Mafia Hukum dan Kesejahteraan Rakyat Kecil* Oleh: Hendri Teja** Belakangan ini Indonesia digoncang sengketa KPK VS Polisi, yang notabene merupakan simbolisasi masih mengakarnya praktik mafia hukum di negeri ini. Sebagian orang menilai kalau sengketa itu hanya merupakan keriuhan elit yang tidak berkorespondensi dengan kesejahteraan rakyat kecil. Padahal kegagalan penyelesain sengketa itu secara beradab akan berdampak secara tidak langsung dengan kesejahteraan buruh. Sengketa antara KPK VS Polisi adalah salah satu puncak ketidakpastian hukum. Celakanya supremasi hukum merupakan salah satu pilar pertimbangan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pasalnya mafia hukum bukan sekedar mafia kasus (markus), melainkan juga meliputi oknum-oknum internal kepolisian, kejaksaan, pengadilan maupun KPK itu sendiri. Markus hanya bekerja bila pengusaha melakukan kesalahan-kesalahan pelik sehingga mesti diselesaikan melalui jalur hukum formal. Tetapi okum aparat hukum ranahnya lebih luas lagi. Mereka bukan sekedar mampu memperjualbelikan surat pemanggilan, status tersangka atau mengungkit-ungkit permasalahan yang sudah selesai. Mereka juga dapat berimajinasi tentang kasus-kasus yang bisa ditimpakan pada para pengusaha, bahkan meskipun para pebisnis itu tidak melakukan kesalahan apa-apa. Kemampuan merekayasa ini tergambar melalui rekaman Anggodo Widjoyo dan para penegak hukum perihal skenario kriminalisasi Bibit-Chandra. Pengakuan Wiliardi Wizardi yang dipaksa terlibat dalam skenario menjerat Antasari Azhar semakin memperkuat kemampuan itu. Bila tindakan itu dapat menimpa para penegak hukum, lalu apa yang menghalanginya terjadi juga pada para pengusaha. Pengusaha yang ketakutan terpaksa membayar uang sesuai permintaan. Pemerasan itu memang tidak langsung mendongkrak biaya produksi, tetapi pasti berdampak pada cashflow (aliran modal) perusahaan. Dalam jangka panjang akhirnya tindakan itu akan berdampak negatif terhadap kelangsungan perusahaan. Djimanto Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) pernah memperkirakan kalau tambahan biaya para pengusaha yang berpekara di meja hijau dapat mencapai 30 % dari total produksi. Akibatnya laju investasi terhambat. Pengusaha urung berinvestasi di Indonesia. Pembukaan lapangan pekerjaan bagi 9.427,6 ribu penganggur di Indonesia (BPS; 2008) masih akan menjadi permasalahan keseharian. Yang terparah apabila kondisi ini mendorong terjadinya arus pelarian modal ke negara-negara yang iklim usahanya lebih kondusif sebagaimana yang pernah terjadi di awal reformasi dahulu. Gelombang PHK dapat muncul kembali. Akibatnya kesejahteraan buruh jelas bakal semakin morat-marit. * pernah dimuat di Harian Media Indonesia edisi Rabu, 18 November 2009 ** penulis adalah Wasekjend PB Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (GASBIINDO)