Malam Satu Sura TIDAK seperti tahun-tahun sebelumnya. Malam Satu Sura ini Tatag mendaki bukit Kembang. Sebuah bukit yang menjulang di sebelah timur Desa Plawang tempat tinggal Tatag. Di lereng bukit itu memang banyak ditumbuhi bunga-bunga sehingga dinamai Bukit Kembang. Ia mendaki sendirian. Tanpa teman. Pemuda itu menembus kesunyian Bukit Kembang. Dia hendak menuju puncak Bukit Kembang. Malam hari itu, Bukit Kembang sangat sepi. Hanya suara-suara binatang malam yang terdengar. Dan agak jauh di sebelah barat terdengar bunyi gamelan pengiring pertunjukan wayang kulit. Tatag berangkat dari rumah sejak sore hari sebelum matahari terbenam. Sebenarnya belum terlalu malam ketika Tatag sampai di puncak Bukit Kembang. Bukit itu tidak terlalu tinggi. Hanya saja untuk mencapai puncak, dia harus mencari jalan sendiri. Sebab jarang orang yang mendaki bukit itu. Menurut orang-orang Plawang, bukit itu termasuk bukit yang dikeramatkan selain Sendang Sekartirta. Tebing-tebingnya juga lumayan terjal. Bisaanya, tahun-tahun sebelumnya, setiap malam Satu Sura, malam tahun baru Tahun Jawa, Tatag pasti menyaksikan ritual upacara dan ritual peringatan Malam Satu Sura di desanya itu. Dia datang sebelum perangkat upacara disiapkan di depan Balai Desa Plawang. Seperti kebanyakan penduduk desa itu. Bahkan banyak penduduk dari tempat lain ikut menyaksikan dan meramaikan ritual peringatan Satu Sura di Desa Plawang. Ritual yang hanya dilaksanakan setahun sekali. Dan hanya di Desa Plawang. Tak ada duanya. Ritual itu berupa pergelaran wayang kulit selama semalam suntuk. Kadang-kadang sampai dua malam. Dalangnya didatangkan dari kota Yogyakarta. Jadi tidak tanggung-tanggung. Sebuah tontonan gratis yang sudah sangat jarang diselenggarakan. Meskipun desa tempat tinggal Tatag itu terletak di daerah yang agak pelosok di tanah Jawa. Sebelum wayang kulit digelar, ada satu ritual yang tergolong aneh. Petang hari, setelah matahari benar-benar tenggelam, saat itulah tahun baru Jawa dimulai. Sebab, Tahun Jawa menganut sistem Qomariyah, yakni menganut perhitungan perputaran bulan. Bukan perputaran matahari seperti tahun Masehi yang memulai hari pada jam 00.00 dini hari. Nah, selepas Maghrib itu, sebagai tanda datangnya tahun baru, Lurah desa itu menebarkan rupa-rupa bunga yang diambil dari Bukit Kembang ke Sendang Sekartirta. Semacam kolam yang terletak di sebelah selatan Desa Plawang. Dengan mata air murni dari tanah desa itu.
Sendang itu dikelilingi pohon-pohon beringin. Dari situlah mata air Sendang Sekartirta mengalir. Sebelumnya, Pak Lurah dan Bu Lurah diarak dengan pakaian pengantin. Jadi seperti acara temu pengantin, meskipun sebenarnya mereka sudah menikah. Kalau mau jadi pengantin tiap tahun, maka jadilah Lurah di desa Plawang. Mereka berangkat dari balai desa tempat pergelaran wayang kulit diselenggarakan pada malam harinya. Segala ubarampi terutama berupa bunga-bunga yang dipetik dari Bukit Kembang juga dibawa dari balai desa. Masyarakat desa itu berbondong-bondong di belakang iringiringan pengantin Lurah. Mereka mengikuti dari belakang menuju Sendang Sekartirta. Setelah tiba saatnya Pak Lurah menebar bunga ke sendang itu, masyarakat yang ikut kesana berebutan mengambil air sendang. Syukur-syukur dapat salah satu bunga atau satu bagian saja dari bunga yang ditebar Pak Lurah. Mereka percaya air itu bertuah. Bisa digunakan sebagai air suci dan penyembuh macam-macam penyakit. Sejak kecil Tatag selalu mengikuti ritual itu. Tiap tahun. Ia selalu mendapatkan bunga dan air sendang. Dia tak segan-segan menceburkan diri ke sendang, berenang dan menyelam menuju tempat bunga ditabur. Tatag juga suka memperhatikan pasangan pengantin Lurah. Alangkah gagah Pak Lurah dan alangkah anggun Bu Lurah, pikirnya. Dia selalu membayangkan dirinyalah yang menjadi pengantin prianya. Dan sebagai pengantin wanitanya…. “Maukah kamu jadi wanita alias Bu Lurah seperti dia, Maonah?” kata Tatag ketika mengikuti ritual itu suatu Sura beberapa tahun yang lalu. Maonah adalah teman sebaya Tatag. Sejak Sekolah Dasar. Mereka juga sedesa, bahkan sekampung. Saking akrabnya, mereka selalu bersama saat mengikuti ritual Satu Sura. “Tentu saja aku ingin sekali. Siapa yang tidak mau jadi Bu Lurah, jadi pengantin setiap tahun? Eh, kalau aku jadi pengantin wanitanya, pengantin prianya siapa ya?” Tatag jadi merah padam mendengar jawaban Maonah itu. Dia hanya bisa cengar-cengir. “Eh, bunganya sudah ditebar, Tag.” “Ha, aku akan mengambil satu bunga untuk simbok dan satu untuk kamu. Tunggu di sini, aku pasti dapat!” Tatag langsung berenang dan menyelam ke sendang lalu muncul tepat di tempat bunga telah ditaburkan. Diambilnya dua bunga dengan tangkasnya. Berebutan dengan orang-orang yang banyak juga telah mencebur ke sendang. Dia segera menyelam lagi sambil menggenggam dua kuntum bunga. Lalu muncul di tepi sendang tempat Maonah menunggu. “Nah, ini untukmu dan ini untuk simbok.”
“Wah, terima kasih sekali, Tag. Kamu hebat sekali. Bisa melewati orang-orang yang berebutan itu. Lihatlah! Mereka masih berdesakdesakan.” Maonah Gembira sekali. Tatag bangga sekali. Hampir tiap tahun Tatag mengikuti ritual bersama Maonah. Sampai suatu saat, ketika keduanya telah duduk di bangku SMA, mereka tak lagi bersama. Maonah sekolah di Yogyakarta sedangkan Tatag hanya di kota kecamatannya. Keduanya tidak terlalu dekat lagi. Namun mereka masih bersahabat. Bahkan, dalam perpisahannya dengan Maonah yang ikut familinya di Jogja, ada rasa aneh yang baru disadari oleh Tatag. Rasa yang juga hinggap di jiwa Maonah. Suatu rasa ingin selalu bertemu dan bersama seperti dulu. Semacam rasa kangen. Maka naluri muda mereka pun berbicara. Keduanya terikat rasa cinta. Rasa yang baru disadari ketika perpisahan justru telah menjelang. Dan itu berhasil diungkapkan Tatag ketika mereka bertemu suatu liburan. Ketika itu Tatag mengajak Maonah mendaki Bukit Kembang. Sampai puncak. Di sanalah dia mengutarakan segala perasaannya. Mulailah mereka menjalin hubungan kasih. Meski masih dirahasiakan. Hubungan itu masih erat dan semakin lekat saja. Mereka menjalin cinta lewat pena. Sampai suatu saat, dua tahun setelah Maonah lulus SMA, hubungan itu mulai goncang. Maonah yang meneruskan kuliah di Jogja dipinang oleh Darmadji. Dia seorang pemuda dari desa Plawang juga. Dia baru lulus sebagai sarjana ilmu Tata Negara dari perguruan tinggi di Jogja. Orang tua Maonah sepakat. Maonah tak bisa berbuat apaapa. Tatag yang tak bisa meneruskan kuliah pun hanya bisa pasrah. Hubungan pun putus di tengah jalan. Tanpa deklarasi. Sebab keduanya tak pernah lagi bertemu. Hanya ditandai oleh sepucuk surat dari Maonah “Tatag, hari ini aku tunangan dengan Mas Darmadji. Bapak dan ibu sepakat kami akan menikah setelah aku lulus. Kira-kira dua tahun lagi. Maafkan aku, Tag. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Meski aku masih tetap mencintaimu selamanya. Dariku yang masih dan selalu mencintaimu: Maonah.” Setelah membaca surat itu, kepala Tatag serasa berpurat-putar. Ia jatuh sakit selama seminggu lebih. Tatag sembuh setelah diberi minum air Sendang Sekartirta dan mandi dengan bunga yang ditebar Pak Lurah. Kebetulan saat itu bertepatan dengan tanggal Satu Sura. Bunga itu diberikan oleh Maonah. Bunga itu didapat oleh Maonah dari seorang bocah yang ikut berebutan bunga. Dibelinya bunga itu. Dan diberikannya kepada Tatag karena dia mengetahui bahwa Tatag sakit. Saat ini, malam Satu Sura ini, Tatag tidak mengikuti ritual di desanya. Ia mendaki Bukit Kembang. Sampai puncak bukit. Ia duduk di sebuah batu besar yang ada di puncak bukit itu. Lama sekali. Dipandanginya kerlip-kerlip lampu rumah-rumah penduduk desanya. Dan benderang di tengah desa, di Balai Desa Plawang. Benderang
pertunjukan wayang kulit. Juga didengarnya lirih suara gamelan pengiring wayang. Tak terasa ada sesuatu mengalir lewat pelupuk matanya. Basah mengalir di pipinya. Tatag menangis. Dikenangnya saat dulu dia mengungkapkan rasa cintanya kepada Maonah di tempat itu pula. Di puncak Bukit Kembang. Beberapa tahun yang lalu. Batu besar itu menjadi saksi bisu dan prasasti cinta dua insan dari desa Plawang itu. Sengaja dia mendaki puncak Bukit Kembang pada malam Satu Sura itu. Sengaja dia tak menghadiri dan meyaksikan ritual di desanya. Yang begitu dikeramatkan oleh masyarakat desa Plawang. Terutama ritual pengantin di Sendang Sekartirta. Bukan hanya mengingatkan masa lalunya bersama Maonah. Ada sesuatu yang lebih pedih menusuk hatinya. Sebab pasangan pengantin itu adalah Lurah yang baru. Pak Lurah Darmadji, S.Sos dan Bu Lurah Siti Maonah, S.H. Keduanya menikah beberapa bulan yang lalu setelah Maonah diwisuda dan kebetulan Darmadji dilantik menjadi kepala desa atau lurah baru di Desa Plawang. “Ternyata kamu mampu mewujudkan impianmu, Maonah. Menjadi pengantin perempuan dalam iring-iringan ritual Malam Satu Sura di Desa kita. Desa Plawang.” Batu besar di puncak Bukit Kembang itu kini mencatat sebuah prasasti sebuah tangis seorang pemuda desa Plawang bernama Tatag. Tertanggal 1 Sura tahun 1938 Caka. Temanggung, 10 Februari 2005 Penulis: JOKO PRASETYO Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNY semester akhir. Beberapa karya puisinya pernah dimuat di Antologi Puisi Mencari Tanda Sunyi (Interbud, 2002), Memoar Perjalanan (Dies Natalis FBS UNY, 2004), Gandring (Unstrat, 2004), Majalah Kreativa FBS UNY edisi 1,2, dan 3, dan unstrat.net. Adapun cerpennya pernah dimuat di cybersastra.net. Alamat rumah: Nerasi RT 01/TW IV, Desa Morobongo, Kecamatan Jumo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Kode pos: 56256. Email:
[email protected] , HP: 081578713081