Cerpen Joko Prast 1

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cerpen Joko Prast 1 as PDF for free.

More details

  • Words: 1,219
  • Pages: 5
Corat-coret di Jok Bus SEPERTI biasa kalau aku pulang ke desaku, pasti naik bus besar Antar Kota Antar Propinsi. Dari Jogja menuju Magelang. Selama satu jam lebih. Kemudian ganti bus yang lebih kecil, orang menyebutnya engkel. Engkel ini menuju kota kecamatanku, selama hampir dua jam. Setelah itu aku harus berjalan kaki dua kilometer kalau tidak mau naik ojek. Hari ini aku pulang entah yang keberapa kalinya selama hampir empat tahun kuliah di Jogjakarta. Biasanya aku pulang sore hari. Dari Jogja sekitar jam empat. Sampai rumah sekitar jam delapan malam. Hari ini aku tidak pulang sore hari. Karena pagi ini kuliah kosong. Besok libur dua hari. Kuputuskan saja untuk langsung pulang. Seperti biasa, dari terminal Jombor aku naik bus jurusan Jogja-Semarang dan turun di Magelang. Dari terminal Magelang aku langsung naik engkel. Aku duduk di jok belakang. Ternyata pulang pagi agak siang ini ada enaknya ada juga susahnya. Enaknya bisa melihat pemandangan pagi di luar. Dari gunung Merapi-Merbabu sampai gunung Sumbing-Sindoro. Makanya sengaja aku tidak membaca buku seperti yang biasa aku lakukan. Aku ingin menikmati pemandangan yang sudah lama tidak kuperhatikan. Susahnya, perjalanan agak lama. Banyak pengamen, banyak penjual asongan yang kadang membuat pusing. Belum lagi jalanan macet, terutama pas musim tembakau di wilayang Temanggung. Kota kecamatanku sampai macet, bisa melebihi macetnya Jakarta. Siang ini tidak terlalu macet. Musim panen tembakau belum tiba. Dari terminal Magelang pun engkel tidak terlalu penuh penumpang. Tetapi sesampai di

halte SMA 1, bekas almamaterku dulu, engkel yang aku tumpangi penuh sesak oleh anak-anak sekolah. Aku jadi ingat dulu waktu masih di SMA. Ternyata keadaan belum banyak berubah meski sudah hampir empat tahun. Masih seperti dulu. Kalau jam-jam pulang sekolah, hampir tidak ada engkel kosong. Semua sarat penumpang, kebanyakan berpakaian seragam. Putih abu-abu dan putih biru. Anak-anak sekolah itu rela berdesak-desakan. Bahkan tak jarang dulu aku bergelayutan di pintu engkel. Hanya satu tangan berpegangan dan satu kaki bertumpu. Selama hampir satu jam. Tapi kami tidak merasa lelah, bahkan merasa gagah. Kalau sedang untung ya dapat tempat duduk. Engkelku ini kini penuh sesak oleh anak sekolah. Aku jadi tertarik dengan ulah seorang anak SMA yang duduk di jok sebelahku. Dengan cuek dia mengambil tipe-ex dari dalam tasnya. Dia mulai mencorat-coret punggung jok di depannya. Apa yang dia tulis, aku tak tahu. Mataku tak dapat menangkap hasil tulisannya karena agak jauh. Ada-ada saja kelakuan anak sekolah. Paling-paling tulisannya seputar cinta anak sekolah. Coretan titip salam buat si anu, atau umpatan karena ditolak. Dulu aku juga sering menulisi jok seperti dia. Aku jadi teringat dulu waktu ditolak Reni, teman sekelasku. Reni temanku yang sangat rajin. Dia sering pulang belakangan karena sehabis bel pulang dia tidak langsung pulang. Sholat Zuhur dulu di Mushola sekolah terus ke perpustakaan. Sudah lama aku naksir dia. Karena dia sangat unik. Kuperhatikan kebiasaannya. Suatu hari kuputuskan untuk membersamainya pulang. Tentunya setelah dari perpustakaan. Meski aku paling benci yang namanya perpustakaan, aku masuk juga. Pura-pura aku baca buku.

Kuambil buku sekenanya saja. Menunggu Reni selesai baca. Ketika dia beranjak pulang, aku pun beranjak cabut dari tempat paling sunyi di sekolahku itu. Eh aku belum selesai baca novel yang tadi kuambil sekenanya itu. Ternyata isinya menarik juga. Aku penasaran pada akhir ceritanya. Maka aku pinjam saja. Sepertinya itu pertamanya aku pinjam buku di perpustakaan. Yah, sejak itu, aku jadi suka baca novel atau cerita fiksi. Sekolah sudah sepi. Keberanikan diri, kukuatkan nyali. Aku menyapa Reni. Kami menunggu kendaraan bersama di halte. Untung sekali halte sudah sepi. Setelah basa-basi yang benar-benar basi, aku nekat berkata “Ren, sebenarnya aku…aku…” aduh lidahku mendadak kelu. “Aku sudah tahu apa yang akan kamu katakan, Di. Pasti kamu mau bilang; ‘Ren, aku cinta kamu. I Love You. Madi, aku sudah tahu kalau kamu suka aku. Dari dulu. Dari matamu, Di. Dari sikapmu yang kadang over acting atau salah tingkah di hadapanku. Maaf, Di. Sudah terlambat. Sebenarnya aku dulu juga suka kamu. Kutunggu kamu mengatakan itu. Tapi tak kunjung juga. Kini aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak pacaran selama aku sekolah. Sejak aku suka baca-baca buku. Selamat siang!” Jawaban Reni yang sungguh tak kusangka itu terputus karena dia sudah mendapat angkot yang akan mengantarkan dia ke rumahnya. Aku hanya ternganga tak percaya apa yang baru saja kudengar. Tak lama kemudian datang engkel. Aku segera naik. Pikiranku tak karuan waktu itu. Antara bahagia dan sedih. Campur baur. Iseng-iseng kucurahkan perasaanku di jok bus

yang aku tumpangi. Kutuliskan saja “Reni: aku sedih campur bahagia”. Itulah tulisanku di jok-jok bus. Sebuah pengalaman cinta yang unik kurasa. Aku jadi tertarik untuk membaca tulisan di punggung jok di depanku. Lucu-lucu. “Santi: cinta pertama”, “Basir titip salam buat Ida”, “Meli cantik tapi brengsek”, “12 Januari sabtu kelabu”, dan….Mataku tak beranjak dari tulisan yang terakhir kubaca. Kueja berkali-kali, tulisan ini memang benar dan selalu berbunyi sama. Meski sudah hampir tak kelihatan. Ya, tak salah aku mengejanya; “Siapa sich kamu?” Sederhana memang. Tapi tulisan itu mengingatkanku hampir empat tahun yang lalu. Itu adalah tulisanku. Ya, tulisanku sendiri. Yang empat tahun lalu kutulis dengan spidol besar dan kutebali dengan tipe-ex. Aku ingat betul tulisan itu. Waktu itu aku sudah kelas tiga SMA. Hampir lulus. Aku duduk tepat di sini. Di tempat yang aku duduki saat ini. Sendiri. Aku pulang lebih awal karena pasca EBTANAS sudah tidak ada pelajaran. Bus hanya berisi beberapa penumpang saja. Masih banyak tempat yang kosong. Sampai di depan SMA 4, ada beberapa siswa naik bus yang aku tumpangi. Mereka juga kelas tiga mungkin. Salah seorang duduk di sebelahku. Sebenarnya aku sudah memperhatikan dia sejak sebelum dia naik. Dia seorang cewek. Menurutku dia manis sekali. Dan yang paling indah adalah sinar matanya. Ketika pandangan kami sesaat beradu. Sesaat sebelum dia duduk di sebelahku. Setelah dia duduk, dia langsung membuka tasnya. Mengambil sebuah buku dan langsung asyik membaca. Aku terus memperhatikan dia sambil curi-curi pandang. Ternyata yang dibacanya adalah buku kumpulan puisi. Aku ingin sekali bercakapcakap dengannya atau sekedar berkenalan. Siapa tahu dia bisa kujadikan teman,

atau teman istimewa. Tapi dia terus membaca. Tak ada sedetik pun kesempatan untuk kumenyapanya. Tak terasa engkel sudah hampir sampai di tempat tujuanku. Belum dapat juga kesempatan untuk sekedar berkenalan dengannya. Sebagai obat kecewa, sebelum aku turun, kutulis jok di depanku; “Siapa sich kamu?” Aku berharap dia membacanya. Ya, tulisan yang kini masih utuh di hadapanku. Tapi mungkinkah ini tulisanku yang sudah hampir empat tahun yang lalu? Aku hampir tak percaya. Namun ada yang aneh. Ada yang beda. Sebab masih ada terusannya. Tepat di sebelah tulisanku. Ukurannya juga sama dengan tulisanku. Kucoba mengeja “NIKEN KUSUMANINGRUM”. Pasti itu sebuah nama. Apakah itu nama cewek di sebelahku dulu? Aku yakin pasti iya. Wah tulisannya bagus dan rapi. Kalau memang dia yang menulis, ternyata dia mau menjawab juga. Dimana dia sekarang? Sejak saat itu aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Mungkin dia juga kuliah seperti aku, atau barangkali dia sudah lulus. Sejak aku kuliah, aku sudah lupa kejadian itu. Namun wajahnya dan sinar matanya tak pernah aku lupa. Aku masih ingat betul. Eh, tunggu dulu. Niken Kusumaningrum. Sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Bahkan tak asing lagi. Kuingat-ingat. Oh, iya. Kubuka tasku. Kuambil sebuah buku. Buku kumpulan puisi yang beberapa hari yang lalu kubeli. Buku kumpulan puisi yang sedang laris di pasaran. Pengarangnya sedang naik daun di dunia sastra. Bahkan buku antologi puisi itu telah mencapai best seller. Tepat. Niken Kusumaningrum. Itulah nama pengarang dalam buku antologi puisi yang kini kupegang.*** Temanggung, 8 Februari 2005

Related Documents

Cerpen Joko Prast 1
December 2019 8
Cerpen Joko Prast 4
December 2019 13
Cerpen Joko Prast 3
December 2019 10
Cerpen Joko Prast 6
December 2019 8
Cerpen Joko Prast 7
December 2019 9
Cerpen Joko Prast 8
December 2019 6