Cerpen Joko Prast 4

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cerpen Joko Prast 4 as PDF for free.

More details

  • Words: 1,541
  • Pages: 3
SMS NYASAR SMS dari nomor yang tak kukenal itu sering kupikirkan terus. Sebenarnya tidak sekali ini ada SMS nyasar ke HP-ku. Pernah ada satu SMS nyasar. Ternyata dari temannya temanku. Kebetulan dia tahu nomorku tapi aku tidak tahu nomornya. Katanya sih salah pencet. Kalau yang ini aku tidak heran. Dan tidak jadi kepikiran terus. Sebab aku tahu nomor nyasar itu dari temanku yang kenal dia. Tetapi SMS yang satu ini agak lain. Aku sudah menanyakan nomornya kepada semua temanku. Hasilnya nihil. Tak seorang pun yang tahu pemilik nomor itu. Pada mulanya aku cuek saja. Tapi setiap aku baca isi SMS itu, aku jadi penasaran pada pengirimnya. Tidak seperti biasa ketika ada nomor baru atau nomor asing yang masuk lewat missed call. Biasanya aku tidak peduli. Aku sudah kapok mengurusi nomor-nomor asing yang masuk. Sebab, sering aku mengirim SMS ke nomor asing yang missed call aku. Kutanyakan baik-baik siapa dia. Kuperkenalkan diriku baik-baik pula. Mereka rata-rata tidak pernah membalas SMS-ku. Lalu aku bersikap cuek terhadap nomor asing. Tak pernah aku gubris lagi. Walaupun dia missed call seratus kali, jangan harap aku membalas apalagi mengirimi dia SMS. Menanyakan siapa dia atau segala macam. Aku menganggap mereka pengecut. Atau mereka pelit. Mengurusi mereka hanya membuang-buang waktu dan membuang-buang pulsa. Namun kali ini agak lain. Sebab yang ini SMS, bukan hanya missed call. Nomornya asing. Isinya tambah asing. Yang membuat aku penasaran. Yon, aq tunggu di alun2 bwh pohn brngin plg bsr. Minggu pg jam 8. aq mo ngmong. Penting. Bls. ‘DEVI’. Isinya memang singkat. Sebelumnya, kukira temanku yang punya nomor baru atau pinjam nomor temannya. Tapi nama Devi itu yang membuat tanda tanya. Aku tidak punya teman bernama Devi. Kalau Dewi ada. Itu pun bukan nama panggilannya. Dewi Rosiani dipanggil Rosi. Dewi Paramitha dipanggil Mitha. Dewi Retnowati dipanggil Retno. Nama Devi inilah yang menyimpulkanku bahwa SMS ini nyasar. Entah dari mana. Yang jelas aku belum kenal siapa pengirimnya. Apalagi sapaan Yon dalam isi SMS itu. Namaku kan bukan Yon. Panggilanku juga bukan Yon. Ah siapa dia? Pertamanya aku bingung. Mau kubalas bagaimana? Kebetulan aku lagi punya pulsa. Apa aku jujur saja kalau aku tidak tahu Devi siapa? Atau kutanyakan dia siapa? Atau kujelaskan kalau aku bukan Yon. Namun aku penasaran seperti apa sih Devi. Dia mau ngomong apa sih. Kok penting, katanya. Terpikir olehku kalau kutemui saja langsung orangnya. Siapa tahu dia bisa dijadikan teman. Atau pacar barangkali. Kalau orangnya baik. Hari Minggu, dua hari lagi. Jam delapan, di bawah pohon beringin paling besar di alun-alun. Maka kukirim saja jawaban: OK! Aq kan dtng sblum jam 8. biar km ga nunggu. Entah kudapat dari mana kata-kata itu. Tibalah hari Minggu yang dimaksud. Aku bangun lebih awal dari minggu-minggu biasanya. Sampai penduduk satu kos keheran-heranan. Biasanya tiap hari Minggu aku bangun paling pagi jam sembilan. Sebab tiap malam aku begadang. Jam tiga dini hari atau bahkan sampai subuh baru tidur. Entah ada saja yang dikerjakan. Ke internet, main game, atau ngobrol dengan teman kos. “Wah, Ju. Tumben baru bangun. Ada kencan ya. Atau mimpi apa hayo semalam? E udah mandi segala.” Irvan yang pertama melihat aku sudah bangun, sudah mandi, dan sudah rapi, menunjukkan keheranannya. “Ada aja!” Jawabku singkat. Susah sekali ternyata bangun pagi. Sampai alarm kusetel tiap satu menit. Tak kupedulikan ocehan dan tatapan takjub teman-teman satu kos. Aku langsung ngacir dengan vespaku menuju alun-alun.

Alhamdulillah baru jam setengah delapan. Aku menunggu seperti janjiku. Tempat ini tidak asing bagiku. Bahkan sangat familier. Di bawah pohon beringin paling besar di alunalun. Di tempat inilah dulu aku sering kencan dengan Neni, pacarku dulu. Kini aku telah diputusnya. Sebab aku sering ingkar janji atau sering terlambat datang. Yah, mau bagaimana lagi. Kendaraanku satu-satunya ini memang sudah uzur. Jadi sudah pikun, kadang kena stroke tidak mau jalan alias mogok. Tempat inilah yang menjadi alasan kedua aku ingin bertemu langsung dengan dia. Dua batang rokok habis menjadi abu saat jam delapan tepat. Sengaja aku duduk agak jauh dari pohon yang dimaksud. Agar kalau dia datang tidak heran melihat orang yang belum dikenalnya. Kupandangi setiap keliling alun-alun. Sesekali kuamati jalan lingkar yang mengelilingi alun-alun. Mengamati dan memperhatikan setiap orang yang lewat. Terutama wanita. Kulihat seorang gadis datang dari arah barat. Hei, dia berhenti di bawah pohon itu. Dia menolah-nolehkan kepalanya. Seperti mencari seseorang. Rambutnya terurai panjang lurus berkibar-kibar. Apakah dia yang bernama Devi? Wah, cantik juga. Meskipun kulitnya agak hitam, tapi manis juga. Ah, pasti dia yang bernama Devi. Tidak ada perempuan lain sejak tadi yang berhenti di bawah pohon beringin itu. Aku berdiri dan mendekatinya. “Ehm. E…maaf, ini Mbak Devi, ya?” sapaku membuka pembicaraan. “Iya, betul”. Nah kan, benar dia yang bernama Devi. Aku agak canggung dan bergetar juga menghadapi dia. “Mas siapa? Kok tahu nama saya?” Aduh dia memanggilku ‘Mas’. Agak lama aku terdiam. Bingung memilih kata yang tepat untuk menjelaskan. Aku juga mempersiapkan mental kalau-kalau dia marah. Semoga dia tidak marah. Kutarik nafas agak dalam sebelum aku bicara. Kutata kata-kata agar dia mau memahami kelancanganku. “Begini, Mbak. Ah, Sebaiknya kita duduk dulu.” “Apa Mas temannya Yono?” Aku tidak segera menjawab. Tapi ajakanku untuk duduk berhasil. Kami duduk bersebelahan. Di bangku yang tersedia di bawah pohon beringin paling besar di alun-alun ini. Alun-alun sudah tidak terlalu ramai. Orang-orang yang biasa berolahraga pagi sudah merasa kepanasan kalau sudah jam delapan. Sebagian mereka sudah pulang. “Mbak.” Aku memulai pembicaraan. “Saya bukan temannya Yono. Bahkan saya sama sekali tidak kenal siapa dia atau belum pernah bertemu dengannya.” Gadis di sebelahku terkejut dengan penjelasanku. Mukanya mulai memerah. Sebelum dia angkat bicara, aku buru-buru meneruskan. “Maaf, Mbak. Mbak boleh marah sama saya. Tapi perkenankan dulu saya jelaskan permasalahannya. Saya sampai di sini karena mendapat SMS dari seseorang yang mengaku dirinya Devi. Saya tidak tahu kenapa SMS itu bisa sampai ke nomor saya. Nah, saya kira Mbak salah kirim atau salah pencet nomor. Mungkin Mbak bisa mengecek lagi nomor yang akan Mbak tuju.” “Apa benar salah nomor? Tapi kenapa tidak kamu jelaskan dari kemarin. Lewat HP kan bisa. Kamu…” “Nah, itu yang saya akan minta maaf sebesar-besarnya kepada Mbak. Maaf atas kelancangan saya. Saya bingung mau menjelaskan bagaimana. Karena SMS dari Mbak benar-benar asing. Saya jadi penasaran untuk ketemu langsung saja dengan Mbak. Dan rencana saya, akan saya jelaskan setelah ketemu langsung dengan orangnya. Biar lebih jelas.” Dia mau menunjukkan kemarahannya. Tapi seperti diurungkannya. Entah mengapa. Sepertinya dia tidak ingin menambah masalah. Sebab, menurut pengamatanku, dari raut wajahnya terpancar kelelahan. Dia seperti sedang dilanda masalah yang sangat berat.

“Oke. Kita cek nomornya. Kalau memang saya salah kirim, saya juga minta maaf. Coba nomormu berapa?” Kutunjukkan HP-ku. Ternyata dia tidak keliru. Nomorku memang yang akan dia tuju, yang katanya nomornya yang telah diberikannya kepada Yono. Aneh. Kenapa bisa sama? Mungkin kartu yang dibawa Yono sudah hangus. Lalu, keluar nomor baru yang kebetulan sama dan kebetulan kubeli. Mungkin saja. Kami sama-sama terheran-heran dengan kejadian aneh ini. “Terus bagaimana, Mbak? Apakah saya akan dihukum atas kelancangan saya? Atau…..sepertinya Mbak ada masalah berat. Mbak kelihatan sangat lelah. Lelah berpikir. Kalau Mbak tidak keberatan, saya mungkin bisa membantu. Atau, jadi pendengar setia pun boleh. Agar Mbak lega. Sekali lagi maaf kalau saya terlalu mencampuri urusan Mbak.” Bagaimana lagi? Sudah terlanjur ketemu, pikirku. “Iya. Nggak apa-apa kok. Eh, jangan panggil aku ‘Mbak’. Panggil saja ‘Devi’. Saya Devi Padmasari. Oh ya, namamu siapa?” “Baik Mbak, eh Devi. Saya Djuari” kami berjabat tangan. Saling memperkenalkan diri. Tak terasa kami jadi akrab. Seperti sudah lama saling kenal. Masalah SMS yang nyasar itu sudah tak terpikirkan lagi oleh kami. Aku dan dia telah sama-sama memaafkan. Karena kejadian ini di luar dugaan pikiran kami masing-masing. Tanpa kuminta, dia bercerita banyak tentang dirinya. Tentang permasalahan yang sedang menimpanya. Dia berpacaran dengan Yono. Lengkapnya Alex Maryono. Sudah lebih dari dua tahun. Devi sangat mencintainya. Apa-apa diberikan kepadanya. Sampai-sampai kehormatannya. Kini Devi sudah hamil tiga bulan. Yono pergi meninggalkannya. Katanya mau mencari kerja dulu di Palangkaraya. Sudah beberapa minggu ini Maryono sulit dihubungi. Devi mau minta pertanggungjawabannya. Telepon tak pernah lagi diangkatnya. Bahkan tidak pernah nyambung. Sudah dicari ke mana-mana, ditanyakan kepada temanteman Yono yang Devi kenal, tapi tak ada yang tahu. Yono seakan telah raib ditelan bumi. Kata Devi, SMS itulah usahanya yang terakhir untuk bisa bertemu Yono. Devi menangis. Aku jadi iba padanya. Katanya lagi, dia telah diusir oleh orang tuanya karena diketahui dia hamil. “Sudahlah, Dev. Lebih baik kita cari makan, yuk! Aku belum sarapan, nih. Kamu pasti juga belum. Mungkin kalau kita sudah makan, pikiran kita bisa lebih jernih mengatasi masalahmu itu. Aku akan sangat bersedia membantumu. Ayo! Eh, tapi motorku sudah tua. Kamu harus siap mendorong kalau si tua itu kumat bandelnya. OK?” Akhirnya dia bisa sedikit tersenyum. Kami pun bersama pergi mencari rumah makan. *** Sudah hampir lima tahun aku jadi hakim. Banyak sudah aku menangani kasus kejahatan di kota ini. Sampai suatu hari aku memutuskan hukuman untuk seorang tersangka korupsi bernama Ir. Alex Maryono. Dia seorang pejabat di kota ini. Laki-laki yang telah kukenal dari Devi tujuh tahun yang lalu itu tak kusangka kini muncul di hadapanku. Sebelum dia dibawa ke tahanan, kutemui dia. “Anakmu sudah besar. Sekarang sudah kelas dua SD. Dia sangat pintar dan lucu sekali.” “Apa maksudmu?” dia keheranan mendengar kata-kataku. “Octavia Padmasari Sutrisno, putri Devi Padmasari. Oh ya, kenalkan, saya Djuari Sutrisno. Selamat siang!” Belum sempat dia berkata, polisi sudah menggiringnya menuju tahanan.*** Temanggung, 10 Februari 2005

Related Documents

Cerpen Joko Prast 4
December 2019 13
Cerpen Joko Prast 1
December 2019 8
Cerpen Joko Prast 3
December 2019 10
Cerpen Joko Prast 6
December 2019 8
Cerpen Joko Prast 7
December 2019 9
Cerpen Joko Prast 8
December 2019 6