ELIT SAKIT-RAKYAT TERCEKIK1 Hendri Teja2 Akhir Juni lalu, BPS mengumumkan kalau jumlah penduduk miskin per Maret 2008berkurang 2,21 juta orang, atau dari 37,17 juta orang (2007) menjadi 34, 96 juta orang (2008). Angka pengangguran juga menurun 1,12 juta orang. Terlepas dari perdebatan keakuratan data tersebut, yang pasti berapa pun jumlah penduduk miskin, kemiskinan tetap merupakan salah satu bentuk ancaman nontradisional dan
yang
kreatifitas
jangka dapat
menghancurkan
manusia
panjang,
sehingga
akan
untuk
kemiskinan
membahayakan mengancam
politik,
mensejahterakan
juga
merapuhkan
kehidupan
retaknya
daya
psikologis
kehidupannya.
sendi-sendi
berbangsa
solidaritas
sosial,
dan
sosial
bernegara.
sosial
dan
Dalam budaya
Kemiskinan
bermuara
pada
bergeraknya Indonesia menuju titik nadir, menuju kebangkrutan nasional dan negara gagal (failed state). Upaya pengentasan kemiskinan jelas tidak bisa sekedar berpegangan pada aliran reduksionis. Kemiskinan bukan persoalan ekonomi semata. Kemiskinan terkait
erat
negara.
dengan
Penyebab
ketimpangan
kebijakan-kebijakan kemiskinan
distribusi
juga
aset,
ekonomi
meliputi
politik
upah
produktivitas
di
rendah,
yang
diproduksi
bawah
standar,
tekanan
harga,
kebijakan diskriminatif, dan tata politik yang timpang. Persoalannya, saat ini elit penguasa negeri ini tengah terjangkit sakit jiwa akut. Elit telah bertransformasi dari tahap “buta dan tuli†ke tahap kelainan neurotik.
Gangguan
membedakan akibat,
depan
antara dan
kejiwaan benar
ini
dan
belakang.
membuat salah,
Kekuasaan
teori
mereka
tidak
dan
realitas,
menjadi
tujuan
mampu
lagi
sebab
dan
hidup
mereka.
Sementara prinsip politik sebagai seni mengatur, mengurus dan merawat negara
serta
pemerintah
dalam
tanggungjawabnya
untuk
melayani
rakyat
malah tergerus waktu. Bukannya menjadi Ratu Adil, elit penguasa justru “menikahi†korporasi dan lembaga keuangan internasional. Korporatokrasi terbentuk. Penghargaan atas manusia anjlok menjadi sekedar pasar dan angka statistik. Dengan 1 2
Pernah dimuat di www.selamatkan-indonesia.com dan www.gmpi.or.id Penilis adalah Direktur Eksekutif YASIN-Padang
semangat kapitalis, upah atas modal pun jauh melampaui upah atas tanah dan
tenaga.
Terjadi
penghisapan
kekayaan
sumber
daya
alam
dan
ketimpangan kemakmuran. Fenomena kemiskinan pun mencuat ke permukaan Sejarah struktur kekuasaan Indonesia yang pro poor memang lecet oleh ketidakwarasan elit penguasa. Dahulu, Soekarno berteriak: “go to hell with your aidâ€. Hatta bersikeras kalau perekonomian negara mesti berbasiskan kemandirian perekonomian rakyat. Tetapi Soeharto malah mengundang IMF dan memfasilitasi politik pengurasan para kroninya. Akibatnya, hutang Indonesia pada Bank Dunia dan IMF membengkak. Soepriyatno (2008) mencatat kalau jebakan hutang pemerintah per 31 Desember 2007 telah mencapai Rp 1427,8 triliun, sementara nilai asset
negara
hanya
Rp
1.366,47
triliun.
Maknanya
Indonesia
defisit
sampai Rp 61,3 triliun. Politik pengurasan hanya berminat pada produk, bukan pada manusianya. Sejarah bangsa mencatat kalau sejak abad 17, kekayaan alam Indonesia sudah dikeruk habis-habisan oleh bangsa-bangsa imperialis. Bahkan pada awal Perang Dunia II tersiar kalau 20 persen kemakmuran Belanda disumbang dari minyak,
timah,
batubara,
hasil
bumi
dan
gula
yang
diangkut
dari
kepulauan Nusantara (Tempo;19-08-2001). Kini setelah 63 tahun kemerdekaan Indonesia, keadaannya tak jauh beda. Kekayaan
alam
dikuras
tanpa
imbalan
seimbang.
Kontrak
karya
pertambangan, royalti dan cost recovery dengan manfaat yang menghina kedaulatan rakyat tetap dilangsungkan. Illegal logging, illegal fishings, dan illegal mining membikin negara mengalami kerugian hingga ratusan triliyun rupiah. Defisit APBN akibat kenaikan harga minyak digembor-gemborkan. Subsidi BBM dipotong dan BLT ditebar. Konflik pun menjalar ke masyarakat. Mulai dari rumah ketua RT yang diserbu warga yang tidak kebagian BLT, saling sumpah antara sopir dan penumpang perihal ongkos armada, pupuk langka, sampai
harga
barang-barang
yang
melejit..
Ironisnya,
pemerintah
kemudian malah “pasang badan†untuk PT. Lapindo Brantas. Event olahraga, apel akbar kebangsaan dan serimonial berbudjet milyaran lainnya tho tetap juga dilaksanakan. Sikap oportunis politik menjadi-jadi. Para menteri kabinet Indonesia Bersatu sepakat di
DPR,
atas Parpol
kebijakan para
menteri
tersebut
kenaikan malah
BBM. menghakimi
Tetapi pemerintahan
SBY-JK. PDIP dan PKB berebut memelopori hak angket, padahal Abdurahman Wahid dan Megawati, ketika berkuasa, juga melakukan kebijakan yang sama. Namun yang paling mengelikan antara “tradisi†hubungan buruk enam presiden dalam sejarah Indonesia. Jusuf Kalla dalam peringatan 100 tahun Mohammad dengan
Natsir
Soeharto,
mengungkapkan
Soeharto
malas
kalau
bicara
Soekarno
dengan
ogah
Habibie,
ngomong
Habibie
tidak
mau bicara dengan Gus Dur, Gus Dur enggan berkomunikasi dengan Megawati dan Megawati juga tidak saling bicara dengan SBY. Pengentasan kemiskinan akan menjadi keniscayaan hanya bila struktur kekuasaan dapat disterilkan dari elit neurotik. Ibarat rumah sakit jiwa, maka struktur kekuasaan negeri ini membutuhkan seorang dokter yang bukan hanya waras tetapi
juga
berani.
Dokter
yang
penakut
bisa-bisa
dibuat
pingsan
oleh
tindakan gila para pasiennya. Pemimpin waras bercirikan beradab, beretika dan rasional. Ketiganya adalah landasan
bagi
struktur
seorang
kekuasaan
memproduksi peningkatan orientasi
blue
pemimpin
untuk
rawan
godaan.
yang print
waras,
kesejahteraan
rakyat
dan
kebijakan
ekonomi
memposisikan Pemimpin
menjadikan sebagai
diri
upaya
dan
dalam
jelas
akan
perbaikan
dan
waras
prioritas
politiknya,
di
pada
memiliki
seluruh
kemampuan
untuk mengklasifikasikan tingkat kelainan neurotik para bawahannya. Pemimpin dimajukan
berani
sebagai
obat
merupakan sakit
eksekutor.
jiwanya
elit
Reward penguasa.
dan
punishment
Pemimpin
berani
dibutuhkan untuk merenegosiasi pembayaran hutang luar negeri, menolak privatisasi
dan
menuntut
pengembalian
aset-aset
stategis
bangsa.
Dan
karena kekuasaan acap bergelimang lumpur, maka pemimpin tersebut akan berani kontrak
melakukan politik
kontrak
tersebut
politik
gagal,
dengan
maka
konstituennya.
pemimpin
berani
jantan dengan tidak mencalonkan diri lagi pada periode selanjutnya.
Bila akan
klausul bersikap