Puisi Joko Prast

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Puisi Joko Prast as PDF for free.

More details

  • Words: 5,142
  • Pages: 77
Abimanyu : Roroireng

Seribu bunga sepanjang jalan yang kau lintas Saat senja yang basah sisa gerimis Sore tadi. Mengantar iringan langkah kuda Seorang satria dengan panah dan busur membujur Seribu bunga ditebar seorang pengantar Basah oleh sisa tangis sesore itu. Berat Melepas penghias selendangnya dahulu “Ibu, restumu temaniku di padang kurusetra” Kala subuh basah embun dingin angin Terdengar kabar satria telah pulang Seribu panah melintang menembus Tubuh halusnya Basah darah menggenang Diantar tangis seorang ibu Karangmalang, 23 Juni 2003

Adzan Ketika kutatap dua menara menjulang Mengantar alun panggilan Tuhan Seketika terendap debu-debu pada mata Ketika kudengar lagi derap, riuh, gemuruh Di lorong-lorong, pinggiran jalan Menjelma gumpal menyumpal telinga Mencipta kabut menutup mata Tiada terdengar lagi suara langit Hanya lirih rintih penyesalan Tak terlihat cahaya suci Hanya remang sisa nista

Dan seutas cemas kala temaram Hari berganti malam Terdengar suara panggilan Sebagai satu kerlap Penembus gelap Mujahidin, 24 Juni 2003

Adzan Maghrib Rembang mengambang. Suara sumbang. Ada kupu-kupu Mencari inap di antara daun-daun Lemas. Sehabis panas. Gending-gending menjelang remang Menyusup-nyusup daun Aku tak dapat melangkahi menepi pagi Kau mengantarkan mata untuk memandangi langit yang menetaskan Kelip-kelip cahaya saat biru dikubur hitam Ada suara sayup menyusup katup telinga Begitu hafal dengan irama, lafal, berikut vokalnya Kau hanya mengantar Tak sampai menyampaikan pada makrifat yang kau dioramakan Pada sebuah pergantian rona langit Pada rembang yang mengambang Aku hanya mendengar lafal-lafal Sementara hingar bingar, hiruk pikuk Dunia masih berkecamuk tak karuan Kita hanya mendengar Tak pernah menyimak Karangmalang, 29 Februari 2004, 17.30’.07”

Aku: Batu dan Bisu Sebutir batu tergelincir di hilir suatu kali Kecemplung terseret arus deras Terantuk-antuk melayang tenggelam Terus mengalir terkubur pasir Sebutir batu yang kau bawa dari hulu sehabis Hujan gerimis Masih membatu belum terkikis Terpendam dalam pasir. Dan hampir-hampir terbenam Terbenam……… Ada kata yang tak sempat menembus Mengantuk arus yang menghunus Menyayat-nyayat Tak sempat air mata terciprat Larut pada air kali yang tak bening lagi Hanya membisu. Menjadi saksi kebekuanku Dan keacuhanmu menyusuri kalimu Karena aku batu…….. Karangmalang, 260204, 22.10’.44”

Aku Ingin Hari Segera Pagi Aku ingin hari segera pagi Mendengar lagi kicau-kicau paksi Melihat lagi tetes embun bak pelangi Dari daun-daun padi Di sawah yang terhampar bersemi Aku ingin hari segera pagi Menyahut salam sang mentari Bersama pak tani Memanggul pacul di tangan kiri Dan sarapan pagi bersama istri Aku ingin hari segera pagi Menyingkap malam yang sepi Berganti siulan sejukkan hati Menggulung gelap yang menyayat sanubari Dengan cahya surya hangatkan bumi Aku ingin hari segera pagi Menyaksikan bocah-bocah berlari-lari Di tepi jalan sambil bernyanyi Memakai tas dan topi Menjadi penghias harapan negeri Aku ingin hari segera pagi Mengusir bayangan yang menari Sepanjang malam ini Yang tlah pergi tak kembali Sampai hari benar-benar pagi Karangmalang, 2 Mei 2003

Aku, Kau, dan Rembulan Sampai hafal aku akan adamu Kau terus berjumbul-jumbul di keremangan jalanku Setapak tak berlampu Aku yang buta oleh silauan pancarmu Masih mendengar sesahutan burung hantu, gagak, katak, dan belalang Menjelang malam. Begitu jumbuh Aku tak mengharapkan subuh tiba Yang membukakan kembali mataku Melihat kembali kemunculan matahari Karena aku telah buta Hanya saja aku hafal akan adamu Bersanding dengan rembulan tepat di atas jalanku Yang keremangan Di persimpangan, aku hanya menatap Iri pada bulan yang menyandingmu, cahaya! Kau dan rembulan menyiluetkan aku Tetapi adamu, menjadikan aku menari-nari Dengan alunan angin Menjadi sebuah diorama tentang kerinduaku Untuk bermandikanmu Sampai aku hafal akan adamu, Cahaya Bersama rembulan Sampai aku buta di remang malam Sampai subuh menjemputku Ketika tubuhku berpeluh embun Karangmalang, 27 Februari 2004, 22.28.42

Awal dan Akhir

Jika kau berkata perpisahan adalah pedih Maka pertemuan itu sebuah sembilu Kalau kau yakin akhir itu hanyalah pepasir Maka awal adalah air 2002

Belenggu Seperti merpati mengitari mentari Di atas petak-petak hijau tembakau Di antara rerindang pohon yang ditumbang Tiang pembentang benang Tempat mengalir isi televisi, lampu, seterika Si Kembar Sindoro-Sumbing sempat menyungging Senyum basabasi Tapi, bukan bebas, kawan Toh, kembali juga dalam sarang Atau semacam keranjang Matahari telah nyemplung balik bukit Menyipratkan gurat jingga Namun tangan itu belum jemu juga Menyingkap sayap Memutar keranjang O…. merpati terbang Orang-orang berang Senyum si kembar masih membentang Temanggung, 9 Juni 2003

Bisu Tatkala sukma tertimpa daun talas Bergetar Mendesak dan meledak Alirkan sungai sejuta kata Mencari muara Muara samudra temukan makna Tapi sejuta terbendung batu Lalu sembunyi balik matahari Surya bertahta bawah jendela Jendela terbungkus bola Bola membentang benang Benang tersangkut kabut Putus 6 Mei 2002

Bocah Kecil dengan Segenggam Kerikil Di antara reruntuh tubuh-tubuh itu Di sela-sela puing-puing sekedar peneduh Seorang bocah kecil menatap sarat ratap : hanya sebatang kara kini ia Elang-elang lintaskan batang-batang rudal melantak, Moncong-moncong tank memuntah, Capung-capung raksasa liar menghujankan bisa kematian Segalanya tajam terekam Sedang hanya butir-butir kerikil tergenggam Dilemparnya lurus menembus masa depan yang terkikis Dimaunya damai lekas digapai Ditatapnya derai-derai dari mata ibunda Mengalir berbutir-butir bening sebening nuraninya Dan darah yang telah membasuh Tanah-tanah tandus itu Bersama peluh Hanyutkan pengharapan, angan, dan masa depan Di antara reruntuh serta puing-puing cita dan cinta Bocah kecil itu menggenggam sebutir kerikil luka Dan akan terus tergenggam Sampai segalanya tenggelam Yogyakarta, April 2003

Bulan Sabit Akhir Bulan Kau pejamkan mata Kala langkahku bungkam menjelang buram malam Kakiku kram dalam kelam Kau terjemahkan kegelapan Dalam keterhentianku, dalam kekakuanku Mungkin kau tertawa Lewat senja yang menyipratkan sandikala Seperti mengejek kepergian matahari (bukan ucapan selamat malam) kau pun bertepuk tangan menyipratkan bintang-bintang malam bersama cericit binatang malam mengucapkan selamat bobok padaku yang kini mabok “Tidurlah sayang, kau boleh mimpikan aku Tapi jangan lupa esok kau cari Tukang pijat pengobat kakimu.” “Bangsat!” aku mengumpat. Rupanya kau tahu Dalam suntuk aku belum mengantuk (masih mengutuk) Dalam kepincanganku kutembus malam Seraya menyambut bulan sabit di akhir bulan Karangmalang, 26 Februari 2004

Bunga Kini saatnya merangkai kembali Kelopak-kelopak bunga yang berjatuhan Mahkota-mahkota yang berguguran Agar bisa kita persembahkan Sebagai salam perpisahan Perpus SMP 8, 270804, 09.42’

Bunga (II) Tak kan pernah terkatakan Bahkan kepada bunga yang telah luruh Jatuh, setelah kita pakai sebagai Pengucap kata pisah, kemarin dulu Bahwa aku masih merindukanmu Perpus SMP 8, 270804, 10.52’

Bunga (III) Mungkin tak akan sempat lagi Kita mengikat seikat bunga Sebagai tanda kita pernah terikat Kalau harus meniti kembali Dimana tempat kita terjatuh Tempo hari Perpus SMP 8, 280804, 09.16’

Bunga (IV) Gerimis yang turun kemarin, Adalah bunga-bunga yang tumbuh Jumbuh. Sebagai perwakilan kata pisah Yang tak terucap lidah Di sela titik-titik gerimis yang mengucur Ada sesuatu yang bertutur, mengalir Lewat celah-celah mata. Basah Hanya angin yang tahu Hanya awan yang paham Bahwa gerimis dari langit Dan dari mata Adalah seikat bunga (Sebagai tanda perpisahan) Halaman C.13 FBS, 310804, 14.11’

Buta

Ingin kubaca kata-kata yang tertata di kaca jendela Mengeja ujaran-ujaran yang mengalir Lewat pancaran cahaya Sebab laci bicara terkunci dalam diam Dari luar, hanya sunyi menjamah rumah itu Mulut pintu terkatup bisu Ya, hanya cahaya yang membawa kata-kata dan ujaran-ujaran Tapi tak sampai pada mata Yang buta Karangmalang, 24 September 2003

Cermin Sunyi

Sunyi dibalik kaca Tak kutemui wajahku Kala bercermin Dan mengapa wajah memudar Pada air kolam Yang kejatuhan kerikil Bekas lempar Hanya gelombang Lalu sunyi lagi Karangmalang, September 2003

Damai yang Ditulis dengan Darah Tanah tandus itu telah tergores darah Tanah kerontang dan gersang itu terbanjirkan darah Sungai-sungai kering itu bermataairkan darah Dan mengalirkan airmata yang telah mengering Hanyakah dengan darah Hendak tumbangkan sebatang tonggak? Tetapi rumah-rumah kami yang luluh lantak Dan tubuh-tubuh kami yang berguguran Menyusul asa, masa depan, dan harapan Yang berpuing-puing berserak Cumakah kau tumpahkan darah kami Mengganti sumur-sumur yang tlah kau kuras? Atau memang hatimu yang mengeras Sedang airmata kami tiada dapat Membasuhnya…… Karena pintu itu kian terkatup Airmata dan darah telah tertumpah Semoga kan membasuh luka-luka kami Dan marah itu tenggelam dalam darah Pun tuliskan dan lukiskan sekedar damai Ketika penerus jaman kan sampai Yogyakarta, April 2003

Desah Bocah Kecil di Perak Purnama

Ada desah dari dada bocah kecil Yang berenang-renang Pada aliran perak purnama Suatu malam Mengaisi puisi yang tercecer di emper-emper langit Ada desah dari dada bocah kecil Saat tersangkut pada awan malam Saat gagal menggapai puisi Yang tergantung pada bintang-bintang malam Ada desah di dada bocah kecil Terhempas ditabrak gagak disambar kelelawar Dari himpitan awan Dari celah cahaya perak purnama Ada desah di dada bocah kecil Tertegun di bumi Ditemani embun Disaksikan awan Diterangi bulan Menatap puisi yang masih menggantung Pada bintang-bintang malam Karangmalang, 17 September 2003

Di Akhir Penghujan : Liy

Sisa luka yang terciprat senja Dan angin lembah Yang mulai merayap dari atap-atap Sindoro. Seraut paras yang menggoresnya Belum seluruh hapus pada pupus-pupus Pengharapan. Masih menuntun Tangan mencetak sajak pada kertas Yang basah oleh gerimis bulan desember Alun seruling mendayu Meluruh rayu Yang berbisik dan mengusik kekosongan Terdengar cicit seekor pipit Kala sisa penghujan bulan mei belum reda Saat semburat merah matahari belum terlihat Mengajak kubersajak Menawarkan penawar Karangmalang, 22 Juni 2003

Di Akhir Penghujan (II)

Ketika kau panjat pahatan batu-batu itu Mungkin tak kau baca pahatan dalam dadaku Karena barangkali sudah membatu Oh ya aku lupa memasang stupa Kukira (kalau tak yakin) mungkin belum sampai puncak Dan ketika hujan bulan mei (sebagai sisa sebuah musim) Mengguyur menjelang kumandang adzan sore itu Tiada melunturkan sebuah pahatan yang kian membatu Sejak setahun lalu Borobudur-Jogja, Mei 2004-05-13

Di Sebuah Terminal

Di bawah terik membakar Aku duduk dalam kotak yang kan mengantar Badan yang hendak mengejar Sekedar beberapa lembar saja Kudengar derap-derap kaki Yang kukira juga sedang mengejar Entah apa……….. Mengiring alunan biola dan gitar Berdendang biar dapat uluran Botol-botol, kotak, dan bungkus-bungkus tertata Turut ditawar Ayo melaju! Jangan hanya menderu! Aku sudah sangat rindu! Jombor, 17 Mei 2003

Di Sebuah Terminal (II) Ini bukan terminal pelarian. Pemberhentian Dari kemelut yang mengkabut dan menyulut Keputusasaan. Ini hanyalah perantara, tempat mengumpulkan Harapan yang berkeping-keping Seperti para pengamen dari bis ke bis Mengumpulkan tali hidup sekeping-sekeping Tak kan kuhentikan laju jalan ini Di tengah perjalanan Maka kutunggu kau di terminal Di titik final Meski semua bakal menjadi fatal Jombor-Muntilan, Agustus 2004

Fathul Makkah

Masih terngiang denting-denting pedang Menyimbah darah badar dan uhud Dan tombak yang melonjak pada lambung Singa Lalu jantung terkunyah perempuan Masih mendesir saat terusir Rumah dan tanah lahir Tersingkir Hanya daun-daun penggiring lapar Gaung sumpah serapah, maki, Lemparan batu-batu Sampai kotoran unta serta ludah Kini.......... Dengan seratus ribu pasukan Tanpa tombak, panah, juga pedang Kembali Mereka tak bernyali Dan dari lisannya yang mulia Bertitah sepatah “Kalian bebas sudah!” Karangmalang, 2 juli 2003

Hujan di Candi Tua : Ipunk Hujan yang turun di surut sore itu Melarutkan tawa yang baru saja terbawa Selepas menuruni tangga-tangga candi tua Hujan yang mengamuk-amuk itu menyuntukkan Mabukmu pada sebuah pertemuan. Menumbuk bangunan Kepercayaan (antara kau dan dia) yang telah mencandi Seperti yang baru saja kita tinggalkan Sesaat pun menjadi gelap. Tanpa kegentaran Kau picu larimu sekencang titik air dari langit Membentur kita Di sana candi tua itu masih membatu Membisu. Menyaksikan keberangkatanmu Mengukuhkan bangunan candi kepercayaan yang tinggal Memasang stupa dengan sebuah pertemuan Borobudur-Jogja, Mei 2004

Hujan Melarang Kita : Ocha

Hujan melarang kita Melanjutkan langkah Menuju dunia yang disarati Urat-urat menegang, aksara-aksara Seperti benang kusut, dan lain sebagainya Setelah sejenak kita mengasingkannya Hujan melarang kita Meratapi perpisahan Dari sesenja perjumpaan sederhana Pada pertengah perjalanan Pada pertengah dua dimensi yang kadang sulit berkolaborasi Pertengah dua waktu perhubungan vertikal (Dan ada makna dari pengalaman pertundaan itu, Selama hujan belum reda -dari langit dan dari pikiran-pikiran serta hati yang mendungselama perbincangan semalam ini) Karangmalang, 3 November 2003

Hujan Melarang Kita (II) : (Ulang Tahun Ocha) Hujan yang merintik melarutkan Tanda titik yang belum kita petik Kita sama-sama melirik pada langit Yang menyembunyikan purnama Dan membiarkannya membasuh wajah Menyendatkan airmata dan tawa Kemudian hujan yang mengguyur Mengusir kita saat merenungi masa yang kian uzur Kita berlari mencari teduh Menunda pesta yang belum sampai paruh Kita tetap akan melanjutkannya Sampai ucapan selamat terlontar Kepada alamat yang benar (Meski hujan melarang kita) Rektorat, Juni 2004

I Love You

Kepada kamu, Kepada Bapak dan Ibu, Bahkan kepada Tuhanku, - bibirku kelu mengucap “I Love You” Sengguh Cage, 20 Agustus 2004

Ibu, Aku Lupa Cara Menangis

Ibu, di sini hanya kulihat pasir Ada titik berkilauan seperti intan Ibu, lihatlah…. Ia seperti mataku Hanya mengembalikan deburan ombak Kepada luapan laut kesedihan Ibu, ia seperti mataku Kering Maka ajari aku cara menangis Parangkusumo, 19 Juni 2004

Jangan Kau Paksa

Jangan kau paksa aku memaksa Menutup lembaran-lembaran yang kadung Kukidungkan Walau telah lusuh bersimbah peluh Yang luruh setetes-setetes menggenangi Kelelahan atas penantian yang tak berbatas Jangan kau paksa aku memaksa Menutup lembaran-lembaran yang terlanjur Kupuisikan. Menjadikan diorama yang menzigmakan Air mata atas penantian yang tak berbatas Ia akan terus terbuka Terus terbuka Sampai datang angin halus menutupnya Dan menggantinya dengan lembaran baru Berlembar-lembar Berlembar-lembar Sengguh Cage, 17 Agustus 2004

Kala Badai : Roroireng

Seekor merpati putih Menabur bulu-bulunya hingga tertatih Arungi belantara berujung pasir Putih Badai kencang menerpa kencang menerjang Sayapnya patah sebelah Jatuh lelah di lautan merah Memar dunia terlihat samar Sepi sekitar tiada tanda hayati Hanya hamparan biru tanpa tepi Menangis merpati dalam gerimis Lalu datang angin mengantar Entah kemana….. Yogyakarta, 2002

Kala Kapal Berlayar

Jika sebuah kapal telah berlayar Dalam samuderamu Tentu kan kau cari sebuah pelabuhan Tambatan. Menuju pulau penuh ranau Kenapa kau berhenti kala prahara menerpa? Padahal esok mentari kan menari Mengapa kau biarkan setitik lobang Jadikan karam dan kandas? Padahal nyiur telah menanti dan melambai Di pinggir pantai? 2002

Karena Kau Terlambat : DSA

Ada hambat membuat kau terlambat Kedatanganmu dinanti-nanti dengan hati yang berganti-ganti Antara gelisah, tanda tanya, cemas yang meremas-remas Gelas kehampaan atas ketiadaanmu Tahukah….. Seseorang disana kau paksa berimprovisasi Mengembalikan basi yang telah berkali-kali diceritakan Ada hambat membuat kau terlambat Membuat kami menambatkan kerinduan Akan pertemuan dan perbincangan Bahkan mungkin perdebatan Tak usah kau sambat keterlambatanmu Angin pun masih tersenyum menyambutmu Toh kaupun datang juga Meski titik usai hampir tercapai (dan perbincangan pun dimulai) C. 08. 101, 120504, 10.20’.15”

Kepada Yang Masih Tinggal

Ada yang belum hilang juga Walau kemarau telah menghalau Semua sisa percik hujan di kaca jendela Di sana aku masih melihat tempias Yang membiaskan siluet tubuhmu Di sana aku masih mendengar gemericik Gerimis dari sela-sela dua matamu Tidak! Tidak akan aku hapus Sampai hujan turun kembali Membanjiri kemarau yang lama merantau Di pulau-pulau hati kita Yogyakarta, Juni 2004

Keputusanmu : Ri

Tiada kusangka sebilah luka Bagai garis mengiris menggores Oleh sembilu meliku kalbu Senyummu itu Mungkinkah kau tahu? Temanggung, 27 Desember 2002

Kering

Aku ini selembar daun kering Terhempas dari dahannya Oleh hembusan sang angin. Melayang…. Buta arah hampa tujuan Harimau siang mencakar tulang-temulang Dengan kuku-kuku berdebu Raja gelap menusuk-nusuk sumsum Dengan jarum salju nan beku Kurindu setitik embun Mengisi segenap pori-pori Kudamba akan kesuburan Yang mampu mengembalikan Hijauku yang lama menghilang Yogyakarta, 2002

Kidung Rindu (I)

Ada sebuah seruling mendayu Jiwa bernada pilu bertalu Engkau berdiri di sana Nampak seukir senyum tersungging syahdu Gagap hanya aku tanpa daya Pusara masih terpatri kokoh Engkau masih senyum tawa Negeri inderaku melayang lewat jendela Imaji tutup jendela buka maya 18 September 2002

Kidung Rindu (II)

Ratap setiap hampa serebrum Obelisk terjelma dalam sukma Rindu itu bagai salju Oh…. kalbu yang dilanda rindu Ikatan pudar jagat rasional Remang khayali belenggu tak tentu Engkau yang membawa setangkai senyum Nampak terus lintasi dan berotasi Gapai setangkai tak sampai 21 September 2002

Marhabban yaa Ramadhan

Langit akan segera menurunkan Kekasihnya, kekasih kita, kekasih jagad raya Atau akankah kau sambut semata Dengan petasan beserta padusan Maka sudahkah kau siapkan Upacara penyambutan Dengan jiwa suci dan lapang Langit akan segera menurunkan Kekasihnya, kekasih kita, kekasih jagad raya Padahal, langit melepasnya Dengan membuka tujuh pintu surga Dan merapatkan tujuh pintu neraka Dan tak pernah kita tahu Tak pernah kita mengerti Perjumpaan ini Mungkin yang terakhir kali Karangmalang, Oktober-November 2003

Masih Ada Waktu

Ada jeda di tengah perbincangan kita Sesuatu tiba-tiba membatu menjadi sandungan Percakapan yang belum sempat mengklimaks Mari istirah sejenak. Menulis sajak sebelum Kita mengantuk Ada kabut mendadak membalut Sebelum percakapan ini menyudut Ijinkan aku menyulut sebatang rokok Agar menghalaunya dengan asap senyampang Belum sampai mengatap Aku diam, engkau bungkam. Tak apa-apa Masih ada waktu kita nikmati Secangkir teh sambil kita membaca Sajak yang kita cetak Agar petak-petak perbincangan kita Tidak segera retak Sebab masih ada waktu Masih ada waktu Karangmalang, 6 Juni 2004

Mencari Arti Mimpi (suatu pagi yang diguyur gerimis sedari malam)

Ini sisa atau kuasa yang tertumpah Gerimis yang melahirkan butir-butir Selama malam Dan memagutkan mimpi-mimpi sendu Dan pagi ini masih tumpah Seperti garis putus-putus yang memupuskan Sebuah teka-teki untuk dijawab Tapi puisiku ikut kabur Seperti ini pagi Yang menggumpal lalu melebur Menjadi rintik-rintik, butir-butir gerimis Rasanya, nyata pada hari yang baru lahir ini Dengan maya dari mimpi malam tadi Seperti ada hijab Lalu kucoba menyelinap Langit dan bumi pagi ini Juga terhijab awan Terhubung hujan Dapatkah puisiku menyambut hujan Yang mengantarkannya ke langit Atau justru larut, mengaliri sungai Menuju laut Perjalanan itu begitu panjang Rektorat UNY, 5 Oktober 2003

Menjadi Dalang : ChI (100503)

Kau pinjamkan selembar selendang Mengantar langkah gilaku Pada sore itu Kucoba membuka kata Tapi mulut hanya bisu Ingin tangan ini kulenggang Tapi masih saja kaku Mereka tetap saja kardus Yang bergambar wayang “Maaf, aku bukan dalang!” Secang, 17 Mei 2003

Menjelang Malam

Seberkas cahaya jingga Mengisi gurat-gurat cakrawala Dan angin lembah menyisir Lekuk-lekuk bukit. Mengijinkan Cengkerik, kodok, dan orong-orong Bersenandung Tubuh ini menggigil mendengar sayup-sayup Suara memanggil Tenggelam segala yang tersulam Bersama malam Tidakkah akan tereja benang-benang Dan warna-warna serta timbul tenggelamnya Jarum yang mengulum mereka : tercipta selendang yang membungkus kata-kata Mestinya masih dapat tertatap Walau dalam gelap dan tusukan sambermata Yang menitikkan ratap dan tawa yang tertunda Penabur bayangan itu telah tenggelam memang Tetapi aku yakin akan kembali datang Lewat celah-celah seberang

Jogjakarta, 5 April 2002

Oase

Tubuh ini bersimbah peluh Setelah berpuluh mil ditempuh Ada angin menyeka Seakan peka bahwa tiada lagi Kesejukan dalam dada Padang ini meradang dibakar matahari Yang tiada tertopang rindang Pohon-pohon atau sekedar belukar Langkah kaki yang tak beralas lagi Hanya sembulkan debu Hamparan fatamorgana sudah Bosan kureguk hanya tuk mengutuk dahaga Tapi oase di tengah padang Akan menyambung perjalanan Menuju taman telaga Terban, 3 Juli 2003

Pasir Putih Merintih

Aku ingin ikut larut Bersama ombak Membasuh putih Menghias negeri tanpa mentari Di sini Belai ombak tiada lagi ramah Tangan-tangan kotor telah menjamah Penuh sampah Buih putih di tengah bercemooh “Sekarang aku lebih putih” Sedih Aku ingin ikut larut Hingga tak ada lagi batas Hingga tangan-tangan itu terhempas! Karangmalang, 11 Mei 2003 (Kenangan di Pantai Srau, Pacitan)

Pencarian dalam Goa

Kilau-kilau cahaya seperti marmer itu Menghalau gelap goa ini Tiba-tiba seperti kulihat berkas cahya Hati yang redup terselip Di antara kilau-kilau itu Kucari, kukejar Tapi ia telah menyatu di sana Tertancap di stalaktit yang bertengger Dan terjatuh pada satalakmit Terjepit…………. Ingin aku menjerit Antara bahgia menatap Redup cahyaku yang terulur dari hati Dan sedih Tatkala tangan ini gagal menggapainya Kucoba bersandar pada lekuk Dinding lorong gelap ini Dan tanpa kusadari Kaki ini telah berpijak lagi Pada mulut goa Karangmalang, 11 Mei 2003 (Kenangan di Goa Gong, Pacitan)

Perbedaan : AT

Masihkah ada ruang yang pantas untuk menampung Membendung dan mengusung bongkahan-bongkahan Batu yang membumbung dari ledakan angkara Yang mengklimaks dan memuncak Lantaran sebutir kerikil kecil yang terlempar Mengutubkan dua insan yang hampir menyatu Mereka terlempar Mereka terhempas Mungkin hanya isak penyesalan Melapukkan batu itu Menumbuhkan lumut penyambut Bunga kenangan yang hampir layu Tapi tak mampu memecah kutub Yang ternjur membatu Perpustakaan SMP N 8, 14 Agustus 2004

Perjalanan

Berpijak pada tapak-tapak Perjalanan ini menikung Menuju palung yang sarat tapak-tapak hitam Berkarat Beranjak dari pasir yang membanjir Mengisi ruang hampa Menghampar seperti tikar-tikar terkapar Lama langkah ini menelikung belum berujung Tapi telah kurasakan panas yang meranggaskan napas Lalu mengangkasa asap hitam Serupa malam Mengantar mata pada kebutaan Aku masih berjalan Dengan satu mata yang masih menyelinap Di antara asap Karangmalang, 26 September 2003

Perjalanan Cinta

Ada cinta yang terpahat Ada cinta yang tertambat Ada cinta yang terhambat Membuat terlambat mengucap “Aku cinta padaMU” Perpus SMP 8 YK, 210804, 09.36’

Prahara Dewata

Dalam kebisingan mereka berputar Dalam redup remang-remang Tak terhitung waktu semua pudar Oleh gelegar dan lidah-lidah berpijar Lalu mereka berlari di atas kerikil-kerikil panas Meleleh mengalir menuju padang pasir Lewati karang, gua-gua, dan hutan bambu Butir-butir mutiara bercucuran dari jendela Lalu tiap gerbang rapat tak berbuka Sang raja berhenti melayang 2002

Protonema

Ada langit tersayat mega Mengalun sebuah gurit tentang elegi Yang pada klimaksnya memecah Tangis serupa hujan Ada kemarahan di wajahmu Kau cambuk-cambukkan Seperti petir-petir berloncatan Berkilatan menghajar kegelapan Menghajar kebatuanku Getir yang kurasakan lewat cucuran hujan itu Berdenting-denting di atas genting Dan iramanya lama-lama menumbuh lumut kehidupan Menghalau paraunya dari kemarau musim lalu Karangmalang, Februari 2004

Puisi Tanpa Kata Malam ini kuingin menulis sebait puisi Yang kadang bisa membakar sepi Tetapi pena ini terlena di atas kertas :Hanya terangguk-angguk mendengar Halilintar, banjir, badai yang berkecamuk Di antara tulang-tulang yang seakan Telah kering setelah lelah mengeja Denyut-denyut darah yang setiap detik Melayani lalu-lalang angin Dan tak pernah ditemui arti Terpelanting penaku tepat di antara Batu tua yang lama terdiam Dan sungai yang terus mengalirkan darah Namun sempat memuntahkan gumpalan Yang terbendung di ujung sana Meski tak sepatah kata Membungkus semua makna Karangmalang, 26 April 2003

Pulang : Pur & Tito

Kalian seperti mengakak kala kutolak kalimat ajak Tidakkah kau lihat seikat gari menari-nari dalam keterbelengguan Tubuh-tubuh kusut bau kecut membelalak Pada seonggok anjing yang menyalak yang memecut mata mereka Yang kebetulan saja ada di atas sana Maaf kawan Aku harus pulang Gelinjang anjing-anjing itu membuatku mau muntah Gonggongan anjing-anjing itu membuat telingaku serasa pecah Ya, kuakui Bulan menyaksikan Aku sedang kalah Karangmalang, 6 Maret 2004

Resah Semesta

Kudengar bisik angin yang tlah berselingkuh Dengan musim, mengabarkan : Manusia yang memulai dulu Kudengar kabar musim yang telah menyeleweng Dengan masa, mengatakan : Manusia yang tak setia Kudengar tangis bumi yang mengubur suburnya Meratapi : Manusia telah menggali liangnya Kudengar matahari yang garang membakar, marah : Manusia telah menyulutnya (dengan merobek atmosfer) Kudengar sungai yang telah disetubuhi sampah Menyumpah : Manusia tak kan bisa bercermin lewat beningku Kudengar manusia berkeluh kesah : Alam tiada ramah pada kita Dan alam pun menyanggah : Bukannya kami marah Manusia yang tak ramah! Yogyakarta, 22 Mei 2003

Sajak Buat yang Terabaikan : Nikma

Kita terlibat dalam debat Tentang sesuatu yang mengarat Begitu asyik dan jumbuh Sampai subuh pun enggan kita tangguh Oh… ada sesuatu yang terabaikan Di tengah kawah kata dan cerita Yang mengalir membanjir tak henti-henti Ada yang masih membatu mematung Terapung dalam deras cerita kita Kau pun jenuh memandang tubuh-tubuh Yang lusuh membasuh kisah Di tengah kancah perbincangan yang tak kunjung Meruncing Kau berpaling Berpamit mencari tempat tempat labuh Yang lebih teduh

Karangmalang, Mei 2004

Sajak Kesendirian

Hariku sendiri Temanku sunyi Cahyaku perih Mataku duka Penaku luka Sendiriku membungkus hari Sunyiku menghapus teman sejati Perihku mengukus matahari Dukaku menutup mata Lukaku membeku pena Sendiri dalam sunyi menyapa hari-hari Di tengah aksara dan angka-angka Yang berseliweran mendesak sesak Duka yang menggores luka mencipta lingkaran Yang tak tercetak lewat jangka Dan dibakar perih yang apinya menyilaukan Matahari yang tak sempat bertengger Di bawah leher Sendiri hariku Sunyi temanku Perih cahyaku Duka mataku Luka penaku Karangamalang, 27 April 2003

Sajak Perpisahan

Suatu sore yang merembang petang di jelang Kepamitan matahari Menyemburat sandaikala di cakrawala Menjingga atas sebuah kerinduan dari jenuh Hujan yang turun berbulan-bulan Matahari menyurup tanpa tirai Tak ada mendung membendung Kadang begitu mudah mengucap selamat tinggal Seperti siang menitipkannya pada ciprat sandaikala Begitu saja mengalir menyisakan gelap Lambaianku seperti matahari di balik bukit itu Yang Kau lihat lewat jendela Walau tak menyisakan kata, Masihkah kau dengar lirih isakku? 2004

Satu Kata Adakah satu kata yang bisa membinasa Kecamuk macam-macam yang mengamuk-amuk Dalam otak yang telah mengombak Hanya menjelma keluk asap mengepul dari mulut Yang lama membisu Dari sekian ombak membadai Belum juga menerjang karang Hanya pecah membuih dan tenggelam Atau menyipratkan ketakberdayaan, kejemuan, bahkan kelelahan Ya, hanya asap merayap-rayap Menyimpan segenap penat Memang terlalu sulit menyederhanakan Deburan ombak yang kadang menyiklus Meski hanya dengan satu kata Karangmalang, 10-12 April 2004

Satu yang Tersisa : Sofi

Rasanya enggan kutinggalkan Sebuah persinggahan Setelah lelah berjelajah Yang belum usai Saat itu, engkau, juga teman-temanmu Bertemu muka Lalu kusapa engkau Kutatap wajahmu satu-satu Dan kurasakan betapa lezatnya Pertemuan ini Namun sehabis itu, Entah apa yang kau rasa Mungkin perjalanan dalam lorong-lorong gelap Bercampur asam dan enzim-enzim Yang tak pernah kau kenal sebelumnya Sengaja kukenalkan kau Dalam perutku yang sedari tadi berkata-kata Berdendang-dendang Tentang lagu kekosongan Tapi sayang……… Perjalanan harus dilanjutkan Dan satu yang tersisa Tak sempat kuberpamitan (hanya terpaku dalam kesendirian pada sebuah piring, kesepian) Temanggung, 2 November 2003

Sebelum Malam Tiba Sebelum malam tiba Kuingin hiasi langit dengan pelangi Tempat lewat bidadari Setelah usai gerimis sore ini Sebelum malam tiba Kuingin menyungging senyum pada mentari Yang terkantuk-kantuk dan sebentar Menyisir bukit di ufuk barat Sebelum malam tiba Kuingin menikmati jingga sandaikala Dan kusalami awan-awan putih Yang bergulung-gulung satu-satu Sebelum malam tiba Ingin kusempatkan memetik melati Buat bunda yang duduk di beranda Agar tangisnya menjelma tawa Sebelum malam tiba Biar semua warna terbias lewat kaca rumah Biar semua tahu seperti apa aku Dan kan kuterima hitam atau putih akhirnya Yogyakarta, 30 April 2003

Sekelumit Bait di Persimpangan

Sekelumit bait mengalir lewat Celah-celah resah saat Simpang jalan menganga Antara jurang dan tebing terjal Yang tak dapat kubedakan Mata telah kehilangan cahaya Hanya tabir hitam melayang-layang Menghadang sinar yang terpendam Hanya sekelumit bait itu Menjadi ratap dan zikir Agar kaki tiada terkilir Mujahidin, 24 Juni 2003

Senja di Parangkusumo

Deburan ombak yang mengarak-arak Mengingatkan gelak tawa Sebagai persembunyian isak tangis yang menyerakkan Sengaja tak kuperlihatkan pilu Yang memalu, mengeping-kepingkan Bongkahan karang yang tak kuat Lagi menahan hantamanmu Kini yang ada hanya hampar pepasir Yang membanjir di setiap pesisir hati Sebagai endapan air mata Yang belum juga mengering Yogyakarta, Juni 2004

Senja di Telengria : Aj

Aku ingin mengganti senja Di kaki gunung Yang dingin anginnya Menjadi saksi runtuhnya hati Dengan senja di tepi sebuah pantai Yang damai Dan ombak yang membelai Menggugah sayap harap Hingga terbang Seperti camar itu! Karangmalang, Mei 2003

Senja itu

Senja itu mengantar sebuah sembilu Menyayat selembar selendang jingga Melilitkan luka dalam sarat liku Dalam remang petang yang kian tenggelam Dalam cengkeram malam yang mencekam Kau hunjamkan pisau Aku silau...... Punah sudah segala cahaya Seikat janji melingkari jari manismu Temanggung, 27 Januari 2003

Senyum yang Tersimpan

Wajah itu menyeringai di balik tirai Seperti bulan pucat setelah memanjat Di balik selimut awan pekat Bintang tak setia lagi bersanding di sampingnya : hanya menggigil sepi Gerimis merontokkan jarak antara mata dan wajah itu Hanya desir angin mengabarkan Bahwa dari puncak bukit itu Matahari masih menyimpan senyum Dan ia kabarkan pada bulan “Sebentar lagi kau pun akan tersenyum dalam perut bukit ini”

Yogyakarta, 13 April 2003

Sesaat Itu

Beberapa waktu itu Hanya tatap Hanya kata Hanya duduk dalam satu lingkaran Tak lebih Sesaat, waktu itu Tatap menjadi bermakna Kata menjadi buta Dan lingkaran itu berputar Menuju bunga-bunga bermekaran Detik telah mengubah arah Yang tak kutahu darimana pijakan Entah….. Aku jadi suka menatap Tapi tak sanggup berkata Karangmalang, 3 Agustus 2003

Sesuatu yang Terlampaui Selalu aku terlalui Waktu selalu melaju Terhempas dari perjalanan masa Tak sempat kucatat sejarah Karna aku selalu terlalui Karna kata yang tak terutarakan menggunung Dalam lidah bergulung-gulung jadi gaung Pada langit-langit mulut Kau telah merangkai perjalanan Bersama masa merajut sejarah Seperti burung yang bercengkerama Bersama angin dan awan Aku hanya dahan yang bungkam Dari cerita-cerita yang disampaikan angin Dan dari hujan yang mendesahkan air mata Karangmalang, Desember 2003

Siluet Daun Cinta (di ujung senja)

Daun-daun cinta telah berguguran Di padang kemarau Merindu embun Daun-daun cinta berguguran Menyisakan ranting kering Yang tertahan pada dahan-dahan hati Lupa bahwa matahari senja Mencubit manja (mungkin sebagai ganti ucapan selamat malam) Daun-daun cinta berguguran Mencipta siluet di balik jingga senja Ketika dihalau angin senja yang parau Di padang kemarau Angin yang parau Kemarau yang kering Juga cahaya senja yang galau Berkolaborasi di sisi-sisi siluet Mendistorsikan romantika Kuncup-kuncup daun di awal penghujan Karangmalang, 21 September 2003

Tak Perlu Sembadra Jadi Srikandi : APA

Selendangmu kan jadi gendewa Bukan dengan tangan atau kereta Panah-panah kan tercipta lewat kata Jangan menangisi tak boleh maju Cukup cetak Abimanyu Amarta dan Astina di telapak kakimu Yogyakarta, 2002

Tak Sempat Kubaca : Tutik

Tak sempat kubaca sesuatu yang kupinjam darimu Di tengah pergolakan antara urat-urat yang mulai Jenuh dari kepekatan konsentrasi Tradisi serta obsesi yang tak kunjung terealisasi Padahal, sesuatu yang terasa kecil itu Menjadi refleksi antara masa kini Yang menempuh puncak arti Dan masa nanti, tempat kita Merasakan penyesalan atau kepuasan Maaf, tak sempat kubaca Sesuatu yang kupinjam darimu Hanya kupurukkan saja di bawah laci meja Dan aku justru asik mengotak-atik mesin ketik Berisi rintik-rintik aksara yang kupetik Sampai kutemui tanda titik Karangmalang, 3 November 2003

Takdir : PIS

Katakan bahwa kau tiada terbawa Hawa yang dulu tak pernah kau ceritakan Tentang masa Tentang rasa Yang senantiasa membingkai dewasa Dulu, katanya kau suka angka-angka Atau kerangka Begitu asik kau rangkai Menjadi bingkai-bingkai karyamu Kini, kau suka kata-kata Dan gerak dan mimik Serta sesuatu yang dikatakan artistik : suatu transformasi bahasa Katakan bahwa kau tiada terbawa Atau terjerumus Dalam kamus yang tiada kau pahami Katakan bahwa kau tak kan hapus Mimpi-mimpi yang kini kau sangka pupus (Suatu saat kau kan temukan rumus-rumus) Hanya perlu kau pahami Bahwa sesuatu yang ditentukan Adalah arti Dan masa serta rasa tentang dulu dan kini Akan bermakna untuk kelak Karangmalang, November 2003-Maret 2004

Tangis Hutan Cemara : Sumbing Sindoro

lekuk hijau hutan cemara dijilat lidah merah membara lalu dipeluk hijau tembakau dan ketika kemarau usai tangis cemara menjelma amuk air membahana menjadi bencana Temanggung, 28 Juni 2003

Tenggelam

Kala bola lentera hari Menyisir gunung perahu Memanggil niyaga-niyaga jelaga Menabuh gending-gending malam Dan lawa-lawa tertawa Mengitari bumi mencari mangsa Matahari telah tenggelam Dan tenggelam pula matahariku Dalam kelam Oleh senyum yang terkulum Masih terekam dalam pita hitam Kata-kata maha tajam Kau lepaskan menghunjam Seiring selamnya senja Akupun ikut tenggelam Temanggung, 27 Desember 2002

Tergantung Pada Kosong : Tono

Kepalaku tergantung pada paku Yang kutancapkan sendiri di tengah tembok Tanpa lukisan Tanpa tulisan Hanya kosong Seperti sepotong baju yang menggantung Pada gantungan yang tergantung di paku Yang terpaku di tembok Kosong Tanpa lukisan Tanpa tulisan (ketergantungan menyisakan kekosongan) Sengguh Cage, 11 November 2003

Tergantung Pada Kosong (II)

Pandanganku terbentur Dalam kekosongan yang menggantung Di tembok ini Di dinding ini Dan ku tak tahu apa-apa Di balik sana Entah ada dunia Atau hampa (yang ada hanya jarak antara kepala dengan tembok : paku) Sengguh Cage, November 2003

Titip Salam Sepi kurasa hampa tiada napas Hanya tetes-tetes embun di ubun-ubun Kuhirup sehelai wewangi dari hulu kali Terbawa hembusan angin dari gunung Lama dunia diam tanpa suara Lantas kudengar ketukan pintu Tersentak, menjerit Aku tergigit Sesuatu yang dari pintu Melayang aku seakan terbang Kulupa dimana tempatku berpijak Wahai angin yang dari gunung Tolong sampaikan salamku Pada bumiku 6 Oktober 2002

Joko Prasetyo yang lahir di Temanggung, 28 Agustus 1982. Mahasiswa PBSI angkatan 2001 ini pernah ikut meramaikan KM Al-Huda, HIMA PBSI, dan juga belajar sastra di UNSTRAT. Beberapa karyanya pernah dimuat dalam antologi “Mencari Tanda Sunyi”, majalah Kreativa, Buletin Mozaik, Buletin Sweng, Cybersastra.net, dll. Kost di Karangmalang A 30 b Yk. Email: [email protected]

Related Documents

Puisi Joko Prast
December 2019 6
Cerpen Joko Prast 4
December 2019 13
Cerpen Joko Prast 1
December 2019 8
Cerpen Joko Prast 3
December 2019 10
Cerpen Joko Prast 6
December 2019 8
Cerpen Joko Prast 7
December 2019 9