Petir “Kalau mendung mulai berduyun-duyun memenuhi langit sampai deras hujan membanjiri bumi, jangan sekali-kali berdiri di pintu atau berteduh di bawah pohon besar atau mendirikan tangga. Sebab, di situlah tempat-tempat para setan gundul berkumpul, dan di situlah Ki Ageng Sela menyabetkan cemeti apinya!” Kata-kata Bapak itu masih kuingat sampai sekarang. Memang, bapakku pandai bercerita. Cerita tentang apa saja. Biasanya dikaitkan dengan sejarah atau legenda terjadinya suatu tempat atau sebabsebab sesuatu terjadi. Cerita kenapa Gunung Sumbing di Temanggung puncaknya sempal atau bergerigi sedangkan Gunung Sindoro di sebelah baratnya berpuncak mulus. Katanya, dulu puncak Gunung Sumbing “dislentik” oleh Semar agar tingginya sama dengan Sindoro. Atau, cerita tentang Gunung Tidar di Magelang yang katanya, dulu adalah bahan urugan bagi jasad Rahwana yang tewas dipanah Sri Rama untuk menghilangkan Aji Pancasonanya. Konon, Rahwana punya Ajian itu sehingga jika mati bisa hidup kembali. Maka setelah dipanah ia diurug agar tidak dapat bernapas selamanya. Kini, setelah aku besar begini, rasanya cerita-cerita itu terkesan mengada-ada. Termasuk cerita tentang petir. Kata Bapak, petir itu adalah cemetinya Ki Ageng Sela untuk mencambuk musuhmusuhnya yang berupa setan gundul. Entah apa kaitannya antara cemeti, petir, dan setan gundul. Apalagi dengan mendung dan hujan. Bahkan masih ada kakek-nenek yang mengajarkan pada cucucucu mereka kalau melihat kilat agar mengucap, “Kula niki wayahipun Ki Ageng Sela” (saya ini cucunya Ki Ageng Sela) biar tidak disambar petir. Anehnya, orang-orang juga percaya bahwa setiap petir yang menyambar orang maka sebenarnya sudah tersedia obatnya sekaligus yang berupa bundalan rumput. Kalau bundalan itu segera ditemukan sesaat setelah orang tersambar petir, kemudian segera diminumkan pada si korban, maka ia akan sembuh. Aku percaya saja pada cerita itu sebab aku pernah membuktikannya. Pernah tetanggaku, saat siang-siang hujan masih saja angon atau menggembala bebek-bebeknya di sawah. Tiba-tiba ia tersambar petir. Orang-orang yang melihatnya segera menolong dan membawanya ke rumahnya. Termasuk aku. Ada pula yang sibuk mencari bundalan itu. Beberapa saat setelah itu, ada orang menemukan bundalan rumput di sekitar tempat kejadian dan segera membawanya ke rumah korban. Tapi sayang, terlambat. Si korban sudah tak tertolong lagi. Ia meninggal dalam perjalanan pulang ke rumahnya. “Owek…owek…owek…”. Tiba-tiba aku tersentak dan tersadar dari lamunanku. Anakku yang berusia hampir satu tahun tiba-tiba menangis. Ia terbangun dari tidur siangnya. Buru-buru aku menghampirinya ke kamar. O….ternyata genting kamar bocor dan tepat di atas si bayi. Ia terbangun karena terkena air hujan. Siang ini hujan memang turun cukup deras. Padahal hari-hari kemarin tidak pernah hujan, paling-paling hanya mendung. Karena hujan inilah tadi aku teringat cerita-cerita Bapak tentang petir. Entahlah, aku jadi sering melamun sejak aku jadi penganggur. Sehari-hari aku hanya menjaga dan menemani anak kami yang pertama. Aku menganggur sejak di-PHK dari pabrik tempatku bekerja di Jakarta sana tepat tiga hari sebelum anakku itu lahir. Sebelum di-PHK, aku mendapat telegram dari istriku bahwa ia merasa anak dalam kandungannya akan segera lahir. Aku diminta pulang. Tak disangka, aku pulang ke desa dengan dua alasan sekaligus, karena surat telegram dan surat PHK. Aku tak pernah kembali lagi ke Jakarta. Sampai enam bulan kelahiran anak kami, aku masih belum dapat pekerjaan. Kami kelimpungan. Sementara kebutuhan terus merengek, terutama buat si kecil. Lalu Lastri, istriku, nekat pergi ke Malaysia jadi TKW meskipun aku sudah beratus kali melarangnya. “Apa tidak kasihan sama si kecil, Las? Dia kan masih butuh kasih sayangmu.” “Kasih sayang apaan, kalau dia harus kelaparan. Kalau aku ndak pergi, kita mau makan apa, Kang? Pokoknya aku besok harus berangkat! Titik.” Aku pasrah. Akibatnya, akulah yang menjadi bapak sekaligus ibu bagi si kecil selepas kepergiannya. “Diam, Nak! Diam. Ngger, menengo, to. Cup…cup…cup…sayang.” Hiburku pada si kecil. Tapi dia terus menangis. Ah, andaikan Lastri masih di sini, tentu saja anak ini tidak akan rewel terus. Dia tak akan kesepian (begitu juga aku). Aku pun tak habis pikir kenapa Lastri tega meninggalkan kami
hanya demi uang. Ah, pemikiran orang sekarang entah di desa entah di kota sama saja. Selalu serba diukur dengan materi, harta, dan kekayaan. Si kecil terus menangis. Berbagai cara kulakukan untuk menenangkannya. Hasilnya nihil. Sebab, di mana pun aku duduk sambil menggendong dan menenangkannya, di situ pula ada genting yang bocor. Rumahku memang rumah gedhek warisan orang tuaku dulu. Gentingnya sudah tua-tua. Maklumlah kalau di sana-sini bocor. Karena musim hujan baru saja tiba, aku baru tahu kalau ternyata sudah banyak genting yang bocor. Karena tak kuasa menenangkan si kecil, aku angkat tangan, menyerah. Kucoba memanggil Trimah adikku. Rumahnya kebetulan bersebelahan dengan rumahku. Ia tinggal bersama suaminya. Belum punya anak karena baru beberapa bulan kemarin menikah. Kuberikan si kecil kepadanya. Semoga Trimah bisa menenangkannya. Sementara itu, tanpa pikir panjang, aku ambil tangga di belakang rumah. Aku naik ke atas rumah mencoba memperbaiki genting yang bocor. Pikir-pikir daripada menganggur. Lagi pula kalau pas hujan aku mudah menemukan mana yang bocor. “Man, Triman, turun! Hujan-hujan begini kok malah naik tangga. Ntar masuk angin kamu. Triman, cepat turun!” teriak Trimah yang melihatku menaiki tangga menuju genting rumahku. Tapi tak kuhiraukan dia. Hujan terus mengguyur. Membasahi tubuhku di atas tangga. Sementara, langit terus berkilatan berkelebat-kelebat. Disusul bunyi guntur menggelegar. Tapi aku tak gentar. Aku hanya ingin kenyamanan di rumah tanpa ada kebocoran. “Triman, nanti saja atau besok kauperbaiki gentingnya, kalau hujan sudah reda. Dengar! Itu suara guntur. Aku khawatir……..” sekali lagi Trimah memperingatkanku. Hampir bersamaan dengan berhentinya suara Trimah, kulihat langit terang benderang. Kilat memenuhi langit. Lalu kurasakan peristiwa yang begitu cepat seperti kilat. Kulihat sesosok atau entah apa mengayunkan cambuk yang terbuat dari api tepat mengenai kepalaku. Lalu berkelebat bayangan Trimah baru saja melambaikan tangan memperingatkanku. Lalu si kecil. Kemudian wajah Lastri. Kemudian wajah Bapak seperti ketika sedang bercerita. Kemudian makhluk mengerikan tanpa rambut di kepalanya. Kemudian seseorang mengayunkan cambuk api. Kemudian……..gelap. *** Hari ini juga turun hujan di tanah seberang, Bumi Serawak. Seorang pembantu rumah tangga baru saja meninggalkan rumah tuannya setelah berpamitan. Air matanya terlihat menghujan pula. Di tangannya masih tergenggam secarik kertas telegram. Hatinya hancur bagai disambar petir setelah membaca isinya: “LEKAS PULANG, TRIMAN DISAMBAR PETIR!”*** Yogyakarta, Februari 2004