat di saf depan, besok di surga kita akan dapat unta. Namun, sekarang aku ke masjid sendirian saja. Sebenarnya, aku bukan satu-satunya cucu emak. Aku dua bersaudara. Aku punya satu mbak, namanya Rengganis, namun aku biasa menyebutnya Mbak Ganis. Namun, kini Mbak Ganis sedang kuliah di Bandung dan belum bisa pulang kampung. Malam berubah menjadi dini hari. Itu artinya saatnya untuk sahur. Kebiasaan burukku, aku dari kecil sangat susah untuk bangun sahur. Dulu emak yang sering dengan telaten membangunkanku sahur karena ibu sibuk menyiapkan santap sahur. Namun, sekarang aku harus sadar diri untuk bisa bangun sahur sendiri, karena selain kini sudah tidak ada lagi emak, aku juga

sudah besar, sudah 19 tahun, dan tahun ini masa-masa awal aku menjadi seorang mahasiswa di salah satu universitas negeri ternama di kotaku. Aku mensiasatinya dengan memasang alarm dengan volume paling keras. Walau begitu, kadang jika aku sangat bandel, alarm sekeras itu pun juga tak berhasil membangunkanku. Jika sudah begitu, biasanya Bapak yang akan marah-marah dan membangunkanku dengan kuliah subuhnya “anak wadon, alarm sekenceng kuwi kok gak tangi! (anak cewek, alarm sekeras itu juga gak bangun)” kalau sudah begitu, biasanya aku hanya bisa diam dan menyesali diri sendiri yang entah kenapa sangat suka tidur. Kembali ke emak, aku sangat menyayangi emak. Aku sangat dekat dengan emak. Dulu saat kecil aku suka sekali diajak emak mengaji dan sembayang di masjid. Terkadang emak juga sembayang di dalam kamarnya, biasanya saat emak sedang tidak enak badan. Saat emak sembayang di kamarnya itulah aku suka sekali mengamati emak. Meniru gaya emak dalam solat dan duduk tasyahud akhir. Dulu, aku heran kenapa jari emak harus menjulur saat duduk tasyahud akhir. Hanya satu jari pula dan itu jari telunjuk kanan. Namun, lambat laun aku mengerti bahwa itulah cara solat yang dicontohkan rasul. Emakku, Mak Yati, meninggal saat aku kelas 2 SMA. Waktu itu yang sangat kusesali, aku tak ada di sisi emak di saat terakhirnya. Emak meninggal di bulan Ramadhan. Saat SMA, aku memang sengaja memilih sekolah di luar daerahku. Aku memilih sekolah di kota pelajar. Alasannya karena aku ingin belajar merantau sekaligus belajar menyesuaikan diri di kota gudeg. Memang, saat itu aku ingin sekali kuliah di sana. Lebih tepatnya di universitas yang sering orang-orang bilang, universitas dengan almamater karung goni. Namun, semuanya berubah setelah kejadian itu. Kejadian sebelum emak benar-benar pergi untuk selamanya. Saat itu hari ke-15 Ramadhan, kebetulan juga hari itu hari Minggu. Aku kebetulan sedang pulang kampung. Selain untuk merasakan puasa di rumah, aku juga ingin menjenguk emak yang sedang sakit. Saat itu hari sudah gelap. Aku sengaja tidur dengan emak untuk menjaganya dan untuk melepas kangen dengan emak karena besok aku sudah harus balik ke Jogja naik prameks jam lima pagi. “Ndhuk, mbok emak dikacani luwih suwi meneh to, emak isih kangen (Ndhuk, emak ditemenin lebih lama lagi dong, emak masih kangen)” kata emak sambil membelai rambut panjangku. “Tapi Ratna besok harus sekolah Mak, kalau bolos mengkeh didukani bapak (kalau bolos nanti dimarahi bapak)” jawabku

“La, neg emak ra ketemu Ratna meleh pripun? emak meh lunga adoh lo cah ayu (la, kalau emak nggak ketemu Mbak Ratna lagi gimana? Emak mau pergi jauh lo anak cantik)” kata emak Sesaat aku kaget mendengar emak berbicara seperti itu. “Emak,mboten pareng ngendika ngoten (emak nggak boleh bilang begitu), Ratna kan sebentar lagi libur Mak” jawabku. “Yowis, sekolah sing pinter yo Ndhuk, dadi bocah sing pinter lan solihah, sing sukses dunya lan akhirate (yasudah, sekolah yang pinter ya Ndhuk, jadi anak yang pintar dan solihah, sukses dunia dan akhirat)” kata emak. “Nggih mak (iya mak)” jawabku Saat itu aku tak pernah menyangka bahwa malam itu adalah malam terakhirku bersama emak. Bahwa emak memang akan pergi jauh. Paginya,saat aku berpamitan dengan emak pun, aku masih merasa bahwa aku akan bertemu emak kembali. Bahwa saat aku pulang minggu depan, emak sudah sehat. Namun, aku keliru. Hari itu, selang sehari aku di Jogja, bapak meneleponku saat jam istirahat. “Halo assalamualaikum pak” “Haaa…, emak pun mboten wonten? (emak sudah nggak ada?) innalilahi wa innailaihiraji’un” “Nggih Pak, Ratna wangsul sakniki (ya Pak, Ratna pulang sekarang)” Kabar itu sangat menohok hatiku. Aku bergegas pulang ke Surakarta menaiki bis jurusan JogjaSolo. Sepanjang perjalanan pulang aku terus menerus menangis dan menyesal. Mengapa aku tak menuruti permintaan terakhir emak? Mengapa aku tak nekat bolos saja untuk menemani emak? Tapi, semua itu sudah takdir yang diatas. Aku hanya hambaNya yang memang tak tahu apa-apa. Semenjak kejadian itu, keinginanku untuk kuliah di Jogja tak lagi sekuat dulu. Aku tak mau menyesal lagi untuk yang kedua kalinya. Aku ingin berada di dekat kedua orang tuaku selagi aku mampu. Selagi aku belum menjadi istri orang lain, aku ingin berbakti lebih banyak kepada orang tuaku. Aku tak ingin lagi kehilangan momen Ramadhan di rumah bersama keluarga meski emak sudah tak ada lagi di sisiku. Kini setiap memasuki bulan Ramadhan, nyeri itu masih ada. Rasa

rindu itu masih ada. Emak, dirimu kini sudah bahagia di surga ya Mak, sudah tidak merasakan sakit lagi. Emak juga pasti tahu kalau aku selalu menyayangi emak dan merindukan emak. Ramadhan ini, meski sudah tidak bersama emak, namun aku masih bisa merasakan kehadiran emak, di jalan menuju masjid, saat aku hendak memejamkan mata, dan saat aku bangun untuk sahur yang pasti emak tetap akan terus ada di hatiku untuk selamanya. Ratna sayang emak, selalu.

Biodata Penulis

Ramadanti Prativi merupakan gadis kelahiran Magelang, 21 Januari 1998. Dia adalah bungsu dari enam bersaudara. Menulis telah menjadi kegiatan yang akrab dan mulai disukainya sejak dia duduk di bangku kelas dua sekolah dasar. Gadis yang akrab disapa Anti ini telah menjuarai beberapa lomba menulis saat duduk di bangku sekolah menengah atas, diantaranya juara 2 lomba menulis essay tingkat Kota Magelang tahun 2014, juara 1 lomba menulis essay tingkat Kota Magelang tahun 2015, dan juara 1 lomba menulis essay tingkat Kota Magelang tahun 2016. Saat ini, putri dari pasangan suami istri Simbardjo dan Indriyati ini berkuliah di Universitas Sebelas Maret Surakarta jurusan Pendidikan Biologi. Penulis bisa dihubungi melalui nomor telepon 081519168551, email [email protected] atau sosial media facebook Ramadanti Prativi dan instagram Ramadanti_prativi. Tulisan dengan judul “Ramadhan Terakhir bersama Emak” penulis dedikasikan untuk nenek penulis, almarhumah Ibu Diyati.

Related Documents


More Documents from "parkchick"