Psedu- Nasionalisme Rezim Tritarian Oleh: Hendri Teja* Direktur Eksekutif YASIN-Padang Jika Nabi Musa masih hidup, dan diberi kesempatan oleh Tuhan untuk keliling Nusantara untuk mengetuki nisan-nisan para pendiri bangsa (the founding fathers) dengan tongkat saktinya, maka tak pelak Indonesia pasti hujan air mata. Jargon ”apa yang kita bayangkan tentang diri kita, pada suatu waktu akan terjadi pada diri kita”, menjadi tidak berlaku. Catatan sejarah Indonesia, di mana arah perjalanan bangsa telah dirumuskan oleh para pemimpin negeri di awal kemerdekaan yang secara cerdas dalam bentuk semangat, tindakan, inspirasi dan visi arah pembangunan bangsa, tidak mampu lagi menembus hati rakyat. Kalangan tua tidak merasa perlu untuk mengenalinya, dan para pemuda tidak mau mempelajarinya. Akibatnya kemerdekaan Indonesia pun hanya berujung pada tindakan-tindakan salah kaprah. Amien Rais menggambarkan dampak dari tindakan-tindakan salah kaprah itu dengan ”manis” : Kita telah menjadi bangsa yang rapuh secara ekonomi, lembek dalam penegakan hukum, lemah secara pertahanan keamanan, rawan secara sosial, ringkih dalam persatuan bangsa, konfliktif secara politik dan dalam kehidupan bangsa, kita pada umumnya mengalami proses degenerasi secara sistemik1. Belakangan, istilah ”berkehidupan kebangsaan yang bebas” memang ditelikung untuk hanya menyentuh dua aras, yaitu keyakinan kalau kongkrititas kemerdekaan Indonesia adalah terbentuknya NKRI dan tindakan-tindakan untuk mengisi kemerdekaan itu. Secara eksplisit memang tidak ada yang salah, tetapi secara implisit penelikungan itu berdampak signifikan bagi laju perkembangan bangsa Indonesia. Penelikungan itu membuat kemerdekaan Indonesia tidak ubahnya sebuah rumah kosong yang mewah, gratis dan tinggal dilengkapi perabotan, tetapi penghuninya amnesia akan alasan fundamental kenapa “rumah Indonesia” itu wajib dibangunkan. Merdeka memang merupakan sebuah kata sifat bernuansa imperatif yang menuntut proses kerja dan aksi yang tiada henti, tetapi munculnya suatu tindakan jelas menuntut pemahaman akan letak dan apa yang dinamakan kemerdekaan itu sendiri. Pemahaman yang salah akan mengantarkan kepada tindakan yang salah pula. Karena,
kemerdekaan itu ibarat api, dan hanya mereka yang paham dan menguasai ilmu api yang dapat mengambil manfaat darinya. Orang yang ingin merdeka wajib tahu apa artinya tidak merdeka. Tidak merdeka bisa bermakna: kesiapan untuk ditempeleng, dibentak-bentak, diusir, dihina, didiskriminasi, dilempar ke dalam sel, dan/atau dibunuh. Pertanyaannya kemudian, meskipun NKRI terbentuk, benarkah Indonesia sudah benar-benar merdeka? Hatta akan lugas menjawab tidak. Selugas proklamator RI tersebut menyebut kalau revolusi Indonesia memang menang dalam menegakkan negara baru dan menghidupkan kepribadian bangsa, tetapi revolusi itu kalah dalam melaksanakan citacita sosialnya2. Bila ditelisik lebih dalam, pernyataan Hatta tersebut identik dengan konsepsi Trisakti-nya Soekarno, yakni : berdaulat dalam politik – berdikari dalam ekonomi – bermartabat dalam budaya. Secara implisit, pasangan proklamator itu sepakat kalau kemerdekaan sebenarnya hanya merupakan tahapan awal dari cita-cita dan tujuan perjuangan bangsa, yaitu terwujudnya kesejahteraan sosial (social welfare) dan kemakmuran bersama (societal prosperity) bagi seluruh rakyat Indoensia, dan secara eksplisit diyakini kalau tujuan tersebut hanya akan terwujud bila tiga instrument utamanya dapat berdiri tegak, yaitu politik, ekonomi dan budaya. Meskipun begitu, pemikiran Bung Hatta yang menyatakan kalau revolusi telah berhasil menegakkan negara baru dan menghidupkan kepribadian bangsa, saat ini perlu kita telaah kembali. Bukan karena kita menganggap mantan wakil presiden RI tersebut bicara ngawur, tetapi lebih karena sebagai penghormatan untuk melanjutkan pemikiran
tersebut. Karena, kebetulan Bung Hatta tidak mengalami kondisi
kebangsaan di akhir rezim represif Orde Baru dan
dizzy freedom reformasi.
Proklamator RI yang terkenal santun, jujur dan bersahaja itu ”diselamatkan” Tuhan pada suatu penghujung senja pada 14 Maret 1980. Pasalnya, saat ini enam elemen korporatokrasi internasional3 telah berhasil menjebak dan mendiktekan kemauannya kepada elite nasional bangsa Indonesia, yang ironisnya masih memiliki pola pikir dan pola sikap seorang inlander. Indonesia menjadi subordinat kekuatan korporatokrasi internasional. Dampaknya adalah, bukan sekedar lenyapnya “kehidupan kebangsaan yang bebas”, tetapi bahkan juga makin memupuk tergerusnya hakikat semangat kebangsaan anak-anak bangsa. Psedu- Nasionalisme Rezim Tritarian
Penerimaan akan bangsa selalu mensyaratkan penerimaan akan kekosongan cela dan cacat. Akibatnya, pemahaman akan bangsa menghendaki penafsiran dan pendefinsian yang dinamis, dan tak pernah final. Karena itu menjadi penting untuk menegaskan kalau pemahaman akan bangsa menuntut adanya kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencoba mencapai,
mempertahankan,
mengabadikan
dan
penyempurnakan
semangat
kebangsaan. Identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa Indonesia senantiasa dikembangkan dan diperkuat dalam sebuah ruang tempat terjadinya interaksi, pergulatan dan perenungan oleh setiap komponen bangsa itu. Ironisnya Indonesia kekinian telah memperlihatkan gejala terdistorsinya ruang tersebut menjadi “hotel mewah”. Hanya elit nasional orde tritarian4 yang memiliki akses atas ruangan tersebut. Maka tak pelak, konsepsi kebangsaan kemudian ditarik menjauh dari harapan, cita-cita dan tujuan abadi pembentukan bangsa, digantikan oleh psedu-nasionalisme versi elit nasional, tetapi diklaim dan diwajibkan untuk diakui konskrititasnya berasal dari dan milik bangsa Indonesia. Distorsi semangat kebangsaan pun meruyak. Nasionalisme tereduksi menjadi simbol-simbol sarat ambiguitas, di mana kesenjangan akan cita-cita kebangsaan dan realitas yang ada makin melebar. Nasionalisme pun dimaknai sekedar mengerek dwiwarna pada hari-hari besar kenegaraan, kewajiban ikut pemilu, membayar pajak tepat waktu, dan sami’na wa athona atas segenap kebijakan-kebijakan pemerintah. Reaktualisasi nasionalisme kekinian adalah pesawat dan BMW mahal kepresidenan, gedung pemerintahan mentereng, lagu Indonesia Raya tanpa makna, acara serimonial ratusan juta rupiah, peringatan pekik sorak dan pawai kemenangan atau tangisan berhari-hari bagi tim merah putih dalam ajang kompetisi olahraga dunia, atau prosesi penjadian Amrozi cs. sebagai selebriti baru di tanah air. Di lain pihak, kesejahteraan umum makin porak-poranda. Pemerintah belum menemukan resep mujarab untuk mengatasi kesenjangan atas sumber-sumber ekonomi dan sosial masyarakat. Dengan kategori yang tidak rasional, Rp 166.697 perbulan atau Rp 5.500 perhari, BPS per Maret 2008 telah mematok 34, 96 juta orang penduduk Indonesia tergolong miskin. Jumlah tersebut akan melonjak sampai 3-4 kali lipat bila menggunakan standarisasi bank dunia, yakni 2 $AS atau sekitar Rp 21.5005 Disparitas income pun tak memperlihatkan angin baik. Keadaan ini terlihat jelas pada data statistik Gini Rasio semasa 1971-1997 yang memperlihatkan meningkatnya ketimpangan ekonomi penduduk secara terus menerus dari 0,18
menjadi 0,21 dan 0,24, sementara peningkatan ketimpangan berdasarkan rasio pendapatan penduduk daerah terkaya dan termiskin juga tak bisa dipungkiri, yaitu 5,1 (1971) menjadi 6,8 (1983) dan 9,8 (1997)6. Pemerintahan era reformasi belum mampu menyelesaikan persoalan ini. Bank Indonesia mencatat kalau sepanjang 2002-2006, 20 % penduduk Indonesia masih mendominasi pengeluaran masyarakat, dengan kondisi kalau tingkat kemakmuran 40% kelompok penduduk lapisan bawah (pengeluaran terendah) menginjak tahun menjadi semakin menurun. Tabel 1 Kelompok Penduduk Berdasarkan Pengeluaran % Penduduk
% Pengeluaran 2002 2003 2004 2005 40 % Terendah 20.92 20.57 20.8 20.25 40 % Menengah 36.89 37.10 37.13 35.05 20 % Atas 42.19 42.33 42.07 44.70 Gini Rasio 0.29 0.32 0.32 0.374 Sumber : Laporan Perekonomian Indonesia 2006 (BI)
2006 19.2 35.08 45.72 0.354
Ketika kemiskinan kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan pengangguran bergerak progresif, dengan rasio hutang 26 % dari total APBN, Indonesia juga masih dihantui persoalan kesehatan rakyatnya7. Ironisnya, elit nasional orde tritarian ternyata masih juga tutup mata atas terkurasnya sumber daya alam dengan manfaat kecil untuk seperti royalty dan cost recovery kontrak karya pertambangan8 yang merugikan negara, illegal logging, illegal mining dan illegal fishing yang mencapai ratusan triliun rupiah. Fenomena kemiskinan di Indonesia, dalam konteks berbangsa dan bernegara, jelas tidak bisa dianggap sepele. Kemiskinan tetap merupakan salah satu bentuk ancaman nontradisional yang akan menghancurkan daya politik, sosial, psikologis dan kreatifitas manusia untuk mensejahterakan kehidupannya. Akibat jangka panjangnya, kemiskinan tersebut tidak lagi sekedar menyentuh aras instrumental tetapi juga emosional. Kelompok masyarakat itu merasa teralienisasi di antara kemegahan Indonesia. Mereka seperti dilemparkan Tuhan ke padang pasir tak bertuan, tanpa pengayom, tanpa harapan, tanpa perlindungan, akan tetapi koeksistensinya dan kolaborasi di antara manusia seidentitas dapat mengurangi berbagai ancaman dan kecemasan. Garis batas antar kelompok sosial pun menjadi kian tebal tebal akibat sekat-sekat sosial seperti etnis, ras, agama, ataupun asal daerah terintegrasi menjadi satu. Dan NKRI jelas merupakan ladang subur bagi aktivitas ini, mengingat bangsa Indonesia
bertompangkan pada 13.667 pulau,. berpenduduk sekitar 210 juta jiwa, dan terumuskan melalui interaksi berkelanjutan antara 6 agama utama, 300 suku bangsa dengan 583 bahasa lokal. Puncak dari retaknya solidaritas kebangsaan adalah ketika masyarakat merasa lebih nyaman berhimpun dalam wadah primordial, atau memutuskan untuk menarik diri ke dalam payung neotribalisme, ketimbang hidup bersama dalam naungan negara. Celakanya, kelompok-kelompok neotribalisme, yang telah mengalami kehancuran daya politik, sosial, psikologis dan kreatifitas akibat kemiskinan, kemudian menemukan jatidirinya melalui insting primitif bertahan hidup, aksi kekerasan kolektif. Kelompok masyarakat yang merasa diacuhkan negara tersebut kemudian bertransformasi menjadi kerumunan-kerumunan marah (angry crowds). Konflik vertikal maupun horisontal yang berujung pada kekerasan kolektif marak terjadi di segenap pelosok nusantara. Satu persatu nyawa anak bangsa tergadaikan akibat ketidakmampuan negara, dalam konteks ini elit penguasa berwatak tritanian, memberikan jawaban atas keresahan rakyatnya. Konflik PT Freeport dan masyarakat adat menguat, dengan penyelesaian melalui tindakan anarkis dan pembunuhan, sehingga sepanjang tahun 1994-1995 tercatat 44 orang sudah terbunuh9. Belum kering airmata atas wafatnya anak bangsa yang menjadi bantalan roda reformasi dan lepasnya Timor-timor, Indonesia sudah dilumuri darah anak bangsa di Sambas, Kupang, Ambon dan Poso. Otonomi daerah yang digelontorkan memang mampu meredam kekecewaan OPM, dan perjanjian Helsinky akhirnya membuat GAM pulang ke pangkuan ibu pertiwi10, tapi konflik politik juga kian mencuat. Kekecewaan hasil Pilkada dan masalah pemekaran wilayah memicu terjadinya bentrokan massa, pengrusakan rumah lawan politik dan kantor KPUD, sampai pembakaran simbol-simbol negara. Trend kekerasan kolektif selanjutnya dilakukan oleh sekelompok orang yang merasa memiliki otoritas Tuhan dalam mengintervensi kalangan minoritas dengan alasan pelecehan agama. Korban dari konflik di atas diperkirakan sudah mencapai ribuan anak bangsa. Pasalnya, dalam rentang 1990-2003 saja sudah tercatat 3.608 aksi kekerasan kolektif di Indonesia yang memakan korban sampai 11.160 jiwa.
Tabel 2 Distribusi Provinsi : Kekerasan Kolektif di Indonesia Provinsi
Data Base Meninggal % Kejadian Maluku Utara 2.794 25,0 % 72 Maluku 2.646 18,3 % 332 Kalimantan Barat 1.515 13,6 % 78 Jakarta 1.322 11,8 % 178 Kalimantan Tengah 1.284 11,5 % 62 Sulawesi Tengah 669 6,0 % 101 Jawa Barat 256 2,3 % 871 Jawa Tengah 254 2,3 % 655 Jawa Timur 165 1,5 % 506 Sulawesi Selatan 118 1,1 % 223 NTB 109 1,0 % 198 Riau 100 0,9 % 165 NTT 89 0,8 % 55 Banten 37 0,3 % 112 Total 10.758 96,4 % 3608 Total Lainnya 402* 3,6 % 662 Indonesia 11.160 100 % 4270 * angka pada total lainnya didasarkan pada estimasi.
% 1,7 % 7,8 % 1,8 % 4,2 % 1,5 % 2,4 % 20,4 % 15,3 % 11,9 % 5,2 % 4,6 % 3,9 % 1,3 % 2,6 % 84,5 % 15,5 % 100 %
Sumber: Prasodjo (2008) menyitir Varghney, Pangabean, Tandjudin, 2004,hal 34
Amien Rais menyebut fenomena tersebut sebagai gejala awal proses fragmentasi dan proses balkanisasi, sesuatu yang paling dikuatirkan oleh the founding father’s. Tergerusnya “seni bercinta” (the art of loving) yang baik, sehingga interaksi antar kelompok dapat menumbuhkan rasa kebersamaan antar sesama komponen bangsa, berdampak akan rentannya kemampuan negara dan bangsa Indonesia menghadapi sindrom Uni Sovyet, sindrom Yugoslovia dan sindrom Cekoslovakia. Bila kondisi itu yang mencuat, meminjam kalimat Sri Edi Swasono, maka setapak lagi Indonesia akan menyentuh point of no return, ke arah kebangkrutan nasional. Maknanya Indonesia akan mengikuti sejarah Uni Sovyet, Yugoslavia dan Cekoslovakia, menjadi negara dan bangsa yang gagal. Negara yang tak mampu memberikan jawaban atas pencarian jati diri bangsanya. *penulis adalah direktur eksekutif YASIN-Padang
1
Rais, Amien (2008), Makalah : Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia, disampaikan dalam Seminar Kebangsaan Kebangkitan Generasi 2008, Kopindo, Surakarta. 2 Kompas, Pertautan Sejarah : Menggerakkan Indonesia dari Negeri Penguasa, 14 November 2008 3 Enam elemen korporatokrasi internasional itu adalah : kekuatan korporasi besar, kekuatan politik, kekuatan militer, kekuatan perbankan, kekuatan intelektual dan kekuatan media massa. Lihat ck. 1 4 Ali Syariati menyebut orde Trinitarian adalah orde penguasa dengan tiga wajah : politik,emas dan agama. Masing-masing disimbolkan dengan wajah Fir’aun, Karun dan Baalam sebagai turunan dari kesatuan wajah Qabil. Lihat Syariati, Ali, tugas cendikiawan muslim, PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta, 2001. hal. 38-39. 5 Dengan nilai tukar dollar AS Rp 10.750, Padang Ekspres, 3 November 2008 6 Prasodjo B. Imam, Artikel: Merajut Kembali Indonesia Dalam Rangka Kebangkitan Nasional Selasa, 14 Oktober 2008 PT. Freeport adalah salah satu perusahaan pertambangan yang nyata-nyata mengangkangi kedaulatan ekonomi Indonesia. Menurut Pius Ginting, pengurus Walhi Nasional, operasional PT Freeport telah membuat Pegunungan Jayawijaya gompal seluas 449 Ha dengan lubang-lubang sedalam 800 m dan diameter 2,4 km. Diperkirakan 18 juta ton cadangan tembaga, 1430 ton cadangan emas akan dikeruk sampai akhir kontrak kerja 2041. Pada 2005 limbah batuan dan tailingnya sudah mencapai 2 miliar ton, dengan kondisi sejak 1995 PT Freeport telah membuang limba tailing sebanyak 100 ribu -220 ribu ton perhari. Ironisnya, meskipun PDB Papua Barat menempati peringkat 3 dari 30 provinsi, indeks pembangunan manusia Papua Barat berada di urutan 29 dari 30 provinsi. Lihat Ginting, Pius (2008), Warisan Orde Baru Dalam Pertambangan : Mengundang Modal, Memperkosa Alam, hal. 12-15 Jurnal INFID Edisi Juni 2008 7 Laporan MDG’s 2007 Bapennas-United Nations menggambarkan kalau pemerintah Indonesia perlu bekerja keras untuk mengatasi persoalan kesehatan rakyatnya. Sepanjang 1990-2007 tercatat kasus gizi buruk anak naik dari 6,3 % menjadi 8,8 %; gizi kurang anak 35,5% menjadi 28 %, tingkat kematian ibu per 100.000 adalah 390 menjadi 307 kasus, prevalence HIV dan AIDS naik 0,1 %, dan prevelense TBC (per100.000) 786 menjadi 262 8 PT. Freeport adalah salah satu perusahaan pertambangan yang nyata-nyata mengangkangi kedaulatan ekonomi Indonesia. Menurut Pius Ginting, pengurus Walhi Nasional, operasional PT Freeport telah membuat Pegunungan Jayawijaya gompal seluas 449 Ha dengan lubang-lubang sedalam 800 m dan diameter 2,4 km. Diperkirakan 18 juta ton cadangan tembaga, 1430 ton cadangan emas akan dikeruk sampai akhir kontrak kerja 2041. Pada 2005 limbah batuan dan tailingnya sudah mencapai 2 miliar ton, dengan kondisi sejak 1995 PT Freeport telah membuang limba tailing sebanyak 100 ribu -220 ribu ton perhari. Ironisnya, meskipun PDB Papua Barat menempati peringkat 3 dari 30 provinsi, indeks pembangunan manusia Papua Barat berada di urutan 29 dari 30 provinsi. Lihat Ginting, Pius (2008), Warisan Orde Baru Dalam Pertambangan : Mengundang Modal, Memperkosa Alam, hal. 12-15 Jurnal INFID Edisi Juni 2008 9 Lihat Ginting, Pius (2008), Warisan Orde Baru Dalam Pertambangan : Mengundang Modal, Memperkosa Alam, hal. 12-15 Jurnal INFID Edisi Juni 2008 10 Puncak perdamaian antara GAM dan pemerintah RI adalah lawatan Hasan Tiro ke Aceh pada Oktober 2008.