Prosiding Seminar Ilmiah Bbmkg Wilayah I.pdf

  • Uploaded by: Qurrata
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Prosiding Seminar Ilmiah Bbmkg Wilayah I.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 53,410
  • Pages: 194
Jl. Ngumban Surbakti No 15 Sempakata Medan, 20131 Telp.(061) 8222877, Fax (061) 8222878 Email: [email protected], Website: bmkg.go.id/bbmkg-wilayah-1

KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan Puji Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penyusunan Prosiding Seminar Karya Tulis Ilmiah di Lingkungan Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah I Tahun 2017 dapat terselesaikan. Prosiding seminar ini merupakan edisi pertama yang diterbitkan oleh BBMKG Wilayah I. Prosiding ini merupakan kumpulan tulisan ilmiah dari penelitian mandiri yang dilakukan oleh beberapa pegawai BMKG di lingkungan BBMKG Wilayah I dan UPT BMKG yaitu Stasiun Meteorologi Kualanamu Deli Serdang, Stasiun Klimatologi Deli Serdang, Stasiun Geofisika Tuntungan, dan Stasiun Meteorologi Maritim Belawan. Hasil penelitian telah diseminarkan oleh masing-masing peserta (pemakalah) dalam kegiatan Lomba Karya Tulis Ilmiah untuk memperingati Hari Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Nasional ke-70 di BBMKG Wilayah I Tahun 2017. Seminar ilmiah tersebut telah dilaksanakan pada tanggal 15 Agustus 2017 bertempat di Aula Kantor BBMKG Wilayah I Medan. Jumlah Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang dimuat dalam prosiding sebanyak 18 judul. Beberapa tema yang disampaikan berupa analisis, kajian dan bahasan yang berkaitan dengan Cuaca, Iklim, Kualitas Udara dan Geofisika. Berdasarkan hasil penilaian tim Juri lomba Karya Tulis yang terdiri dari Kepala BBMKG Wilayah I dan beberapa Kepala UPT BMKG di Medan dan sekitarnya maka telah ditentukan sebanyak tiga buah pemakalah KTI yang terbaik. Pemakalah terbaik pertama yaitu Endah Puspitasari, S.Tr dengan judul “Pengaruh Panjang Cuplikan Sinyal Dan Jarak Episenter Terhadap Penentuan Mwp Pada Gempabumi Besar Di Sumatera”, pemakalah terbaik kedua yaitu Theresia G Simbolon, S.Tr dengan judul “Analisis Peluang Curah Hujan Dengan Metode Forward Dan Backward Di Pos Hujan Gabe Hutaraja, Kab. Tapanuli Utara, Sumatera Utara”, dan pemakalah terbaik ketiga yaitu Rizki Fadhillah Pratama Putra, S.Tr dengan judul “Wave Hasil Permodelan Wavewatch-III dengan Data Satelit JASON-2 dan Data Observasi Buoy”. Dengan terbitnya Prosiding Seminar Karya Tulis Ilmiah BBMKG Wilayah I, diharapkan kumpulan KTI ini dapat bermanfaat untuk semua pihak baik untuk bahan acuan penelitian maupun untuk pelayanan dan penyebaran informasi MKG. Demikian pengantar dari kami selaku Koordinator Seminar Ilmiah di BBMKG Wilayah I. Sesuai Pepatah “ Tiada gading yang tidak retak”, maka semua masukkan serta saran untuk kesempurnaan prosiding ini sangat kami harapkan. Terimakasih atas bantuan dan dukungan dari semua pihak yang telah membantu terbitnya Prosiding Seminar Karya Tulis Ilmiah BBMKG Wilayah I. Medan, Oktober 2017 Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Wilayah I Kepala,

Edison Kurniawan, S.Si, M.Si

DAFTAR ISI Pengaruh Panjang Cuplikan Sinyal Dan Jarak Episenter Terhadap Penentuan Mwp Pada Gempabumi Besar Di Sumatera

Endah Puspita Sari

1

Analisis Peluang Curah Hujan Dengan Metode Forward Dan Backward Di Pos Hujan Gabe Hutaraja, Kab. Tapanuli Utara, Sumatera Utara

Theresia G.Simbolon, Alfonsius C.Siregar, Nikita Pusparini

9

Verifikasi Nilai Significant Wave Hasil Permodelan Wavewatch-III dengan Data Satelit JASON-2 dan Data Observasi Buoy

Rizki Fadhillah Pratama Putra

18

Analisis Pengaruh Angin Darat Dan Angin Laut Terhadap Aktivitas Konvektif Di Deli Serdang

Immanuel J. A. Saragih, Agie W. Putra, Deassy E. Doloksaribu

31

Analisis Indeks Seruakan Dingin Terhadap Sebaran Hujan Di Sumatera Utara

Christen Ordain Novena Marpaung, Dr. Widada Sulistya, DEA

46

Variabilitas Antar Tahunan Presipitasi Di Perairan Selat Malaka Terkait Dengan Indian Ocean Dipole

Budi Prasetyo, Nikita Pusparini

52

Analisis Komponen Angin Permukaan Di Landasan Pacu Bandara Internasional Kualanamu – Deli Serdang

Cristine W. Simanungkalit , Immanuel J. A. Saragih, Muhammad Fachry

62

Sistem Monitoring Kadar Air Tanah Berbasis Arduino Mega2560

Christiani Maulina Datimoria Aruan

70

Transmisi Otomatis Informasi Hujan Ektrim Menggunakan Komunikasi Short Message Service

Muhamad Soleh

84

Rancangan Sistem Peringatan Dini Banjir Berbasis SMS Gateway

Rizky Ananda Putra, Sandi Andoni, Rini Kumalasari Purba

96

Analisis Hubungan Hujan Lebat Per Tiga Jam Dengan Sirkulasi Angin Harian Tahun 20002012 Di Stasiun Meteorologi Polonia, Kota Medan

Qurrata A’yun Kartika, Soetamto

107

Pemetaan Zona Upwelling Berdasarkan Pola Kejadian Monsun untuk Memaksimalkan Daerah Penangkapan Ikan di Indonesia

Rizki Fadhillah Pratama Putra

119

Perancangan Dan Pembuatan Magnetometer Digital Dengan Sensor Magnet HMC5883L Berbasis Web

Rizky Ananda Putra

130

Model Prakiraan Curah Hujan Bulanan Menggunakan Regresi Komponen Utama Dengan Multi Prediktor (Studi Kasus Zona Musim 6 Sumatera Utara)

Sahata Pakpahan

142

Perencanaan Jaringan Pos Hujan Menggunakan Metode Kagan Di Kabupaten Deli Serdang

Siska Chrisvenny Rajagukguk

154

Validasi Prekursor Gempabumi Berbasis Data Magnet Bumi Frekuensi ULF Di Stasiun Geofisika Tuntungan

Yosi Setiawan, NikenWoropalupi, Bertalina Sihotang

164

Kondisi Atmosfer Ketika Sebaran Abu Vulkanik Gunung SinabungDi Sekitar Stasiun Meteorologi Kualanamu

Cristine Widya Simanungkalit

173

Analisis Mesoscale Convective Complex (MCC) Di Benua Maritim Indonesia

Ellya Veronika Iriani Manurung

180

PENGARUH PANJANG CUPLIKAN SINYAL DAN JARAK EPISENTER TERHADAP PENENTUAN Mwp PADA GEMPABUMI BESAR DI SUMATERA Endah Puspita Sari, SST Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Wilayah I Medan Jalan Ngumban Surbakti no.15, Medan 0813 7098 8249 Email: [email protected]

ABSTRAK Magnitudo merupakan salah satu parameter penentu dalam pengambilan keputusan peringatan dini tsunami yang menggambarkan besarnya kekuatan energi gempabumi. Sebagai lembaga pemerintah yang bertanggung jawab memberikan berita gempabumi dan informasi peringatan dini tsunami, BMKG perlu menggunakan metode penentuan magnitudo yang lebih cepat dan tepat untuk gempabumi-gempabumi besar karena pada beberapa jenis magnitudo mengalami saturasi di atas skala tertentu . Pada penelitian ini terdapat enam kejadian gempabumi di Sumatera dan sekitarnya yang dijadikan studi kasus dalam penentuan magnitudo momen menggunakan gelombang P pada seismogram broadband, yang disebut sebagai Mwp. Data yang digunakan adalah seismogram broadband komponen vertikal dari masing-masing kejadian gempa dengan jumlah stasiun yang bervariasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Tsuboi dkk., 1995. Magnitudo momen (Mw) dari katalog Global Centroid Moment Tensor (Global CMT) digunakan sebagai referensi pembanding. Hasil rata-rata Mwp menunjukan adanya korelasi yang baik dengan Mw Global CMT. Penentuan Mwp juga meberikan hasil yang cukup tepat hingga panjang cuplikan 70 detik, sehingga penentuan parameter magnitudo gempabumi lebih cepat. Jarak episenter setiap stasiun tidak berpengaruh pada hasil Mwp. Kata kunci: magnitudo, Mwp, gelombang P, cuplikan sinyal, jarak episenter 1.

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di pertemuan lempeng, sehingga sebagian besar wilayah Indonesia tidak bisa terlepas dari aktivitas gempabumi dan tsunami. System SeisComP3 masih menggunakan penentuan skala magnitude gelombang badan (mb) yang memiliki saturasi < skala 7. Oleh karena itu sangat diperlukan metode penentuan magnitude momen (mw) dalam pengambilan keputusan potensi tsunami yang cepat dan tepat, supaya masyarakat lebih cepat dalam menyelamatkan diri. Dalam hal pemberian informasi peringatan dini tsunami, perhitungan magnitudo momen berdasarkan gelombang P (Mwp) merupakan alternatif yang paling efektif (Tsuboi dkk., 1995).

1

2.

LANDASAN TEORI

Sesuai dengan teori gelombang bahwa gelombang P merupakan pembawa informasi energi gempabumi yang terekam pertama kali di permukaan bumi (Borman, 2002). Secara teori, gelombang P akan teramati lebih jelas pada komponen vertikal (Hovskov dan Ottemoller, 2010) dibandingkan pada komponen north-south (NS) dan east-west (EW). Oleh karena itu komponen vertikal, BHZ, pada seismograf broadband dipilih ketika melakukan analisa terhadap gelombang P. Untuk mengatasi hal tersebut, Kanamori (1977) memperkenalkan konsep dari magnitudo momen dalam ilmu kegempaan yang dihitung berdasarkan pendekatan besarnya momen seismik suatu gempabumi. Rumusan dari magnitudo momen adalah sebagai berikut (Kanamori dan Hank, 1979):

Mw  (log Mo  9.1) / 1.5

(1)

Penentuan momen seismik Mo, diperoleh melalui persamaan berikut (Tsuboi dkk., 1995).

𝑀𝑜 = 𝑚𝑎𝑥 (∫ 𝑢𝑧 (𝑥𝑟 , 𝑡)𝑑𝑡

4𝜋𝜌𝛼3 𝑟 𝐹𝑃

)

(2)

Nilai densitas batuan, , dinyatakan dalam 3.5 x 103 kg.m-3. Nilai tersebut diasumsikan sebagai rata-rata kerapatan batuan di kerakbumi (Kanjo, 2006).

Kecepatan rambat gelombang P sangat tergantung pada medium yang dilewatinya. Kecepatan gelombang P yang jelas terlihat (apparent P velocity, APV) dinyatakan sebagai . Tsuboi dkk. (1995, 1999) menetapkan harga  sama dengan 7.9 km/detik. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, Kanjo dkk. (2006) menggunakan metode hubungan jarak dan kecepatan gelombang P berdasarkan table model bumi IASP91 sehingga mendapatkan nilai tetapan apparent P velocity (APV),  sebagai berikut. 𝛼 = 0.16∆ + 7.9 𝑘𝑚⁄𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘

(3)

Jarak episenter yang disimbolkan dengan r merupakan proyeksi pusat gempabumi yang diukur terhadap stasiun. 𝑟 = 𝑐𝑜𝑠 −1 {𝑠𝑖𝑛𝜃𝐸 . 𝑠𝑖𝑛𝜃𝑆 + 𝑐𝑜𝑠𝜃𝐸 . 𝑐𝑜𝑠𝜃𝑆 . 𝑐𝑜𝑠(𝜙𝑆 − 𝜙𝐸 )} × 6371

(4)

Dari rumusan Kanamori (1977; 1979), untuk setiap komponen vertikal broadband, tidak diperhitungkan koreksi untuk pola radiasi, karena pada saat perhitungan momen seismik skalar FP dinyatakan sebagai nilai konstan sama dengan 1. Untuk mengkoreksi pola radiasi yang tidak diperhitungkan sebelumnya, perlu menambahkan 0.2 pada Mw pada Persamaan (2.10) sehingga diperoleh Mwp (Tsuboi dkk., 1999; Kanjo, 2006) sehingga rumusannya menjadi sebagai berikut. 𝑀𝑤𝑝 = 𝑀𝑤 + 0.2

(5)

2

3.

HIPOTESIS

Perhitungan magnitudo momen berdasarkan fase gelombang P (Mwp) diharapkan dapat menghasilkan harga estimasi magnitude momen suatu gempabumi yang sesuai dengan magnitude momen (Mw) dari Global CMT. Penentuan Mwp dilakukan dalam berbagai rentang durasi sinyal untuk melihat pengaruh panjangnya durasi sinyal yang digunakan dalam penentuan Mwp.

4.

DATA

Data yang digunakan dalam penelitian adalah sinyal dari 6 kejadian gempabumi besar di wilayah Sumatera dari tahun 2010 hingga 2012 dengan Mw > 6.0 dengan kedalaman < 70 km yang diunduh dari Incorporate Research Institution of Seismology- Data Management Center (IRIS-DMC) Wilber (http://www.iris.edu/dms/wilber3.htm). Data yang digunakan adalah komponen vertical (BHZ,broadband). Daftar kejadian gempabumi:  Gempabumi Mw 6.7 Di Bengkulu Pada 5 Maret 2010  Gempabumi Mw 7.8 Di Mentawai Pada 25 Oktober 2010  Gempabumi Mw 7.2 Di Aceh Pada 10 Januari 2012  Gempabumi Mw 8.6 Di Aceh pada 11 April 2012  Gempabumi Mw 8.2 Di Aceh Pada 11 April 2012  Gempabumi Mw 6.4 Di Sumatera Utara pada 25 Juli 2012

5.

METODE PENELITIAN

Sebelum membuat macro script untuk perhitungan Mwp, pertama kali harus menghitung apparent P velocity  dan jarak episenter r menggunakan Persamaan (2.1) dan (2.13) menggunakan Microsoft Excel 2010. Macro script dijalankan menggunakan program SAC untuk menentukan nilai Mwp pada setiap stasiun. Hasil perhitungan Mwp dari SAC kemudian dibandingkan dengan nilai magnitudo Global CMT. Semua langkah dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 1 berikut.

3

Mulai

Data velocity seismograf broadband

Memotong sinyal n detik (10 detik sebelum P dan n-10 detik setelah P) Mengintegralkan untuk memperoleh sinyal displacement

Mengintegralkan displacement dan mengabsolutkan

Menghitung : =

=

Menghitung:

=

Menghitung:

3

4

( , )

(∫

(

)

)− .1 1.

+ 0.2

Data Mw Global CMT N

Fit ? Mwp - Mw

Y

Selesai

Gambar 1. Diagram alir langkah kerja.

6.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari keenam kasus gempabumi di atas terdapat variasi pada setiap penentuan untuk masing-masing stasiun pada nilai magnitudo ini salah satunya disebabkan oleh perbedaan respon kecepatan yang terekam pada masing-masing stasiun yang dipengaruhi oleh jenis sensor, medium perambatan, serta kondisi penempatan sensor itu sendiri. Untuk kasus gempabumi-gempabumi yang berkekuatan Mw yang lebih besar dari 7, hasil penentuan Mwp maksimum menunjukkan hasil yang cukup sesuai, dengan ditandai selisih relatif 4

kecil antara rata-rata Mwp semua stasiun dan Mw dari katalog Global CMT, tetapi kurang sesuai untuk kasus gempabumi dengan Mw kurang dari 7 yang ditandai selisih yang cukup besar hingga mencapau +0.73 dibandingkan dengan Mw dari katalog Global CMT. Hal tersebut sesuai dengan sifat bias Mwp saat dibandingkan dengan Mw yang menyatakan secara umum nilai Mwp akan lebih tinggi dari Mw untuk gempabumi dengan Mw kurang dari 6.8 (Whitmore dkk., 2002).

(a)

(b)

Gambar 2 (a) Grafik hubungan Mwp terhadap Mw Global CMT; (b) Grafik hubungan Mwp (data Mwp maksimum diganti dengan Mwp rata-rata untuk magnitudo < 7) terhadap Mw Global CMT. Gambar 2 (a) dan (b) menunjukkan hubungan antara Mwp terhadap Mw Global CMT. Pada gambar 4.2 (a) jelas terlihat bahwa hubungan Mwp dengan Mw Global CMT mempunyai korelasi yang cukup baik yaitu 0.9615. Namun, korelasi ini masih lebih rendah daripada hubungan Mwp (data Mwp maksimum diganti dengan Mwp rata-rata untuk magnitudo < 7 ) terhadap Mw Global CMT yaitu 0.9791. Korelasi yang baik antara Mwp dengan Mw Global CMT ini membuktikan bahwa metode penentuan magnitudo gempabumi dengan menggunakan porsi awal gelombang P atau yang disebut sebagai Mwp cukup akurat dan dapat digunakan dalam penentuan awal kekuatan gempabumi secara cepat dalam memperkirakan ukuran kekuatan gempabumi (Tsuboi dkk., 1995; Tsuboi dkk., 1999; Kanjo dkk., 2006). Khususnya untuk kasus gempabumi yang berpotensi tsunami baik tsunamigenic earthquake maupun tsunami earthquake, Mwp memberikan nilai yang lebih relevan untuk pemberian informasi peringatan dini tsunami (Tsuboi, 2000; Kanjo dkk., 2006; Perdanawati, 2012). Dari keenam kasus tersebut dengan adanya perbedaan panjang cuplikan sinyal yang digunakan dalam perhitungan Mwp menimbulkan pengaruh yang berbeda-beda untuk setiap rentang skala magnitudo. Untuk skala magnitudo lebih dari 6.0 hingga kurang dari 7.0 menunjukkan nilai Mwp yang kurang tepat karena selisih antara rata-rata Mwp dari semua stasiun dengan Mw cukup besar antara +0.60 hingga +0.73, sedangkan untuk rentang magnitudo lebih dari 7.0 menunjukkan nilai Mwp yang hampir sesuai dengan Mw Global CMT. Pada magnitudo kurang dari 7 nilai yang lebih relevan ditunjukkan oleh Mwp rata-rata untuk masing-masing stasiun.

5

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

6

(g)

(h)

(i)

(j)

Gambar 3 Grafik hubungan Mwp untuk (a) CR 120 detik; (b) CR 110 detik; (c) CR 100 detik; (d) CR 90 detik; (e) CR 80 detik; (f) CR 70 detik; (g) CR 60 detik; (h) CR 50 detik; (i) CR 40 detik; (j) CR 30 detik; dan (k) CR 20 detik terhadap Mw Global CMT

(k) Jika ditinjau dari nilai rata-rata Mwp untuk setiap panjang cuplikan mulai dari 130 detik hingga 20 detik, secara umum hasil yang didapatkan cukup baik. Gambar 2 di atas menunjukkan hubungan antara Mwp dengan Mw Global CMT. Korelasi yang tinggi 7

ditunjukkan oleh CR 120 detik hingga 70 detik yaitu antara 0.9649 (Gambar 3 (a)) hingga 0.9534 (Gambar 3 (b)), sedangkan untuk yang lainnya kurang menunjukkan adanya kesesuaian bahkan untuk CR 20 detik harga korelasinya hanya 0.5403.

7. KESIMPULAN Bedasarkan pembahasan hasil penentuan Mwp dari keenam kejadian gempabumi dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa : Mwp memberikan perkiraan magnitudo momen yang paling cepat dan tepat, sesuai dengan Mw dari Global CMT pada gempabumi besar khususnya untuk gempabumi yang lebih besar sama dengan skala 7.0, sedangkan untuk magnitudo kurang dari 7 hasilnya kurang sesuai. Panjang cuplikan sinyal dalam penentuan Mwp yang menghasilkan perkiraan magnitudo momen yang cukup cepat yaitu panjang cuplikan lebih besar sama dengan 70 detik, sedangkan panjang cuplikan yang terlalu singkat akan menyebabkan nilai nilai yang terlalu kecil sehingga hasilnya tidak akurat. Jarak stasiun terhadap episenter gempabumi tidak berpengaruh terhadap nilai Mwp, sehingga Mwp dapat diaplikasikan untuk gempabumi lokal, regional, maupun jarak jauh.

Daftar Pustaka Bormann, P. (eds). 2002. IASPEI New Manual of Seismological Observatory Practice (NMSOP). GeoForschungsZentrum, Potsdam, ch.4, p.1-3, 25. Kanjo, K., Furudate, T., Tsuboi, S.. 2006. Application of Mwp to the Great December 26, 204 Sumatra Earthquake. Earth Planets Space, 58. Pp. 121-126. Kanjo, K. dan Okamoto, Kuninori. 2008. Practice of Seismic Analysis Code. IISEE Lecture Note 2007-2008. IISEE, BRI. Kanamori, H.. 1972. Mechanism of Tsunami Earthquake. Phys. Earth Planet Interor 6. Hal 346-359. Kanamori, H.. 1977.The Energy Release In Great Earthquakes. Journals of Geophyisic Research., 82, 2981–2987. Tsuboi, S., K. Abe, K. Takano, and Y. Yamanaka. 1995. Rapid Determination of Mw from broadband P waveforms. Bulletin of Seismological Society of America. 83. 606– 613. Tsuboi, S., P. M. Whitmore, and T. J. Sokolowski. 1999. Application of Mwp to Deep And Teleseismic Earthquakes, Bull. Seism. Soc. Am., 89, 1345–1351. Tsuboi, S.. 2000. Application of Mwp to Tsunami Earthquake. Geophys. Res. Lett., 27, 3105-3108.

8

ANALISIS PELUANG CURAH HUJAN DENGAN METODE FORWARD DAN BACKWARD DI POS HUJAN GABE HUTARAJA, KAB. TAPANULI UTARA, SUMATERA UTARA Theresia G.Simbolon, Alfonsius C.Siregar, Nikita Pusparini Stasiun Klimatologi Deli Serdang Jl. Meteorologi Raya No. 17 Sampali, Deli Serdang

ABSTRAK Penelitian mengenai analisis peluang curah hujan dengan metode hitung maju dan mundur di wilayah Gabe Hutaraja, Kab. Tapanuli Utara telah dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk penentuan musim tanam dan waktu tanam palawija dan padi sawah. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data curah hujan dari tahun 1987 hingga 2016. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan peluang curah hujan 80% pada kisaran 75 mm hingga 500 mm, panjang musim tanam di Gabe Hutaraja adalah selama 8 bulan mulai dari September dasarian I hingga April dasarian II. Musim tanam untuk tanaman palawija dimulai pada September dasarian I, sedangkan untuk padi sawah dimulai pada Oktober dasarian I. Kata Kunci: Maju dan mundur, musim tanam, waktu tanam.

ABSTRACT Research on determining the rainfall chance by forward and backward method in Gabe Hutaraja area, North Tapanuli district has been conducted. The purpose of this research is to determine the cropping season and cropping time of palawija crops and rice paddy. The research was conducted using rainfall data from 1987 to 2016. The results of this study indicated that based on 80% chance of rainfall in the range of 75 mm to 500 mm, the length of the cropping season in Gabe Hutaraja is for 8 months starting from the first decade of September to second decade of April. The cropping season for palawija crops began in the first decade of September, meanwhile for paddy rice began in the first decade of October. Keywords: Forward and backward, cropping season, cropping time

9

I. PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris yang berada di wilayah Asia Tenggata. Letak lintang Indonesia yang 6° LU sampai 11° LS memberikan pengaruh yang besar terhadap pertanian yang berada di Indonesia karena matahari selalu menyinari sepanjang tahun. Matahari yang selalu menyinari Indonesia sepanjang tahun membuat Indonesia memiliki dua musim yang secara langsung akan mempengaruhi sistem pertanian di Indonesia, misalnya terkait waktu tanam. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Kucharik (2006) yang menyatakan bahwa waktu tanam dapat berubah sepanjang waktu karena perubahan iklim maupun perubahan teknologi dan sosial ekonomi. Lebih lanjut lagi, Naylor et al (2007) menyatakan bahwa penetapan awal musim tanam merupakan salah satu strategi penting dalam budidaya pertanian di Indonesia, khususnya tanaman pangan yang sangat berkaitan dengan anomali iklim. Musim hujan dan musim kemarau akan memberikan dampak terhadap jenis tanaman pertanian yang berbeda di Indonesia. Untuk menentukan musim hujan dan musim kemarau, diperlukan data curah hujan yang cukup panjang agar dapat melihat pola hujan dan saat kapan dimulainya musim kemarau ataupun musim hujan. Salah satu dampak dari musim kemarau pada pertanian adalah terjadinya kekeringan, sedangkan pada musim hujan bisa mengakibatkan puso atau banjir pada tanaman padi. Maka dari itu diperlukan analisis data hujan untuk memprakirakan awal dan akhir suatu musim, baik hujan maupun kemarau. Berkaitan dengan waktu tanam, informasi prediksi awal musim hujan sangat penting misalnya untuk persiapan lahan, distribusi benih, tenaga kerja, dan sarana pertanian sehingga dapat mengurangi resiko penanaman yang terlalu awal atau terlalu lambat (Omotosho et al., 2000). Salah satu cara untuk menentukan dimulai atau diakhirinya musim hujan dapat dilakukan dengan cara menghitung maju atau menghitung mundur dengan mengelompokkan jenis tanaman berdasarkan kebutuhan airnya yaitu tanaman lahan kering dan lahan basah (L. R. Oldeman dan M. Frère, 1982); (Morris dan Zanstra (1979); (Oldeman dan Frere, 1982). Selain itu, Kummerow dan Giglio (1995) juga mengembangkan suatu metode hitung maju dan hitung mundur dengan curah hujan sehari – hari atau per dasarian, sampai suatu jumlah tertentu. Cara ini diperlukan curah hujan untuk kurun waktu 10 tahun dengan patokan bahwa kebutuhan air untuk memulai penanaman pada lahan kering atau palawija adalah ≥75 mm dan pada lahan basah atau padi sawah adalah ≥ 200 mm. Akhir dari suatu musim basah dapat diperoleh dengan menghitung mundur data curah hujan dengan nilai akumulasi 500 – 300 mm dianggap mewakili waktu dimana sesudah waktu tersebut curah hujan diharapkan masih mencukupi untuk musim tanam kedua (masa tanam yang pendek), dengan asumsi bahwa lahan sudah diolah dan siap untuk ditanami. Oleh karena itu, peluang tersedianya air hujan sampai akhir musim hujan juga dikelompokkan menjadi tiga yaitu: peluang tercapainya curah hujan 500 mm, 300 mm, 100 mm. Akumulasi curah hujan 500 – 300 mm cukup untuk penanaman dua kali untuk padi sawah atau jenis tanaman lain yang berumur pendek. Metode ini dimaksudkan untuk mengetahui peluang yang diharapkan untuk memperoleh sejumlah curah hujan sampai batas waktu tertentu sejak permulaan musim hujan dan peluang yang diharapkan untuk memperoleh sejumlah curah hujan sampai akhir musim hujan.

II. DATA DAN METODE A. Data Dalam penelitian ini, data yang digunakan dari pos hujan Gabe Hutaraja yang merupakan salah satu pos hujan yang berada di kabupaten Tapanuli Utara. Kondisi geografis Gabe Hutaraja berada di wilayah pegunungan bukit barisan dengan koordinat 10

2.150 LU dan 98.9610 BT dengan elevasi 1275 m di atas permukaan laut. Wilayah ini berbatasan dengan kabupaten Toba Samosir di sebelah Utara, kabupaten Humbang Hasundutan di sebelah barat, kabupaten Tapanuli Tengah di sebelah selatan dan kabupaten Tapanuli Selatan. Wilayah penelitiian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Wilayah penelitian (Gabe Hutaraja) Untuk melihat peluang yang diharapkan, diperlukan data historis minimal 10 tahun. Dalam penelitian ini, data iklim yang digunakan adalah data curah hujan periode 1987 - 2016. Data curah hujan yang digunakan berupa data observasi dari pos hujan Gabe Hutaraja yang diperoleh dari Stasiun Klimatologi Deli Serdang. B. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah forward dan backward. Data curah hujan harian pos hujan Gabe Hutaraja dari tahun 1987 - 2016, pengerjaan dengan menggunakan program Microsoft Excel. Prinsipnya yaitu dengan menghitung akumulasi curah hujan dimulai dari awal musim hujan ke depan dan dari akhir musim hujan ke belakang (Forward and Backward Method). Langkah – langkah analisis yang digunakan seperti pada penelitian Supriyanto (2012). Langkah pertama yaitu memindahkan data yang diperoleh ke dalam tabel dengan pembagian per dasarian, dari tahun pertama sampai selesai (Tabel 1). Untuk forward analysis, maka data yang telah dipindah dijumlahkan perdasarian hingga batas ≥ 75 mm dan batas ≥ 200 mm (Tabel 2). Untuk backward analysis, data yang telah dipindahkan dijumlah namun penjumlahan dilakukan dari bulan yang paling terakhir dan dijumlahkan dengan bulan yang di atasnya hingga batas ≥ 100 mm, dilanjutkan kembali sampai batas ≥ 300 mm, dan yang terakhir sampai batas ≥ 500 mm (Tabel 3). Setelah itu data dipindahkan pada tabel forward accumulation dan backword accumulation (Tabel 4). Pada tabel forward dan backward accumulasi curah hujan juga terdapat perhitungan tentang peluang terakumulasinya sejumlah curah hujan dengan cara urutan bertingkat (Ranking Order Method), yang dicantumkan dengan Fa, dan untuk mencarinya digunakan rumus : Fa(m) = 100 m / (n+1)

11

dengan : Fa = peluang m = ranking curah hujan n = jumlah data (tahun pengamatan) Langkah selanjutnya adalah memindahkan data forward accumulation dan backward accumulation menjadi bentuk grafik. Langkah akhir adalah melakukan pembahasan atas hasil penelitian yang diperoleh dan dikaitkan dengan faktor lainnya seperti letak geografis wilayah penelitian. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perhitungan hitung maju dan hitung mundur di Pos Hujan Gabe Hutaraja menunjukkan bahwa awal musim kemarau periode 30 tahun (1987 – 2016) masuk pada bulan Mei dasarian II (warna merah muda pada Tabel 1). Awal musim kemarau ini ditandai dengan total curah hujan < 50 mm tiap dasariannnya dan diikuti dengan 2 dasarian berikutnya.. Awal musim hujan masuk pada bulan Agustus dasarian II (warna biru muda pada Tabel 1). Awal musim hujan ini ditandai dengan jumlah curah hujan > 50 mm tiap dasarian dan diikuti dengan 2 dasarian berikutnya. Tabel 1. Hasil hitung maju dan hitung mundur Pos Hujan Gabe Hutaraja, Tapanuli Utara (1987 – 2016) Dekade Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Juni

Juli

Agst

Sept

Okt

Nov

Des

1987

1988

1989

1990

1991

1992

….

2012

2013

2014

2015

2016

Rata-Rata

I

33

51

190

20

27

59



46

16

10

81

36

58

II

90

47

12

37

37

5



114

59

12

55

20

57

III

64

59

176

115

58

15



61

77

13

182

20

77

I

124

47

4

0

96

97



91

76

4

3

39

59

II

6

48

1

40

12

70



63

123

29

17

16

57

III

21

47

112

15

0

10



97

53

34

32

1

50

I

22

116

116

14

36

107



98

7

27

81

120

56

II

133

90

103

7

19

0



81

55

52

56

33

69

III

48

108

112

30

64

24



41

52

26

54

147

78

I

33

94

21

62

164

43



58

48

84

67

62

77

II

73

156

7

12

113

128



58

27

104

72

149

82

III

111

190

12

53

51

86



93

63

75

54

150

80

I

97

17

104

7

63

99



11

56

22

31

71

56

II

58

93

25

8

100

38



14

19

16

19

109

41

III

92

10

8

0

120

77



31

22

66

111

36

45

I

30

8

14

0

49

30



41

35

6

92

15

45

II

0

0

7

16

5

2



0

32

30

23

63

31

III

23

11

30

0

8

2



50

70

8

0

3

32

I

14

43

62

18

21

78



123

16

13

29

0

43

II

12

0

12

23

24

17



94

2

38

87

31

III

54

58

53

31

15

64



11

44

3

63

7

34

I

19

11

51

4

27

74



26

2

57

76

0

28

II

63

17

53

0

17

20



189

25

104

57

8

51

III

29

2

71

0

12

13



75

66

69

21

16

67

I

28

75

13

60

58

26



45

98

45

30

112

68

II

23

12

79

58

17

75



9

16

65

38

4

60

III

186

46

152

46

25

95



45

0

73

70

0

66

I

90

0

47

33

10

20



15

28

116

3

62

II

152

0

94

14

104

0



141

53

42

19

85

III

216

0

46

108

17

22



124

115

2

87

62

I

45

159

65

67

301

119



242

94

58

68

45

88

II

9

30

63

38

101

87



46

175

205

98

127

93

III

44

44

90

91

160

102



54

68

124

96

69

86

I

61

126

26

2

128

43



94

122

25

81

79

70

II

52

133

5

50

72

42



42

16

122

141

51

72

III

10

202

32

4

148

141



175

58

37

57

78

AMK = MEI II

AMH = AGS II

12

Tabel 2. Akumulasi Hujan (Forward) dimulai pada bulan Agustus dasarian II TAHUN

AGS II

AGS III

SEP I

SEP II

SEP III

OKT I

OKT II

OKT III

NOP I

NOP II

NOP III

DES I

DES II

DES III

1987

63

92

120

143

329

419

571

787

832

841

885

946

998

1008

1988

17

19

94

106

152

152

152

152

311

341

385

511

644

846

1989

53

124

137

216

368

415

509

555

620

683

773

799

804

836

1990

0

0

60

118

164

197

211

319

386

424

515

517

567

571

1991

17

29

87

104

129

139

243

260

561

662

822

950

1022

1170

1992

20

33

59

134

229

249

249

271

390

477

579

622

664

805

1993

11

153

213

227

277

416

506

629

787

868

1018

1055

1187

1249

1994

18

92

105

197

200

232

357

374

407

528

660

690

747

753

1995

123

154

155

172

305

319

501

539

644

761

811

824

833

920

1996

72

114

128

131

177

306

410

417

422

464

556

601

670

701

1997

54

70

130

150

155

281

315

353

398

432

481

530

568

611

1998

109

276

412

412

433

433

447

520

534

548

555

592

661

786

1999

124

408

781

1064

1248

1389

1593

1635

1656

1778

1868

1916

1995

2078

2000

14

26

46

209

317

414

451

458

486

559

629

648

793

926

2001

10

35

102

181

237

271

276

368

444

507

555

639

739

810

2002

5

48

162

267

319

397

430

462

503

709

908

974

1043

1119

2003

56

169

189

221

313

533

561

616

734

815

923

1039

1147

1214

2004

12

31

88

254

376

444

678

840

988

1072

1172

1413

1503

1564

2005

127

200

231

258

304

396

458

465

521

658

734

796

813

918

2006

44

105

183

247

328

397

477

536

620

695

789

855

924

1000

2007

8

108

291

363

403

442

581

620

704

780

874

939

1008

1084

2008

18

244

353

368

406

491

763

782

836

964

1055

1119

1226

1305

2009

78

164

211

302

307

323

426

514

654

759

828

983

1019

1119

2010

90

126

168

235

387

437

442

514

569

606

657

713

759

822

2011

0

86

99

196

213

232

324

423

546

753

810

878

1010

1061

2012

189

264

309

318

363

363

363

363

605

651

705

799

841

1016

2013

25

91

189

205

205

220

361

485

579

754

822

944

960

1018

2014

104

173

218

283

356

384

437

552

610

815

939

964

1086

1269

2015

57

78

108

146

216

332

374

376

444

542

638

719

860

897

2016

8

24

136

140

140

143

162

249

294

421

490

569

620

677

JAN I

Tabel 3. Akumulasi Hujan (Backward) dimulai pada bulan Mei dasarian I TAHUN

MEI I

APR III

APR II

APR I

MAR III

MAR II

MAR I

FEB III

FEB II

FEB I

JAN III

JAN II

1987

97

208

281

314

362

495

517

538

544

668

732

822

855

1988

17

207

363

457

565

655

771

818

866

913

972

1019

1070

1989

104

116

123

144

256

359

475

587

588

592

768

780

970

1990

7

60

72

134

164

171

185

200

240

240

355

392

412

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

63

114

227

391

455

474

510

510

522

618

676

713

740

99 90 62 234 3 36 76 17 18 13 181 106 42 14 24 82 1 15 89 8 11 56 22 31 71

185 162 103 376 115 112 95 17 91 132 267 152 161 111 72 179 69 65 189 92 104 119 97 85 221

313 239 231 517 195 149 168 28 116 196 306 262 211 167 192 336 280 141 226 166 162 146 201 157 370

356 258 331 596 232 187 215 88 168 407 433 367 378 253 219 465 331 262 271 229 220 194 285 224 432

380 335 405 624 348 224 231 214 473 412 542 515 419 287 274 505 425 370 438 293 261 246 311 278 579

380 371 535 699 429 328 304 285 513 415 602 589 489 385 298 654 558 503 438 394 342 301 363 334 612

487 420 641 744 470 379 351 408 514 488 624 591 501 405 362 723 591 551 511 439 440 308 390 415 732

497 456 697 770 510 454 389 420 547 551 635 656 640 461 397 903 602 709 530 458 537 361 424 447 733

567 570 738 799 566 489 537 457 586 664 736 808 802 467 452 992 627 714 578 497 600 484 453 464 749

664 627 797 811 737 544 552 528 597 736 797 921 927 543 468 1003 675 771 653 588 691 560 457 467 788

679 684 903 901 790 571 552 559 657 848 894 954 1004 550 499 1187 783 912 714 777 752 637 470 649 808

684 753 992 955 811 597 631 608 727 909 936 1119 1102 612 585 1213 888 924 793 808 866 696 482 704 828

743 758 1090 992 813 626 715 716 755 944 963 1291 1174 704 765 1220 1051 924 828 813 912 712 492 785 864

13

Tabel 4. Hasil analisis penentuan awal dan akhir musim hitung maju dan mundur berdasarkan pada akumulasi curah hujan dasarian (dekade) Gabe Hutaraja Kab. Tapanuli Utara (1987 - 2016) Awal dan Akhir Musim Hujan, didasarkan pada Akumulasi Backward dan Forward untuk data curah hujan 10 harian (dasarian) 1987 - 2016 Lokasi : Gabe Hutaraja, Tapanuli Utara Negara : Indonesia Akumulasi Forward dimulai dari Agustus dasarian II dan Backward dari Mei dasarian II Forward No

Year

75

200

Acc. on

Backward 500

300

Forward Accumulation 100

75

200

Backward Accumulation 500

300

100

Fa (m)

Apr III

1

3.3

Agst II Agst III

30

100.0

-

-

Mar III

Mar III Apr II Apr III

2

6.7

Agst II Agst III

29

96.7

-

Mar I

Apr I

To be expected from

Agst III Sept III Mar I

(m)

Ranked

1

1987

2

1988

3

1989

Agst III Sept III Feb I

Mar II

Mei I

3

10.0

Agst II Agst III

28

93.3

Jan II

Mar I

Apr II

4

1990

Sept II

Okt II

-

Jan III

Apr I

4

13.3

Agst II Agst III

27

90.0

Jan III Mar II

Apr II

5

1991

Sept I

Okt II

Mar I

Apr I

Apr III

5

16.7

Agst II Agst III

26

86.7

Feb I

Mar II

Apr II

6

1992

Sept II Sept III Feb II

Apr II Apr III

6

20.0

Agst II

Sept I

25

83.3

Feb I

Mar II

Apr II

7

1993

Agst III Sept I

Feb II Mar III Apr III

7

23.3

Agst II

Sept I

24

80.0

Feb I

Mar II

Apr II

8

1994

Agst III Sept III Mar II

Apr III

8

26.7

Agst II

Sept I

23

76.7

Feb I

Mar II

Apr II

9

1995

Agst II Sept III Apr II Apr III

Mei I

9

30.0

Agst III Sept I

22

73.3

Feb I

Mar II

Apr II

10

1996

Agst III

Okt I

10

33.3

Agst III Sept II

21

70.0

Feb II Mar II

Apr II

11

1997

Sept I

Okt I

11

36.7

Agst III Sept II

20

66.7

Feb II Mar II Apr III

12

1998

Agst II Agst III Feb II Mar II

Apr II

12

40.0

Agst III Sept II

19

63.3

Feb II Mar II Apr III

13

1999

Agst II Agst III Feb I

Mar I Mar III

13

43.3

Agst III Sept II

18

60.0

Feb III Mar III Apr III

14

2000

Sept II Sept II Mar II Mar III Apr II

14

46.7

Agst III Sept II

17

56.7

Feb III Mar III Apr III

15

2001

Sept I Sept III Feb III

Apr III

15

50.0

Agst III Sept II

16

53.3

Feb III Mar III Apr III

16

2002

Sept I

Mei I

16

53.3

Agst III Sept II

15

50.0

Feb III Mar III Apr III

17

2003

Apr I

Mei I

17

56.7

Agst III Sept II

14

46.7

Mar I Mar III Apr III

18

2004

Sept I

Apr I

Apr III

18

60.0

Agst III Sept III

13

43.3

Mar I

Apr I

Apr III

19

2005

Agst II Agst III Feb I

Mar II Apr III

19

63.3

Agst III Sept III

12

40.0

Mar I

Apr I

Apr III

20

2006

Agst III Sept II Jan II

Mar I

Apr II

20

66.7

Agst III Sept III

11

36.7

Mar I

Apr I

Apr III

21

2007

Agst III Sept I Mar III Apr II Apr III

21

70.0

Sept I Sept III

10

33.3

Mar II

Apr I

Apr III

22

2008

Agst III Sept I

Mar II

Apr II

22

73.3

Sept I Sept III

9

30.0

Mar II

Apr I

Apr III

23

2009

Agst II

Sept I

Mar II Mar III Apr II

23

76.7

Sept I Sept III

8

26.7

Mar II

Apr I

Apr III

24

2010

Agst II Sept II

Mar I Mar III Apr III

24

80.0

Sept I Sept III

7

23.3

Mar II

Apr I

Apr III

25

2011

Agst III Sept III Feb I

Apr II

25

83.3

Sept I

Okt I

6

20.0

Mar III Apr II Apr III

26

2012

Agst II Agst III Feb III Mar II Apr III

26

86.7

Sept I

Okt I

5

16.7

Mar III Apr II Apr III

27

2013

Agst III Sept II

28

2014

Agst II

29

2015

Agst III Sept III Jan III Mar II

30

2016

Sept I

Nov I

Apr I

Feb III Mar III Apr III Feb I

Mar II Apr III

Apr I

Sept II Mar III Apr II

Agst III Sept II Mar III

Sept I

Apr I

Ranked

m

Fa

m

Sept II

Mar I

Apr I

Mar II

Feb I

Mar II Apr III

27

90.0

Sept I

Okt II

4

13.3

Mar III Apr II

Mei I

-

Mar III Apr II

28

93.3

Sept II

Okt II

3

10.0

Mar III Apr II

Mei I

Apr II

29

96.7

Sept II

Okt III

2

6.7

Mar III Apr II

Mei I

Okt III Mar III Apr II Apr III

30

100.0 Sept II

Nov I

1

3.3

Apr II Apr III

Mei I

Sept I

14

Sep I

Okt I

Feb I

Mar II

Apr II

Gambar 2. Grafik hitung maju dan mundur Pos Hujan Gabe Hutaraja, Kab. Tapanuli Utara, Sumatra Utara

15

Dengan menggunakan peluang 80% (peluang terjadi 4 dari 5 tahun) maka dapat disimpulkan bahwa curah hujan ≥75 mm terakumulasikan pada dasarian I September dan curah hujan ≥200 mm terakumulasikan pada dasarian I Oktober. Curah hujan ≥500 mm diharapkan masih tersedia pada dasarian I Februari, curah hujan ≥300 mm diharapkan terjadi pada dasarian II Maret, dan curah hujan ≥100 mm diharapkan masih tersedia pada dasarian II April. Mengacu pada hasil analisis hitung maju dan hitung mundur (Tabel 4 dan Gambar 2), bahwa dengan peluang 80% untuk mencapai akumulasi curah hujan setinggi 75 mm di Pos Hujan Gabe Hutaraja memerlukan waktu 2 dasarian, yaitu dasarian II Agustus hingga dasarian I September, sebaliknya untuk mengakhiri musim hujan dengan peluang yang sama dari akumulasi 300 mm ke akumulasi 100 mm memerlukan waktu 3 dasarian yaitu Maret dasarian II hingga April dasarian II. Hasil analisis menyatakan bahwa penanaman Palawija di wilayah Gabe Hutaraja dapat dimulai pada dasarian I bulan September (P-80%, 75 mm) dan penanaman paling lambat adalah dasarian II bulan April (P-80%, 100mm), dengan kata lain panjang musim tanam selama 8 bulan. Penanaman Padi Sawah dapat dimulai pada dasarian I bulan Oktober (P-80%, 200 mm) dan paling lambat adalah dasarian I bulan Februari (P-80%, 500 mm) dengan musim tanam padi sawah selama 4 bulan lebih. Dengan peluang yang sama, dibutuhkan 3 dasarian di awal musim untuk akumulasi naik dari ≥ 75 mm ke ≥ 200 mm, membutuhkan 3 dasarian di akhir musim untuk akumulasi turun dari ≥ 300 mm ke ≥ 100 mm. Berdasarkan kondisi tersebut, periode musim tanam padi sawah mulai dasarian I bulan Oktober hingga dasarian I bulan Februari cukup untuk menanam satu kali pada lahan basah atau sawah dengan asumsi lahan sudah siap untuk ditanami. Penanaman palawija dapat dilakukan pada rentang waktu September dasarian I hingga April dasarian II. Berdasarkan metode perhitungan curah hujan forward dan backward, di daerah Gabe Hutaraja dapat untuk bertanam padi sawah hanya sebanyak 1 kali tanam. Salah satu hal yang menjadi penyebab musim tanam untuk padi sawah di wilayah Gabe Hutaraja hanya dapat dilakukan sekali dalam setahun adalah kondisi iklim akibat letak geografis yang berada di balik perbukitan. Kondisi ini menyebabkan wilayah tersebut memiliki pola hujan monsunal. Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan waktu tanam bervariasi setiap tahunnya sesuai dengan kondisi curah hujan. Lebih lanjut lagi, penentuan awal waktu penanaman padi sawah dapat dilakukan dengan berbagai metode. Robertson et al. (2009) menentukan awal musim tanam di daerah Indramayu dengan kriteria hari pertama dari 5 hari berturut-turut akumulasi curah hujan sebesar 40 mm, yang tidak diikuti 15 hari kering berturut-turut dengan curah hujan kurang dari 5 mm. Moron et al.(2010) menyatakan bahwa awal musim tanam adalah hari hujan pertama dari 5 hari hujan berturut-turut, jumlahnya lebih besar dari rata-rata curah hujan lima harian pada bulan Agustus dan Februari. Lebih lanjut lagi, Surmaini dan Syahbudin (2016) menyatakan bahwa kriteria waktu tanam padi saat ini perlu ditambah dengan jumlah dan distribusi hujan selama musim tanam. Persyaratan ini menjadi suatu keharusan untuk lahan sawah tadah hujan, sawah irigasi yang terletak di ujung saluran irigasi, dan sawah yang jaringan irigasinya rusak. IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan tersebut dapat disimpulkan yaitu : 1. Panjang musim tanam di Gabe Hutaraja adalah selama 8 bulan mulai dari September dasarian I hingga April dasarian II. 2. Waktu tanam untuk tanaman palawija dimulai pada September dasarian I sedangkan untuk padi sawah dimulai pada Oktober dasarian I. 3. Akibat letak geografisnya, untuk tanaman padi sawah hanya bisa dilakukan satu kali musim tanam di daerah Gabe Hutaraja. 16

V. DAFTAR PUSTAKA Achmad Chaldun. 1995. Klimatologi umum. Karya Swajaya, Surabaya Kucharik, C.J. 2006. A Multidecadal Trend of Earlier Corn Planting in The Central USA. Agronomy Journal 98: 1544–1550. Kummerow, C.and L. Giglio. 1995. A Method for Combining Passive Microwave and Infrared Rainfall Observations. Journal of Atmospheric and Oceanic Technology (12): 33-45. Moron, V., A.W. Robertson, and J.H. Qian. 2010. Local Versus Regional Scale Characteristic of Monsoon Onset and Post-Onset Rainfall over Indonesia. Climate Dynamics 34: 281–299. Morris, R. A. dan Zandtra H.T. 1979. Land and Climate in Relation to Cropping Patterns in Rainfed Lowland Rice. IRRI. Los Banos Naylor RL, Battisti DS, Vimont DJ, Falcon WP, Burke MB. 2007. Assessing The Risks of Climate Variability and Climate Change for Indonesian Rice Agriculture. Proc Nat Acad Sci 104: 7752-7757. Oldeman, L. R. dan M. Frère. 1982. Forward and Backward Accumulation of Decade Rainfall 3d. Onset end of rainy season, based on fordward/backward accumulation of 10-day rainfall totals 4. FAO/Unesco/WMO Interagency Project on Agroclimatology – Tecnology & Engineering. Omotosho, J.B., A.A. Balogun, and K. Ogunjobi. 2000. Predicting Monthly and Seasonal Rainfall, Onset and Cessation of The Rainy Season in West Africa Using only Surface Data. International Journal of Climatology (20): 865–880. Robertson, A.W., V. Moron, and Y. Swarinoto. 2009. Seasonal Predictability of Daily Rainfall Statistics over Indramayu District, Indonesia. Int'l. J. Climatol. 29: 1449–1462. Supriyanto, B. 2012. Penentuan Musim Tanam Dan Waktu Tanam Padi Sawah Berdasarkan Akumulasi Curah Hujan Sepuluh Hari Hitung Maju Dan Mundur Di Kelurahan Lempake Kota Samarinda. Majalah Ilmiah Pertanian ZIRAA’AH, Volume 35 Nomor 3, Oktober : 182-189. ISSN: 1412-1468. Surmaini, E. dan H. Syahbuddin. 2016. Kriteria Awal Musim Tanam: Tinjauan Prediksi Waktu Tanam Padi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian Vol.35 (2): 47- 56. Doi: 10.21082/jp3.v35n2.2016.p47-56

17

Verifikasi Nilai Significant Wave Hasil Permodelan Wavewatch-III dengan Data Satelit JASON-2 dan Data Observasi Buoy Rizki Fadhillah Pratama Putra Stasiun Meteorologi Maritim Belawan ABSTRAK

Indonesia merupakan negara dengan julukan benua maritim dimana dua pertiga luas wilayahnya adalah lautan. Fenomena cuaca di laut memiliki peranan vital berkaitan dengan kegiatan kelautan seperti tinggi gelombang laut sehingga diperlukan informasi tentang kondisi gelombang yang mencakup tinggi, arah, variasi dan karakteristiknya. Dalam pemetaan gelombang laut digunakan permodelan gelombang yang menggunakan input data angin sebagai gaya pembangkit utamanya (wind waves). Salah satu cara memprediksi dan memetakan tinggi gelombang signifikan adalah menggunakan model gelombang generasi ketiga Wavewatch-III yang merupakan model gelombang yang juga dikenal dengan WW3. Wavewatch-III juga digunakan oleh beberapa NWS (National Weather Service) di beberapa negara termasuk Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika untuk melakukan prediksi gelombang. Penelitian ini bertujuan untuk memvalidasi WW3 menggunakan data hasil observasi satelit altmetri JASON-2 serta data buoy agar menambah nilai trust penggunaannya. Berdasarkan analisis hasil penelitian tersebut, maka diketahui verifikasi dengan satelit altimetri JASON-2 menunjukkan nilai yang cukup baik dengan rentang nilai bias -0.74 m – 0.51 m, nilai RMSE 0.21 – 0.80 dan nilai koefisien korelasi dengan rentang -0.52 – 0.68. untuk hasil verifikasi dengan buoy menunjukkan nilai bias dengan rentang -0.39 m, nilai RMSE sebesar 0.41 dan koefisien korelasi sebesar 0.82. Kata kunci: Bias, Gelombang, JASON-2 Korelasi, RMSE, Wavewatch-III.

18

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan julukan benua maritim dimana dua pertiga luas wilayahnya adalah lautan maka, kegiatan kelautan sangat memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia baik dalam hal keselamatan dan kelancaran transportasi laut, kegiatan perekonomian, penangkapan ikan dan lain sebagainya. Fenomena cuaca di laut yang memiliki peranan sangat vital yang berkaitan dengan kegiatan kelautan adalah tinggi gelombang laut sehingga, diperlukan informasi tentang kondisi gelombang yang mencakup tinggi, arah, variasi dan karakteristiknya. Pengamatan gelombang merupakan hal yang penting sehingga, WMO memutuskan untuk memasukkan pengamatan gelombang sebagai bagian dari cuaca demi menunjang keselamatan di laut sebagaimana telah tertuang dalam konferensi SOLAS (Safety of Life at Sea) pada tahun 1974. WMO menetapkan, pengamatan gelombang pelaporan adalah kondisi gelombang signifikan, dimana gelombang tersebut dipilih karena dianggap paling mampu merepresentasikan kondisi gelombang sesungguhnya dalam pengamatan. Salah satu cara memprediksi dan memetakan tinggi gelombang adalah menggunakan model gelombang Wavewatch-III yang merupakan model gelombang generasi ketiga dan selanjutnya juga dikenal dengan WW3. Wavewatch-III juga digunakan oleh beberapa NWS (National Weather Service) termasuk Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) untuk melakukan prediksi gelombang. Dalam pemetaan gelombang laut digunakan permodelan gelombang yang menggunakan input data angin sebagai gaya pembangkit utamanya (wind waves). Pemetaan gelombang laut pada penelitian ini terfokus pada pemetaan gelombang signifikan.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1

Angin

Angin adalah suatu fenomena pergerakan udara yang dipicu oleh adanya perbedaan tekanan udara sebagai akibat dari perbedaan temperatur di permukaan bumi, dinyatakan dalam arah dan kecepatan. Semakin besar perbedaan tekanan yang terjadi maka, semakin besar pula angin yang dihasilkan. Arah angin dinyatakan dalam derajat sesuai dengan arah datangnya angin sedangkan kecepatan dinyatakan dalam satuan Internasional dan sering menggunakan tabel / skala yang lebih dikenal dengan sebutan Beaufort Scale / Skala Beaufort dengan satuan “knots”. (1 knots = 0.5 m/s atau 1.8 km/jam). Sebutan angin dinyatakan dengan arah dari mana angin tersebut berhembus, contoh angin timur artinya angin dari timur menuju barat. Angin juga terjadi akibat adanya gaya gradien tekanan, dimana semakin besar gaya gradien tekanan maka, semakin kuat angin yang dihasilkan.

2.2

Gelombang signifikan

Gelombang laut adalah fenomena laut yang sangat kompleks sehingga, sangat penting untuk melaporkan kondisi ketinggian gelombang laut dalam informasi cuaca laut. Berdasarkan ketentuan dari NOAA, tinggi gelombang yang diamati dan diprakirakan untuk kepentingan pelayaran dan kegiatan kelautan disebut tinggi gelombang signifikan atau significant wave.

19

Gelombang signifikan Sumber : www.noaa.gov Tinggi gelombang signifikan (Hs) adalah tinggi sepertiga dari nilai rata-rata tertinggi suatu gelombang di suatu waktu dan tempat tertentu. Nilai dari gelombang signifikan setara dengan tinggi gelombang hasil obsevasi visual. Tinggi gelombang signifikan biasa di simbolkan dengan atau Hs. Pada gambar tersebut, distribusi gelombang dengan ketinggian yang berbeda akan menghasilkan kurva lonceng karena bentuk kurva yang menyerupai lonceng. Setiap titik mewakili gelombang di spektrum dengan ketinggian H. Grafik menunjukkan adanya jumlah yang relatif rendah untuk gelombang kecil (sisi kanan grafik) dan rendahnya jumlah gelombang yang sangat besar (sisi kiri grafik). Jumlah terbesar gelombang (N) dalam spektrum ini berada di pertengahan rentang ketinggian (berpusat di bawah Hm) . Tertinggi sepertiga (33,3 %) jumlah gelombang dalam spektrum ini adalah bagian yang diarsir pada grafik. Ketinggian rata-rata gelombang yang terarsir tersebut dikatakan sebagai tinggi gelombang signifikan (Hs).

2.3 Model gelombang WAVEWATCH-III Model gelombang Wavewatch-III (WW3) adalah model gelombang generasi ketiga yang dikembangkan oleh NOAA/NCEP untuk operasional di wilayah global dan perairan terbuka. NWW3 ( NOAA WW3) menunjukkan nilai tinggi gelombang maksimum dan minimum lebih realistis dibandingkan model WAM. WW3 dapat mensimulasikan variabilitas musiman dari Significant Wave Height (SWH). Model ini digunakan untuk operasiaonal dalam membuat prediksi gelombang di Nationel Weather Service, NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), Amerika Serikat. Model ini merupakan model open source yang bisa dipakai siapa saja, dengan catatan tidak digunakan untuk keperluan komersil. Model gelombang ini juga terbukti dapat mensimulasikan Significant Wave Height yang berkaitan dengan daerah monsun dimana hasil dari analisanya memiliki nilai bias kelasahan - 0.01 (nilai minimum) bila di verifikasi menggunakan data satelit altimetri TOPEX/Poseidon Persamaan model Wavewatch-III berdasarkan persamaan kesetimbangan energi untuk menggambarkan proses pertumbuhan gelombang yang meliputi perambatan gelombang, refraksi gelombang dan total sumber pembangkit gelombang dirumuskan sebagai berikut :

+ +

+ = S(f,

(2.1)

Sumber : Holthuijsen (2007) 20

S(f,

=

(2.2)

Sumber : Holthuijsen (2007) Berdasarkan rumus tersebut dapat diketahui bahwa E(f,θ;x,y,t) merupakan energi gelombang sebagai fungsi frekuensi (f), arah (θ), ruang (x,y), dan waktu (t). Cg adalah vector kecepatan group gelombang (wave group velocity). Suku (∂Cg,xE(f,θ;x,y,t))/∂x + (∂Cg,yE(f,θ;x,y,t))/∂y adalah suku konvektif yang menjelaskan adanya variasi atau perubahan ruang dari energi yang disebabkan oleh kecepatan group gelombang (Cg). Sementara itu, (∂Cθ E(f,θ;x,y,t))/∂θ menyatakan adanya pengaruh refraksi yang dapat disebabkan oleh perubahan kedalaman atau arus laut. Stot adalah energi total yang terdiri dari Sin yang merupakan energi masukan angin, Snl menyatakan perubahan energi karena adanya transfer energi non linear antara komponen gelombang yang berbeda frekuensinya, Sds menyatakan proses disipasi energi sebagai akibat pecahnya gelombang, dan Sbot menyatakan disipasi energi sebagai akibat adanya gesekan dasar laut. Pada model gelombang Wavewatch-III untuk menghitung gelombang signifikan, dapat digunakan persamaan sebagai berikut :

=

, E ʃ ʃ ( f,Ө) df d Ө

Sumber : Tolman (2009) Keterangan :

E F

= = =

Tinggi gelombang signifikan Total energi dan spectrum gelombang Frekunsi (f) dan arah rambat (Ө)

Model gelombang Wavewatch-III menghitung gelombang berdasarkan evolusi energi spektrum dalam dua dimensi, yaitu sebagai fungsi arah dan frekuensi. Dari energi spektrum tersebut dihasilkan parameter-parameter gelombang, seperti tinggi gelombang signifikan, periode rata-rata, periode puncak, arah rata-rata, dan arah puncak gelombang. Model gelombang Wavewatch-III memisahkan parameter gelombang ombak (wind sea) dan alun (swell). Wavewatch-III dijalankan menggunakan konsep rectangular grid (lintang x bujur).

2.4

Satelit altimetri JASON-2

Satelit altimetri JASON-2 diluncurkan pada tanggal 20 Juni 2008 dari Vandenberg, California. Misi JASON-2 adalah mengambil alih dan melanjutkan misi TOPEX/Poseidon dan JASON-1. Seperti satelit altimetri pada umumnya, satelit JASON2 juga memiliki radar altimeter yang berguna memantau tinggi permukaan laut. Satelit JASON-2 membawa enam buah sensor yang terdiri dari dua sensor milik CNES dan tiga sensor milik NASA. Adapun sensor-sensor yang digunakan dalam operasional satelit JASON-2, yaitu : Poseidon-3 Altimeter. Sensor ini merupakan sensor yang dimiliki CNES. Sensor ini merupakan alat utama pada satelit JASON-2. Fungsi dari sensor ini adalah untuk 21

mengukur jarak satelit dari permukaan bumi, tinggi gelombang, dan kecepatan angin. Sensor ini bekerja dengan dua frekuensi yaitu 13,6 GHz (Ku-band) dan 5,3 GHz (Cband). Sensor ini akan menghasilkan data tinggi gelombang signifikan serta arah dan kecepatan angin permukaan di lautan. Dual-frequency Doppler Orbitography and Radiopositioning Satellite (DORIS). Sensor ini dimiliki oleh CNES. Fungsi dari sensor ini adalah sebagai receive gelombang pantul yang di pancarkan JASON-2 untuk nantinya diolah dan menghasilkan tinggi gelombang. JASON-2 Advance Microwave Radiometer (AMR). Sensor ini dimiliki oleh NASA. Fungsi dari sensor ini adalah untuk mengukur kandungan uap air yang terdapat pada atmosfer sehingga dapat digunakan untuk menentukan seberapa besar pengaruh uap air terhadap perambatan sinyal radar. Jumlah uap air yang ada di atmosfer akan sangat mempengaruhi kondisi kerja dari radar itu sendiri. Sensor ini bekerja pada tiga frekuensi, yaitu 18.7, 23.8, dan 34 GHz. Resolusi temporal satelit JASON-2 adalah 10 hari, tepatnya 9,9 hari dengan jarak antar lintasan satelit terpisah sejauh 315 km di ekuator. Sepanjang jalur pengukuran data diambil tiap detik dengan jarak antar titik pengukuran sejauh 5 km. Dalam satu periode pengukuran (cycle) terdapat 127 lintasan dengan waktu tempuh 112 menit untuk satu lintasan. Tiap lintasan terdiri dari dua fase, yaitu fase naik (ascending) dari 66,15° LS sampai 66,15° LU dan fase turun (descending) dari 66,15° LU sampai 66,15° LS. Satelit altimetri berorbit polar, ini berarti tiap satelit melalui suatu titik tertentu di muka bumi setiap beberapa hari sekali.

Gambar : Satelit altimetri JASON-2 Sumber : www.eumetsat.int

2.5

Buoy

Buoy adalah suatu perangkat apung yang terdapat di laut, paling dominan terdapat pada laut dalam dan memiliki berbagai fungsi. Buoy dalam pengoperasiannya dapat dioperasikan dengan berbagai macam cara seperti berlabuh, melayang atau mengambang di laut. Berdasarkan fungsi dan kegunaannya, buoy terbagi atas tiga jenis, yaitu SALM ( Single Anchor Leg Mooring ) buoy, CALM ( Catenary Anchor Leg Mooring ) buoy, Deep Water Buoy. Di Indonesia, sistem buoy terbagi atas dua macam, yaitu sistem cardinal yang biasa dipakai di laut lepas dan sistem lateral yang dipakai di tepi pantai serta di perairan sempit yang biasa dilewati oleh kapal serta di perairan dalam dimana merupakan tempat 22

yang rentan akan bahaya kelautan seperti gelombang tinggi, arus laut kuat dan badai. Kegunaan utama dari buoy ialah sebagai tanda adanya bahaya, sebagai tanda adanya perubahan di laut seperti tinggi gelombang, serta sebagai penuntun atau petunjuk jalan yang aman bagi kapal yang melakukan pelayaran.

Gambar : Buoy Sumber : www.Scribd.com

III. METODE PENULISAN DAN PENELITIAN 3.1 Wilayah Penelitian Lokasi penelitian ini mengambil daerah studi di wilayah perairan tanggung jawab Stasiun Meteorologi Maritim Belawan yang terletak di 9 LU - 3 LS dan 90 BT 105 BT. Waktu penelitian di lokasi tersebut adalah selama tahun 2014 - 2015 dan dilakukan pengolahan data gelombang signifikan tiap 3 jam. Lokasi penelitian kemudian dibagi atas sembian titik sesuai dengan jumlah wilayah tanggung jawab Stasiun Meteorologi Maritim belawan, yaitu wilayah A1, A2, A3, A4, A5, A6, A7, A8 dan wilayah A9. Secara rinci, lokasi penelitian dibagi menjadi sembilan titik penelitian dimana titik-titik tersebut mewakili setiap daerah tanggung jawab Stasiun Meteorologi Maritim Belawan. Adapun titik penelitian tersebut, yaitu : A.1. Selat Malaka bagian utara ( , A.2. Perairan Lhokseumawe ( , A.3. Perairan Sabang – Banda Aceh , A.4. Perairan Pulau Simeulue – Meulaboh A.5. Samudera Hindia barat Aceh , A.6. Selat Malaka bagian tengah , A.7. Perairan Kepulauan Nias – Sibolga A.8. Samudera Hindia barat Kepulauan Nias A.9. Perairan Riau ( ,

,

, ,

3.2. Metode Verifikasi a. Menghitung nilai bias data 23

Perhitungan nilai bias dilakukan untuk melihat sejauh mana besar penyimpangan (error) dari nilai tinggi gelombang signifikan hasil keluaran model gelombang Wavewatch-III dengan nilai yang diperoleh dari pengamatan sebenarnya yang dilakukan oleh satelit altimetri JASON-2 dan hasil observasi buoy. Perhitungan dilakukan dengan mengurangi nilai model dengan nilai hasil observasi kemudian dilakukan perata-rataan nilai. Persamaan untuk mengetahui nilai bias suatu model dapat menggunakan persamaan (3.1) sebagai berikut :

(3.1)

Keterangan : Xi = Data hasil keluaran model Yi = Data hasil observasi N = Jumlah data b. Menghitung koefisien korelasi (r) Perhitungan koefisien korelasi (r) dilakukan untuk mengetahui tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih tanpa melakukan perubahan atau manipulasi dari data yang ada. Pada penelitian ini, perhitungan korelasi dilakukan bertujuan untuk melihat hubungan antara nilai gelombang signifikan hasil keluaran model gelombang Wavewatch-III dengan hasil observasi satelit altimetri JASON-2 dan juga dengan hasil observasi buoy. Hubungan ini dapat diukur dengan suatu nilai yang disebut koefisien korelasi. Nilai koefisien korelasi terletak antara -1 sampai 1 (-1 < r < 1). Nilai positif menunjukkan kedua data memiliki fase yang sama sedangkan nilai negatif menunjukkan kedua data memiliki fase yang berlawanan. Semakin kuat nilai koefisien korelasi maka semakin besar kesesuaian hasil output model dengan data observasinya. Persamaan yang digunakan dalam menghitung koefisien korelasi dapat menggunakan persamaan (3.2) sebagai berikut :

(3.2)

Keterangan: = koefisien korelasi n X Y

c.

= banyak data = data output model Wavewatch-III = data observasi

Root mean square error (RMSE)

Root Mean Square Error (RMSE) digunakan untuk mengetahui besarnya nilai penyimpangan yang terjadi antara nilai output model dengan data observasinya. Pada penelitian ini nilai RMSE dihitung terhadap tinggi gelombang signifikan hasil keluaran model gelombang Wavewatch-III dengan tinggi gelombang signifikan hasil dari observasi satelit altimetri JASON-2 dan hasil observasi buoy. Nilai RMSE memiliki rentang antara nol sampai tak terhingga, dengan nilai sempurna adalah nol yang artinya jika nilai output model sama dengan nilai observasinya atau jika hasil perhitungan RMSE semakin mendekati nilai nol maka menunjukkan kualitas data yang dikeluarkan 24

oleh model semakin baik atau dapat dikatakan semakin kecil nilai RMSE nya maka semakin dekat nilai output model dengan nilai observasinya. Sebaliknya, semakin besar nilai RMSE maka semakin jauh nilai output model dengan nilai observasinya. Untuk mengetahui nilai RMSE dari suatu model dapat digunakan persamaan (3.3) sebagai berikut:

(3.3) Keterangan: N = banyak data = data model WRF-ARW = data observasi

3.3

Diagram Alir Penelitian

Sistematika penelitian dapat ditunjukkan oleh diagram alir (Flow Chart) sebagai berikut : Mulai

Pemilihan Masalah Penelitian

Data Verifikasi JASON-II Buoy

Data Gelombang Signifikan Wavewatch-III

Rata-rata tinggi gelombang signifikan (Hs)

Verifikasi

Bias

Korelasi

RMSE

Kesimpulan

25

Gambar : Diagram alir penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Gelombang Signifikan Wavewatch-III

26

4.2. Verifikasi Parameter yang digunakan serta yang akan divalidasi menggunakan data satelit altimetri JASON-II dan data buoy pada penelitian ini adalah tinggi gelombang signifikan (Hs). Validasi akan dilakukan dengan menghitung nilai bias, RMSE, dan koefisien korelasi (CC) dari gelombang signifikan (Hs) hasil keluaran Wavewatch-III yang akan dibandingkan dengan data satelit altimetri JASON-II dan data buoy. 4.2.1 Verifikasi model dengan data altimetri JASON-2 Verifikasi model dengan data altimetri JASON-2 dilakukan untuk mengetahui selisih nilai model dengan hasil observasi satelit yang dinyatakan dengan nilai bias, mengetahui nilai kesesuaian model yang dinyatakan dengan nilai koefisien korelasi (CC) serta untuk mengetahui nilai penyimpangan model dengan nilai observasi yang dinyatakan dengan nilai Root Mean Square Error (RMSE). Berikut adalah hasil verifikasi model dengan data altimetry JASON-2 :

Area A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9

Tabel 4.1 Nilai verifikasi model dengan data altimetri JASON-2 Koordinat Bias (m) RMSE Koefisien Korelasi (CC) -0.04 0.26 0.18 , -0.21 0.21 0.31 , 0.50 0.21 0.57 , 0.15 0.22 0.43 , 0.51 0.61 -0.52 , -0.47 0.50 0.01 , -0.38 0.38 0.68 , 0.58 0.63 -0.08 , -0.74 0.80 -0.28 ,

Berdasarkan nilai tersebut dapat diketahui bahwa model Wavewatch-III cukup baik dalam merepresentasikan kondisi gelombang signifikan dengan nilai bias antara 0.74 m hingga 0.51 m pada seluruh titik penelitian yang mencakup wilayah tanggung jawab Stasiun Meteorologi Maritim Belawan. Namun, di area perairan dekat pantai, nilai bias model underestimate terhadap hasil observasi dimana nilai model lebih rendah dibandingkan hasil observasi satelit altimetri JASON-II. Artinya, untuk titik penelitian di dekat pantai seperti A1, A2, A6, A7, dan A9 tinggi gelombang signifikan hasil keluaran model Wavewatch-III lebih rendah dibandingkan dengan hasil observasi satelit altimetri JASON-2. Semakin mendekati pantai maka bias yang dihasilkan semakin besar. Hal ini terjadi karena resolusi grid dari satelit altimetri JASON-2 yang lebih besar bila dibandingkan dengan resolusi input data angin FNL yakni sebesar x sehingga, untuk pengamatan di area yang mendekati pantai di anggap memiliki nilai yang sama dengan area laut lepas. Satelit Altimetri JASON-2 kurang optimal untuk dijadikan referensi data gelombang dekat pantai. Untuk daerah laut luas dan dalam, nilai bias model overestimate terhadap hasil observasi gelombang signifikan dimana nilai model lebih tinggi dibandingkan hasil observasi satelit Altimetry JASON-2. Hal ini dikarenakan model gelombang Wavewatch-III memiliki input data batimetri sehingga gelombang yang dihasilkan memperhitungkan kedalaman namun, semakin menjauhi daratan nilai overestimate yang 27

dihasilkan pun semakin besar. Untuk itu, data satelit altimetri harus digunakan sebagai acuan untuk memetakan gelombang khususnya di laut luas dan dalam. Hal ini dikarenakan nilai bias yang semakin meningkat atau overestimate terhadap hasil observasi. Berdasarkan analisis nilai validasi yang ada menggunakan model gelombang Wavewatch-III, secara umum memiliki hasil yang baik dengan bias yang tidak begitu besar yaitu di bawah 0.75 m. Hal ini menunjukkan keakuratan model gelombang Wavewatch-III yang dapat merepresentasikan tinggi gelombang signifikan di wilayah tanggung jawab Stasiun Meteorologi Maritim Belawan. Nilai error yang dinyatakan dalam RMSE serta nilai korelasi terhadap model juga menunjukkan hasil yang cukup baik bila dibandingkan dengan nilai observasi gelombang signifikan dari satelit altimetri JASON-2. Nilai error model semakin akurat terutama untuk validasi gelombang signifikan diatas 1.0 m namun, menurun untuk gelombang dibawah 1.0 m.

(b) Gambar : Perbandingan tampilan spasial (a) model dan (b) satelit 4.3.2 Verifikasi model dengan data observasi buoy

Gambar : Grafik verifikasi wavewatch-III dengan buoy Verifikasi model dengan data observasi buoy dilakukan untuk mengetahui selisih nilai model dengan hasil observasi buoy yang dinyatakan dengan nilai bias, mengetahui nilai kesesuaian model yang dinyatakan dengan nilai koefisien korelasi (CC) serta untuk mengetahui nilai penyimpangan model dengan nilai observasi yang dinyatakan dengan nilai Root Mean Square Error (RMSE). Verifikasi dilakukan pada titik pengamatan buoy yang berada di perairan Nias pada koordinat , dengan rentang waktu 616 Juni 2014. Dari hasil tersebut didapatkan nilai bias sebesar -0.35 m, koefisien 28

korelasi sebesar 0.82 dan nilai RMSE sebesar 0.41. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa model gelombang Wavewatch-III menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan hasil observasi data buoy. Untuk nilai koefisien korelasi dan RMSE cukup baik yang mengindikasikan hasil model tidak terlalu jauh dengan hasil observasi. Model gelombang Wavewatch-III kurang baik di dekat pantai bila dilihat dari hasil verifikasi menggunakan data buoy. Hal ini diduga sebagai akibat resolusi grid model dan data batimetri yang tidak optimal untuk diterapkan diperairan dekat pantai serta tidak dimasukkannya fenomena pasang-surut kedalam perhitungan model. Pasang surut diyakini mempunyai pengaruh kuat terhadap fluktuasi tinggi gelombang signifikan di dekat pantai. Berdasarkan hasil verifikasi menggunakan buoy juga dapat diketahui bahwa model sangat baik dalam mensimulasikan gelombang pada rentang ketinggian gelombang signifikan > 1.0 m. Namun, kemampuan model menurun untuk ketinggian model < 1.0 m.

V. PENUTUP Kesimpulan : Berdasarkan hasil verifikasi model gelombang Wavewatch-III cukup baik dalam mensimulasikan gelombang khususnya di daerah laut lepas. Data gelombang signifikan JASON-2 kurang cocok digunakan untuk verifikasi daerah di dekat pantai yang lebih baik digunakan buoy.

DAFTAR PUSTAKA Aldrian, E., 2008, Meteorologi Laut Indonesia, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta. Dimitrova, Marieta, dan Garcia, E., 2013, Validation of The Operation Wave Model WAVEWATCH-III Against Altimetry Data From JASON-2 Satellite, Bulgarian Academy of Sciences, Bulgaria. Hasselman. H, Cawla, A., Spilder. T, 1973, Wave In Oceanic and Coastal Waters, Cambridge University Press, New York. Ismarny, N., 2012, Pemanfaatan Angin dari model GFS untuk Prediksi Tinggi Gelombang (Windwaves) menggunakan Model WAVEWATCH-III (Studi Kasus di Selat Sunda), Tesis, Program Studi Meteorologi, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Khishnamurti, T., 1987, Monsoon Meteorology, Oxford University Press, New York. Kurniawan, R., Najib, H., dan Suratno, 2011, Variasi Bulanan Gelombang Laut di Indonesia, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta. Monika, L., 2015, Analisis Tinggi Gelombang Laut di Perairan Utara Sulawesi dan Halmahera menggunakan Wavewatch-III ( Studi Kasus Badai Tropis Sudal, Badai Tropis Megi dan Badai Tropis Songda, Skripsi, Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta. Peter, C., Chen, Y., dan Shi, P., 2004, South China Sea Wind-Wave Characteristics : Validation of Wavewatch-III using TOPEX/Poseidon data, Part 1, Department of Oceanography, California. Pierson, A., Moskowitz, 1964, Predicting Significant Wave Height off The Northeast Coast, Amecican Meteorology Society, Amerika.

29

Pribadi, B., 2015, Simulasi Tinggi Gelombang Signifikan dengan Menggunakan Model Wavewatch-III, Skripsi, Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta. Puntodewo, M., 2003, Verifikasi Nilai Keluaran JASON-2 dengan Hasil Keluaran Model Gelombang, Skripsi, Universitas Indonesia, Depok. Ramdhani, A., 2015, Pengaruh Siklon Tropis dan Madden-Julian Oscillation (MJO) Terhadap Kejadian Gelombang Tinggi di Perairan Indonesia Bagian Dalam, Disertasi, Institute Tekhnologi Bandung, Bandung. Ramlan, 2012, Variabilitas Gelombang Laut di Jawa dan Selat Karimata Ditinjau dari Perspektif Dinamika Meteorologi, Tesis, Program Studi Magister Ilmu Kelautan, Universitas Indonesia, Depok.

30

ANALISIS PENGARUH ANGIN DARAT DAN ANGIN LAUT TERHADAP AKTIVITAS KONVEKTIF DI DELI SERDANG Immanuel J. A. Saragih1*), Agie W. Putra2, Deassy E. Doloksaribu3 1

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika 2 Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika 3 Stasiun Meteorologi Kualanamu *)

E-mail: [email protected]

ABSTRAK - Kabupaten Deli Serdang secara geografis terletak pada wilayah pengembangan Pantai Timur Sumatera Utara yang berbatasan lansung dengan Selat Malaka bagian tengah di bagian utara. Letak geografisnya yang dekat dengan laut mengindikasikan adanya pengaruh sirkulasi angin darat dan angin laut terhadap aktivitas konvektif di Deli Serdang. Deli Serdang yang saat ini sedang mengembangkan sektor pariwisata pantai dan transportasi udara melalui Bandara Kualanamu sangat membutuhkan informasi cuaca yang akurat. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyimulasikan kejadian angin darat dan angin darat serta mengetahui pengaruhnya terhadap aktivitas konvektif di Deli Serdang. Wilayah penelitian mencakup wilayah Kabupaten Deli Serdang yaitu pada koordinat 02o57’-03o16’LU 98o33’-99o27’BT dan wilayah lautan sekitarnya dengan titik pusat penelitian yaitu Stasiun Meteorologi Kualanamu pada koordinat 03o34’LU 98o44’BT dan ketinggian 27 meter di atas permukaan laut (mdpl). Penelitian dilakukan saat terjadi hujan lebat di Deli Serdang berdasarkan data curah hujan dari Stasiun Meteorologi Kualanamu. Penelitian dilakukan terhadap kejadian hujan lebat pada lembah dan puncak hujan tahun 2016. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data FNL (Final Analysis) dari http://rda.ucar.edu/, data Citra Satelit Himawari-8 Kanal IR1 dari BMKG, dan data observasi meteorologi (sinop dan radiosonde) dari Stasiun Meteorologi Kualanamu. Angin darat dan angin laut disimulasikan menggunakan WRF- ARW, diverifikasi menggunakan data observasi, dan kemudian divisualisasikan menggunakan GrADS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa WRF-ARW dapat menyimulasikan angin darat dan angin laut di pesisir pantai Deli Serdang dengan baik. Adanya tutupan indeks konvektif di daerah pumpunan membuktikan angin darat dan angin laut yang terjadi di pesisir Deli Serdang dapat membentuk pumpunan apabila berinteraksi dengan angin dari arah lain yang mendukung aktivitas konvektif. Kata kunci: Angin Darat, Angin Laut, WRF-ARW, Hujan Lebat ABSTRACT - Deli Serdang Regency is geographically located in the development area of East Coast of North Sumatra adjacent to the Malaka Strait in the north. Its geographical location close to the sea indicates the influence of the wind circulation of land and sea breeze to the convective activity in Deli Serdang. Deli Serdang which is currently developing the coastal tourism sector and air transportation through Kualanamu Airport is in need of accurate weather information. The purpose of this research is to simulate land and ground wind and to know its effect on convective activity in Deli Serdang. The research area covers the area of Deli Serdang Regency which is at coordinates 02o57’-03o16’N 98o33’-99o27’E and the surrounding ocean area with the center of research that is Kualanamu Meteorological Station at coordinates 03o34’LU 98o44’BT and altitude 27 meters above sea level. The study was conducted during heavy rain at Deli Serdang based on rainfall data from Kualanamu Meteorological Station. The study was conducted on the occurrence of heavy rain in valleys and the peak rain of 2016. The data used in this research is FNL (Final Analysis) data from http://rda.ucar.edu/, Satellite Image of Himawari-8 IR1 Channel from BMKG, and meteorological observation data (synop and radiosonde) from Kualanamu Meteorological Station. The land and sea breeze are simulated using WRF-ARW, verified using observational data, and then

31

visualized using GrADS. The results show that WRF-ARW can simulate land and sea breeze on the coast of Deli Serdang well. The existence of a convective index cover in the convergent area proves that land and sea breeze occurring in the coast of Deli Serdang can form convergent area when interacting with the wind from other directions that support convective activity. Keywords: Land Breeze, Sea Breeze, WRF-ARW, Heavy Rain

1.

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara maritim yang terletak di daerah tropis dengan karakteristik memiliki perbedaan suhu yang jelas antara daratan dan lautan. Perbedaan suhu yang kuat antara daratan dan lautan dapat menyebabkan pergerakan sistem angin harian yang dikenal sebagai angin darat dan angin laut [12]. Pergerakan angin darat dan angin laut memiliki korelasi dengan aktivitas konvektif di suatu daerah. Analisis aktivitas konvektif dapat dianalisis dengan mengukur indeks konvektifnya, seperti pada penelitian sebelumnya yang menggunakan perhitungan suhu puncak awan hasil citra satelit [9]. Weather Research and Forecasting (WRF) adalah model cuaca numerik skala meso yang dapat digunakan untuk melakukan simulasi fenomena meteorologi skala meso untuk kegiatan penelitian maupun operasional prakiraan cuaca. WRF dapat digunakan untuk simulasi cuaca dengan luasan satuan hingga ribuan meter [5]. WRF-ARW adalah salah satu bagian dari WRF. Penggunaan model WRF tiap daerah mengharuskan penentuan skema parameterisasi yang keakuratannya berbeda-beda. Kabupaten Deli Serdang adalah salah satu wilayah di Provinsi Sumatera Utara. Deli Serdang berbatasan lansung dengan Selat Malaka bagian tengah di bagian utaranya. Secara geografis Deli Serdang berada pada wilayah pengembangan Pantai Timur Sumatera. Letaknya yang dekat dengan laut menjadi alasan perlunya dilakukan analisis pengaruh sirkulasi angin darat dan angin laut terhadap aktivitas konvektif dan cuaca di Deli Serdang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan model WRFARW dalam menyimulasikan kejadian angin darat dan angin laut serta pengaruhnya terhadap konvektivitas di Deli Serdang. Dengan harapan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam pembuatan analisis dan prediksi pergerakan massa udara terkait analisis dan prakiraan cuaca di Deli Serdang. 1.1 Angin Darat dan Angin Laut

Gambar 1. Sirkulasi Angin Laut [Kiri] dan Angin Darat [Kanan] ( Sumber: www.srh.noaa.gov/jetstream/ocean/seabreeze.html )

32

Angin dapat bergerak karena perbedaan tekanan udara antara dua daerah, yaitu bergerak dari daerah bertekanan udara tinggi (High) ke daerah bertekanan udara rendah (Low). Sirkulasi angin darat dan angin laut dapat terjadi di wilayah yang bebatasan lasung atau berdekatan dengan pantai. Sirkulasi ini disebabkan oleh adanya perbedaan suhu antara daratan dan lautan akibat perbedaan penerimaan/penyerapan panas (sinar matahari) oleh daratan dan lautan [13]. Secara umum, pada siang hari daratan lebih cepat menyerap panas sedangkan lautan lebih lambat karena kalor jenis air yang tinggi. Akibatnya suhu udara di daratan lebih tinggi daripada di lautan yang menyebabkan tekanan udara di lautan lebih tinggi daripada di daratan sehingga angin bergerak dari laut ke darat, yang kemudian disebut angin laut Pada malam hari saat tidak adanya penyinaran matahari, daratan lebih cepat melepaskan panas sedangkan lautan lebih lambat. Akibatnya, suhu di lautan akan lebih tinggi daripada di darat yang menyebabkan tekanan di darat lebih tinggi daripada di laut. Perbedaan tekanan udara ini menyebabkan angin bergerak dari darat ke laut, yang kemudian disebut angin darat. Ada dua kondisi yang diperkirakan terjadi saat angin darat dan angin laut melewati suatu wilayah. Pertama, hembusan angin laut dan angin darat dapat membuyarkan pertumbuhan awan konvektif, atau sebaliknya yang kedua, dapat membawa massa udara maupun awan konvektif dari daerah lain untuk mengumpul dan meningkatkan aktivitas konvektif di wilayah tersebut [7]. 1.2 Weather Research and Forecasting (WRF) Weather Research and Forecasting (WRF) adalah salah satu model cuaca numerik skala meso yang dapat digunakan untuk kegiatan penelitian dan operasional prakiraan cuaca. Model WRF-ARW memiliki kemampuan yang lebih baik daripada model cuaca lainnya dengan menawarkan kombinasi variasi opsi fisis. Jenis opsi fisis yang mudah dan efesien hingga yang canggih dan mahal serta berbagai skema parameterisasi ditawarkan oleh model WRF, antara lain opsi fisis radiasi, opsi fisis lapisan batas planet, parameterisasi cumulus, dan opsi mikrofisis [5]. 1.3 Indeks Konvektif Telah dilakukan penelitian sebelumnya [9,4] terkait pola konveksi dan konvergensi di Benua Maritim Indonesia (BMI). Pola konveksi dan konvergensi dapat diketehui dengan memanfaatkan hasil citra satelit Himawari-8 (sebelumnya digunakan satelit MTSAT) kanal IR1 (infrared). Suhu puncak awan yang terukur oleh IR1 kemudian digunakan untuk menghitung indeks konventif di suatu daerah. Sakurai (2005) telah melakukan perumusan perhitungan indeks konvektif sebagai berikut [4]. 𝟐𝟑𝟎 − 𝑻𝒃, 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝑻𝒃 ≤ 𝟐𝟑𝟎 𝑲 𝒊𝒌 = { 𝟎, 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝑻𝒃 ≥ 𝟐𝟑𝟎 𝑲

(2.1)

dimana Tb (Brightness Temperature) adalah suhu puncak awan terukur, dan K (Kelvin) adalah satuan nilai suhu puncak awan.

2.

DATA DAN METODE PENELITIAN

2.1 Wilayah Penelitian Wilayah penelitian mencakup wilayah Kabupaten Deli Serdang yaitu pada koordinat 2 57’-3 16’N 98 33’-99 27’E dan wilayah lautan sekitarnya dengan titik pusat penelitian yaitu Stasiun Meteorologi Kualanamu pada koordinat 03 34’N 98 44’E pada ketinggian 27 meter diatas permukaan laut (mdpl).

Gambar 2. Peta Wilayah Kabupaten Deli Serdang (Tampilan Google Maps) ( Sumber: https://www.google.co.id/maps/place/Bandara+Int.+Kualanamu/ ) 2.2 Data Penelitian a.

Data Observasi

Penelitian ini menggunakan data pengamatan meteorologi dari Stasiun Meteorologi Kualanamu periode tahun 2015 dan 2016 yang meliputi pengamatan udara permukaan (sinop) dan udara atas (radiosonde). Data curah hujan (CH) digunakan untuk mengetahui jumlah dan distribusi CH harian dan bulanan di Kabupaten Deli Serdang. Data radiosonde hasil pengamatan diperoleh dari http://weather.uwyo.edu/upperair/sounding.html. b.

Data Final Analysis (FNL)

Data FNL yang digunakan dalam penelitian ini diunduh dari http://rda.ucar.edu/ dengan resolusi spasial 1x1 dan resolusi temporal 6 jam. Data FNL yang digunakan pada penelitian ini adalah data 24 jam pada tanggal 02 Juni 2016 (lembah hujan) dan 01 September 2016 (puncak hujan) dengan spin-up WRF selama 12 jam sebelum dan setelah jam data utama. c.

Data Himawari-8 Kanal IR1

Data Himawari-8 Kanal IR1 yang digunakan didapatkan dari BMKG. Data citra satelit Himawari-8 yang digunakan yaitu data 24 jam pada tanggal 02 Juni 2016 dan 01 September 2016. Data Himawari-8 Kanal IR1 digunakan untuk menghitung nilai indeks konvektif dan mengetahui profil awan yang terbentuk di wilayah penelitian. 2.3 Pengolahan Data Pengolahan data dalam penelitian ini terbagi menjadi 3 bagian, yaitu sebagai berikut. a.

Identifikasi Waktu Penelitian

Waktu penelitian diidentifikasi berdasarkan data CH harian dan bulanan Stasiun Meteorologi Kualanamu. Berdasarkan data bulanan, ditentukan lembah dan puncak hujan yang selanjutnya dipilih tanggal kejadian CH lebat (>50mm/hari) atau yang mendekati pada masing-masing bulan lembah dan puncak hujan. Pada puncak hujan dipilih bulan September dengan total CH 536,4 mm/bulan dan tanggal 01 September 2016 dengan total CH 101,4/hari. Sedangkan pada lembah hujan dipilih bulan Juni dengan total CH 68,7 mm/bulan dan tanggal 02 Juni 2016 dengan total CH 43,5/hari. b.

Penjalanan (running) Model WRF-ARW

Model WRF-ARW dijalankan menggunakan proyeksi peta Mercator dengan pembagian 2 domain. Domain 1 (DO1) terletak pada koordinat -4,82 s/d 11,89 N 90,32 s/d 107,135 34

E dengan resolusi horizontal 21 km, sedangkan Domain 2 (DO2) terletak pada koordinat 1,15 s/d 5,98 N 96,31 s/d 101,15 E dengan resolusi horizontal 7 km. Berikut adalah pengaturan domain dan parameterisasi yang digunakan dalam penelitian ini.

Gambar 3. Tampilan Domain yang Digunakan Dalam Penelitian ( Sumber: WRFDomainWizard ) Tabel 1. Konfigurasi WRF-ARW yang Digunakan dalam Penelitian ( Sumber: WRFDomainWizard ) Konfigurasi

Domain 1

Domain 2

Mikrofisis (mp_physics)

WSM-6 [6]

WSM-6 [6]

Long Wave Radiation (ra_lw_physics)

RRTM scheme [1]

RRTM scheme [1]

Short Wave Radiation (ra_sw_physics)

Dudhia scheme [1]

Dudhia scheme [1]

Surface-Layer Option (sf_sfclay_physics)

Monin-Obukhov Similarity scheme [1]

Monin-Obukhov Similarity scheme [1]

Land-Surface Option (sf_surface_physics)

Noah Land-Surface Model [2]

Noah Land-Surface Model [2]

Boundary-Layer Option (bl_pbl_physics)

YSU scheme [1]

YSU scheme [1]

Cumulus Option (cu_physics (max_dom))

Kain-Fritsch scheme [1]

Kain-Fritsch scheme [1]

c.

Verifikasi

Verifikasi dilakukan terhadap arah dan kecepatan angin permukaan antara hasil output WRF-ARW dengan hasil observasi Stamet Kualanamu menggunakan metode statistik sederhana yakni dengan mencari nilai Korelasi dan RMSE (Root Mean Square Error). Korelasi digunakan untuk mencari nilai keterkaitan antara dua peubah acak. Apabila antara variabel data observasi dengan data luaran tiap skema memiliki hubungan korelasi -1≤ r ≤1. Adapun menurut Murray R. Spiegel (2008) [4] rumus korelasi dapat ditulis sbb. 𝒓=

(𝒏 ∑ 𝒙.𝒚)−(∑ 𝒙 ∑ 𝒚) √[𝒏 ∑ 𝒙𝟐 −(∑ 𝒙)𝟐 ][𝒏 ∑ 𝒚𝟐 −(∑ 𝒚)𝟐 ]

(2.2)

Dimana r merupakan korelasi dengan x, y merupakan variabel yang dibandingkan dengan x adalah nilai observasi dan y adalah nilai luaran model dan n menunjukkan banyaknya data. Sedangkan nilai RMSE dihitung untuk mendapatkan nilai yang memiliki error paling kecil bila dibandingkan dengan hasil observasi. Menurut WMO (2012) [4], RMSE sering digunakan untuk menampilkan akurasi dari prakiraan dan ditulis dengan persamaan sbb. ∑(𝑭−𝑶)𝟐

𝑹𝑴𝑺𝑬 = √

𝑵

(2.3)

Dimana N merupakan banyaknya data F luaran model dan O nilai hasil observasi. Jika RMSE di bawah 20 untuk arah angin, artinya nilai yang dibandingkan (nilai hasil luaran model) mendekati dengan nilai yang sebenarnya (hasil observasi). Jika RMSE di bawah 5 untuk kecepatan angin, artinya nilai yang dibandingkan (nilai hasil luaran model) mendekati dengan nilai yang sebenarnya (hasil observasi). Verifikasi terhadap pola angin darat dan angin laut dari ouput WRF dilakukan secara spasial terhadap nilai sebaran indeks konvektif.

2.4 Diagram Alir Penelitian MULAI IDENTIFIKASI WANTU

DATA FNL

DATA OBSERVASI

DATA HIMAWARI-8

RUNNING WRF

OUTPUT WRF VERIFIKASI

HASIL DAN PEMBAHASAN

KESIMPULAN DAN SARAN SELESAI

Gambar 4. Diagram Alir Penelitian

36

3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 5. Grafik CH Bulanan Periode Tahun 2015 dan 2016 Terukur di Stasiun Meteorologi Kualanamu ( Sumber: Stasiun Meteorologi Kualanamu ) A

B

Gambar 6. Grafik Perbandingan Wind Speed (WS) Output Model WRF-ARW dengan Data Observasi di Kualanamu Saat Lembah Hujan [A] dan Puncak Hujan [B] ( Sumber : WRF-ARW dan Stasiun Meteorologi Kualanamu )

Gambar 7. Profil Udara Atas (Radiosonde) Output Model WRF-ARW dan Data Observasi di Kualanamu Saat Lembah Hujan [Atas] dan Puncak Hujan [Bawah] ( Sumber : WRF-ARW dan http://weather.uwyo.edu/upperair/sounding.html )

38

Gambar 8. Profil Angin Permukaan Tiap Tiga Jam di Deli Serdang Tanggal 02 Juni 2016

Gambar 9. Overlay Angin Permukaan dan Indeks Konvektif Tiap Tiga Jam di Deli Serdang Tanggal 02 Juni 2016

40

Gambar 10. Profil Angin Permukaan Tiap Tiga Jam di Deli Serdang Tanggal 01 September 2016

Gambar 11. Overlay Angin Permukaan dan Indeks Konvektif Tiap Tiga Jam di Deli Serdang Tanggal 01 September 2016

42

Berdasarkan Gambar 5 diketahui bahwa lembah hujan pertama di Deli Serdang terjadi pada bulan Maret-April sedangkan puncak hujan tertinggi terjadi pada bulan SeptemberOktober. Berdasarkan Gambar 6 diketahui bahwa kecepatan angin yang ditunjukkan oleh hasil simulasi WRF-ARW dan hasil observasi memiliki pola yang berbeda. Kecepatan angin hasil observasi cenderung lebih fluktuatif daripada hasil simulasi WRF. RMSE dan korelasi pada puncak hujan lebih baik daripada saat lembah hujan Nilai RMSE antara simulasi WRF dengan observasi berkisar antara (6,32)-(6,50) kt, sedangkan nilai korelasi berkisar antara (-0,16)-(-0,43). Berdasarkan Gambar 7 diketahui bahwa secara keseluruhan terdapat perbedaan pola yang cukup jelas antara simulasi WRF-ARW dengan hasil pengamatan udara atas. Namun terlihat nilai suhu udara tiap lapisan yang tidak jauh berbeda antara hasil simulasi WRF dengan observasi. Pada Gambar 8 ditunjukkan pola angin saat lembah hujan yaitu tanggal 02 Juni 2016. Terlihat angin darat terjadi pada jam 00 UTC sampai sebelum jam 06 UTC. Pada jam 06 UTC mulai terlihat aliran angin laut sampai pada sebelum jam 15 UTC. Pada jam 15 UTC mulai terlihat adanya transisi yang kuat antara angin darat dan angin laut yang selanjutnya secara perlahan angin darat semakin jelas terlihat dan angin laut menghilang. Sedangkan bila dilihat pada Gambar 9 yang menunjukkan perubahan indeks konvektivitasnya, terlihat pada jam 09 UTC adanya aktivitas konvektif yang kuat akibat terbentuknya pumpunan angin di sebelah barat laut Deli Serdang. Pada jam 12 UTC mulai terlihat jelas adanya daerah dengan indeks konvektif yang tinggi disertai dengan pola aliran angin yang saling berlawanan. Di sebelah barat Deli Serdang terlihat adanya pertemuan angin dari arah Barat Laut dengan angin dari arah Tenggara yang relatif sama kecepatannya. Diindikasikan pertemuan antara kedua aliran angin ini mendorong tingginya aktivitas konvektif di daerah tesebut. Pada jam selanjutnya, mulai dari jam 18 UTC, terlihat aktivitas konvektif di Deli Serdang mulai menghilang. Hal ini diindikasikan dipengaruhi oleh bentuk topografi Deli Serdang dimana terdapat pegunungan Bukit Barisan di sebelah barat. Bentuk topografi ini diindikasikan memiliki peranan yang signifikan terhadap perkembangan aktivitas konvektif di Deli Serdang. Angin laut yang berhembus diperkirakan tertahan dan terdorong mengalir ke atas (orografis) akibat keberadaan pegunungan ini. Pada Gambar 10 ditunjukan pola angin saat puncak hujan yaitu tanggal 01 September 2016. Terlihat bahwa pada jam 03 UTC sudah mulai terlihat transisi aliran angin darat menjadi angin laut. Hal ini terjadi lebih cepat daripada saat lembah hujan. Pada jam 06 UTC sudah terlihat aliran angin laut yang cukup kencang, mencapai sekitar 12 kt, yang memasuki perairan Pantai Barat Sumatera termasuk wilayah Deli Serdang. Pada jam 09 UTC terlihat angin laut tersebut semakin kencang dan mulai melemah pada jam 12 UTC. Pada jam 12 UTC terlihat adanya pertemuan angin yang berlawanan arah namun kecepatannya relatif rendah. Pada jam 18 UTC mulai terlihat aliran angin darat yang semakin menguat dan angin laut yang melemah. Terlihat angin darat terjadi sampai pada jam 24 UTC dan kecepatannya mengecil. Bila dilihat pada Gambar 11 yang menunjukkan aktivitas konvektifnya, pada jam 00 UTC sampai dengan sebelum jam 09 UTC tidak terlihat adanya aktivitas konvektif yang signifikan walaupun angin lautnya megalir dengan kecepatan yang relatif kuat. Hal ini diperkirakan karena tidak adanya angin dari arah berlawanan yang menghadang angin laut tersebut untuk membentuk pumpunan. Hal ini karena pada bulan September yang terjadi adalah angin Baratan, sehingga angin laut semakin diperkuat oleh pergerakan angin dari utara ini. Hal ini juga menunjukkan bahwa pada lembah hujan, pumpunan yang terbentuk erat kaitannya dengan aliran angin Timuran yang menghadang aliran angin laut. Pada jam 12 UTC mulai terlihat aktivitas konvektif. Angin darat yang mengalir dari selatan bertemu dengan angin Baratan yang bergerak dari utara sehingga membentuk daerah pumpunan. Hal ini semakin jelas terlihat pada jam 18 UTC dimana angin darat dan angin Baratan memiliki kecepatan yang relatif sama dan 43

saling bertemu. Pada jam 21 UTC terlihat angin Baratan mulai melemah dan angin darat mulai jelas terlihat alirannya. Secara umum terlihat bahwa angin yang bertiup dari darat menuju laut di pesisir pantai Deli Serdang mulai jelas terlihat mulai jam 21 UTC hingga 03 UTC dan kecepatannya sekitar 2-8 kt. Pola angin yang ditunjukkan sesuai dengan teori sirkulasi angin darat dan angin laut dimana angin darat biasanya terjadi sekitar tiga jam setelah matahari terbenam dan meningkat kecepatannya sampai matahari terbit dan masih terus berhembus beberapa jam setelah matahari terbit sedangkan angin laut muncul dekat pantai beberapa jam setelah matahari terbit dan mencapai maksimum ketika beda temperatur darat dan laut mencapai maksimum. Namun hal ini tidak sepenuhnya sesuai dengan teori Riehl [10] dimana idealnya arah dari sirkulasi angin laut angin darat adalah tegak lurus garis pantai. Terlihat pula pumpunan yang terjadi antar angin laut maupun antara angin laut dengan angin arah lain yang bertiup dari utara sesuai teori Wirjohamidjojo dan Sugarin [14]. 4.

KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut. 1.

Secara umum peredaran angin laut dan angin darat di sekitar pesisir Deli Serdang mampu disimulasikan dengan baik oleh model WRF-ARW dengan konfigurasi yang digunakan pada penelitian ini.

2.

Angin laut cenderung lebih kuat daripada angin darat, terutama pada puncak hujan. Kecepatan angin laut dapat mencapai sekitar 10-12 kt sedangkan kecepatan angin darat hanya sekitar 4-6 kt.

3.

Angin darat maupun angin laut yang terjadi di pesisir Deli Serdang dapat membentuk pumpunan apabila bertemu antar mereka atau bila bertemu dengan angin dari arah lain dan mendukung aktivitas konveksi di Deli Serdang. Hal ini dibuktikan dengan tutupan indeks konvektif yang niainya timggi di sekitar daerah pumpunan.

4.

Waktu penelitian perlu diperbanyak dimana dilakukan pada bulan-bulan lainnya dan tidak hanya pada saat terjadi hujan lebat atau sangat lebat saja sehingga dapat diketahui apakah angin darat dan angin laut juga terjadi pada bulan-bulan lainnya saat tidak terjadi hujan lebat atau sangat lebat.

DAFTAR PUSTAKA 1.

Bodini, A., dan Cossu, Q. 2010. Vulnerability Assessment of Central-East Sardinia (Italy) to Extreme Rainfall Events. Journal of Natural Hazards and earth System Sciences, 61-72

2.

Dewita, Anggi, dkk. 2015. Pemanfaatan WRF-ARW Untuk Simulasi Potensi Angin Sebagai Sumber Energi di Teluk Bone. Jurnal Material dan Energi Indonesia Vol. 05, No. 02 (2015) 17-23. Departemen Fisika FMIPA Universitas Padjajaran. Jatinangor

3.

Firth, Rebecca, dkk. 2017. An Analysis of Regional Climate Simulations for Western Austrralia’s Wine Regions – Model Evaluation and Future Climate Projections. Jurnal of Applied Meteorology and Climatology, American Meteorological Society

4.

Fitryawita, Mega dan Miming Saepudin. 2017. Kajian Interaksi Aktivitas Konvvektif Angin Darat dan Angin Laut Menggunakan WRF-ARW di Kalimantan Barat. STMKG. Jakarta 44

5.

Hadi, Tri Wahyu, dkk. 2011. Pelatihan Model WRF. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

6.

Karmilawati, Lilis, dkk, 2015, Peran Reversal Wind Dalam Menentukan Perilaku Curah Hujan di Kawasan Barat Indonesia. Fibusi (Jof) Vol. 3 No. 1, April 2015

7.

Molina, Cesar Azorin, dkk. 2014. Sea Breeze Thunderstorm in The Eastern Iberian Peninsula, Neighborhood Verification of HIRLAM and HARMONIE Precipitation Forecasts. Atmospheric Research 139 (2014) 101-115, Atmospheric Research

8.

Nahmann, Andrea A., dkk. 2014. Wind Climate Estimation Using WRF Model Output: Method and Model Sensitivities Over The Sea. International Journal of Climatology, Royal Meteorology Society

9.

Nuryanto, Danang E. 2011. Analisis PseudoVektor Pada Aktivitas Konvektif Benua Maritim Indonesia. Jurnal Meteorologi dan Geofisika Volume 12 no. 2, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta

10. Riehl, Herbert. 1954. Tropical Meteorology. Mc. Graw-Hill Book Company Inc, New York 11. Saufina, Elfira dan Marzuki. 2016. Distribusi Spasial dan Temporal Petir di Sumatera Barat. Jurnal Fisika Unand Vol. 5, No. 4, Oktober 2016. Padang 12. Tjasyono HK., Bayong dan Woro B. Sri. 2014. Atmosfer Ekuatorial. Badan Meteorologi Klimaatologi dan Geofisika. Jakarta 13. Winarso, Paulus A. 2011. Analisa Cuaca I. Akademi Meteorologi dan Geofisika, Jakarta 14. Wirjohamidjojo, Soeryadi dan Sugarin. 2008. Praktek Meteorologi Kelutan. Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta 15. Yulihastin, Erma. 2012. Mekanisme Hujan Harian di Sumatera. Berita Dirgantara Vol. 13 No. 3 September 2012: 86-94 16. www.srh.noaa.gov/jetstream/ocean/seabreeze.html 17. http://weather.uwyo.edu/upperair/sounding.html 18. https://www.google.co.id/maps/place/Bandara+Int.+Kualanamu/

ANALISIS INDEKS SERUAKAN DINGIN TERHADAP SEBARAN HUJAN DI SUMATERA UTARA Christen Ordain Novena Marpaung1Dr Widada Sulistya, DEA2 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Tangerang Selatan E-mail: [email protected]

Abstrak Indeks seruakan digunakan untuk melihat aktifnya seruakan dingin pada saat monsun Asia berlangsung. Indeks seruakan merupakan selisih tekanan antara Stasiun Gushi (115° BT 30° LU) dengan Hongkong (114° BT 22° LU), indeks seruakan ini dikenal dengan rambatan gelombang massa udara dingin dari daratan Asia yang melintasi ekuator. Jika nilai indeks seruakan lebih dari atau sama dengan 10 mb dikatakan terjadi seruakan dingin. Adanya gelombang dingin yang menuju ekuator akan meningkatkan curah hujan di wilayah sekitar Sumatera dan Jawa. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi dinamika atmosfer dari skala regional dan lokal saat seruakan dingin terjadi dan melihat pola distribusi curah hujannya di Sumatera Utara. Berdasarkan hasil olahan data observasi curah hujan, data pengamatan udara atas, dan data reanalisis Era Interim ECMWF menunjukkan bahwa pengaruh seruakan dingin terhadap distribusi curah hujan hanya berintensitas ringan sampai sedang. Hal ini juga dapat dilihat dari indeks stabilitas yang hanya menunjukkan konveksi sedang di Sumatera Utara. Kata kunci: indeks seruakan dingin, monsun Asia, convection

Abstract Cold surge index is used to view the active cold surge during Asian monsoon. Index surge can finding from difference pressure between Gushi Station (115º E 30º N) to Hongkong Station (114º E 22º N), index surge was known as cold air mass wave propagation from Asia who across the equator. If the index surge greater than or equal to 10 mb was said to occur cold surge. Cold wave towards the equator would increase rainfall in the region around Sumatera and Java. This study was conducted to determine the condition of atmospheric dynamics of regional and local scale when cold surge happen and see the pattern of rainfall distribution in North Sumatera. Based on the processed observation data of rainfall, upper air observation, and the ECMWF Interim Reanalysis Era that indicate the cold surge effect is only mild to moderate intensity on the distribution of rainfall. It also be seen from the stability index that show moderate convection in North Sumatera. Keywords: cold surge index, Asian monsoon, convection

1. PENDAHULUAN Selama musim dingin Asia berlangsung di Belahan Bumi Utara (BBU) angin bertiup dari Timur Laut sampai ke Selatan ekuator dan saat itu matahari berada di Selatan menuju ke Utara. Bersamaan dengan kondisi tersebut sering dijumpai penjalaran massa udara dingin dari

monsun dingin Asia menuju Indonesia yang disebut seruakan dingin (Bayong, 2004). Menurut penelitian dari beberapa ahli, adanya seruakan dingin ditandai dengan naiknya tekanan udara, penurunan suhu dengan cepat dan bertambahnya kecepatan angin serta

46

bertambahnya curah hujan di daerah Selatan ekuator Indonesia. Indonesia merupakan negara maritim yang menjadi tempat interaksi berbagai sirkulasi atmosfer. Sirkulasi atmosfer utama yang berpengaruh terhadap variasi cuaca dan iklim di Indonesia adalah sirkulasi skala sinoptik yakni monsun. Monsun merupakan angin yang bertiup sepanjang tahun dan berganti arah dua kali dalam setahun. Umumnya, monsun akan meniupkan angin darat yang kering pada setengah tahun pertama dan setengah tahun selanjutnya akan meniupkan angin laut yang basah. Monsun adalah angin yang arahnya berbalik secara musiman. Angin monsun disebabkan oleh beda sifat fisis antara benua dan lautan. Secara latitudinal (melintang) dan longitudinal (membujur) Indonesia di bawah pengaruh sirkulasi ekuatorial dan monsunal yang sangat berbeda karakteristiknya. Monsun dapat digambarkan sebagai fenomena angin laut raksasa akibat beda panas BBU – BBS yang dikaitkan dengan migrasi matahari tahunan (Tjasyono, 2007). Monsun Musim Dingin Asia mempengaruhi distribusi curah hujan dengan tipe hujan monsunal di Indonesia. Namun, tidak selamanya keadaan berlangsung normal. Hal ini disebabkan oleh gangguan cuaca lainnya yang menyebabkan anomali tersebut. Salah satu anomali pada saat Monsun Musim Dingin Asia adalah cold surge atau seruakan dingin. Cold surge sebagai salah satu gangguan yang paling mempengaruhi bentuk siklus tahunan curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat laut yang membentuk siklus semi monsunal (Aldrian dan Susanto, 2003). Meskipun masa aktifnya hanya dalam ordo hari namun cold surge berdampak buruk bagi cuaca di bagian timur Asia dan juga berpengaruh terhadap hujan di wilayah Asia Tenggara (Chen dkk, 2003). Seruakan dingin Asia adalah kenaikan kecepatan angin yang kuat bergerak dari utara ke selatan. Berasal dari daratan Asia hingga mencapai laut Cina Selatan dengan lama perambatan selama waktu 72 jam, yang mengakibatkan kenaikan kecepatan angin

di wilayah selatan ekuator di atas laut Cina Selatan. Dimana meningkatnya kecepatan angin tersebut terjadi satu atau dua hari setelah seruakan dingin mencapai Hongkong (Budiyono dan Hariadi, 2006). Menurut Wu dkk. (2007), udara dingin yang menjalar dari daratan Asia ke selatan bersifat massa udara benua yang dingin dan mantap (stable). Bila melata di atas Laut Cina Selatan yang hangat udara dingin tersebut mengembun dan membentuk awan jenis Cumulus dan Stratocumulus yang tidak tinggi dan jenis Altostratus. Di atas awan Altostratus cerah tak ada awan. Daerah awan dapat sangat luas. Bila bersamaan dengan datangnya palung di sebelah utara, atau palung udara atas (upper trough pada 200 hPa) kelompok awan tersebut dapat terorganisasi menjadi pusaran. Bila pusaran terbentuk menghambat penjalaran seruakan ke selatan. Sebaliknya, apabila tidak ada gangguan maka seruakan dingin dapat mencapai lebih ke selatan, di arah selatan khatulistiwa dapat banyak awan dan hujan. Teknik identifikasi cold surge diringkas oleh Pramuwardani dan Setiawan (2010) dengan menjelaskan aktifnya cold surge ditandai dengan perbedaan tekanan udara antara dua wilayah di daratan Asia, yaitu Gushi dan Hongkong. Perbedaan tekanan udara antara dua wilayah tersebut dapat dijadikan indikator aktifnya cold surge penjalaran massa udara dari Asia yang melewati Indonesia. Besarnya perbedaan tekanan ini disebut dengan indeks surge. Jika indeks surge memiliki nilai lebih besar dari 10 mb menandakan aktifnya penjalaran massa udara dari daratan Asia. Sebaliknya jika indeks surge memiliki nilai lebih kecil dari 10 mb menandakan kurang aktifnya bahkan tidak terjadinya cold surge. Menurut Zakir dkk. (2010) cold surge merupakan aliran massa udara dingin dari daratan Asia yang menjalar memasuki wilayah Indonesia bagian barat. Cold surge biasa terjadi pada saat di Asia memasuki musim dingin. Adanya seruak dingin ini ditandai dengan: 1. Perbedaan tekanan udara antara 30°LU, 115°BT dengan Hongkong (10 mb);

47

2. Selama 24 jam turunnya suhu udara di Hongkong sekitar 5°C atau lebih; 3. Selama 24 jam ada peningkatan kecepatan angin di Hongkong mencapai 10 knot atau lebih; 4. Angin di sekitar wilayah Laut Cina Selatan dari utara atau timur laut dengan kecepatan di atas 10 knot.

2. DATA DAN METODE Dalam penelitian ini adapun bahan berupa data yang digunakan antara lain: 1. Data pengamatan curah hujan harian dari beberapa stasiun dan pos hujan di Sumatera Utara. 2. Data analisis isobar, angin lapisan 925 mb, transpor uap air, RH, dan suhu jam 00 UTC hasil olahan data reanalysis model ECMWF dengan resolusi spasial 0,25° x 0,25°. 3. Data beda tekanan Gushi dan Hongkong. 4. Data pengamatan udara atas di Stasiun Meteorologi Kuala Namu (96035). Metode yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Melakukan analisis terhadap data curah hujan tanggal 8-11 Desember 2014. 2. Menginterpretasikan isobar, peta angin, transport uap air, RH, dan suhu di Sumatera Utara tanggal 8-11 Desember 2014. 3. Mendeskripsikan nilai beda tekanan untuk deteksi seruak dingin. 4. Membuat kesimpulan berdasarkan hasil analisis dan pembahasan. 3. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 1. Analisis Distribusi Curah Hujan Pola distribusi curah hujan selama 24 jam pada tanggal 8-11 Desember 2014 menunjukkan bahwa intensitas curah hujan dominan yang terjadi dengan kategori ringan hingga sedang di hampir seluruh wilayah Sumatera Utara selama periode seruakan dingin aktif. Akumulasi curah hujan lebat hanya terjadi pada tanggal 8, 10, dan 11 Desember 2014.

Gambar 3.1 Peta Spasial Sebaran Hujan

Tanggal 8-11 Desember 2014

48

2. Analisis Isobar Analisis skala sinoptik dimulai dengan informasi isobar berupa tekanan pada permukaan laut (MSLP) di sekitar daratan Asia, Laut Cina Selatan hingga Indonesia mulai tanggal 8-11 Desember 2014 tiap 24 jam. Berdasarkan gambar 3.2 pada tanggal 17 hingga 19 Desember 2014 membuktikan adanya daerah bertekanan tinggi sebesar 1024 mb di sekitar daratan Asia. Terlihat juga pada saat yang sama garis Isobar yang cukup rapat di dekat wilayah Cina. Dikarenakan pada bulan Desember merupakan puncak musim dingin di wilayah

BBU, hal ini mengindikasikan akan adanya arus massa udara yang mengalir kuat dari daerah tersebut menuju BBS. Hal ini juga didukung oleh adanya daerah palung equator serta daerah bertekanan rendah di sepanjang wilayah Indonesia. Tercatat selama 3 hari sejak tanggal 7 Desember 2014, tekanan di wilayah Indonesia mencapai 1012 - 1010 mb. Kondisi ini mengakibatkan pasokan massa udara dari Asia semakin kencang menerobos wilayah Indonesia, sehingga akan memicu tumbuhnya banyak awan di Indonesia termasuk Sumatera Utara.

Gambar 3.2 Peta Isobar dengan interval 2 mb tanggal 8-11 Desember 2014

49

3. Analisis Pola Angin Identifikasi gangguan cuaca yang dilakukan pada tekanan pada permukaan laut (MSLP) diperjelas dengan informasi arah dan kecepatan angin. Gambar 3.3 merupakan merupakan overlay antara arah dan kecepatan angin pada lapisan 925 mb. Dengan memilih lapisan 925 mb dimaksudkan mampu memberikan gambaran tentang gangguan cuaca yang terjadi dalam kurun waktu tanggal 8-11 Desember 2014 yang terkait dengan arah dan kecepatan angin yang terjadi. Pada tanggal 8 Desember 2014, ada beberapa indikasi gangguan cuaca yang terjadi. Gangguan cuaca tersebut di antaranya daerah pertemuan massa udara (konvergensi) di sekitar Laut Cina Selatan serta daerah belokan angin (shear) di wilayah Riau, Kalimantan Barat hingga Selat Karimata, terlihat pula adanya pusaran yang terbentuk di bagian Barat Pulau Kalimantan. Daerah vortex berupa eddy yang terjadi di atas Pulau Kalimantan tersebut diduga adalah fenomena dengan Borneo Vortex. Sedangkan pada tanggal 9 Desember 2014, konvergensi masih terlihat di

Sumatera bagian timur. Kecepatan angina semakin meningkat dibandingkan hari sebelumnya. Pada tanggal 10 Desember 2014, kecepatan angina monsun timur laut tampak melemah. Vortex di Kalimantan Barat bergeser ke Laut Cina Selatan pada tanggal 11 Desember 2014. Kondisi ini berpotensi menyebabkan pemampatan massa udara yang dapat menggerakkan massa udara naik dan menyebabkan pembentukan awan. Selain gangguan yang telah disebutkan, yang perlu dicermati lagi adalah tingginya kecepatan angin di Laut Cina Selatan. Arah angin Utara hingga Timur Laut dari Laut Cina Selatan tersebut mengarah ke Selat Karimata hingga Sumatera dengan kecepatan di atas 20 knot. Hal ini merupakan kondisi signifikan yang dapat menjadi indikasi adanya gangguan cuaca skala sinoptik yang dikenal dengan seruakan dingin (Cold Surge) dengan catatan kecepatan angin meredional di Hongkong lebih dari 10 knot.

Gambar 3.3 Peta Angin Tanggal 8-11 Desember 2014

50

4. Analisis Transpor Uap Air Analisis transport uap air dilakukan untuk mengetahui daerah dan asal dari uap air yang merupakan unsur utama pembentuk awan. Berdasarkan gambar 3.4 pada saat seruakan dingin terjadi di Sumatera Utara pada tanggal 7 Desember 2014 terlihat bahwa uap air banyak berasal dari Laut Cina Selatan yang mengarah menuju wilayah Sumatera. Dengan ketersedian uap air yang banyak, rata-rata lebih dari 1000 Kg/m3 mendukung proses pembentukan awan BBU, hal ini mengindikasikan akan adanya arus massa udara yang mengalir kuat dari daerah

Massa udara dingin yang bersifat kering dari daratan Asia dan didorong oleh angin utara menjalar menyeruak ke arah selatan melewati Laut Cina Selatan yang memiliki kandungan uap air yang cukup banyak. Ada adveksi udara dingin yang mendesak massa udara yang lebih hangat. Sebaran RH di sekitar Laut Cina Selatan dan Sumatera Utara lebih sedikit, hal ini ditunjukkan dari lemahnya pertumbuhan awan konvektif dan distribusi hujan yang merata dengan intensitas ringan sampai sedang.

Gambar 3.4 Transpor Uap Air tanggal 8-11 Desember 2014

51

5. Analisis Pengamatan Udara Atas Berdasarkan hasil pengolahan data udara atas tanggal 7-12 Desember 2014 di Stasiun Meteorologi Kuala Namu jam 00 dan 12 UTC. Tanggal 8 Desember 2014 jam 00 dan 12 UTC, 9 Desember 2014 jam 00 dan 12 UTC, 10 Desember 2014 jam 12 UTC, nilai indeks pengangkatan antara -2 dan -6 memberikan indikasi atmosfer dalam keadaan tidak stabil dimana badai guntur dengan kilat dapat terjadi. Nilai indeks pengangkatan antara 0 dan -2 terjadi pada pengamatan tanggal 10 Desember 2014 jam 00 UTC, 11 Desember 2014 jam 12 UTC, nilai indeks pengangkatan antara 0 dan -2 memberikan indikasi keadaan atmosfer tidak stabil ringan dimana awan badai guntur dengan kilat mungkin terjadi. Nilai K indeks antara 31 - 35 memberikan indikasi bagi terjadinya badai guntur sebesar 61 - 80%. Kondisi ini terjadi pada pengamatan tanggal 8 Desember 2014 jam 00 UTC, 9 Desember 2014 jam 00 UTC dan 12 UTC, 10 Desember 2014 jam 00 UTC dan 12 UTC, 11 Desember 2014 jam 12 UTC, sedangkan pengamatan pada tanggal 8 Desember 2014 jam 12 UTC memberikan indikasi bagi terjadinya badai guntur sebesar 81-90%. Nilai SWEAT indeks antara 170 – 230 terjadi pada pengamatan tanggal 8 Desember 2014 jam 00 dan 12 UTC, 9 Desember 2014 jam 00 dan 12 UTC, 10 Desember 2014 jam 00 dan 12 UTC, 11 Desember 2014 jam 12 UTC, berada di antara 170 - 230 memberikan indikasi bagi pertumbuhan awan cumulus. Nilai CAPE antara 1001 - 2500 J/kg terjadi pada pengamatan tanggal 8 Desember 2014 jam 12 UTC, 9 Desember 2014 jam 00 dan 12 UTC, dan 10 Desember 2014 jam 12 UTC. Nilai CAPE antara 1001 - 2500 J/kg memberikan indikasi bagi terjadinya konveksi sedang, sedangkan nilai CAPE antara 300 1000 J/kg terjadi pada pengamatan tanggal 8 Desember 2014 jam 00 UTC, 10 Desember 2014 jam 00 UTC. Nilai CAPE antara 300 1000 J/kg memberikan indikasi bagi terjadinya konveksi lemah. Pengamatan pada tanggal dan jam lainnya memberikan indikasi terjadinya konveksi sangat lemah.

Berdasarkan hasil pengolahan data udara atas tanggal 7-12 Desember 2014 di Stasiun Meteorologi Kuala Namu jam 00 dan 12 UTC, maka diperoleh nilai indeks stabilitas seperti yang dijelaskan dalam tabel berikut: TGL

JAM

8-122014 9-122014 10-122014 11-122014

0 12 0 12 0 12 0 12

LI -2,2 -4,5 -3,2 -3,8 -1,2 -3,3 0,8

Indeks Stabilitas KI SWEAT CAPE 35 201,6 543 38 204,4 1538 35,7 200,4 1215 34,7 186,8 1233 31,8 179,2 380 35,5 189,6 1313 32,2 202,4 105

Tabel 3.5 Indeks Stabilitas tanggal 8-11 Desember 2014

6. Analisis Kelembapan Udara Berdasarkan hasil pengolahan data kelembapan udara secara vertikal di Sumatera Utara tanggal 8-11 Desember 2014 pada lapisan 925 mb (gambar 3.6) didapatkan informasi mengenai kelembapan udara pada sebelum, saat dan setelah seruakan dingin terjadi. Terlihat pada lapisan permukaan (1000 – 800 mb) sebelum dan saat kejadian hujan kondisi udara di Sumatera Utara ymumnya berkisara dari 75-95%.

Gambar 3.6 Diagram Hovmoller Kelembapan Udara model ECMWF

52

Kelembapan udara semakin meningkat seiring penjalaran seruakan dingin ke Sumatera. Hal ini berdampak pada meningkatnya pertumbuhan awan konvektif danpotensi terjadinya hujan.Terjadinya penjalaran massa udara dari daratan Asia menuju Australia dengan sifat massa udara yang relatif hangat dan lembab. Inilah yang mengakibatkan pertambahan jumlah persentase kelembaban udara di Sumatera Utara.

7. Analisis Suhu Udara Gambar 3.7 Diagram Hovmoller Suhu Udara model ECMWF

Secara umum, suhu udara di Sumatera Utara bervariasi mulai dari 21°C - 24°C. Pada tanggal 7 Desember 2014, terlihat bahwa temperatur udara bergerak dari Utara dengan suhu udara berkisar antara 23 - 24°C. Kemudian pada tanggal 8 Desember 2014 suhu udara semakin menurun menjadi 21 - 22°C. Pada tanggal 9 Desember 2014, suhu udara berkisar antara 22 - 23°C di Sumatera Utara. Suhu udara pada tanggal 10 Desember 2014 dominan berkisar antara 20 - 23°C dan meningkat di hari berikutnya menjadi 24°C. Gambar 3.7 ini menunjukkan bahwa surge mulai bergerak dari lintang Utara ke Selatan sehingga suhu udara menjalar dari daratan Asia di Utara menuju wilayah Indonesia khususnya Sumatera. Terbukti dengan semakin dinginnya suhu udara di selatan pada tanggal 7-12 Desember 2014.

8.

Analisis Indeks Seruakan Dingin

Dari gambar 3.8 terlihat bahwa nilai beda tekanan lebih besar dari 10 mb mulai terjadi pada tanggal 7 Desember 2014 jam 18 UTC dengan nilai sebesar 10,5 mb. Nilai beda tekanan ini kemudian meningkat hingga menjadi 11,4 mb pada tanggal 8 Desember 2014 jam 06 UTC. Namun, mulai jam 18 UTC, nilai beda tekanan mulai turun secara perlahan hingga mencapai 8,9 mb pada tanggal 9 Desember jam 00 UTC. Pada tanggal 10 Desember 2014 jam 00 UTC nilai beda tekanan kembali meningkat menjadi 10,3 mb dan 13,1 mb pada jam 18 UTC. Kemudian mengalami penurunan tekanan secara perlahan pada tanggal 11 Desember 2014 jam 18 UTC menjadi 12,1 mb.

Nilai Beda Tekanan (mb)

BEDA TEKANAN GUSHI DAN HONGKONG 14 12 10 8 6 4 2 0

11.412.212.2 9.6 10.5 10.1

8.9 9.3

7.5 7.7

0

6 12 18

0

11.2

6

12 18

0

6

13.1

13

12.712.5

10.6 8.7 9.9 10.3

12 18

7 Desember 2014 8 Desember 2014 9 Desember 2014

0

6

12 18

10 Desember 2014

0

6

12.1

12 18

11 Desember 2014

Indeks surge

Gambar 3.8 Grafik Beda Tekanan

53

4. KESIMPULAN Berdasarkan analisis-analisis yang telah disebutkan dapat ditarik kesimpulan bahwa kejadian hujan pada tanggal 8-11 Desember 2014 merupakan akibat dari gangguan cuaca yang terbentuk melalui peristiwa mekanis seperti konvergensi dan vortex dan didukung dengan proses thermis seperti konveksi dan adveksi udara dingin dari adanya seruakan dingin mengakibatkan pertumbuhan awan-awan konvektif di Sumatera Utara. Namun, seruakan dingin yang terjadi hanya menghasilkan curah hujan yang berintensitas ringan sampai sedang. DAFTAR PUSTAKA BMKG,2010, Peraturan KBMKG Nomor: Kep.009 Tahun 2010 tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan, Dan Diseminasi Informasi Cuaca Ekstrim. Braesicke, P., Hai, O.S. dan Samah, A.A, 2012, Properties of strong off-shore Borneo vortices: a composite analysis of flow pattern and composition as captured by ERA-Interim. Journal of The Royal Meteorological Society 13:128-132. Chang, C.P., Harr, P. A., dan Chen, H. J, 2005, Synoptic Disturbances over the Equatorial South China Sea and Western Maritime Continent during Boreal Winter, Monthly Weather Review, Vol. 133. Hal 489-503. Lupo, A.R. dan Anip, M.H.M., 2011, Climatological Study of Borneo Vortex during Northern Hemisphere Winter Monsoon. Poster in Conference World Research Climate Programme (WRCP) 2011, Denver, Colorado-USA. Prawoto, I., Azizah, N., dan Taufik, M., 2011, Tinjauan Kasus Banjir di Kepulauan Riau Akhir Januari 2011, Jurnal Megasains, Vol.2 No.2 - Juni 2011 Hal. 116 – 122. Riehl, H.,1954, Tropical Meteorology, Mc Graw Hill Book Company Inc, New York. Suyono, H., Satyaning, A., Boer, R., Agus, P., Ribudiyanto, K., Supiatna, J., Subarna, Leni, Linarka, U., Satyaningsih, R., Noviati, S., dan Kumalawati, R, 2009, Kajian Cuaca Ekstrim di Wilayah Indonesia, Puslitbang BMKG, Jakarta. Tangang, F.T., Liew, J., Salimun, E., Vinayachandran, P.N., Seng, Y.K., Reason, C. J. C., Behera, S. K., dan Yasunari, T, 2008, On the roles of the northeast cold surge, the Borneo Vortex, the Madden-Julian Oscillation, and the Indian Ocean Dipole during the extreme 2006/2007 flood in southern Peninsular Malaysia, Geophysical Research Letters, Volume 35, Issue 14, July 2008, American Geophysical Union. The European Centre for Medium-Range Weather Forecasts, 2015, [daring], http://apps.ecmwf.int/datasets/data/inte rim_full_daily/, diakses 10 Januari 2015. Tjasyono, B. H, K, 2008, Sains Atmosfer, Pusat Penelitian dan Pengembangan BMG: Jakarta. Wh,Suryadi, 1980, Hubungan Antara Gelombang Dingin Asia dan Cuaca di Indonesia, BPLMG Jakarta. Zakir, A., Sulistya, W., dan Khotimah, M. K., 2010, Perspektif Operasional Cuaca Tropis, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta

54

VARIABILITAS ANTAR TAHUNAN PRESIPITASI DI PERAIRAN SELAT MALAKA TERKAIT DENGAN INDIAN OCEAN DIPOLE

Budi Prasetyo1, Nikita Pusparini2 1Stasiun Meteorologi Maritim Belawan 2Stasiun Klimatologi Sampali Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika [email protected]

ABSTRAK Perairan Selat Malaka merupakan perairan beriklim tropis yang dipengaruhi oleh faktor luar, salah satunya Indian Ocean Dipole (IOD). Fenomena IOD berdampak pada bertambah (saat IOD positif) dan berkurang (saat IODnegatif) jumlah presipitasi di Perairan Selat Malaka. Dengan mengkaji variabilitas presipitasi bulanan di Selat Malaka akibat IOD dapat membantu dalam membuat prakiraan iklim, ataupun pembuatan kebijakan lain yang tergantung kondisi iklim di wilayah Selat Malaka maupun wilayah sekitarnya termasuk Pantai Timur Sumatera. Data penginderaan jauh yang digunakan yaitu presipitasi bulanan yang berasal dari satelit TRMM versi 3B42 dalam rentang tahun Januari 1998 hingga Januari 2017. Metode yang digunakan merupakan analisa secara spasial dan temporal, dan juga metode statistic sederhana seperti perata-rataan, Standar deviasi, low pass filter, dan analisa wavelet. Hasilnya yaitu : Pola presipitasi rata-rata bulanan di Selat Malaka umumnya bersifat equatorial namun menunjukkan perbedaan antara Selat Malaka bagian Selatan (pola lokal), Selat Malaka Bagian Tengah (monsunal), dan Selat Malaka Bagian Utara (Lokal). Pengaruh IOD terhadap fluktuasi presipitasi Perairan Selat Malaka kurang terlalu signifikan. Rata-rata anomali presipitasi bulanan saat IOD positif berkisar antara -0.04 hingga 0.2 mm/jam. Wilayah Selat Malaka Bagian tengah yang dekat dengan Perairan Sumatera merupakan wilayah dengan rata-rata presipitasi dan varibilitas terbesar. Selain itu wilayah ini juga mendapat pengaruh yang paling besar akibat IOD. Kata Kunci : Presipitasi, IOD, Selat Malaka

1. PENDAHULUAN Selat Malaka merupakan selat anatara semenanjung malaysia (Thailand, Malaysia, Sinagapura) dan Pulau Sumatera. Provinsi di Weilayah Indonesia yang menghadap langsung ke Selat Malaka yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Kepulauan Riau. Selat Malaka memiliki panjang sekitar 805 km dengan lebar 65 km di sisi selatan dan semakin utara semakin melebar sekitar 250 km (Cleary dan Chuan, 2000). Selat malaka merupakan wilayah beriklim tropis yang dapat diakibatkan posisinya yang berda di dekat garis khatulistiwa. Hal ini menyebabkan presipitasi di wilayah ini cukup tinggi dan sangat beragam. Variabilitas presipitasi di wilayah ini dapat disebabkpan pengaruh dari Luar (external forcing) seperti Dipole Mode, MJO, dan Lainnya. Pemahaman tentang variabilitas presipitasi di Selat Malaka sangat penting 52

untuk prediksi cuaca dan iklim khususnya di wilayah yang berhadapan langsung dengan selat malaka. Indian Ocean Dipole (IOD) merupakan fenomena interaksi Laut Atmosfer yang terjadi di Samudera Hindia. Fenomena ini ditandai dengan Perbedaan Suhu Permukaan Laut (SPL) antara Samudera Hindia Tropis Bagian Barat (50-70OBT dan 10OLU-10OLS) dan Samuedera Hindia Tropis Bagian Timur-Selatan (90-110OBT dan 0-10OLS) (Saji dkk., 1999). Ketika IOD bernilai positif maka fenomena tersebut dinamakan IOD positif yang menyebabkan anomali SPL di Samudera Hindia Bagian Barat lebih besar daripada bagian Timurnya. Sedangkan ketika bernilai negatif dinamakan IOD negatif yang menyebabkan kondisi berlawan terhadap IOD positif (Ashok, dkk.,2001). Fenomena IOD mempengaruhi Pantai Barat Sumatera dan sekitarnya dengan terjadinya Penambahan ataupun berkurangnya hujan.Akan tetapi, dampak akibat terjadi IOD untuk di wilayah perairan timur Sumatera masih belum jelas. Hal ini akibat adanya pengaruh bukit barisan yang memanjang yang mungkindapat mengurangi dampak dari IOD. Untuk itu, Perlu dikaji mengenai seberapa besar dampak dari IOD yang sampai ke wilayah perairan timur Sumatera. Hal ini juga akan berdampak terhadap kondisi cuaca dan iklim di sepanjang pantai Timur Sumatera. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah Apakah Wilayah perairan Timur Sumatera dipengaruhi oleh IOD ataukah lebih dipengaruhi oleh faktor lain dan Seberapa besar pengaruhnya. Pertanyaan yang diajukan tersebut akan dapat dijawab dengan melihat dari jumlah presipitasi yang ada di Selat Malaka yang mewakili pantai timur Sumatera. Akan tetapi,Presipitasi di wilayah tropis merupakan parameter yang cukup sulit di amati, terlebih lagi di wilayah perairan. Salah satu teknik yang dapat diaplikasikan dalam mengamati presipitasi di wilayah perairan yaitu teknik penginderaan jauh. Teknik ini memiliki kemampuan yang sanagat bermanfaat dalam menganalisa daerah yang luas dan sulit utntuk diamati. Salah satu satelit yang mengamati presipitasi di wilayah tropis yaitu TRMM. Satelit ini bertujuan memantau presipitasi yang terjadi di wilayah tropis dengan keakuratan yang cukup tinggi.

2. DATA DAN METODE Lokasi kajian yaitu wilayah Perairan Selat Malaka dan Sekitarnya dengan koordinat 2 – 6.5 LU, 96.5 – 101 BT (gambar 1).

53

Gambar 1 Topografi Wilayah perairan Selat Malaka dan Sekitarnya. Wilayah kajian ditandai dengan garis berwarna putih (sumber data : NOAA) Data yang digunakan yatu data presipitasi bulanan yang berasal dari analisa multi satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) 3B43 versi 7 dengan resolusi 0.25 x 0.25O. Panjang data digunakan yaitu 19 tahun yaitu mulai dari Januari 1998 – Januari 2017. TRMM merupakan satelit kerjasama antara jepang dan Amerika untuk memantau presipitasi di wilayah tropis dan subtropis. Satelit TRMM 3B42 Versi 7 bertujuan menghaslkan estimasi presipitasi rata-rata root mean square error dari presipitasi yang merupakan penggabungan infra merah. Periode bulanan berasal dari analisis pengukur presipitasi, walaupun juga berasal dari permintaan periode tertentu oleh pengguna. Nilai presipitasi merupakan nilai rata-rata bulanan dalam satuan mm/jam (Hufmann dan Bolvin, 2017). Data Dipole Mode Indeks (DMI) diperoleh dari situs web National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) selama rentang tahun kajian yang digunakan untuk menentukan kejadian Indian Ocean Dipole (IOD). Data ini merupakan perbedaan anomali SPL antara Samudera Hindia Tropis Bagian Barat (50-70OBT dan 10OLU10OLS) dan Samuedera Hindia Tropis Bagian Timur-Selatan (90-110OBT dan 0-10OLS) (Saji,1999). Kajian ini dilakukan dalam empat tahap yaitu studi literature, pengumpulan data, pengolahan data, dan terakhir penulisan. Pengolahan data dimulai dengan memverifikasi data satelit TRMM terhadap data hasil pengamatan presipitasi. Proses verifikasibertujuan untuk mengetahui apakah data TRMM dapat digunakan untuk menganalisa kondisi presipitasi atau tidak. Langkah selanjutnya adalah penyaringan (filtering) data dengan menggunakan metode rata-rata berjalan (running mean) 3 bulanan. ini bertujuan untuk mendapatkan data yang bersifat antar tahunan karena pada umumnya fenomena IOD berfluktuasi antar tahunan. Metode ini digunakan oleh NOAA dalam penentuan kejadian El Niño yang dikenal dengan Oceanic Niño Index (ONI). Metode ini mungkin akan menghilangkan dampak dari IOD dengan durasi singkat yang akan menyebabkan presipitasi tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Langkah berikutnya adalah melihat periodesitas umum di wilayah Selat Malaka. Data yang sudah disaring, kemudian aplikasikan dengan metode metode wavelet 54

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui priodesitas dominan kedua parameter tersebut di Selat Malaka. Dengan begitu kita dapat melihat priodesitas dominan yang terjadi Selat Malaka pada tahun-tahun ketika terjadi IOD dengan nilai lebih besar 0.4 (IOD positif) dan lebih kecil -0.4 (IOD negatif). Wavelet yang digunakan adalah morlet wavelet yang merupakan wavelet yang paling popular dalam Geosains (Trauth,2015). Wavelet ini diperkenalkan oleh Jean Morlet (1931-2007). Analisis wavelet yang digunakan adalah Transformasi Wavelet Kontinu / Continous Wavelet Transform (CWT) . Analisis wavelet merupakan pendekomposisian time series kedalam ruang waktu-frekuensi secara simultan (Torrence dan Compo, 1998). Kelebihan menggunakan analisis ini adalah dapat mendeteksi perubahan-perubahan periodik yang bersifat transient serta dapat menggambarkan proses dinamika nonlinier dalam skala ruang dan waktu.. Langkah berikutnya ialah mencari kondisi normal presipitasi di Selat Malaka. Dengan begitu kita dapat melihat anomali presipitasi yang terjadi pada saat terjadi IOD negative. Jika menunjukkan peratambahan presipitasi (nilai positif), hal ini berarti bahwa presipitasi di Selat Malaka bertambah saat terjadi IOD negative. Namun apabila terjadi pengurangan presipitasi (bernilai negative) hal ini menunjukkan bahwa Selat Malaka kurang dipengaruhi oleh IOD. Secara keseluruhan presipitasi di Selat malaka dirata-ratakan saat IOD negative. Dengan begitu akan dapat dilihat seberapa besar pengaruh dari fenomena IOD di Selat Malaka. Langkah berikutnya yaitu menghitung standar deviasi presipitasi. Standar deviasi merupakan ukuran keragaman (variasi) data statistik dari suatu kelompok data. Nilai setandar deviasi yang tertinggi menandakan bahwa wilayah tersebut memiliki variabilitas tertinggi.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Kondisi Normal Selat Malaka Secara Spasial dan Temporal Hasil perata-rataan presipitasi selama rentang tahun kajian, diperoleh bahwa presipitasi bulanan rata-rata di Selat Malaka berkisar antara 0.24 – 0.48 mm/jam. Wilayah Selat Malaka Bagian tengah merupakan wilayah yang mengalami presipitasi bulanan yang paling tinggi (Gambar 2.a). Hal senada juga terlihat dari hasil perhitungan standar deviasi dimana wilayah Selata Malaka Bagian Tengah merupakan wilayah yang mengalami variabilitas tertinggi. Hal ini ditandai dengan nilai standar deviasi tertinggi terjadi di wilayah tersebut yaitu 0.18 (gambar 2.b). Berdasarkan kedua gambar tersebut juga dapat dilihat bahwa variabilitas presipitasi tertinggi terjadi dekat dengan pantai Timur Sumatera. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa preipitasi di Selat Malaka banyak dipengaruhi dari wilayah Barat. Kita juga dapat melihat bahwa Pantai Barat Sumatera memiliki presipitasi rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan Pantai Timur Sumatera. Presipitasi yang cukup tinggi tersebut dapat berasal dari adanya asupan massa air yang cukup tinggi berasala dari Samudera Hindia.

55

a

b.

Gambar 2 (a). Rata- rata presipitasi bulanan selama rentang waktu Januari 1998 – Januari 2017 (b). Standar deviasi presipitasi bulanan di Selat Malaka dan sekitarnya selama rentang tahun kajian. Presipitasi bulanan dinyatakan dalam satuan mm/jam. Pada umumnya, presipitasi temporal di Selat Malaka bersifat equatorial dimana memiliki pola 2 buah puncak dan 2 lembah maksimum meskipun puncak pertama kurang terlalu kelihatan (gambar 3 a. grafik warna ungu). Hal ini sesuai dengan hasil Adrian dan Susanto (2003) yang mengklasifikasikan Selat Malaka termasuk kedalam pola B yaitu berpola equatorial. Hal ini dapat diakibatkan posisi Selat Malaka Berada di sekitar Garis Khatulistiwa. Puncak Presipitasi maksimum berada di Bulan November yang terus menurun cukup signifikan hingga mencapai puncak minimu di Bulan Februari. Kenaikan kembali terjadi pada bulan Maret dan kembali turun di Bulan April. Kemudian Presipitasi terus naik secara kontiniu hingga mencapai puncaknya di bulan November. Selat Malaka memiliki kondisi presipitasi yang beragam. Berdasarkan hasil perhitungan standar deviasi (gambar 2.b), maka Selat Malaka kami bagi menjadi 3 bagian yaitu Selat Malaka Bagian Utara, Selat Malak Bagian Tengah, dan Selat Malaka Bagian Selatan (Gambar 3.b). Hasilnya Selat Malaka Bagian Selatan memiliki pola yang hampir sama dengan pola rata-ratanya yaitu bersifat equatorial. Pola Selat Malaka Bagian Tengah sedikit berbeda dengan pola rata-ratanya. Selat Malaka Bagian tengah terlihat memiliki pola monsunal yang memiliki satu puncak dan satu lembah. Puncak lembah juga sudah bergeser menjai bulan April. Perubahan pola yang paling signfikan terjadi di Selat Malaka Bagian Utara yang terlihat berpola lokal. Puncak maksimum terjadi lebih cepat yaiutu Bulan Oktober. Presipitasi terus mengalami kenaikan mulai dari Bulan Februari (puncak minimum) hingga ke Bulan Oktober (puncak maksimum) (gambar 3.a). Perbedaan pola presipitasi rata –rata secara temporal di ketiga lokasi dapat disebabkan oleh perbedaan lokasinya. Selat Malaka Bagian Selatan yang lebih dekat dengan khatulistiwa menyebabkan pola presipitasinya sangat dipengaruhi oleh khatulistiwa sehingga bersifat equatorial. Pengaruh equatorial sudah mulai berkurang terjadi di Selat Malaka Bagian tengah. Pengaruh monsun terlihat lebih mencolok. Semakin ke Utara pengaruh equator semakin menghilang. Terlihat bahwa Selat Malaka Bagian Utara memiliki pola lokal. Banyak pengaruh fenomena cuaca yang bermain 56

dilokasi ini. Pengaruh dari kondisi di Laut Andaman mungkin juga mempengaruhi di lokasi ini. Secara keseluruhan terlihat bahwa gerak semu matahari merupakan faktor yang paling mempengaruhi. 0,7

Rata Presipitasi Temporal Selat Malaka

0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0

Jan

Feb

Mar

Malaka Utara

Apr

May

Jun

Jul

Malaka Tengah

Aug

Sep

Oct

Malaka Selatan

Nov

Dec

rata-rata

Gambar 3 (a).Presipitasi Rata-Rata temporal di Selat Malaka, (b). Pembagian ketiga Lokasi di Selat Malaka. Selat Malaka Bagian Utara ditandai dengan kotak berhuruf A, Selat Malaka Bagian Tengah ditandai dengan kotak berhuruf B, dan Selat Malaka Bagian Selatan ditandai dengan kotak berhuruf C. Legend grafik dijelaskan di bawah grafik. Presipitasi bulanan dinyatakan dalam satuan mm/jam

b. Priodesitas dominan Malaka Bagian Utara. Priodesitas IOD yang bersifat antar tahunan (inter annual) sekitar 2 – 5 tahun (gustari, 2009). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan kejadian IOD tidak terjadi secara rutin tiap tahun. Rao dkk., (2002) menemukan bahwa IOD muncul ditahun 1964, 1965, 1969, 1971, 1975, 1976, 1986, dan 1997. Hasil perhitungan CWT di ketiga lokasi di Selat Malaka, terlihat bahwa periodesitas dominan berada pada rentang waktu 8 – 14 57

bulan (gambar 4.a.b.c). Periode ulang IOD tidak terlalu tampak di Selat Malaka. Hal ini menunjukkan bahwa dampak IOD kurang teralu signifikan di Selat Malaka. Faktor cuaca global dengan periode 8-14 bulan seperti monsun, lebih terlihat dampaknya terhadap periode ulang presipitasi di Selat Malaka. Sistem Monsun Asia-Australia yang merupakan sistem monsun utama didunia (Li dan Zeng, 2002), berperan dalam mempengaruhi pola presipitasi di Selat Malaka. Monsun Asia menyebabkan hujan lebat di Sumatera Bagian Utara dan monsun Australia mnyebebabkan kemarau di Sumatera Bagian Utara (Gustari, 2009). Begitu juga Selat Malaka yang merupakan perairan yang berhadapan langsung dengan pantai Timur Sumatera Bagian Utara. Pengaruh dari pola musim hujan dan musim kemarau akibat Monsun Asia-Australia juga berdampak diwilayah ini.

a.

b.

c. Gambar 4. Continous Wavelet Transform (CWT) Presipitasi untuk wilayah (a). Selat Malaka Bagian Utara, (b). Selata Malaka Bagian Tengah dan (c). Selat Malaka Bagian Selatan. Nilai presipitasi merupakan perata-rataan dari pembagian wilayah sesuai gambar 3.b. spektrum signifikan barada didalam garis hitam. Faktor antar musiman dengan periodesitas yeng lebih rendah mungkin berpengaruh di ketiga lokasi tersebut. Akibat perlakuan data yang di fokuskan hanya pada antar tahunan yang di saring dengan meloloskan frekuensi tinggi, menyebabkan fenomena frekuensi rendah tidak terlihat. Akan tetapi, fenomena periode ulang intra 58

musiman seperti ITCZ, MJO, dan lainya, mungkin dapat mempengaruhi jumlah presipitasi yang terjadi.

c. Pengaruh IOD terhadap Selat Malaka Fenomena IOD positif cenderung terjadi selama rentang tahun kajian (januari 1998 – Januari 2017). Tercatat IOD positif yang cukup kuat terjadi pada tahun 1998 (Januari-Februari), Tahun 2002 (September-Oktober), tahun 2006 (september – Nopember), tahun 2011 (Juli – November), tahun 2012 (Juli – September), dan tahun 2015 (Agustus – Nopember). Fenomena IOD negatif hanya terjadi sebanyak 3 kali yaitu Oktober – Nopember 1998 dan Februari 2005). Untuk itu dampak dari IOD positif yang akan dibahas pada kajian ini. Secara rata-rata, presipitasi di Selat Malaka berkurang pada saat terjadi IOD positif. Anomali presipitasi bulanan rata-rata di selat Malaka bernilai -0.04 hingga -0.2 mm/jam. Selat Malaka Bagian tengah merupakan wilayah yang paling banyak berkurang. Selain itu wilayah yang berkurang juga dekat dengan pantai timur Sumatera. Hal ini senada dengan hasil perata-rataan presipitasi bulanan di gambar 2.a yang menunjukkan bahwa presipitasi bulanan maksimum juga terjadi diwilayah tersebut. Fenomena IOD postif berpengaruh terhadap pengurangan presipitasi meskipun tidak terlalu signifikan. Semakin besar nilai IOD maka akan semakin banyak presipitasi yang berkurang. Fenomena IOD yang cukup kuat biasanya terjadi pada bulan Juli – November Selama tahun 1998 hingga Januari 2017. Akan tetapi IOD positif juga pernah terjadi pada bulan Januari-Februari 1998. Pengurangan presipitasi yang terjadi pada saat bulan kering (Januari – Juni), seperti di bulan Januari – Februari 1998, lebih banyak berkurang dibandingkan pada bulan basah. Hal ini terlihat pada gambar bahwa anomali presipitasi pada waktu tersebut berada pada kisaran <-0.2 di wilayah Selat Malaka Bagian Tengah dan Utara. Berbeda dengan ketika IOD positif dengan intensitas yang cukup kuat terjadi pada bulan-basah (Juli- .November). seperti pada tahun 2002, 2006, 2011, 2012 dan 2015, pengurangan presipitasi tidak terlihat terlalu signifikan bahkan cenderung bertambah. Nilai Anomali presipitasi berkisar antara -0,12 hingga 0.12 mm/jam. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh beragam hal. Dugaan pertama adalah akibat gerak semu matahari dimana ketika matahari sedang menuju Belahan Bumi Utara (BBU), menyebabkan SPL di wilayah perairan Selat Malaka menghangat sehingga menyebabkan terdapat banyak massa uap air di wilayah ini. Massa uap air tersebut menyebabkan pertumbuhan awan dan turun sebagai hujan jika sudah mencapai titik jenuh. Dugaan berikutnya yaitu Perairan Selat Malaka mendapatkan massa uap air yang cukup basah yang dibawa Monsun berasal dari Asia. Ketika Monsun Asia, massa uap air yang dibawa dari Asia mengandung banyak uap air sehingga peluang terjadinya hujan tinggi. Puncak Monsun Asia ini terjadi pada Bulan DJF dan mulai transisi pada bulan September – Oktober. Berdasarkan hasil wavelet sebelumnya, diketahui bahwa Selat Malaka memiliki periode ulang antar musiman (8 – 14 bulan).

59

Dugaan lain yaitu adanya faktor lain yang berpengaruh seperti adanya fenomena MJO, dan ITCZ yang melintasi wilayah Selat Malaka.. Apabila kedua fenomena ini muncul pada saat bersamaan dengan IOD di Selat Malaka, maka akan mengurangi pengaruh dari IOD. Akibatnya presipitasi di Selat malaka bukannya berkurang pada saat IOD positif malah masih menunjukkan penambahan sepereti ketika IOD positif terjadi pada tahun 2011. Akan tetapi, dugaaan terakhir ini masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

a.

b.

c.

d.

e.

f.

Gambar 5. Anomali rata-rata Presipitasi bulanan di Selat malaka pada saat (a). rata-rata IOD positif kuat selama rentang tahun 1998 – 2017, (b). Januari – Februari 1998, (c).September – Oktober 2002, (d). Agustus – November 2006, (e). Juli – November 2011, (f). Juli – September 2012, dan (g). Agustus – November 2015. Anomali Presipitasi bulanan dintakan dalam satuan mm.jam 60

KESIMPULAN Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain : 1. presipitasi bulanan rata-rata di Selat Malaka berkisar antara 0.24 – 0.48 mm/jam dan secara temporal Selat Malaka berpola equatorial. 2. Pola presipitasi rata-rata bulanan menunjukkan perbedaan antara Selat Malaka bagian Selatan (pola lokal), Selat Malaka Bagian Tengah (monsunal), dan Selat Malaka Bagian Utara (Lokal). 3. Pengaruh IOD terhadap fluktuasi presipitasi Perairan Selat Malaka kurang terlalu signifikan. Rata-rata anomali presipitasi bulanan saat IOD positif berkisar antara -0.04 hingga -0.2 mm/jam 4. Wilayah Selat Malaka Bagian tengah yang dekat dengan Perairan Sumatera merupakan wilayah dengan rata-rata presipitasi dan varibilitas terbesar. Selain itu wilayah ini juga mendapat pengaruh yang paling besar akibat IOD.

DAFTAR PUSTAKA Aldrian E, Susanto D. 2003. Identification of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature. International Journal of Climatology. Ashok, K., Z. Y. Guan, and T. Yamagata. 2001. Impact of the Indian Ocean Dipole on the Relationship between the Indian Monsoon Rainfall and ENSO. Geophys. Res. Lett., 28 (23), 4499-4502. Cleary, M dan Chua, G., K.. 2000. Environtment and Development in the Straits Of Malacca. Volume 9 of Routledge studies in development and society Rutledge Gustari, Indra. 2009. Analisis Presipitasi Pantai Barat Sumatera Bagian Utara. Jurnal Meteorologi dan Geofisikan Volume 10 nomor 1 Tahun 2009 : 29 - 38 Hufmann, J., G., dan Bolvin, D., t., 2017. TRMM and Other Data Precipitation Data Set Documentation. Rao, S.A, S.K. Behera, Y. Masumoto, and T. Yamagata. 2002. Interannual Subsurface Variability in the Tropical Indian Ocean with a Special Emphasis on the Indian Ocean Dipole. Deep-Sea Res. II, 49, 1549-1572. Saji, N.H, B.N. Goswami, P.N. Vinayachandran, and T.Yamagata. 1999. A Dipole Mode in the Tropical Indian Ocean, Nature, 401, 360-363. Trauth, H., M., 2015. MATLAB@ Recipes for Earth Sciences, Fourth Edition. Institute for Earth and Enviromental Science. Germany. Springer. Torrence, C., & G. P. Compo. 1998. A Practical Guide to Wavelet Analysis, Bull. Amer. Meteor. Soc., 79, (1), 61- 78. https://www.esrl.noaa.gov/psd/gcos_wgsp/TimeSeries/Data/dmi.long.data 61

ANALISIS KOMPONEN ANGIN PERMUKAAN DI LANDASAN PACU BANDARA INTERNASIONAL KUALANAMU – DELI SERDANG CRISTINE W. SIMANUNGKALIT1*, IMMANUEL J. A. SARAGIH2,MUHAMMAD FACHRY3 1,3

Stasiun MeteorologiKualanamu, Deli Serdang Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta

2

*

E-mail: [email protected]

Abstrak.Bandara Internasional Kualanamu adalah bandara baru yang beroperasi di wilayah Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Sebagai bandara baru, analisis dan informasi cuaca sangat dibutuhkan untuk mendukung kelancaran dan keselamtan kegiatan penerbangan di Bandara Kualanamu, salah satunya adalah informasi angin. Angin adalah salah satu parameter cuaca yang memengaruhi proses take-off dan landing pesawat. Informasi komponen angin permukaan di landasan pacu (runway) bandara antara lain crosswind (angin menyilang dari kiri atau kanan pesawat), headwind (angin dari arah depan pesawat), dan tailwind (angin dari arah belakang pesawat). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis komponen angin permukaan di runway Bandara Kualanamu. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data angin permukaan tiap jam selama tiga tahun (periode tahun 2014-2016) yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi Kualanamu. Data tersebut diolah menggunakan metode statistik dan menggunakan aplikasi WRPLOT (Windrose Plot) dengan mengacu runway R23 sebagai arah pendaratan (landing). Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui persentase komponen-komponen angin di runway Bandara Kualanamu tiap bulan. Persentase tertinggi komponen headwind terdapat pada bulan Desember (42,72%), tailwind pada bulan Agustus (36,67%), right-crosswind pada bulan Agustus (37,50%), left-crosswind pada bulan Dsember (43,70%), dan angin calm pada bulan April (30,08%). Distribusi komponen angin di runway Bandara Kualanamu dipengaruhi oleh letaknya yang berdekatan dengan Selat Malaka yang berada di bagian utara Deli Serdang. Kata kunci :Penerbangan, Komponen Angin, Landasan Pacu, Kualanamu Abstract. Kualanamu International Airport is a new airport operating in Deli Serdang Regency, North Sumatera Province. As a new airport, weather analysis and information is needed to support the smoothness and safety of aviation activities at Kualanamu Airport, one of which is wind information. Wind is one of the weather parameters that affect the take-off and landing of the aircraft. Surface wind component information on airport runways includes crosswind, headwind, and tailwind (wind from the rear of the plane). The purpose of this study was to analyze the surface wind component at the Kualanamu Airport runway. The data used in this study is the surface wind data per hour for three years (period 2014-2016) obtained from the Kualanamu Meteorological Station. The data is processed using statistical methods and using the application WRPLOT (Windrose Plot) by referring runway R23 as the direction of landing (landing). Based on the research result, it can be seen the percentage of wind components at the Kualanamu Airport runway every month. The highest percentage of headwind components were in December (42.72%), tailwind in August (36.67%), right-crosswind *

email : [email protected]

62

in August (37.50%), left-crosswind in December (43.70%), and calm wind in April (30.08%). The distribution of wind components at the Kualanamu Airport runway is influenced by its location adjacent to the Malacca Strait located in the northern part of Deli Serdang. Keywords: Flight, Wind Component, Runway, Kualanamu 1. Pendahuluan Bandara Internasional Kualanamu – Deli Serdang pertama kali beroperasi pada tanggal 25 Juli 2013. Meskipunsebagai salah satu bandara yang baru beroperasi, Bandara Internasional Kualanamu telah menjadi bandara kedua terbesar di Indonesia setelah Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Hal ini menandakan padatnya arus transportasi udara di Bandara Internasional Kualanamu. Faktor cuaca pun menjadi salah satu faktor penting dalam dunia penerbangan, tidak terkecuali di Bandara Internasional Kualanamu. Stasiun Meteorologi Kelas I Kualanamu menjadi satu-satunya penyedia informasi cuaca untuk penerbangan di Bandara Kualanamu. Informasi unsur-unsur cuaca menjadi penting untuk keselamatan penerbangan serta keperluan take-off dan landing. Salah satu unsur cuaca yang penting dalam penerbangan adalah arah dan kecepatan angin. Arah dari mana angin bertiup dan besarnya kecepatan angina menjadi informasi yang sangat penting untukmendukungkeselamatanpelaksanaankegiatan penerbangan. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian terhadap komponen-komponen angin permukaan yang bertiup di landasan pacu di Bandara Kualanamu.

2. Metode Penelitian LokasipenelitianadalahStasiunMeteorologiKualanamu yang terletakpada 3° 33' 36'' LU dan 98° 40' 48'' BT. StasiunMeteorologiKualanamuterletak di KecamatanBeringin, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. LokasiStasiunMeteorologiKualanamu yang terletak di sekitarpesisirtimur Sumatera Utara inimemungkinkanadanyapengaruhinteraksidaratdanlautterhadaparahangin yang bertiup di sekitarStasiunMeteorologiKualanamu.

63

Gambar 1. Letak BandaraInternasionalKualanamu – Deli Serdangdanposisilandasanpacu di BandaraInternasionalKualanamuyang terletakpadakoordinat03o38’32’’LU 98o52’42’’BT Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data arah dan kecepatan angin tiap jam selama 3 tahun yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi Kualanamu, yaitu periode tahun 2014 sampai tahun 2016. Metode yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan memperhitungkan komponen angin dan klasifikasi hasil komponen angin yang dicetuskan pada pertemuan Aerodrome Meteorological Observation and Forecast Study Group (AMOFSG) pada tanggal 26 s/d 30 September 2011 di Montreal, Kanada. Adapun rumus persamaan yang digunakan dalampenelitianiniadalah sebagai berikut. Headwind (Wh) : u = ff*cos (RW – WD) Crosswind (Wc) : v = ff*sin (RW – WD) Dimana :

u

=

kecepatan headwind/tailwind (Wh) (knot)

v

=

kecepatan crosswind (Wc) (knot)

ff

=

kecepatan angin (knot)

RW

=

arah runwayinuse

WD

=

arah angin

Landasan pacu (runway)yang digunakan di Bandara Kualanamu, Deli Serdang adalah runway 05/23 atau runway arah 050⁰ dan runway arah 230⁰ . Dan padapenelitianiniperhitungankomponen angina dilakukanmengacupada runway R23 sebagaiarahpendaratan (landing).

N 23

W

E 05

S Gambar 2.VisualisasiLandasan pacu (runway) di BandaraKualanamu

64

3. Hasil dan Pembahasan

Gambar 3. Grafik CH Bulanan Periode Tahun 2015 dan 2016 Terukur di Bandara Kualanamu (Sumber Data: Stasiun Meteorologi Kualanamu) Tabel 1. Distribusi Komponen AnginPermukaan di Runway BandaraKualanamuPeriodeTahun 2014-2016 (Sumber Data: StasiunMeteorologiKualanamu)

PERSENTASE KOMPONEN ANGIN BULAN

(WIND COMPONENT)

JUMLAH DATA HEAD TAIL

CALM L CROSS

RCROSS

CALM

JANUARI

2232

40,04

35,35

24,61

32,04

42,02

25,93

FEBRUARI

2040

41,28

35,26

23,46

32,60

42,71

24,69

MARET

2232

38,94

32,39

28,67

31,91

38,14

29,95

APRIL

2160

36,23

33,69

30,08

29,87

38,81

31,31

MEI

2232

39,57

32,84

27,59

34,01

37,32

28,67

JUNI

2160

40,80

35,44

23,76

34,55

41,00

24,44

JULI

2232

40,05

36,47

23,47

36,52

39,34

24,14

AGUSTUS

2232

39,86

36,67

23,47

37,50

38,13

24,37

SEPTEMBER

2160

39,25

34,36

26,39

34,81

37,73

27,45

OKTOBER

2232

41,63

29,85

28,52

31,28

38,70

30,02

NOPEMBER

2160

39,53

34,22

24,61

30,97

41,26

27,77 65

DESEMBER

2232

42,72

35,47

21,81

33,38

43,70

22,93

Gambar 4.ArahdanKecepatanAngin (Windrose) StasiunMeteorologiKualanamuPeriodeTahun 2014-2016 (Sumber: StasiunMeteorologiKualanamu)

66

R23

37,50% %

42,72% %

36,67% %

43,70% %

R05

Gambar 5. Visualisasi RunwayBandaraKualanamudanNilai TertinggiMasingmasingKomponen Angin

Gambar 6.Grafik Komponen Angin Permukaan di Landasan Pacu Bandara Kualanamu Periode Tahun 2014-2016

67

Berdasarkan hasil penelitian in dapat diketahui distribusi komponen angin permukaan di runway Bandara Kualanamu periode tahun 2014-2016. Dari grafik di atas terlihat bahwa rata-rata frekuensi kejadian headwind dan left-crosswind lebih tinggi daripada tailwind dan right-crosswind. Dari tabel distribusi komponen angin permukaan di atas diketahui bahwa frekuensi kejadian headwind tertinggi terjadi pada bulan Desember (42,72%) dan terendah pada bulan April (36,23%). Frekuensi kejadian tailwind tertinggi terjadi pada bulan Agustus (36,67%) dan terendah pada bulan Oktober (29,85%). Frekuensi kejadian right-crosswind tertinggi terjadi pada bulan Agustus (37,50%) dan terendah pada bulan April (29,87%). Frekuensi kejadian left-crosswind tertinggi terjadi pada bulan Desember (43,70%) dan terendah pada bulan Mei (37,32%).Sedangkan frekuensi kejadian calm (angin tenang)tertinggi terjadi pada bulan April (30,08% | 31,31%) dan terendah pada bulan Desember (21,81% | 22,93%). Adanya dua persentase angin calm ini adalah karena angin calm dibandingkan sebanyak 2 kali terhadap komponen angin lainnya, yaitu perbandingan pertama antara headwind; tailwind; dan calm, dan perbandingan kedua yaitu antara right-crosswind; left-crosswind; dan calm.Secara topografi diindentifikasi bahwa distribusi komponen angin permukaan di Bandara Kualanamu dipengaruhi oleh sirkulasi angin darat dan angin laut karena letaknya yang dekat dengan laut, yaitu adanya Selat Malaka di bagian utara Deli Serdang. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui persentase komponen-komponen angin di runway Bandara Kualanamu tiap bulan. Persentase tertinggi komponen headwind terdapat pada bulan Desember (42,72%), tailwind pada bulan Agustus (36,67%), rightcrosswind pada bulan Agustus (37,50%), left-crosswind pada bulan Desember (43,70%), dan angin calm pada bulan April (30,08% | 31,31%). DaftarPustaka 1. Fadholi, A. 2013. Analisis Komponen Angin Landas Pacu (Runway) Bandara Depati Amir Pangkalpinang. Statistika: Journal Of Theoritical Statistics And Its Applications, Vol. 13 No. 2, 45-53, November 2013. 2. Fadholi, A. 2013. Analisis Data Arah Dan Kecepatan Angin Landas Pacu (Runway) Menggunakan Aplikasi Windrose Plot (WRPLOT). Jurnal Ilmu komputer Vol. 9 No. 2, 84-91, September 2013. 3. Rinaldy, Nanda, Immanuel J. A. Saragih, Banu W. Yonas. 2017. Analisis Komponen Angin Permukaan di Landasan Pacu Bandara Douw Aturure-Nabire. Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya UNPAD. Jatinangor 4. Tjasyono, B. 1999.Klimatologi Umum. Institut Teknologi Bandung. Bandung. 5. Wirjohamidjojo, S. dan Ratag, M.A. 2006. Kamus Istilah Meteorologi Aeornautik. BMG. Jakarta. 6. https://www.google.com/maps/place/Bandara+Int.+Kualanamu/diakses pada tanggal 08 Agustus 2017

68

SISTEM MONITORING KADAR AIR TANAH BERBASIS ARDUINO MEGA2560 “SOIL WATER CONTENT MONITORING SYSTEM BASED ON ARDUINO MEGA2560”

Christiani Maulina Datimoria Aruan Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Email: [email protected]

Abstrak Seiring dengan perkembangan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan, maka dapat dikembangkan metode pengukuran kadar air tanah dari sebelumnya metode gravimetrik yang dilakukan secara manual dan relatif lama menjadi pengukuran secara digital, sehingga dapat menghasilkan data yang realtime dengan efisien. Dengan memanfaatkan Arduino Mega 2560 dan sensor Profile Probe PR2, dapat dibuat alat ukur kadar air tanah digital yang dapat mengukur hingga 5 kedalaman yaitu: 20cm, 30cm, 40cm, 60cm, dan 100cm. Prinsip kerja sensor ini menggunakan metode kapasitansi yang menghasilkan tegangan analog yang akan dikonversi pada sistem akuisisi menjadi data digital. Data yang telah diakuisi akan ditampilkan pada LCD 16x2 di box logger dan pada layar komputer dengan memanfaatkan Software Labview yang dikirim melalu komunikasi telemetri 3DR 915 MHz. Pengujian hasil dari keluaran sensor diuji menggunakan metode komparasi dengan alat standar, sehingga dapat dilihat . Hasil yang diperoleh nantinya diharapkan dapat memudahkan pengamat dalam melakukan pekerjaannya dan dapat memberikan pelayanan informasi yang cepat dan akurat pada masyarakat. Kata kunci : Kadar air tanah, Arduino Mega, Telemetri 3DR 915 MHz Abstract Along with the development of technology and the progress of science, it can be developed methods of measuring soil water content of the previous gravimetric method which is done manually and relatively long been digitally measurement, so as to produce a realtime data efficiently. By utilizing a Arduino Mega and profile probe sensor PR2, can be made the measuring instrument digital soil water content that can measure up to 5 depth is: 20cm, 30cm, 40cm, 60cm and 100cm. The working principle of this sensor uses capacitance method that generates analog voltages to be converted in to digital data acquisition system. The data has been acquired will be displayed on the LCD 16x2 logger in the box and on the computer screen by using Labview software delivered through 3DR 915 MHz telemetry communication. The results obtained will be expected to facilitate the observers in their work and be able to provide information quickly and accurately to the public. This is in line with the acceleration of automation gauge echoed by BMKG from conventional to digital tools. Keywords : Soil water content , Arduino Mega , Telemetry 3DR 915 MHz

70

I. PENDAHULUAN Pengamatan kadar air tanah merupakan salah satu parameter yang diukur dalam pengamatan iklim. Data kadar air tanah suatu wilayah sangat diperlukan secara intensif dalam bidang pertanian, perencanaan irigasi, drainase, pengawetan air tanah, dan pengaruh mulsa. Pemanfaatan data kadar air tanah yang paling berdampak ialah pada bidang pertanian dan irigasi yaitu sebagai bahan untuk merencanakan irigasi tanaman semusim dan tahunan untuk menganalisa kebutuhan air tanaman untuk mendapatkan waktu tanam yang optimal. Mengetahui banyaknya air di dalam tanah merupakan hal yang sangat penting dalam hal penentuan pemberian air pada tanaman supaya tidak terjadi kekurangan air (kekeringan pertanian) ataupun kelebihan air tanaman. Kondisi ini dapat mengantisipasi defisit air pada daerah-daerah yang pasokan air tanahnya terbatas dan menjamin kesinambungan produksi dan produktivitas budidaya pertanian, sehingga dapat menghindari gagal panen yang dapat memengaruhi ketahanan pangan nasional dan pendapatan petani. Dengan demikian, informasi kadar air tanah mempunyai peran yang penting bagi kehidupan manusia tidak hanya dalam bidang pertanian dan irigasi namun dalam bidang ekonomi dan tata ruang lahan juga. Oleh karena itu, monitoring kadar air tanah secara akurat, tepat, dan cepat sangat diperlukan, dengan demikian metode pengukuran dan alat pengukurannya harus dikembangkan mengingat pentingnya data yang dibutuhkan secara intensif. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk merancang sebuah pengukuran kadar air tanah secara digital yang berbasis mikrokontroler Atmega2560 dengan sensor profile probe PR2 keluaran dari delta-T. Alat ukur kadar air tanah digital yang dirancang diharapkan dapat memonitoring kadar air tanah secara realtime, dan dapat ditampilkan pada box logger maupun layar komputer sehingga memudahkan pengamat untuk membaca data, sehingga mampu memenuhi permintaan informasi yang cepat dan akurat yang biasa diminta oleh petani-petani.

II.LANDASAN TEORI 2.1 Sensor Kadar Air Tanah Sensor yang dipakai untuk mengukur kadar air tanah pada penelitian ini ialah sebuah sensor profile probe tipe PR2 keluaran pabrik Delta-t. Profile Probe PR2 merupakan sensor berbentuk batang memanjang dengan panjang 1350 mm dan berat 0,9 kg, terdiri dari batang logam stainless steel yang pada bagian tengah batangan terdapat cincin-cincin sensor yang mengukur kadar air tanah pada 6 kedalaman tanah, yaitu pada kedalaman 10 cm, 20 cm, 30 cm, 40 cm, 60 cm, dan 100 cm, seperti terlihat pada gambar 2.1.

71

Gambar 2.1 Sensor profile probe tipe PR2 Proses perubahan output dari sensor (volt) menjadi suatu nilai satuan kadar air (%) menggunakan metode konversi linearisasi yang telah ditentukan pada datasheet sensor. Rentang nilai kadar air tanah terkecil hingga tertinggi yang dapat terukur sensor ialah dari 0%-100%, seperti terlihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Tabel konversi linear sensor (sumber: datasheet sensor)

Pada tabel 2.1 dapat dilihat bahwa nilai output sensor berbanding lurus dengan nilai kadar air tanah yang akan dikalikan dengan 100%. Rentang nilai yang mampu diukur sensor ialah 0-1 m3m3

dari nilai 0-100%. Profile probe bekerja mengukur kadar air tanah saat sensor diberikan tegangan yang akan

menimbulkan sinyal dengan frekuensi 100 MHz. Sinyal tersebut mengalir pada sepasang cincin stainless yang tertanam didalam tanah pada masing-masing kedalaman dan memancarkan medan elektromagnetik yang menyebar seluas 100 mm pada area tanah yang dapat dilihat seperti ilustrasi gambar sensor pada gambar 2.2 di bawah berikut. Berikut merupakan gambar ilustrasi sensor profile probe PR2 bekerja pada masing-masing kedalaman tanah:

72

10 Medan EM yang mendektesi

30 cm 40 cm 60 cm

KEDALAMAN TANAH

20 cm

Cincin 100

Gambar 2.2 Pemancaran sinyal sensor profile probe Kadar air tanah disekitar cincin-cinicin mendominasi permitivitas disekitarnya. Permitivitas melambangkan rapatnya fluks elektrostatik dalam suatu bahan atau respon material bila diberikan potensial listrik. Permitivitas tanah ( Ԑ) sangat berpengaruh kuat pada medan elektomagnetik yang dideteksi oleh sensor dan menghasilkan tegangan (volt) yang didefenisikan sebagai kadar air tanah. Sensor profile probe mendeteksi kadar air tanah sebagai respon dari permitivitas yang ekivalen dengan √Ԑ. Dengan demikian prinsip kerja sensor profile probe dinyatakan seperti berikut: bahwa kadar air tanah (θ) menentukan permitivitas √Ԑ , lalu sebagai respon sensor √Ԑ menghasilkan output dalam bentuk tegangan (volt). Sensor profile probe memiliki Spesifikasi yang dapat dilihat pada tabel 2.2 dibawah ini. Jenis

Keterangan

Akurasi

± 6 % setelah kalibrasi

Error salinitas

50 - 400 mS.m-1 ; 0.5 sampai 4 dS.m-1 (konduktivitas air murni)

Volume Sampling Tanah

Vertikal: ~ 95% dengan sensivitas ±50mm dari cincin atas tiap tiap pasang Horizontal: ~95% dengan sensivitas dari lingkaran radius 100mm.

Keadaan Lingkungan

0 sampai 40o C pada keadaaan akurasi penuh, -20 - +70 oC pada range operasi.

Waktu Respon

1 detik

Power

Minimum: 5.5 V DC untuk kabel 2 m, 7.5 V untuk kabel 100m Maksimum: 15 V DC Konsumsi : < 120Ma

Output

Tegangan analog output : 0-1 V DC berhubungan dari 0- 0.6 m3.m-3 ( kalibrasi mineral).

Tabel 2.2 Spesifikasi sensor profile probe

73

Output tegangan yang dikeluarkan sensor merupakan sinyal analog, konversi sinyal analog menjadi menjadi sinyal digital didapat melalui perkalian nilai maksimum ADC (Analog Digital Converter) dengan tegangan yang terbaca pada mikrokontroler kemudian dibagi dengan tegangan sumber, dirumuskan sebagai berikut : 𝑲𝒐𝒏𝒗𝒆𝒓𝒔𝒊 𝑨𝑫𝑪 =

𝟏𝟎𝟐𝟑 𝒙 𝑽𝒊𝒏 𝑽𝒓𝒆𝒇

dimana : Vin = Tegangan masukan (volt) Vref = Tegangan referensi (sumber) = 5 volt 1023 = Nilai bit maksimum ADC 2.2 Mikrokontroler ATMega2560 ATMega2560 merupakan sebuah mikrokontroler dari keluarga AVR yang dibuat oleh Atmel Corporation. Untuk memprogram mikrokontroler ATMega 2560 digunakan compiler Arduino. ATMega2560 beroperasi pada tegangan 6-20 volt yang dapat diaktifkan melalui USB ataupun dengan sumber daya eksternal lainnya. Berdasarkan datasheet, modul ini memiliki 54 pin digital input /output di mana 15 pin digunakan untuk output PWM (Pulse Width Modulation) dan 16 pin digunakan sebagai analog input,dimana semua pin beroperasi pada tegangan 5 volt. Pada gambar 2.3 di bawah dapat dilihat konfigurasi pemetaan pin ATMega2560 .

Gambar 2.3 Konfigurasi pin ATMega2560 Beberapa pin input atau output memiliki fungsi tertentu yaitu: 1. Serial, yang terdiri atas RX untuk menerima dan TX untuk mengirimkan TTL data serial. 2. External interrupt, pin ini dapat dikonfigurasi untuk memicu interupsi pada nilai yang rendah, yang naik atau jatuh tepi, atau perubahan nilai. 3. PWM ( Pulse Width Modulation), memberikan 8 bit PWM output dengan analog write fungsi.

74

4. SPI (Serial Peripheral Interface), pin ini mendukung komunikasi SPI menggunakan library SPI. Pin SPI juga terpisah dari header ICSP (In Circuit Serial Programming) ,yang secara fisik kompatibel dengan Uno, Duemilanova, dan Diecimila. 5. LED (Light Emiting Diode), terhubung ke pin digital 13. Ketika logika pin high LED akan menyala,ketika logika low maka LED akan mati. 6. TWI(Two Wire Interface),yang merupakan dukungan komunikasi TWI yang menggunakan wire library. 2.3 Komunikasi Telemetri Media transmisi telemetri menggunakan gelombang radio dengan frekuensi 915 MHz. Modul komunikasi telemetri ini menggunakan 3DR Radio Telemetry Module sensor dapat dilihat pada gambar 2.4 dibawah ini.

Gambar 2.4 Modul telemetri 3DR Sumber: https://www.tokopedia.com/3dr-915mhz-telemetry-radio.jpg Sistem telemetri 3DR dirancang open source dengan komunikasi wireless 2 way-half duplex dengan interface standar TTL UART, menggunakan port konfigurasi serial dan USB Spesifikasi telemetri ini memiliki receiver sensitivity sampai 121 dBm, transmit power sampai 20dBm (100mW), air data rates sampai 250kbps, built in error correcting code (dapat mengkoreksi 25% data bit error).

III. PERANCANGAN SISTEM Secara keseluruhan metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini ialah dengan menganalisa karakteristik sensor, membuat program dan mengakuisisi data pada mikrokontroler, menyimpan data pengukuran pada SDcard dan menampilkan hasil pengukuran pada LCD dan layar komputer. 75

3.1 Blok Diagram Sistem dan bagan dari pengukuran kadar air tanah digital secara keseluruhan tergambar pada blok diagram yang dapat dilihat pada gambar 3.1. Blok diagram terbagi atas 3 bagian utama yaitu: input, proses, dan output yang saling berhubungan sehingga membentuk sebuah sistem baik. Mikrokontroler ATMega 2560

30 cm 40 cm 60 cm

SD card

LCD PIN ANALOG (A1 – A5)

Sensor profile probe 20 cm

Transmiter RF modulator

RF demodulator Receiver

100 cm RTC

SDA & SCL

PC MONITOR

Gambar 3.1 Blok diagram sistem Berdasarkan blok diagram diatas, masing-masing bagian blok mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang terhubung dengan power supply sebagai sumber tegangan. Pembagian blok-blok dijelaskan secara rinci sebagai berikut:

1. Bagian input terdapat 5 sensor moisture probe yang bekerja saat diberi tegangan 5 volt mendeteksi perubahan lingkungan fisis disekitar sensor pada masing-masing kedalaman. Sensor menghasilkan output berupa sinyal analog yang masuk pada Port.F(1-7) mikrokontroler. RTC berperan sebagai penentuan waktu yang masuk pada Port.D1 (SDA) dan Port.D0 (SCL). 2. Pada bagian proses merupakan tahapan akuisisi dimana mikrokontroler ATMega2560 berperan sebagai pusat pengukuran dan control, mengubah sinyal analog tersebut menjadi data digital. 3. Bagian output merupakan bagian akhir akuisisi dengan menampilkan data pengukuran pada sebuah indikator display dan menyimpan data pada SDcard. Display yang digunakan ialah Liquid Crystal Display (LCD 16x12) dan juga ditampilkan pada layar komputer dengan memanfaatkan komunikasi jarak jauh telemetri. 3.2 Rangkaian Skematik Sistem Rangkaian skematik sistem ini merupakan gambar hubungan dari sensor dan beberapa komponen elektronika pendukung yang membentuk sistem akusisi. Rangkaian skematik sistem

76

secara keseluruhan dibuat dengan menggunakan aplikasi Proteus 8 Professional yang dapat dilihat pada gambar 3.2 berikut:

Gambar 3.2 Rangkaian skematik sistem Pada gambar rangkaian 3.2, dapat dilihat terdapat beberapa komponen elektronika yakni: mikrokontroler ATMega2560, LCD, RTC,SDcard dan 1 batang sensor dengan 5 kedalaman. Semua elemen ini dihubungkan pada mikrokontroler yang merupakan otak pengendali dari sistem. Sensor kadar air tanah dengan 5 input masuk pada Port.F, LCD dan RTC dengan tambahan IC I2C masuk pada Port.D, SDcard masuk pada Port.K. Sistem mulai bekerja saat output sensor memberi input berupa tegangan masuk pada pin analog (A1-A5) mikrokontroler. Input yang masuk pada mikrokontroler berupa sinyal analog diubah menjadi sinyal digital dengan fitur ADC yang terintegrasi pada board mikrokontroler atmega2560 yang memiliki resolusi 10 bit. Output data ditampilkan pada LCD dan layar PC yang dikirimkan dengan telemetri. 3.3 Sistem Akuisisi Data Sistem akuisisi berfungsi untuk mengambil, mengumpulkan dan menyiapkan data, untuk menghasilkan data yang dikehendaki. Adapun alur program akuisisi digambarkan dengan flowchart yang dapat dilihat pada gambar 3.3 dibawah.

77

START

INISIALISASI HARDWARE

BACA SENSOR & AKUSISI

KIRIM DATA PADA SERIAL

TAMPILKAN DATA PADA LCD

TIDAK APAKAH SUDAH 1? MENIT ?

YA SIMPAN DATA DI SD CARD

YA END

Gambar 3.3 Diagram alir (flowchart) program akuisi Program dimulai dengan start, dilanjutkan dengan inisialisasi komunikasi serial yaitu pada baudrate 57600 bps dan inisialisasi port-port yang digunakan pada PC dan mencari tempat menyimpan data yang masuk pada interface.Selanjutnya program melakukan pilihan apakah port yang telah terpilih telah terkoneksi, jika “ya” maka program akan lanjut, jika “tidak” maka program akan melakukan inisialisasi port lagi kelangkah sebelumnya. Selanjutnya, data akan ditampilkan di layar komputer. Program membaca input data trigger yang dimasukkan secara manual, lalu membaca data dan parsing, kemuadian Program melakukan pilihan, jika data yang masuk melebihi nilai trigger maka lampu akan hidup, jika tidak lampu tidak hidup dan data siap disimpan.Selanjutnya data disimpan dalam sebuah file dengan nama Kadar Air Tanah berdasarkan tanggal pengambilan data dengan format text.txt dan excel.xls. Setelah menyimpan data, program melakukan pilihan apakah tekan tombol “stop” untuk menutup aplikasi atau tidak. Jika “ya” maka program akan selesai, jika “tidak” maka program akan melakukan looping pada tahap membaca output sensor. program akan selesai jika menekan tombol stop. Adapun tampilan monitoring kadar air tanah pada layar komputer dapat dilihat pada gambar 3.4 berikut:

78

Gambar 3.4 Tampilan software monitoring kadar air tanah IV.HASIL UJI ALAT Pengujian alat ukur kadar air tanah digital dilakukan untuk mengetahui kinerja alat dalam menghasilkan data keluaran, serta mengetahui nilai koreksi dan simpangan setelah dibandingkan dengan alat standar. Pengujian alat pada penelitian ini dibatasi pada metode komparasi dengan alat portable soil moisture produksi dari Delta-T tipe HH2 buatan Inggris, dengan nomor seri: PR2/6 027 – 046. Metode kalibrasi tidak dilakukan karena sampai saat ini karena BMKG belum memiliki metode kalibrasi untuk parameter kadar air tanah. Uji coba alat dilakukan pada lahan di samping taman alat Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Cara komparasi alat dilakukan dengan menanam kedua sensor ke dalam tanah secara sejajar dengan jarak ± 1 meter. Jarak ini sesuai dengan ketentuan daerah kerja range sensor agar tidak terjadi interpolasi antar sensor, yang dapat dilihat pada gambar 4.1 dibawah:

Gambar 4.1 Peletakkan alat ukur saat komparasi Komparasi dilakukan dengan membandingkan sampling data yang diambil dengan waktu yang telah diatur dengan 3 kondisi tanah yang berbeda, yaitu pada: kondisi tanah awal, kondisi tanah basah, dan kondisi tanah kering. Pengambilan data kadar air tanah pertama yang dilakukan dari kondisi awal tanah yang dianggap tidak basah dan tidak terlalu kering, kemudian dilanjutkan dengan 79

kondisi tanah basah yang telah disiram air, dan terakhir dengan kondisi tanah yang dianggap kering yang diambil pada siang hari. Pengkondisian ini dilakukan untuk melihat respon sensor terhadap perubahan kadar air tanah. Pengamatan nilai kadar air tanah dari alat ukur uji dan alat ukur standar pada tiap kedalaman dilakukan setiap 5 menit sebanyak 10 kali. Data hasil dari pengamatan dan komparasi kedua alat tersebut ditampilkan dalam bentuk tabel yang dapat dilihat pada tabel 4.1 sampai table 4.5 berikut. Tabel 4.1 Data hasil komparasi alat ukur KAT pada kedalaman 20 cm Kedalaman 20 cm Kondisi tanah awal Kondisi tanah basah Kondisi tanah kering Pengukuran Alat Alat Alat Alat Alat Alat Koreksi Koreksi Koreksi standar uji standar uji standar uji ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) 1 30 27 3 67 57 10 23 23 0 2 30 27 3 67 56 11 23 23 0 3 30 27 3 65 54 11 23 22 1 4 30 27 3 65 54 11 23 22 1 5 30 27 3 64 54 10 23 22 1 6 31 28 3 64 54 10 23 22 1 7 31 29 2 62 54 8 23 22 1 8 32 29 3 59 53 6 23 22 1 9 32 29 3 59 53 6 22 21 1 10 32 29 3 59 53 6 22 21 1 Rata-rata 2.9 8.9 0.8 Simpangan Baku 1.76 5.14 0.68

Tabel 4.2 Data hasil komparasi alat ukur KAT pada kedalaman 30 cm Kedalaman 30 cm Kondisi tanah awal Kondisi tanah basah Kondisi tanah kering Pengukuran Alat Alat Alat Alat Alat Alat Koreksi Koreksi Koreksi standar uji standar uji standar uji ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) 1 27 27 0 72 60 12 27 21 6 2 27 27 0 70 60 10 27 22 5 3 28 28 0 70 60 10 27 22 5 4 30 28 2 70 59 11 27 21 6 5 30 28 2 70 59 11 27 22 5 6 30 27 3 70 59 11 27 22 5 7 30 28 2 70 58 12 28 22 6 8 30 28 2 69 57 12 28 22 6 9 30 28 2 68 57 11 27 22 5 10 30 28 2 64 55 9 27 22 5 Rata-rata 1.5 10.9 5.4 Simpangan Baku 1.23 5.89 2.80

80

Tabel 4.3 Data hasil komparasi alat ukur KAT pada kedalaman 40 cm Kedalaman 40 cm Kondisi tanah awal Kondisi tanah basah Kondisi tanah kering Pengukuran Alat Alat Alat Alat Alat Alat Koreksi Koreksi Koreksi standar uji standar uji standar uji ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) 1 28 24 4 50 45 5 25 23 2 2 27 25 2 54 48 6 25 23 2 3 27 24 3 57 50 7 25 22 3 4 26 23 3 57 50 7 25 23 2 5 26 23 3 55 48 7 25 22 3 6 27 24 3 55 48 7 25 23 2 7 27 25 2 53 48 5 25 22 3 8 27 24 3 51 48 3 25 23 2 9 27 25 2 50 46 4 28 23 5 10 27 24 3 50 45 5 28 23 5 Rata-rata 2.8 5.6 2.9 Simpangan Baku 1.57 3.68 1.76

Tabel 4.4 Data hasil komparasi alat ukur KAT pada kedalaman 60 cm Kedalaman 60 cm Kondisi tanah awal Kondisi tanah basah Kondisi tanah kering Pengukuran Alat Alat Alat Alat Alat Alat Koreksi Koreksi Koreksi standar uji standar uji standar uji ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) 1 32 31 1 68 60 8 30 30 0 2 32 31 1 68 60 8 30 30 0 3 32 31 1 68 60 8 30 29 1 4 31 31 0 66 59 7 30 29 1 5 31 31 0 66 59 7 30 29 1 6 31 30 1 71 64 7 30 29 1 7 31 30 1 71 64 7 30 29 1 8 31 30 1 70 63 7 29 28 1 9 31 30 1 70 63 7 29 28 1 10 31 30 1 70 63 7 29 28 1 Rata-rata 0.8 7.3 0.8 Simpangan Baku 0.64 4.21 0.73

Tabel 4.5 Data hasil komparasi alat ukur KAT pada kedalaman 100 cm Kedalaman 100 cm Kondisi tanah awal Kondisi tanah basah Kondisi tanah kering Pengukuran Alat Alat Alat Alat Alat Alat Koreksi Koreksi Koreksi standar uji standar uji standar uji ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) ( %) 1 74 72 2 64 58 6 49 48 1 2 74 72 2 64 59 5 49 49 0 3 73 71 2 64 60 4 49 47 2 4 72 71 1 66 62 4 49 46 3 5 72 70 2 66 64 2 49 46 3 6 72 70 2 68 64 4 49 47 2 7 72 70 2 70 67 3 48 46 2 8 71 70 1 74 70 4 48 46 2 9 71 70 1 74 70 4 48 46 2 10 71 70 1 74 70 4 47 45 2 Rata-rata 1.6 4 1.9 Simpangan Baku 1.27 4.83 1.36

Dari data pada tabel 4.1 sampai tabel 4.5 di atas, dapat dilihat nilai koreksi dari nilai keluaran kadar air tanah pada tiap pengukuran alat uji dan alat standar dengan 3 kondisi tanah yang berbeda

81

yang telah diatur. Nilai rata-rata koreksi pada kedalaman 20 cm pada kondisi tanah awal,

basah, dan kering secara berurut adalah sebesar 2.9%, 8.9%, dan 0.8%. Nilai rata-rata koreksi pada kedalaman 30 cm pada kondisi awal tanah, basah, dan kering secara berurut adalah sebesar 1.5%, 10.9%, dan 5.4%. Nilai rata-rata koreksi pada kedalaman 40cm pada kondisi awal tanah awal, basah, dan kering secara berurut adalah sebesar 2.8 %, 5.6 %, dan 2.9 %. Nilai rata-rata koreksi pada kedalaman 60 cm pada kondisi tanah awal, basah, dan kering secara berurut adalah sebesar 0.8 %, 7.3 %, dan 0.8%. Nilai rata-rata koreksi pada kedalaman 100 cm pada kondisi tanah awal, basah, dan kering secara berurut adalah sebesar 1.6 %, 4 %, dan 1.9 %. Dengan demikian, nilai keluaran sudah sangat baik pada semua kondisi tanah yang telah diatur karena masih dalam batas toleransi yang diberikan sensor yaitu sebesar ±6%. Namun, pada kondisi tanah basah terdapat nilai rata-rata koreksi lebih besar dari batas toleransi, hal ini terjadi karena penyebaran air yang disiram pada tanah tidak merata. Secara keseluruhan, sensor yang dirancang memiliki penyimpangan yang tidak terlalu jauh dari alat standar yaitu tidak melebihi nilai 6.

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1.

Alat Ukur Kadar Air Tanah Digital Berbasis Arduino Mega2560 telah berhasil dibuat dan dapat digunakan sebagai alat ukur kadar air tanah mengganti metode pengukuran gravimetrik.

2.

Sistem dapat bekerja dengan baik, dengan hasil komparasi yang tidak melewati batas toleransi sebesar ± 6% dan rata-rata simpangan baku yang tidak melebihi 5%, kecuali pada kondisi tanah basah yang disebabkan penyebaran air yang disiram pada tanah tidak merata.

3.

Output dapat ditampilkan secara realtime pada LCD dan komputer serta aplikasi mampu memberi sinyal warning (lampu hidup) jika nilai kadar air tanah melebihi nilai trigger yang ditentukan.

5.2 Saran Perancangan alat ukur ini dilakukan dengan waktu yang singkat dan biaya yang terbatas, sehingga masih ditemukan banyak kekurangan dari ide awal penelitian. Untuk pengembangan yang lebih lanjut, perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: 1.

Melakukan metode komparasi dengan mengkondisikan tanah dengan perlakuan yang sama pada alat yang diuji dan alat standar, agar dapat meminimalisir penyimpangan yang terlalu jauh dari kesalahan teknis karena penyebaran air yang tidak merata.

82

2.

Melakukan pengamatan pararel terhadap sensor dengan waktu yang lebih lama agar dapat memastikan kestabilan alat.

3.

Melakukan penelitian lebih lanjut dengan melakukan pengamatan di beberapa titik yang terintegrasi sehingga dapat membuat pemetaan kadar air tanah pada suatu wilayah.

Referensi Corwin D.L & Lesch.S.M. 2005. Apparent Soil Electrical Conductivity Measurement in Agriculture. Computers and Electronics in Agriculture Vol.46; 11-43 J.D.Rhoades, F.Chanduvi, dan S.Lesch Soil Salinity. 1999. Methods and Interpretation of electrical Conductivity mesurement). California:FAO Kurnia ,Undang, Fahmuddin Agus, Abdurachman Adimihardja, dan Al Dariah. 2006. Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian K.A Sudduth & D.G Bullock. 2003. Comparison of Electromagnetic Induction and Direct Sensing of Soil Electrical Conductivity . Agron. J Vol.95 ;472-482 National Instruments, http://www.ni.com/download-labview/ diakses pada tanggal 12 Januari 2016. Spesifikasi dan Konfigurasi Kaki Pin Mikrokontroler ATMega2560 pada board Arduino https://www.arduino.cc/en/Hacking/PinMapping2560 diakses pada tanggal 5 januari 2016. Tohari ,A.& Nishigaki ,M. (2010). Insitu Measurement of The Soil Moisture Content at A Decomposed Granite Cut Slope . Riset Geologi dan Pertambangan Vol.20(1) User Manual for The Profile Probe type PR2 https://www.delta-t.co.uk diakses pada tanggal 20 Desember 2015. WMO.2008. Guide to Meteorological Instrument and Methods of Observatio:Geneva.

83

TRANSMISI OTOMATIS INFORMASI HUJAN EKTRIM MENGGUNAKAN KOMUNIKASI SHORT MESSAGE MESSAGE Muhamad Soleh Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta Email: [email protected], [email protected] Abstrak Curah hujan yang tinggi atau abnormal dengan daya dukung lingkungan yang rendah dapat menyebabkan bahaya banjir dan longsor. Data pengukuran yang tersimpan akan digunakan sebagai pengambil keputusan terhadap akumulasi tingginya curah hujan yang terjadi sehingga ancaman bencana alam baik banjir atau longsor dapat diketahui secara dini. Tujuan penelitian ini adalah merancang suatu transmisi pengukuran curah hujan secara digital dan berbasis sistem database, sehingga data pengukuran tersimpan secara digital. Berdasarkan hasil pengukuran dan pengujian sistem diperoleh hasil dari alat serta sensor menunjukkan sistem yang baik. Kata Kunci: Atmega328, hujan ekstrim, tipping bucket Abstract Rainfall is high or abnormally low environmental carrying capacity can lead to the danger of flooding and landslides. Measurement data is saved to be used as decision makers on the accumulation of heavy rainfall that occurred so that the threat of natural disasters of flooding or landslides can be known at an early stage. The purpose of this study was to design a transmission rainfall measurement digitally-based database system, so that the measurement data is stored digitally. Based on the results of measurements and system testing tools as well as the results obtained from the sensor showed a good system. Keyword: Atmega328, extreme rain, tipping bucket.

I.

PENDAHULUAN

Teknologi telah banyak digunakan dalam kehidupan salah satunya pada bidang otomatisasi peralatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Otomatisasi peralatan sangat diminati karena dapat mempersingkat waktu pengamatan dan dapat mengurangi kesalahan yang diakibatkan oleh faktor kesalahan manusia, sebagai contoh adalah keterlambatan pengiriman Short Message Service (SMS) data curah hujan pada tiap dasariannya. Berkaitan dengan pengiriman curah hujan pada tiap dasarian, apabila ada kejadian hujan ekstrim maka akan terjadi keterlambatan pengiriman SMS curah hujan. Perihal ini juga akan mengakibatkan keterlambatan dalam pembuatan informasi cuaca ektrim. Tujuan penulisan ini adalah untuk membuat sebuah rancangan sistem penakar hujan automatis berbasis mikrokontroler Atmega328 dengan Liquid Crystal Display (LCD) sebagai penampil data curah hujan dan menyimpannya dalam bentuk database serta mentransmisikan data curah hujan ekstrim secara otomatis ke koordinator pos hujan kerjasama ketika terjadi hujan melebihi 20 mm dalam waktu 1 jam atau lebih dari 50 mm dalam 1 hari.

II. DASAR TEORI 2.1 Hujan Ekstrim Hujan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam bidang pertanian, oleh karena itu Stasiun BMKG khususnya Stasiun Klimatologi Kediri melakukan kerjasama dengan Dinas Pertanian di wilayah Nusa Tenggara Barat. Penempatan alat pengukur curah hujan baik yang manual maupun yang otomatis di Dinas Pertanian merupakan salah satu bentuk kerjasamanya. Petugas pengamat pos hujan kerjasama dilatih untuk mengukur, mencatat dan mengirimkan data 84

curah hujan ke koordinator pos hujan kerjasama. Berbeda dengan BMKG yang pengamatannya dilakukan setiap tiga jam, petugas pos hujan kerjasama melakukan pengamatan hanya sekali dalam satu hari yaitu pada jam 07.00 waktu setempat. Pengiriman data curah hujan dilakukan pada tanggal 11, 20 dan akhir bulan pada tiap bulannya. Peraturan Kepala BMKG Nomor: Kep.009 tahun 2010 tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan, dan Diseminasi Informasi Cuaca Ekstrim menyebutkan pengertian Hujan Lebat adalah hujan dengan intensitas paling rendah 50 mm per 24 jam dan atau 20 mm per jam. 2.2 Sensor Tipping Bucket Alat ukur curah hujan tipe tipping bucket terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama adalah bagian penerima air hujan yang terdiri dari bagian penampung air hujan yang berbentuk kerucut serta bagian penerima tetesan dari penampung air hujan yang lebih dikenal dengan istilah tipping bucket. Bagian kedua adalah sensor yaitu reed switch, sedangkan bagian terakhir adalah bagian konektor untuk menghubungkan sensor ke logger. Bagian penting dari pengukur curah hujan adalah bagian tipping bucket yang akan menghasilkan data yang kemudian diolah dan disajikan sebagai data curah hujan (Supri 2010). Bagian Tipping bucket ini terlihat seperti pada Gambar 2.1. berikut ini.

Gambar 2.1 Sensor tipping bucket

Pengukuran curah hujan menggunakan tipping bucket suatu penakar hujan dengan luas corong tertentu misalnya 200 cm2 =20.000 mm2 atau 400 cm2 = 40.000 mm2 dan didalamnya dilengkapi dengan penampung yang dapat terjungkit bila volumenya sudah penuh yaitu 4000 mm3 untuk luas corong 20.000 mm2, 20.000 mm3 untuk luas corong 40.000 mm2, setara dengan curah hujan 0,2 mm atau 0,5 mm (tergantung type alat) satu kali jungkit akan menghasilkan satu pulsa. Pengukuran tersebut di atas sesuai dengan satuan curah hujan adalah millimeter, yaitu kita mengukur curah hujan yang jatuh pada tabung berbentuk silinder dengan luas permukaan 20.000 mm2 dengan volume 4.000 mm3. V= A x t

(2.1)

dimana: V = Volume tipping bucket (mm3) A = Luas penampang corong (mm2) t = Tinggi curah hujan (mm) 2.3 Liquid Crystal Display (LCD) LCD merupakan suatu layar bagian dari modul peraga yang menampilkan karakter yang diinginkan. Layar LCD menggunakan dua buah lembaran bahan yang dapat mempolarisasikan dan kristal cair diantara kedua lembaran tersebut. Arus listrik yang melewati cairan menyebabkan kristal merata sehingga cahaya tidak dapat melalui setiap kristal, karenanya pada pengaturan cahaya menentukan apakah cahaya tersebut dapat melewati atau tidak, sehingga dapat mengubah bentuk kristal cairannya yang membentuk tampilan angka atau huruf pada layar.

85

Gambar 2.2 LCD 20x4

2.4 Real Time Clock (RTC) RTC yang merupakan jam elektronik berupa chip yang dapat menghitung waktu (mulai dari detik hingga tahun) dengan akurat serta menjaga atau menyimpan data waktu tersebut secara real time, maka setelah proses hitung waktu dilakukan output datanya langsung disimpan atau dikirim ke device lain melalui sistem antarmuka. RTC dilengkapi dengan baterai sebagai pencatu daya pada chip, sehingga waktu akan tetap up-to-date. Jenis IC yang digunakan dalam penelitian ini adalah RTC DS3231.

Gambar 2.3 RTC DS3231

2.5 Atmega 328 Uno Arduino adalah board berbasis mikrokontroler ATmega328. Board ini memiliki 14 digital input / output pin (dimana 6 pin dapat digunakan sebagai output PWM), 6 input analog, 16 MHz osilator kristal, koneksi USB, socket untuk catu daya listrik dan tombol reset. Pin-pin ini berisi semua yang diperlukan untuk mendukung mikrokontroler, hanya terhubung ke komputer dengan kabel USB atau sumber tegangan bisa didapat dari adaptor AC-DC atau baterai untuk menggunakannya.

Gambar 2.4 Diagram pin ATmega328

2.6 Modem Wavecom Media komunikasi yang digunakan mentransmisikan data ke kordinator pos hujan pada alat ini adalah modem GSM merk Wavecom. Wavecom adalah pabrikan asal Perancis (bermarkas di kota Issy les Moulineaux, Perancis) yaitu WavecomSA yang berdiri sejak 1993 bermula sebagai 86

biro konsultan teknologi dan sistem jaringan nirkabel GSM, dan pada 1996 wavecom mulai membuat desain daripada modul wireless GSM pertamanya dan diresmikan pada 1997, bentuk modul GSM pertama berbasis GSM dan pengkodean khusus yang disebut AT Command.

Gambar 2.5 Modem Wavecom M1206B

2.7 Modul Micro SDcard

Modul micro SDcard digunakan sebagai digunakan sebagai perantara penyimpan data yang ada di micro SDCard . Hal ini memungkinkan sistem untuk menambahkan penyimpanan dan data logger untuk penyimpanan data sistem, sehingga data-data yang dihasilkan dari sistem yang kita buat dapat secara otomatis tersimpan dalam memori ini.

Gambar 2.5 Modul micro SDCard

III. PERANCANGAN DAN IMPLEMENTASI SISTEM 3.1 Blok Diagram Blok diagram secara keseluruhan terbagi atas 3 bagian utama yaitu: input (tipping bucket, RTC dan SHT11), proses (pengolahan dan pengontrolan pada mikrokontroler ATmega328) dan output (tampilan di LCD, micro SDCard dan transmisi data oleh modem Wavecom). Tegangan diberikan oleh power supply ke masing-masing komponen yang ada dalam rancangan.

Gambar 3.1 Blok diagram 87

Blok diagram sistem pada Gambar 3.1 di atas, mengartikan bahwa input terdiri dari tipping bucket yang merupakan sensor curah hujan yang keluarannya berupa digital, SHT11 yang merupakan sensor suhu dan Real Time Clock (RTC) sebagai indikator waktu otomatis dan presisi. Proses pengolahan dan pengontrolan data dilakukan di mikrokontroler ATmega328. Output berupa tampilan pada Liquid Crystal Display (LCD), database disimpan dalam modul SDCard dan transmisi data curah hujan dan suhu dilakukan oleh modem Wavecom yang saling terhubung sehingga sistem dapat bekerja dengan baik. 3.2 Diagram Alir Diagram alir atau yang lebih sering disebut flowchart ini dibuat agar memudahkan peneliti dalam mengatur dan membuat script program yang nantinya akan dibuat untuk mengatur mikrokontroler agar mendapatkan hasil yang sesuai dengan keinginan. Diagram alir program mikrokontroler ini merupakan penggambaran sederhana dari cara kerja program yang dibangun pada perancangan sistem ini. Penjelasan flowchart pada gambar sebagai berikut : 1. Awal dari suatu program. 2. Melakukan inisialisasi RTC dan Sensor pada library pemrograman. 3. Sensor melakukan pengukuran pada masing-masing elemen tipping bucket untuk curah hujan dan SHT11 untuk suhu. 4. Mendapatkan data curah hujan dan suhu. Data diproses didalam mikrokontroler ATmega328. 5. Data yang sudah terproses maka output pengukuran dari data yang sudah diolah akan ditampilan pada LCD 20x4, data disimpan di micro SD Card dan pada jam 07.00 WITA data curah hujan akan reset. 6. Modem wavecom akan melakukan transmisi data menggunakan SMS secara realtime apabila curah hujan tercatat lebih dari 20 mm/jam dan 50 mm/hari serta suhu melebihi 29,3 oC. 7. Sistem akan berulang terus menerus kembali ke menginisialisasi input yang masuk ke mikrokontroler Atmega328.

Gambar 3.2 Diagram alir

Flowchart di atas diawali dengan proses inisialisasi port-port yang digunakan, kemudian mikrokontroler mulai membaca output sensor dan melakukan akuisi data. Hasil pembacaan curah 88

hujan dan suhu serta tanda waktu disimpan dan tampilkan di LCD secara realtime. Transmisi data menggunakan SMS oleh modem Wavecom akan dilakukan jika data curah hujan lebih dari 20 mm/jam dan lebih dari 50 mm/hari serta suhu lebih dari 29,3 oC. 3.3 Konsep Perancangan Sistem Konsep perancangan sistem ini akan dibuat transmisi informasi hujan dan suhu ekstrim menggunakan komunikasi SMS. Perancangan alat ini terdiri dari mikrokontroler ATmega328 sebagai pengumpul dan pengolahan data, sensor tipping bucket sebagai sensor hujan, sensor SHT11 sebagai sensor pengukur suhu, Real Time Clock (RTC) DS3231 sebagai penanda waktu yang presisi, modul micro SD Card sebagai pusat penyimpanan data, Liquid Crystal Display (LCD) 20x4 sebagai penampil hasil pengolahan dari mikrokontroler dan modem wavecom sebagai komunikasi transmisi data menggunakan Short Message Service (SMS) yang ditransmisikan ke Koordinator Pos Hujan.

Gambar 3.3 Konsep perancangan sistem

3.4 Rangkaian Sistem Pada rangkaian sistem ini sensor tipping bucket dan SHT11 masing-masing dihubungkan dengan komponen rangkaian pendukung agar dapat berkerja secara baik. Komponen-komponen tersebut adalah mikrokontroler ATmega328, RTC, SD card, catudaya, serta converter MAX232 yang nantinya dihubungkan ke modem Wavecom. Untuk memudahkan peneliti dalam membuat alat perlu dibuat sebuah skema rangkaian sistem.

Gambar 3.4 Rangkaian sistem

3.5 Implementasi Sistem Tampilan alat hasil rancangan pada Gambar 3.5 terdiri dari sensor SHT11, sensor hujan, data logger sebagai tempat mengolah data. Tampilan data hujan dan suhu pada LCD 20x4 ditunjukkan pada Gambar 3.6.

89

Gambar 3.5 Tampilan alat

Gambar 3.6 Tampilan LCD 20x4

3.6 Cara Kerja Alat Sensor SHT11 sebagai sensor pengukur suhu, reed switch pada sensor hujan, dan RTC yang merupakan penanda waktu digunakan sebagai input pada sistem transmisi ini. Mikrokontroler Atmega 328 digunakan sebagai pengolah data dari input yang diteruskan menjadi output. Output pada sistem transmisi ini terdiri dari LCD 20x4 yang merupakan tampilan data suhu dan hujan, micro Sdcard sebagai penyimpan data, dan modem Wavecom yang akan digunakan sebagai komunikasi SMS informasi hujan dan suhu ekstrim. Prinsip kerja sistem transmisi ini adalah pembacaan dari sensor suhu dan hujan akan diolah di Atmega328. Atmega 328 akan memproses input tersebut dan melalui antarmuka I2C akan ditampilkan di LCD 24x4, data akan disimpan pada micro Sdcard dan ketika terjadi hujan 20 mm per jam atau 50 mm per 24 jam, melalui converter MAX232 maka modem Wavecom akan mentransmisikan informasi hujan ekstrim tersebutSistem transmisi ini mentransmisikan informasi hujan dan suhu ekstrim menggunakan komunikasi SMS ke nomor koordinator pos hujan kerjasama.

Gambar 3.7 Tampilan penyimpanan data dalam format .txt

90

3.7 Validasi Sistem peralatan perlu dilakukan kalibrasi sebelum pengujian apakah sistem peralatan dapat berfungsi dengan baik. Kalibrasi peralatan selesai dilakukan, maka sistem peralatan diuji di taman alat selama 12 jam untuk mendapatkan data curah hujan dan suhu dengan cara membandingkan hasil keluaran data dari sistem peralatan yang telah dibuat dengan alat yang sudah ada di taman alat secara statistik menggunakan metode simpangan baku.

IV. PENGUJIAN DAN ANALISIS Akuisisi data yang dihasilkan sistem yang telah dibangun, dilakukan dengan uji presisi dan kalibrasi di Laboratorium Kalibrasi Meteorologi BMKG. Data hasil pengujian selanjutnya dapat digunakan untuk mengetahui nilai simpangan dari data yang dihasilkan, sehingga dapat dilakukan pembuatan program koreksi pada program. Kalibrasi menentukan set point sebagai titik sample, kemudian pembacaan hasil pengukuran minimum sebanyak empat kali. Hasil pembacaan tersebut dapat ditentukan nilai maksimum, minimum, nilai rata-rata serta standar deviasi dari sensor yang digunakan. 4.1 Kalibrasi Pengukuran curah hujan dilakukan dengan menggunakan rain gauge tipe tipping bucket produksi dari environdata dengan resolusi 0.2 mm. Kalibrasi alat dilakukan di laboratorium kalibrasi peralatan meteorologi BMKG dengan alat rain gauge kalibrator dari Hanil-lab Korea Selatan. Proses kalibrasi dapat dilihat seperti pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Proses kalibrasi

Proses kalibrasi sensor hujan dilakukan dengan membandingkan data pengukuran tipping bucket dari environdata dengan alat kalibrator standar buatan Hanil-lab – Korea Selatan. Pengukuran diawali dengan memberikan simulasi hujan ke penakar hujan dengan variasi intensitas hujan 50 mm/jam secara bertahap sampai 150 mm/jam. Data hasil kalibrasi sensor hujan yang telah dilakukan di laboratorium kalibrasi peralatan meteorologi BMKG dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Perbandingan kalibrator curah hujan dengan alat yang dikalibrasi

91

Data dari tabel di atas dapat dibuat grafik perbandingan kalibrator hujan dengan alat yang dikalibrasi seperti Gambar 4.2.

Gambar 4.2 Grafik perbandingan kalibrator hujan dengan alat yang dikalibrasi

4.2 Pengujian Pengujian sensor hujan dilakukan pada tanggal 29 Agustus 2016 dengan menuangkan air menggunakan gelas ukur standar yang digunakan BMKG seperti ditunjukkan pada Gambar 4.3 .

Gambar 4.3 Proses pengujian sensor hujan

Pengujian dilakukan pada tanggal 29 Agustus 2016, dari pengujian sensor hujan ini menghasilkan data seperti pada tabel 4.2 berikut: Tabel 4.2 Pengujian sensor hujan

4.3 Pengujian Komunikasi SMS Perangkat yang digunakan untuk melakukan pengujian sistem komunikasi ini adalah Atmega 328, sensor SHT11, sensor curah hujan, converter MAX232, modem Wavecom, pengujian sistem komunikasi dilakukan dengan menghubungkan sensor dengan mikrokontroler Atmega 328 kemudian mikrokontroler dihubungkan ke modem Wavecom M1206B melalui converter MAX232. Setelah semua terhubung modem wavecom akan mengirimkan SMS ke nomor telepon yang telah didaftarkan ketika terjadi hujan dan suhu ekstrim. Pengujian sistem komunikasi SMS ditunjukkan pada Gambar 4.4.

92

Gambar 4.4 Tampilan komunikasi SMS di handphone

Tampilan LCD pada saat terjadi transmisi data ditunjukkan pada Gambar 4.5. Transmisi data dilakukan ketika terjadi hujan 20 mm.

Gambar 4.5 Tampilan komunikasi SMS di LCD

4.4 Pengujian Sistem Pengujian sistem dilakukan dengan menggabungkan seluruh pengujian mulai dari kalibrasi sensor, penyimpanan data di micro Sdcard, komunikasi SMS, tampilan LCD, dan transmisi data menggunakan SMS. Pengujian dilakukan untuk mengetahui apakah sistem dapat berjalan dengan baik ketika semua percobaan telah dilakukan. Tampilan pengujian sistem ditunjukkan pada gambar 4.5.

Gambar 4.6 Tampilan data dalam bentuk file .txt

93

4.5 Analisis Data Analisis data diperoleh dari hasil pengujian sensor yang digunakan dalam rancangan ini. Analisis ini menunjukkan perbedaan koreksi sensor dalam sistem pada waktu pengujian dengan pembandingnya. Sensor hujan tipping bucket dengan gelas ukur standar yang digunakan BMKG. engujian sensor hujan dilakukan pada tanggal 29 Agustus 2016 diperoleh rata-rata koreksi 0,16 mm dengan standar deviasi sebesar 0,089. 4.6 Pengolahan Data Pengambilan data baik pada waktu kalibrasi maupun pengujian sensor menghasilkan koreksi pengukuran. Pengolahan data bertujuan untuk mencari standar deviasi data antara hasil pengukuran pada sistem yang dibuat terhadap peralatan observasi. Standar deviasi menyatakan besarnya keragaman sample yang diperoleh, semakin besar nilai standar deviasi yang diperoleh maka semakin besar keragaman sample, begitu pula sebaliknya yakni jika standar deviasi yang diperoleh kecil maka sample semakin tidak beragam. Rumus yang dipakai untuk mencari standar deviasi adalah sebagai berikut: S =√ Dimana 𝑋𝑖 𝑋̅ n

̅ 𝟐 ∑𝒏 𝒊=𝟏(𝑿𝒊 −𝑋) 𝒏−𝟏

(4.1)

= nilai data = nilai rata-rata data = jumlah data

Standar deviasi yang diperoleh dari rumus di atas adalah sebagai berikut, di bawah ini merupakan tabel hasil perhitungan standar deviasi : Tabel 4.3 Hasil perhitungan standar deviasi sensor hujan

Tabel perhitungan di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi simpangan baku maka semakin besar penyimpangan data dari rata-rata hitungnya, sehingga dikatakan data memiliki variabilitas tinggi. Sebaliknya semakin rendah simpangan baku maka semakin rendah penyimpangan data dari rata-rata hitungnya, sehingga dikatakan data memiliki variabilitas rendah. Perhitungan data sensor hujan tipping bucket diperoleh simpangan baku sebesar 0,089.

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari perancangan dan pengujian adalah sebagai berikut: 1. Hasil kalibrasi yang dilakukan di laboratorium kalibrasi meteorologi BMKG dan uji lapangan didapatkan hasil perbandingan nilai koreksi pengukuran nilai kalibrator hujan dengan sensor tipping bucket adalah sebesar 0,240 mm 2. Hasil pengujian yang dilakukan sensor hujan pada tanggal 29 Agustus 2016 dengan rata-rata 0,160 mm dan standar deviasi sebesar 0,089 mm. 3. Uji lapangan pengukuran hujan, penyimpanan data dilakukan setiap satu menit sekali. 4. Pengujian komuniksi SMS dilakukan ketika terjadi hujan sebesar 20 mm. 5. Pengujian sistem rancangan berjalan dengan baik ditandai terkirimnya SMS ke nomor tujuan.

94

5.2 SARAN Saran untuk pengmbangan sistem ini agar dapat berjalan dengan baik untuk kedepannya. 1. Penambahan sensor agar menghasilkan data yang lebih informatif yang berguna bagi masyarakat. 2. Pengujian lapangan dilakukan sebanyak-banyaknya untuk mengetahui kestabilan dan kehandalan pada perancangan sistem ini. 3. Pengamatan paralel terhadap peralatan meteorologi yang sudah ada untuk jangka waktu yang lama untuk memastikan kestabilan alat dalam sistem.

DAFTAR PUSTAKA Anonim, Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan, dan Diseminasi Informasi Cuaca Ekstrim, Peraturan Kepala BMKG Nomor: Kep.009 tahun 2010. Evita, M., Mahfudz, H., Suprijadi, Djamal, M., dan Khairurrija, 2010, Alat Ukur Curah Hujan Tipping Bucket Sederhana dan Murah http://elektro.studentjournal.ub.ac.id/index.php/teub/article/viewFile/41/29, diakses pada tanggal 22 Januari 2016. Hendra, D.S, Nurussa’adah, dan Rif’an, M.,, 2013, Perancangan dan Pembuatan Sensor Curah Hujan Tipe Tipping Bucket dengan Tampilan LCD http://personal.fmipa.itb.ac.id/supri/files/2009/02/JOKIv22_1-7.pdf diakses pada tanggal 22 Januari 2016. http://depokinstruments.com/2011/07/20/adc-analog-to-digital-converter/, diakses tanggal 16 Maret 2016 Mahendra, N.A., Sistem Informasi Kehadiran Siswa di Sekolah Menggunakan SMS,2012,http://eprints.uny.ac.id/3540/1/Sistem Informasi Kehadiran Siswa di Sekolah Menggunakan SMS.PDF. diakses pada tanggal 22 Januari 2016. Nurry

Fajriyati, 2012, Perancangan Buku Ensiklopedia Anak Edisi Hujan http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=165404, diakses pada tanggal 22 Januari 2016.

95

RANCANGAN SISTEM PERINGATAN DINI BANJIR BERBASIS SMS GATEWAY Rizky Ananda Putra1, Sandi Andoni2, Rini Kumalasari Purba3 1 ,3 Balai Besar MKG Wilayah I Medan 2 Stasiun Meteorologi Kualanamu Deli Serdang

ABSTRAK Indonesia merupakan negara dengan curah hujan yang tinggi, musim penghujan dapat berlangsung selama empat bulan dalam kurun waktu satu tahun. Dengan meningkatnya pembangunan di wilayah perkotaan, menyebabkan semakin sedikitnya daerah penyerapan air. Serta kebiasaan masyarakat membuang sampah di aliran air, juga merupakan faktor pendukung penyebab terjadinya banjir. Selain dapat menimbulkan kerugian harta benda, banjir juga dapat menimbulkan korban jiwa. Dibutuhkan sebuah sistem monitoring dan peringatan, agar menghindari terjadinya korban jiwa, dan meminimalisir kerugian materil yang terjadi akibat banjir. Sistem yang dirancang pada penelitian ini adalah sistem peringatan dini banjir berbasis sms gateway yang menggunakan mikrokontroler arduino. Alat akan memonitoring ketinggian serta status dari ketinggian air sungai pada sebuah LCD 16x2 dan alat akan membunyikan alarm, menghidupkan LED, serta mengirim SMS peringatan warning disaat ketinggian air telah melewati ambang batas bahaya. Alat ini diharapkan dapat memberikan informasi peringatan dini banjir secara real time dan akurat kepada masyarakat agar dapat meminimalisir kerugian – kerugaian yang disebabkan oleh bencana banjir. Kata Kunci : Bencana banjir, mikrokontroler arduino, sistem peringatan, sistem gateway. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepualauan yang memiliki curah hujan cukup tinggi pada saat musim hujan, hampir seluruhan daerah diguyur hujan dengan intensitas yang cukup tinggi dimana musim hujan biasanya berlangsung sampai dengan 4 bulan. Pada satu sisi, hal ini sebenarnya merupakan keuntungan yang cukup besar dikarenakan air sangat bermanfaat bagi kehidupan. sebagai bahan konsumsi sehari – hari maupun pengairan pada wilayah pertanian (Sulaiman A, 2015) . Pembangunan yang pesat terutama di daerah perkotaan membuat ruang lahan terbuka hijau semakin sedikit. Hal ini membuat daya resapan air hujan ke tanah menjadi sangat berkurang dan buruk. Banjir di indonesia telah dianggap sebagai bencana alam biasa. masyarakat tidak heran lagi dengan terjadinya banjir terutama di daerah perkotaan yang padat penduduk. Namun hal ini pasti menyebabkan kerugian harta benda dan bila terjadi banjir yang sangat besar dapat menyebabkan korban jiwa Untuk meminimalisir kerugian harta benda yang besar serta kemungkinan jatuhnya korban jiwa akibat minimnya peringatan dini yang didapatkan oleh masyarakat terkait situasi dari bendungan sungai secara real time dibutuhkan sebuah sistem peringatan dini yang dapat langsung memberi informasi kepada masyarakat secara cepat tepat dan akurat. Oleh karena itu penulis sangat tertarik membuat sebuah penelitian yang berjudul “Perancangan Sistem Peringatan Dini Banjir Berbasis SMS Gateway”, dimana alat ini akan bekerja di bendungan sungai dengan cara mengukur ketiggian air sungai secara realtime menggunakan sensor HCSR04 yang akan ditampilkan pada LCD 16x2 dan ketika ketinggian air sungai telah melebihi ambang batas bahaya maka sirine atau alarm akan berbunyi, lampu LED akan menyala serta akan mengirimkan SMS peringatan melalui modul GSM 900 yang terhubung dengan ATMega 328 kepada nomor telepon yang telah diinputkan ke dalam program.

96

1.2 Banjir Banjir merupakan fenomena alam yang biasa terjadi di suatu kawasan yang banyak dialiri oleh aliran sungai. Secara sederhana banjir dapat didefinisikan sebagainya hadirnya air di suatu kawasan luas sehingga menutupi permukaan bumi kawasan tersebut. Dalam cakupan pembicaraan yang luas, kita bisa melihat banjir sebagai suatu bagian dari siklus hidrologi, yaitu pada bagian air di permukaan Bumi yang bergerak ke laut. Dalam siklus hidrologi kita dapat melihat bahwa volume air yang mengalir di permukaan Bumi dominan ditentukan oleh tingkat curah hujan, dan tingkat peresapan air ke dalam tanah. Aliran Permukaan adalah curah hujan dikurang (Resapan ke dalam tanah ditambah Penguapan ke udara) 1.3 Sensor Ultrasonik HC-SR04 Sensor Ultrasonik adalah alat elektronika yang kemampuannya bisa mengubah dari energy listrik menjadi energy mekanik dalam bentuk gelombang suara ultrasonik. Sensor ini terdiri dari rangkaian pemancar Ultrasonic yang dinamakan transmitter dan penerima ultrasonik yang disebut receiver. Alat ini digunakan untuk mengukur gelombang ultrasonik. Gelombang ultrasonik adalah gelombang mekanik yang memiliki ciri-ciri longitudinal dan biasanya memiliki frekuensi di atas 20 Khz. Gelombong Utrasonik dapat merambat melalui zat padat, cair maupun gas. Gelombang Ultrasonik adalah gelombang rambatan energi dan momentum mekanik sehingga merambat melalui ketiga element tersebut sebagai interaksi dengan molekul dan sifat enersia medium yang dilaluinya. Gelombang ultrasonik merambat melalui udara dengan kecepatan 344 meter per detik, mengenai obyek dan memantul kembali ke sensor ultrasonik. Seperti yang telah umum diketahui, gelombang ultrasonik hanya bisa didengar oleh makhluk tertentu seperti kelelawar dan ikan paus. Kelelawar menggunakan gelombang ultrasonik untuk berburu di malam hari sementara paus menggunakanya untuk berenang di kedalaman laut yang gelap. Perhitungan waktu yang diperlukan modul sensor Ping untuk menerima pantulan pada jarak tertentu mempunyai rumus S= (tIN x V) / 2 ..........…………………………………………… (1) Rumus diatas mempunyai keterangan sebagai berikut : - (S) adalah jarak antara sensor ultrasonik dengan obyek yang terdeteksi. - (V) adalah cepat rambat gelombang ultrasonik di udara (344 meter per detik) - (tIN) adalah selisih waktu pemancaran dan penerimaan pantulan gelombang. Ada 3 prnsip kerja dari sensor ultrasonik yaitu, sinyal dipancarkan melalui pemancar gelombang ultrasonik. Sinyal yang dipancarkan akan merambat sebagai gelombang bunyi dengan kecepatan bunyi berkisar 344 m/s. Dan yang terakhir sinyal yang sudah diterima akan diproses untuk menghitung jaraknya.

Gambar 1 Prinsip Kerja Sensor Ultrasonik (sumber : http://khymem.blogspot.co.id) Spesifikasi dari sensor ini adalah sebagai berikut : 97

-

Jangkauan deteksi: 2cm sampai kisaran 400 -500cm Sudut deteksi terbaik adalah 15 derajat Tegangan kerja 5V DC Resolusi 1cm Frekuensi Ultrasonik 40 kHz

1.4 GSM Module SIM900 SIM900 merupakan suatu modul GSM yang dapat mengakses GPRS untuk pengiriman data ke internet dengan sistem M2M. AT-Command yang digunakan pada SIM900 mirip dengan AT-Command untuk modulmodul GSM sebelumnya. Sehingga jika diinginkan, modul ini dapat diganti dengan modul gsm lain yang mempunyai komunikasi data serial TTL untuk antarmuka dengan mikrokontroler. Spesifikasi umum SIM900 • Quad band 850/900/1800/1900 MHz • Gprs multi--slot class 12/10 • Gprs kelas mobile station b • Compliant ke gsm fase 2/2 +-Kelas 4 (2 w @ 850/900 MHz)-Kelas 1 (1 w @ 1800/1900 MHz) • Fm: 76 ~ 109 MHz band di seluruh dunia dengan 50 KHz tala langkah • Dimensi: 15.8*17.8*2.4mm • Berat: 1.35g • Kontrol melalui perintah pada (3GPP ts 27.007, 27.005 dan SIMCOM ditingkatkan pada perintah) • Rentang tegangan power supply 3.4 ~ 4.4 v • Konsumsi daya yang rendah • Suhu operasi:-40 ° C ~ 85 ° c Spesifikasi untuk data gprs • Gprs class 12: max. 85.6 kbps (downlink/uplink) • Pbcch dukungan • Skema cs 1, 2, 3, 4 • Ppp-tumpukan • CSD hingga 14.4 kbps • USSD 1.5 Arduino Uno Arduino Uno adalah arduino board yang menggunakan mikrokontroler ATmega328. Arduino Uno memiliki 14 pin digital (6 pin dapat digunakan sebagai output PWM), 6 input analog, sebuah 16 MHz osilator kristal, sebuah koneksi USB, sebuah konektor sumber tegangan, sebuah header ICSP, dan sebuah tombol reset. Arduino Uno memuat segala hal yang dibutuhkan untuk mendukung sebuah mikrokontroler. Hanya dengan menhubungkannya ke sebuah komputer melalui USB atau memberikan tegangan DC dari baterai atau adaptor AC ke DC sudah dapat membuanya bekerja. Arduino Uno menggunakan ATmega16U2 yang diprogram sebagai USB-to-serial converter untuk komunikasi serial ke computer melalui port USB. Tampak atas dari arduino uno dapat dilihat pada Gambar dibawah. Adapun data teknis board Arduino UNO R3 adalah sebagai berikut:  Mikrokontroler : ATmega328  Tegangan Operasi : 5V 9  Tegangan Input (recommended) : 7 - 12 V  Tegangan Input (limit) : 6-20 V  Pin digital I/O : 14 (6 diantaranya pin PWM)  Pin Analog input : 6  Arus DC per pin I/O : 40 mA 98

    

Arus DC untuk pin 3.3 V : 150 mA Flash Memory : 32 KB dengan 0.5 KB digunakan untuk bootloader SRAM : 2 KB EEPROM : 1 KB Kecepatan Pewaktuan : 16 Mhz

II METODE PERANCANGAN 2.1 Perancangan Sistem Blok diagram di bawah ini menggambarkan sistematika alat secara keseluruhan yang terdiri dari seluruh komponen yang digunakan. Komponen-komponen alat bekerja secara bersinergi dengan saling melengkapi fungsi antar komponen.

Gambar 2 Blok Diagram Alat Pada Gambar 2 di atas, sensor Ultrasonik HC-SR04 memberikan input berupa ketinggian air ke mikrokontroler. Ketinggian air serta status ketinggian akan ditampilkan pada LCD 16x2. Alarm akan berbunyi, led akan menyala dan modul GSM 900 akan mengirim SMS warning sebagai pemberitahuan jika ketinggian air telah melewati batas aman. Untuk melengkapi blok diagram diatas. Tabel 1 Tabel Wiring Alat NO

KOMPONEN

WIRING

1.

HCSR 04

Vcc  5 Volt Arduino Gnd  Ground Arduino Triger  PIN Digital 4 Arduino Echo  PIN Digital 5 Arduino

2.

Alarm

Vcc  5 Volt Arduino Gnd  Ground Arduino Data  PIN Digital 7 Arduino

3.

Modul GSM 800 l

Vcc  + DC step down 3,3 volt Gnd  Gnd DC step down RXD  RXD Arduino TXD  TXD Arduino

4.

LCD 16x2

Vcc  5 Volt Arduino

99

Gnd  Ground Arduino SDA  PIN Analog 3 Arduino SCL  PIN Analog 4 Arduino 5.

LED

Vcc  PIN Digital 9 Gnd  Ground Arduino

2.2 Flowchart Sistem

Gambar 3 Flowchart Sistem Flowchart pada Gambar 3 diawali proses inisialisasi sensor yang digunakan yaitu sensor HCSR04, GSM900, alarm, LCD 16x2, LED dan arduino. Setelah itu mikrokontroler mulai membaca output sensor HC-SR04 yang berupa data digital yaitu ketinggian permukaan air sungai pada bendungan. Apabila jarak lebih besar dari 15 cm maka alarm akan berbunyi, LED akan menampilkan status BAHAYA dan GSM SIM 900 akan dengan otomatis mengirim warning bahaya SMS ke nomor yang telah diinput. Sedangkan jika ketinggian air berada di rentang 10 sampai 15 cm maka LCD akan menampilkan ketingian air dan status WASPADA, serta jika ketinggian air di bawah 10 cm maka LCD akan menampilkan status AMAN. 2.3 Tampilan Alat 100

Alat yang dirancang terdiri dari box logger berwarna hitam. Dimana box logger terdiri dari mikrokontroler, sensor HCSR04 , alarm, LCD 16x2, LED dan GSM SIM900. tempat uji coba wadah menggunakan sebuah tapurware berukuran panjang kurang lebih 17 cm.

Gambar 4 Tampilan Alat Alat akan menampilkan data ketinggian air serta status di LCD 16x2. Dimana LCD akan menampilkan kata “STATUS = AMAN” jika ketinggian air berada dibawah 10 , “STATUS = WASPADA” jika ketinggian air telah berada di 10 sampai 15 cm dan STATUS = BAHAYA jika ketinggian air berada di atas 15 cm.

Gambar 5 Tampilan pada LCD 16x2 Tampilan warning sms ditunjukkan pada gambar 6 dimana warning SMS akan dikirim secara otomatis dan hanya sekali jika ketinggian air telah melebihi 15 cm. Selain mengirim SMS, sistem ini akan dengan otomatis juga mengeluarkan suara buzzer atau alarm dan juga menghidupkan LED sebagai pemberi peringatan dini terhadap warga sekitar.

101

Gambar 6 Tampilan warning SMS yang dikirim 2.4 Prinsip Kerja Alat Alat yang ini merupaka sebuah sistem yang dibuat untuk memberikan informasi ketinggian air sungai secara realtime dan informatif. Sistem ini akan menampilkan ketinggian air serta status bendungan di LCD 16x2 secara realtime. Ketika ketinggian air telah melewati batas aman yaitu 15 cm maka alarm atau buzzer akan berbunyi, lampu LED akan menyala serta akan mengirimkan SMS peringatan dini kepada nomor yang telah diinput dalam program. Ketika ketinggian air telah turan dan dalam batas normal maka alarm akan berhenti berbunyi serta lampu LED akan berhenti menyala. Diharapkan alat ini dapat membantu meminimalisir dampak bencana banjir karena masyarakat telah mengetahui terlebih dahulu ketika bencana banjir akan datang. III PENGUJIAN DAN ANALISIS 3.1 Pengujian Alat Pengujian dilakukan dengan tujuan agar mengetahui seberapa dekat nilai yang dikeluarkan oleh alat yang dirancang dengan nilai yang dikeluarkan oleh alat standar. Dalam penelitian ini akan dilakukan pengujian pada dua komponen yaitu pengujian pada sensor HCSR04 dengan cara mengukur ketinggian air yang dibaca oleh sensor HCSR04 dengan penggaris standar. Akan dilihat berapakah koreksi antara pembacaan oleh sensor HCSR04 dengan pembacaan yang dilakukan dengan mengukur ketinggian air dengan penggaris. 3.2 Metode Pengujian Pengujian terhadap ketinggian air yang didapat dari sensor HCSR04 dilakukan dengan metode perbandingan. Metode ini akan membandingkan nilai dari ketinggian air yang diukur oleh HCSR04 dengan ketinggian yang diukur oleh penggaris standart. Diharapkan hal ini akan mendapatkan data komparasi yang dapat dijadikan ajuan bahwa sensor HCSR 04 ini layak dan baik untuk digunakan dalam penelitian ini. Selain ketinggian air, akan dilakukan juga pengujian terhadap status LCD 16x2, yaitu dengan

102

cara melihat status yang keluar di LCD 16x2 dengan nilai yang diperoleh. Serta menguji alarm, LED dan sistem pengiriman SMS.

Gambar 7 Proses pengujian sensor HCSR04 3.3

Data Hasil Pengujian Data hasil komparasi nilai ketinggian dari sensor HCSR04 dengan ketinggian yang didapat dengan penggaris akan ditampilkan pada tabel 1 dibawah ini :

No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Tabel 2 Perbandingan jarak oleh sensor HCSR04 dengan Penggaris Ketinggian Air Ketinggian oleh penggaris 2 cm 2,2 cm 4 cm 4,2 cm 6 cm 6,2 cm 8 cm 8,2 cm 10 cm 10,2 cm 12 cm 12,2 cm 14 cm 14,2 cm 16 cm 16,2 cm 18 cm 18,2 cm

Untuk proses pengujian alarm dan LED dilakukan dengan menggerakkan penghalang terhadap sensor secara perlahan - lahan kemudian dilihat bagaimana kondisi dari alarm dan lampu LED.

103

No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Tabel 3 Pengujian kondisi alarm dan LED terhadap ketinggian air Ketinggian air Kondisi Alarm Kondisi Lampu LED 2 cm MATI MATI 4 cm MATI MATI 6 cm MATI MATI 8 cm MATI MATI 10 cm MATI MATI 12 cm MATI MATI 14 cm MATI MATI 16 cm HIDUP HIDUP 18 cm HIDUP HIDUP Tabel 4 Pengujian kondisi LCD terhadap ketinggian air No Ketinggian air Kondisi LCD 1. 2 cm tinggi_air=2 STATUS = AMAN 2. 4 cm tinggi_air=4 STATUS = AMAN 3. 6 cm tinggi_air=6 STATUS = AMAN 4. 8 cm tinggi_air=8 STATUS = AMAN 5. 10 cm tinggi_air=10 STATUS = WASPADA 6. 12 cm tinggi_air=12 STATUS = WASPADA 7. 14 cm tinggi_air=14 STATUS = WASPADA 8. 16 cm tinggi_air=16 STATUS = BAHAYA 9. 18 cm tinggi_air=18 STATUS = BAHAYA

Sedangkan untuk proses pengujian SMS dilakukan dengan menggerakkan penghalang terhadap sensor secara perlahan - lahan kemudian dilihat bagaimana kondisi dari pengiriman SMS terhadap ketinggian air. Sistem pengiriman SMS ini yaitu dengan mengirimkan warning berupa tulisan “BAHAYA, AIR MELEBIHI AMBANG BATAS AMAN” kepada nomor yang telah diinputkan dalam program yang dirancang Tabel 5 Pengujian kondisi SMS terhadap ketinggian air No

Ketinggian air

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

2 cm 4 cm 6 cm 8 cm 10 cm 12 cm 14 cm 16 cm 18 cm

Kondisi Kirim SMS Warning TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK KIRIM KIRIM

104

3.4

Hasil Analisis Melalui proses pengujian yang dilakukan terhadap sensor ultrasonik HCSR04 maka didapatkanlah sebuah hasil yang cukup baik. Hasil yang didapat dengan melihat data dari perbandingan ketinggian air dengan sensor HCSR04 dan Penggaris didapat sedikit perbedaan, yaitu 0,2 cm pada setiap set point yang diukur. Hal ini masih berada di batas wajar karena spesifikasi dari batas koreksi sensor HCSR04 masih memungkinkan untuk memiliki koreksi 0,2 cm. hal ini menunjukkan bahwa program yang digunakan dan dibuat untuk mengukur ketinggian air dengan sensor HCSR04 dapat berjalan dengan baik Hasil analisis yang didapat dari hasil komparasi sensor HCSR04 dengan penggaris standar dapat dilihat pada gambar grafik dibawah ini. Koreksi yang didapat masih dalam batas wajar dan normal yaitu masih berada dibawah 0.3 cm yang merupakan adalah resolusi terkecil dari spesifikasi sensor. Hal ini menunjukkan sensor HCSR04 yang digunakan dalam keadaan yang baik dan berfungsi dengan baik sehingga sensor tersebut dapat dan layak untuk digunakan dalam penelitian ini.

Pengujian Sensor HCSR04 20 15 10 5 0 1

2

3

4

Jarak sensor ke penghalang

5

6

7

8

9

Ketinggian oleh penggaris

Gambar 8 Garfik hasil pengujian sensor HCSR04 Proses pengujian kondisi alarm dan LED juga menunjukkan hal yang sangat baik yaitu dengan hidupnya alarm dan LED secara otomatis dan bersamaan ketika ketinggian air diatas 15 cm. Hal ini menunjukkan program yang dirancang untuk dapat membunyikan alarm dan menghidupkan lampu LED secara otomatis ketika ketinggian air melebihi 15 cm (ambang batas bahaya) telah beroperasi dengan baik tanpa ada kendala dan gangguan. Kemudian ketika ketinggian air telah surut atau menurun dibawah 15 cm makan alarm yang berbunyi dan LED yang menyala tadi akan mati secara otomatis. IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Setelah menyelesaikan penelitian ini, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :  Telah dibuat sebuah alat bernama “Sistem Peringatan Dini Bencana Banjir Berbasis SMS Gateway” yang berfungsi untuk melakukan pengukuran ketinggian dari sungai pada bendungan secara otomatis dan mengirim warning SMS jika bendungan telah melawati batas bahaya.  Alat dapat memonitoring ketinggian dan status bendungan sungai dengan menampilkannya pada LCD 16x2, dan akan membunyikan alarm dan menghidupkan LED Ketika batas air melebihi ambang batas bahaya.  Alat akan otomatis mengirim SMS dan membunyikan alarm ketika ketinggian air lebih dari 15 cm yaitu ambang batas bahaya 105

4.2 Saran Untuk pengembangan dan penyempurnaan alat lebih lanjut, diperlukan beberapa hal sebagai berikut :  Diperlukan pengembangan yang lebih lanjut terhadap alat baik di dalam hardware maupun software.  Pada Bagian Hardware dapat dikembangkan dengan penambahan parameter – penting lainnya seperti suhu dan jumlah sensor yang lebih banyak sehingga dapat mencakup seluruh daerah sungai-sungai dari hulu ke hilir. Serta dapat menambahkan tampilan yang lebih atraktif seperti running text sehingga semua orang mengetahui ketinggian air sungai pada bendungan agar dapat meminimalisir bencana banjir secara realtime dan interaktif.  Pada bagian software mungkin dapat dilakukan pengembangan seperti penambahan pada aplikasi android, sehingga dapat menjadi alat monitoring yang power full untuk monitoring ketinggian air sungai pada bendungan.

DAFTAR PUSTAKA [1] Arafat, Y., 2007, Konsep Sistem Peringatan Dini di Wilayah Bencana Banjir Sibalaya Kabupaten Donggala, Jurnal SMARTek, Vol 5, No 3, hal 166-173. [2] Girsang, Sika Irma. 2012. Perancangan Monitoring Jarak Jauh Ketinggian Air pada Bendungan Menggunakan Sistem Android Via Jaringan Wi-Fi, Jurusan Ekstensi Fisika Instrumentasi FMIPA USU, Medan [3] Arief, Mediaty Ulfah. 2011. Pengujian Sensor Ultrasonik PING untuk Pengukuran Level Ketinggian dan Volume Air. Teknik Elektro Fakultas UNNES, Semarang. [4] Ma’rifin Ardiansyah, Taufiqurrahman, Wahyoe Tjatur Sesulihatien, Firman Arifin. 2011. Sistem Informasi Bencana Banjir (Akusisi Data Multiple Sensor), the 13th Industrial Electronics Seminar 2011, Hal. 137-150 [5] Magusti, R., Suwito, Rivai, M., 2006, Sensor Kapasitif Untuk Mengukur Ketinggian Permukaan Air Laut Menggunakan Mikrokontroler, Jurusan Teknik Elektro FTI- ITS, Surabaya [6] Andrianto, Heri. 2008. Pemrograman Mikrokontroler AVR ATMega16, Informatika, Bandung. [7] Daryanto,2000. Pengetahuan Teknik Elektronika. Jakarta: Bumi Aksara [8] Fatma, Sensor Ultrasonik, http://elektronikadasar.info/sensor-ultrasonik.htm (diakses tanggal 9 Agustus 2017) [9] Suhendri Hendri, Arduino Uno, http://belajar-dasarpemrograman.blogspot.com/2013/03/arduino-uno.html (diakses tanggal 10 Agustus 2017)

106

ANALISIS HUBUNGAN HUJAN LEBAT PER TIGA JAM DENGAN SIRKULASI ANGIN HARIAN TAHUN 2000-2012 DI STASIUN METEOROLOGI POLONIA, KOTA MEDAN CORRELATION ANALYSIS OF THREE HOURLIES HEAVY RAIN WITH DAILY WIND CIRCULATION PERIOD 2000-2012 AT POLONIA METEOROLOGICAL STATION, MEDAN Qurrata A’yun Kartika1), Soetamto2) 1), 2) Jurusan Klimatologi, STMKG 1) email: [email protected] 2) email: [email protected] ABSTRAK Hujan lebat seringkali menimbulkan dampak yang sangat merugikan manusia seperti diantaranya tanah longsor, pohon tumbang, banjir, gagal panen dan lain sebagainya. Dampak ini tentunya sangat mengganggu aktivitas manusia seperti dalam bidang transportasi, ekonomi, politik bahkan keselamatan jiwa manusia. Secara geografis, Kota Medan berjarak 23 km dari pantai sehingga interaksi atmosfer di darat dan di laut memiliki peranan penting terhadap kejadian hujan lebat di Kota Medan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah akumulasi curah hujan menjadi per tiga jam dari data curah hujan jam-jaman dan menghitung frekuensi hujan lebat dengan akumulasi curah hujan lebih dari 20 mm dan curah hujan lebih dari 50 mm. Data angin yang digunakan merupakan data yang diperoleh dari sandi synop yang kemudian diklasifikasikan menjadi angin darat, angin laut dan angin transisi. Klasifikasi dilakukan berdasarkan teori peneterasi bahwa angin laut dapat masuk hingga 100 km ke wilayah daratan. Setelah itu, amati dan buat korelasi frekuensi angin dan hujan secara simultan dan lag. Hujan lebat di Kota Medan sering terjadi pada jam 16.00-22.00 waktu setempat dan sirkulasi angin laut paling sering terjadi pada pukul 16.00 waktu setempat. Berdasarkan analisis korelasi secara simultan, hujan lebat berkorelasi kuat positif dengan angin laut senilai 0,88 dan berkorelasi kuat negatif dengan angin calm senilai 0,84. Dengan demikian, hujan lebat di Kota Medan didominasi oleh angin laut. Kata Kunci: Hujan Lebat, Intensitas Hujan, Angin Laut, dan Angin Darat I.

PENDAHULUAN Hujan lebat adalah hujan dengan intensitas >20mm/jam atau >50mm/hari (BMKG, 2014). Kejadian hujan lebat seringkali disebabkan oleh pemanasan ataupun kondisi angin di daerah tersebut. Hujan lebat seringkali menimbulkan dampak seperti tanah longsor, pohon tumbang, banjir, gagal panen dan lain sebagainya. Hal ini tentunya sangat berdampak bagi aktivitas manusia seperti mengganggu kelancaran transportasi, ekonomi, politik bahkan mengganggu keselamatan jiwa manusia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Medan merupakan ibukota propinsi Sumatera Utara dengan kepadatan penduduk yang 8.001 jiwa/ km² pada tahun 2009. Dengan banyaknya jumlah penduduk ini, membuat kejadian cuaca yang ekstrim dapat mengganggu aktivitas penduduk setempat. Dengan demikian, diperlukan analisis serta pengkajian tekait waktu hujan lebat dan kondisi angin di Kota Medan sebagai langkah awal mengantisipasi kejadian buruk yang mungkin terjadi.

II. II.1

DASAR TEORI Tinjauan Pustaka Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi (mm) di atas permukaan horizontal dengan asumsi hujan jatuh di permukaan yang datar, tidak menguap, tidak meresap dan tidak mengalir. 107

Angin adalah gerak udara yang sejajar dengan permukaan bumi (Aldrian, 2008). Menurut Tjasyono (2008) angin mengakibatkan proses cuaca di permukaan bumi baik perubahan jam-jaman, harian maupun bulanan. Faktor yang mempengaruhi terjadinya angin ada 3 diantaranya: a. Gaya Gradien Tekanan Gaya gradien tekanan adalah gaya yang disebabkan perbedaan tekanan, sehingga terjadi aliran udara dari daerah yang tekanan udaranya tinggi ke daerah yang tekanan udaranya rendah. hal ini disebabkan energi matahari yang memanasi atmosfer secara tidak merata. b. Gaya Coriolis Gaya coriolis adalah gaya yang disebabkan oleh rotasi bumi, sehingga angin bergerak tidak memotong garis isobar secara langsung. c. Gaya Gesekan Gesekan dapat memperlambat objek bergerak. Gesekan secara signifikan mempengaruhi angin di dekat permukaan bumi, akan tetapi efeknya dapat diabaikan di atas ketinggian beberapa kilometer di atas permukaan bumi. Angin diberi nama sesuai dengan dari arah mana angin datang. 8 penjuru mata angin tersebut diantaranya sebagai berikut: Utara = 337,5º - 22,5 º Timur Laut = 22,5º - 67,5º Timur = 67,5º - 112,5º Tenggara = 112,5º - 157,5º Selatan = 157,5º - 202,5º Barat Daya = 202,5º - 247,5º Barat = 247,5º - 292,5º Barat Laut = 292,5º - 337,5º II.2

Landasan Teori Menurut BMKG, intentitas curah hujan dibagi menjadi 4 kategori, yaitu sebagai berikut: Tabel 1. Kategori Intensitas Curah Hujan Intensitas Kategori (mm/Jam) 1–5 Hujan ringan 5 – 10 Hujan sedang 10 – 20 Hujan lebat >20 Hujan sangat lebat

Selain itu, BMKG juga mendefinisikan hujan lebat ialah hujan dengan intensitas >50 mm/hari. Berdasarkan proses terjadinya, hujan dibedakan sebagai berikut: a. Hujan Konveksi Hujan Konvergen yaitu hujan yang sering terjadi karena arus konveksi. Hujan konveksi terjadi karena udara yang mengandung uap air bergerak naik secara vertikal (konveksi) karena pemanasan. Perbedaan pemanasan yang berbeda pada permukaan bumi (daratan dan lautan) juga merupakan penyebab utama pembentukan angin darat dan angin laut. Pada siang hari darat agak cepat panas jika ada radiasi matahari sedangkan permukaan air lebih dingin karena panas hilang pada lapisan air yang lebih tebal oleh turbulensi dan gelombang dan oleh penetrasi langsung dan absorpsi. Akibatnya, terjadi sel tekanan rendah di darat dan sel tekanan tinggi di atas laut sehingga angin dekat permukaan bumi berhembus dari laut ke darat, disebut angin laut (the sea breeze). Pada malam hari darat lebih cepat dingin akibat kehilangan radiasi gelombang panjang, sedangkan air karena inersia termalnya menjadi tetap panas dengan temperatur hampir sama dengan ketika siang hari sehingga pola tekanan harian berbalik dan terbentuk angin darat (the land breeze) karena udara darat relatif dingin bergerak ke area tekanan lebih rendah di atas laut. Kemudian angin-angin ini membentuk sirkulasi sebagai bentuk keseimbangan. 108

b. Hujan Konvergen Hujan konvergen yaitu hujan yang terjadi akibat adanya pengumpulan awan yang disebabkan oleh angin. c. Hujan Orografis Hujan orografis yaitu hujan yang terjadi di pegunungan. Di pegunungan terdapat peredaran angin lembah dan angin gunung (Wirjohamidjojo dan Swarinoto, 2010) II.3 Hipotesis a. Terdapat sirkulasi angin darat dan angin laut di Kota Medan. b. Hujan lebat terjadi pada jam-jam tertentu di Kota Medan dan hujan lebat tersebut berkaitan dengan sirkulasi angin darat dan laut di Kota Medan. III. METODE PENELITIAN III.1 Data a. Curah Hujan Hellman tiap 3 jam di Stasiun Meteorologi Polonia, Kota Medan pada tahun 20002012. b. Data Angin Synop di Stasiun Meteorologi Polonia, Kota Medan pada tahun 2000-2012 yang didownload di www.ogimet.com. III.2 Alat a. Microsoft Excel Aplikasi Microsoft Excel digunakan untuk pengolahan angka berupa mengurutkan, mensortir, perhitungan frekuensi dan lain-lain. b. WRPLOT Aplikasi WRPLOT digunakan untuk pembuatan Windrose. c. Google Earth Aplikasi Google Earth digunakan untuk mencari jarak antar lokasi dan arahnya. III.3 Metode a. Akumulasi Curah Hujan Data curah hujan Hellman (tiap jam) diubah dengan pengakumulasian selama 3 jam. Dengan ketentuan 07.00-10.00, 10.00-13.00, 13.00-16.00, 16.00-19.00, 19.00-22.00, 22.00-01.00, 01.0004.00, dan 04.00-07.00 waktu setempat. b. Frekuensi Frekuensi digunakan untuk menghitung banyak suatu kejadian terjadi, dalam hal ini ialah kejadian hujan lebat dan angin. c. Penyaringan (filter) Penyaringan digunakan kondisi hujan. d. Memisahkan data angin dari data synop e. Membuat Windrose f. Klasifikasi angin darat dan angin laut Klasifikasi angin darat dan angin laut dengan asumsi teori peneterasi. Untuk angin laut diasumsikan berasal dari arah sejauh 100km dari pantai, angin transisi didefinisikan 30º dari angin laut dan sisanya sebagai angin darat. g. Mengamati waktu kejadian angin laut, angin transisi, angin darat dan angin calm terhadap hujan lebat. h. Membuat frekuensi angin laut, angin darat, angin transisi dan angin calm, lalu buat korelasinya secara simultan dan lag

109

III.4 Diagram Alir Penelitian

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN IV.1 Waktu Hujan Lebat 150

Frekuensi CH>20mm

20

Frekuensi CH>50mm

100 10 50 0

0

CH>20mm

CH>50mm

Gambar 2. Frekuensi Hujan

110

Berdasarkan gambar 2. diketahui bahwa hujan lebat dengan Intensitas >20mm/3 jam paling sering terjadi pada pukul 16.00-19.00 waktu setempat dan hujan lebat dengan Intensitas 50 mm/3 jam paling sering terjadi pada pukul 19.00-22.00 waktu setempat. IV.2 Sirkulasi Angin Darat dan Laut di Kota Medan

Gambar 3. Windrose Tiap 3 Jam di Stasiun Meteorologi Polonia, Kota Medan Tahun 2000-2012 Berdasarkan gambar 3. Diketahui bahwa secara keseluruhan angin di Kota Medan didominasi oleh angin calm sebanyak 57,29% dan kemudian dari arah timur laut hampir mencapai 10%. Dengan menggunakan aplikasi Google Earth, kita dapat mengetahui radius 100km dari Stasiun Meteorologi Polonia, Kota Medan. Kemudian mengklasifikasikan arah angin sesuai dengan teori peneterasi, dimana angin laut dapat masuk ke daratan sejauh 100 km. Sehingga didapat klasifikasi angin seperti pada gambar 4.

Gambar 4. Klasifikasi Angin di Stasiun Meteorologi Polonia, Kota Medan Tahun 2000-2012

Jan

Feb

Mar

300

300

300

200

200

200

100

100

100

0

0 07 10 13 16 19 21 01 04

0 07 10 13 16 19 21 01 04

07 10 13 16 19 21 01 04

111

Apr

Mei

Jun

300

300

300

200

200

200

100

100

100

0

0 07 10 13 16 19 21 01 04

0 07 10 13 16 19 21 01 04

Jul

07 10 13 16 19 21 01 04

Agust

Sep

300

300

300

200

200

200

100

100

100

0

0 07 10 13 16 19 21 01 04

Okt

0 07 10 13 16 19 21 01 04

07 10 13 16 19 21 01 04

Nop

Des

300

300

300

200

200

200

100

100

100

0

0 07 10 13 16 19 21 01 04

0 07 10 13 16 19 21 01 04

07 10 13 16 19 21 01 04

Gambar 5. Profil Frekuensi Angin Laut Per Tiga Jam Bulanan di Stasiun Meteorologi Polonia, Kota Medan Tahun 2000-2012 Berdasarkan gambar 5. Diketahui bahwa hampir sepanjang tahun di Kota Medan Angin laut pada jam 07.00 waktu setempat sangat jarang terjadi dan kemudian meningkat hingga pukul 16.00 waktu setempat kemudian berkurang, dan terjadi penurunan angin laut yang drastis antara pukul 19.00-21.00 waktu setempat. Dari ketiga grafik tersebut frekuensi angin paling sering terjadi pada bulan maret pukul 16.00 waktu setempat.

Jan

Feb

Mar

150

150

150

100

100

100

50

50

50

0

0 07 10 13 16 19 21 01 04

0 07 10 13 16 19 21 01 04

07 10 13 16 19 21 01 04

112

Apr

Mei

Jun

150

150

150

100

100

100

50

50

50

0

0 07 10 13 16 19 21 01 04

0 07 10 13 16 19 21 01 04

Jul

07 10 13 16 19 21 01 04

Agust

Sep

150

150

150

100

100

100

50

50

50

0

0 07 10 13 16 19 21 01 04

Okt

0 07 10 13 16 19 21 01 04

07 10 13 16 19 21 01 04

Nop

Des

150

150

150

100

100

100

50

50

50

0

0 07 10 13 16 19 21 01 04

0 07 10 13 16 19 21 01 04

07 10 13 16 19 21 01 04

Gambar 6. Grafik Profil Frekuensi Angin Darat Pertiga Jam Bulanan di Stasiun Meteorologi Polonia, Kota Medan Tahun 2000-2012 Berdasarkan gambar 6. diketahui profil angin darat bulanan yang menunjukkan pola yang mirip, yaitu kenaikan frekuensi angin darat sebanyak dua kali. Angin darat pada jam 07.00 waktu setempat tidak terlalu sering terjadi dan kemudian meningkat hingga pada pukul 10.00 dan 13.00 waktu setempat kemudian berkurang antara pukul 13.00-16.00 waktu setempat, lalu meningkat lagi antara pukul 16.00-21.00 waktu setempat, dan terjadi penurunan angin darat lagi antara pukul 21.0004.00 waktu setempat.

100

Jan

50

100

Feb

50

0

Mar

50

0 07 10 13 16 19 21 01 04

100

0 07 10 13 16 19 21 01 04

07 10 13 16 19 21 01 04

113

100

Apr

50

100

50

0

Jul

50

100

100

Agust

Okt

50

100

100

Nop

07 10 13 16 19 21 01 04

100

Des

50

0 07 10 13 16 19 21 01 04

Sep

0 07 10 13 16 19 21 01 04

50

0

07 10 13 16 19 21 01 04

50

0 07 10 13 16 19 21 01 04

Jun

0 07 10 13 16 19 21 01 04

50

0

100

50

0 07 10 13 16 19 21 01 04

100

Mei

0 07 10 13 16 19 21 01 04

07 10 13 16 19 21 01 04

Gambar 7. Grafik Frekuensi Angin Transisi 1 per Tiga Jam Bulanan di Stasiun Meteorologi Polonia, Kota Medan Tahun 2000-2012 Berdasarkan gambar 7. diketahui profil angin transisi 1 menunjukkan pola yang hampir sama sepanjang tahun. Angin transisi 1 sangat jarang terjadi pada jam 07.00 waktu setempat dan kemudian meningkat secara tajam pada jam 10.00 atau pukul 13.00 waktu setempat, kemudian berkurang pada waktu berikutnya.

80

Jan

80

Feb

80

60

60

60

40

40

40

20

20

20

0

0 07 10 13 16 19 21 01 04

Mar

0 07 10 13 16 19 21 01 04

07 10 13 16 19 21 01 04

114

80

Apr

80

Mei

80

60

60

60

40

40

40

20

20

20

0

0 07 10 13 16 19 21 01 04

80

Jul

0 07 10 13 16 19 21 01 04

80

Agust

07 10 13 16 19 21 01 04

80

60

60

60

40

40

40

20

20

20

0

0 07 10 13 16 19 21 01 04

80

Okt

Nop

07 10 13 16 19 21 01 04

80

60

60

60

40

40

40

20

20

20

0

0 07 10 13 16 19 21 01 04

Sep

0 07 10 13 16 19 21 01 04

80

Jun

Des

0 07 10 13 16 19 21 01 04

07 10 13 16 19 21 01 04

Gambar 8. Grafik Frekuensi Angin Transisi 2 per Tiga Jam Bulanan di Stasiun Meteorologi Polonia, Kota Medan Tahun 2000-2012 Berdasarkan gambar 8. diketahui profil angin transisi 2 bulan Oktober-Desember yang menunjukkan pola yang sama selama tiga bulan secara umum. Angin transisi 2 sangat jarang terjadi pada jam 07.00 waktu setempat dan kemudian meningkat secara tajam pada jam 10.00 waktu setempat, kemudian meningkat hingga pukul 13.00 waktu setempat dan berkurang pada waktu selanjutnya

400

Jan

400

Feb

400

300

300

300

200

200

200

100

100

100

0

0 07 10 13 16 19 21 01 04

Mar

0 07 10 13 16 19 21 01 04

07 10 13 16 19 21 01 04

115

400

Apr

400

Mei

400

300

300

300

200

200

200

100

100

100

0

0 07 10 13 16 19 21 01 04

400

Jul

0 07 10 13 16 19 21 01 04

400

Agust

07 10 13 16 19 21 01 04

400

300

300

300

200

200

200

100

100

100

0

0 07 10 13 16 19 21 01 04

400

Okt

Nop

07 10 13 16 19 21 01 04

400

300

300

300

200

200

200

100

100

100

0

0 07 10 13 16 19 21 01 04

Sep

0 07 10 13 16 19 21 01 04

400

Jun

Des

0 07 10 13 16 19 21 01 04

07 10 13 16 19 21 01 04

Gambar 9. Grafik Profil Frekuensi Angin Calm Per Tiga Jam di Stasiun Meteorologi Polonia, Kota Medan Tahun 2000-2012 Berdasarkan gambar 9. diketahui profil angin calm bulanan yang menunjukkan pola yang hampir selama tiga bulan. Angin calm pada jam 07.00 waktu setempat sangat sering terjadi dan kemudian menurun hingga pada pukul 16.00 waktu setempat lalu meningkat lagi hingga pukul 07.00 waktu setempat.

116

CH>20mm

CH>20mm

CH>50mm

CH>50mm

CH>20mm

CH>50mm

Angin Transisi

140 120 100 80 60 40 20 0

7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0

07-10 10-13 13-16 16-19 19-22 22-01 01-04 04-07

Frekuensi Hujan

Frekuensi Angin

7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0

07-10 10-13 13-16 16-19 19-22 22-01 01-04 04-07

140 120 100 80 60 40 20 0

Frekuensi Angin

Angin Darat

Angin Laut

Frekuensi Hujan

7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0

Frekuensi Angin

140 120 100 80 60 40 20 0

07-10 10-13 13-16 16-19 19-22 22-01 01-04 04-07

Frekuensi Hujan

7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0

Frekuensi Angin

140 120 100 80 60 40 20 0

07-10 10-13 13-16 16-19 19-22 22-01 01-04 04-07

Frekuensi Hujan

IV.3 Analisa Hubungan Hujan Lebat dengan Angin darat dan Angin Laut

CH>20mm

CH>50mm

Calm

Gambar 10. Frekuensi Angin Laut dan Hujan Lebat Berdasarkan gambar 10. Diketahui bahwa hujan lebat memiliki pola yang sangat mirip dengan angin laut dan memiliki nilai korelasi 0,88 hingga 0,89, akan tetapi tidak demikian dengan angin darat yang polanya cukup berbeda dengan frekuensi hujan lebat yang ditunjukkan dengan nilai korelasi 0,27 hingga 0,29, demikian juga dengan angin transisi dengan nilai korelasi 0,32 hingga 0,40, namun demikian terdapat pola yang berkebalikan dengan angin calm yang ditunjukkan oleh nilai korelasi negatif 0,87 hingga 0,84.

Gambar 11. Frekuensi Curah Hujan dan Vektor Arah Angin Terbanyak

117

Berdasarkan gambar 11. diketahui bahwa angin laut mulai dan sering muncul pada pukul 13.00-21.00 waktu setempat. Hal ini sejalan dengan frekuensi hujan lebat yang terus meningkat dari pukul 07.0-10.00 waktu setempat hingga pukul 16.00 waktu setempat (untuk curah hujan >20 mm) dan 19.00 waktu setempat (untuk curah hujan >50 mm) dan kemudian berkurang hingga pukul 04.0007.00 waktu setempat. V.

KESIMPULAN 1. Hujan lebat dengan intensitas >20 mm pertiga jam paling sering terjadi pada pukul 16.00-18.00 waktu setempat dan hujan lebat dengan intensitas >50 mm per tiga jam paling sering terjadi pada pukul 19.00-21.00 waktu setempat. 2. Terdapat pola sirkulasi angin laut dan darat sepanjang hari. Angin laut paling sering terjadi pada pukul 16.00 waktu setempat sepanjang tahun. Angin transisi paling sering terjadi pada pukul 10.00-13.00 waktu setempat sepanjang tahun. Angin darat umumnya terjadi dua kali sehari akan tetapi bervariasi pada tiap bulannya yaitu pada bulan januari, februari, april, juni, juli, agustus dan september paling sering terjadi pukul 10.00 waktu setempat dan pada bulan maret, mei, september, oktober dan november paling sering terjadi pada pukul 22.00 waktu setempat. Sedangkan angin calm yang sering terjadi pada pukul 04.00-07.00 waktu setempat sepanjang tahun. 3. Kondisi angin memiliki pengaruh yang cukup besar dengan kejadian hujan lebat. Hal ini ditandai dengan nilai korelasi yang tinggi dan bertanda positif antara frekuensi hujan lebat dengan angin laut yaitu sebesar 0,88 sampai dengan 0,89. Akan tetapi frekuensi hujan lebat berkebalikan dengan kondisi angin calm yang ditandai dengan nilai korelasi yang tinggi namun bertanda negatif yaitu antara sebesar 0,87 sampai dengan 0,84. Daftar Pustaka DPR of Korea. 2012, Member Report. Lutfi, A., 2014, Prediksi Sifat Hujan Bulanan Menggunakan Metode Regresi Logistik Multinomial di Propinsi Jawa Timur, STMKG, Tangerang Selatan. Lutgens, Frederick K., dan Edward J. T., 2010, The Atmosphere: Introduction to Meteorology, 1st Edition, Pearson Education, USA. Pidwirny, M., 2006, “Local and Regional Wind Systems”, Fundamental of Physical Geography, 2nd Edition, Physical Geography. Suyatim, 2011, Meteorologi Dinamis I, AMG, Jakarta. Tjasyono, B. H. K., 2008, Sains Atmosfer, BMKG, Jakarta Wirjohamidjojo, S., dan Swarinoto, Y. S., 2010, Iklim Kawasan Indonesia, BMKG, Jakarta. Daftar Pustaka dari Internet: http://www.weblakes.com/products/ wrplot/ diakses pada 21 Januari 2015. https://www.academia.edu/4276273/PEMANFAATAN_APLIKASI_GEOWEB_UNTUK_INTELIJE N_MILITER_word_2010 diakses pada 31 Mei 2015. http://www.ux1.eiu.edu/~cfjps/1400/pressure_wind.html diakses tanggal 4 Februari 2015. http://www.pemkomedan.go.id/selayang_kependudukan.php diakses tanggal 31 Mei 2015 http://www.geography.hunter.cuny.edu/~tbw/wc.notes/ diakses 2015 http://digilib.unila.ac.id/3733/14/BAB%20II.pdf diakses tanggal 21 Januari 2015 http://www.bmkg.go.id/bmkg_pusat/Meteorologi/Citra_Radar.bmkg diakses 2015 http://www.cuacajateng.com/ prosesterjadinyahujan.htm, diakses tanggal 15 Februari 2015

118

Pemetaan Zona Upwelling Berdasarkan Pola Kejadian Monsun untuk Memaksimalkan Daerah Penangkapan Ikan di Indonesia Rizki Fadhillah Pratama Putra Stasiun Meteorologi Maritim Belawan Medan Email : [email protected]

Abstrak Iklim di Indonesia secara umum dipengaruhi oleh kondisi monsun yaitu monsun Asia dan monsun Australia. Indonesia merupakan negara maritim yang sebagian besar wilayahnya didominasi oleh perairan. Hal ini mengakibatkan wilayah perairan memiliki peranan penting dalam hal ketahanan pangan, pertumbuhan ekonomi dan kelancaran transportasi. Monsun secara luas memberikan dampak pada kondisi perairan di Indonesia seperti gelombang, arus, upwelling, downwelling dan lain-lain. Salah satu fenomena yang diakibatkan oleh monsun adalah fenomena upwelling. Fenomena upwelling adalah fenomena dimana massa air laut yang bersuhu lebih dingin dan bermassa jenis lebih besar dari dasar laut bergerak ke permukaan akibat pergerakan angin di atasnya. Pergerakan ini umumnya membawa nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan fitoplankton di dekat permukaan laut sehingga menjadi sumber makanan ikan di lautan. Pada kawasan upwelling dapat dijadikan penanda sebagai suatu daerah yang memiliki potensi ikan. Pemetaan zona upwelling dilakukan menggunakan model aplikasi gelombang generasi dua WINDWAVE-05 menggunakan input data angin sebagai gaya pembangkitnya yang disesuaikan dengan nilai monsun indeks maka, dapat diketahui daerah mana yang merupakan daerah upwelling dan berpotensi sebagai daerah potensial penangkapan ikan. Pemetaan zona upwelling juga di sesuaikan dengan monsun yang sedang terjadi sehingga, dapat membantu meningkatkan dan memaksimalkan penangkapan ikan. Dengan mengkarakteristikan kondisi upwelling pada laut Indonesia di tiap kejadian monsun dapat digunakan sebagai acuan untuk memetakan zona upwelling. Kata Kunci : Monsun Asia-Australia, Upwelling, WINDWAVE-05

119

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah perairan Indonesia dengan luas dua pertiga dari seluruh luas Indonesia memiliki peranan penting dalam hal ketahanan pangan, pertumbuhan ekonomi dan kelancaran transportasi. Iklim di Indonesia secara umum dipengaruhi oleh kondisi monsun yaitu monsun Asia yang menandakan musim penghujan dan monsun Australia yang menandakan musim kemarau. Monsun memberikan dampak pada kondisi gelombang, arus, upwelling, downwelling dan fenomena cuaca laut lainnya. Fenomena upwelling memiliki keterkaitan kuat dengan daerah penangkapan ikan. Hal tersebut dikarenakan fenomena upwelling mengangkat nutrient yang terkandung di dasar laut ke atas permukaan laut dimana nutrient adalah sumber pangan utama ikan. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan pemetaan kondisi upwelling berdasarkan kondisi monsun yang terjadi. Pemetaan zona upwelling dilakukan menggunakan model aplikasi gelombang generasi kedua WINDWAVE-05 menggunakan input data angin sebagai gaya pembangkitnya yang disesuaikan dengan nilai monsun indeks sehingga dapat diketahui daerah mana yang merupakan daerah upwelling dan berpotensi sebagai daerah potensial penangkapan ikan. Pemetaan zona upwelling juga di sesuaikan dengan monsun yang sedang terjadi sehingga, dapat membantu meningkatkan dan memaksimalkan penangkapan ikan sesuai dengan jenis musim. Pemetaan zona upwelling disesuaikan dengan daerah region tangkapan ikan yang sudah ada di Indonesia. Dengan mengetahui kondisi tersebut, diharapkan dapat memaksimalkan jumlah tangkapan ikan yang berdampak pada peningkatan kualitas ekonomi dan ketahanan pangan.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian mengenai pemetaan zona upwelling berdasarkan pola kejadian monsun untuk memaksimal daerah penangkapan ikan di Indonesia, penulis menemukan beberapa rumusan masalah yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan penelitian. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian kali ini adalah sebagai berikut : 1. 2. 3.

Bagaimana model WINDWAVE-05 menyimulasikan kondisi upwelling di Indonesia ? Bagaimana kondisi upwelling di Indonesia pada saat monsun Asia dan monsun Australia ? Bagaimana kondisi nutrient di tiap region tangkapan ikan ketika terjadi monsun Asia dan monsun Australia ?

1.3 Tujuan dan Manfaat penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui kondisi upwelling hasil simulasi model WINDWAVE-05. 2. Mengetahui bagaimana kondisi upwelling di Indonesia pada saat monsun Australia. 3. Mengetahui kondisi nutrient di tiap region tangkapan ikan ketika terjadi monsun Asia dan monsun Australia. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Akademis Penulis berharap dapat memberikan pemahaman dan pengetahuan yang lebih baik dalam hal analisis upwelling pada tiap kejadian monsun. Selain itu, penulis berharap penelitian ini mampu memberikan wawasan mengenai perubahan kondisi musim dengan perubahan daerah tangkapan ikan yang mengandung nutrient. 2. Manfaat Praktis 120

Penulis berharap dapat memberikan informasi yang dapat digunakan oleh nelayan mengenai daerah potensial penangkapan ikan di tiap kejadian musim yang berbeda. Agar nantinya dapat meningkatkan kualitas ekonomi dan ketahanan pangan di bidang perikanan.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Tangkapan Ikan (Fishing Ground) Daerah tangkapan ikan (Fishing Ground) adalah suatu daerah perairan dimana ikan yang menjadi sasaran penangkapan tertangkap dalam jumlah yang maksimal dan alat tangkap dapat dioperasikan secara teknis serta ekonomis. Secara luas daerah penangkapan ikan diartikan sebagai daerah yang digunakan untuk menentukan keberadaan ikan di suatu perairan laut. Pengetahuan fishing ground merupakan langkah awal dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya ikan yaitu untuk mengetahui dengan jelas batas wilayah dimana sumberdaya ikan yang diatur berada. Adapun karakteristik dari daerah penangkapan ikan adalah sebagai berikut : a. Daerah tersebut harus memiliki kondisi dimana ikan dengan mudahnya datang bersama-sama dalam kelompoknya, dan tempat yang baik untuk dijadikan habitat ikan tersebut. b. Daerah tersebut harus merupakan tempat dimana mudah menggunakan peralatan penangkapan ikan bagi nelayan. c. Daerah tersebut harus terletak di daerah yang bernilai ekonomis.

Gambar 1. Daerah Potensial Fishing Ground di Indonesia Sumber : www.google.com

2.2 Upwelling Penelitian mengenai upwelling telah dilakukan oleh Ihsan (2013). Dimana upwelling didefinisikan sebagai pergerakan massa air ke atas permukaan laut yang banyak membawa unsur hara dan memiliki tingkat kesuburan primer yang tinggi. Wilayah perairan laut yang terjadi upwelling merupakan fishing ground yang sangat potensial karena kaya akan zat-zat hara dan nutrient. Upwelling telah banyak dikaji oleh para peneliti untuk mengetahui proses terjadi dan akibat yang ditimbulkan olehnya. Menurut Bowden (1983) upwelling variasi musiman upwelling terjadi berhubungan dengan kekuatan angin. Secara umum, upwelling dapat mengakibatkan konsentrasi nutrient (nitrit, phospat dan silikat) lebih tinggi dibandingkan air permukaan yang nutriennya telah berkurang oleh pertumbuhan fitoplankton. Wilayah upwelling biasanya menandakan wilayah yang memiliki jumlah ikan yang banyak dikarenakan sumber makanan ikan tersebut berkumpul di daerah upwelling. 121

Menurut Sunarto (2008) upwelling adalah proses menaiknya massa air dari bagian yang lebih dalam ke bagian permukaan laut sebagai akibat terbetuknya gradien tekanan. Upwelling hanya terjadi pada bagian-bagian tertetu dari wilayah laut. Upwelling mengangkat massa air yang umumnya relatif subur dibandingkan dengan massa air di bagian permukaan. Unsur hara yang muncul akibat proses upwelling menjadi sumber nutrisi bagi produser primer di laut yang selanjutnya akan menjadi sumber energi bagi seluruh konsumer termasuk ikan yang terlibat dalam proses produksi di laut. Sebagian besar daerah penangkapan ikan utama dunia merupakan daerah subur sebagai akibat upwelling.

Gambar 2. Proses Upwelling di Laut Sumber : www.google.com

2.3 Sistem Monsun Monsun merupakan sistem sirkulasi regional yang mempunyai variasi musiman, dengan adanya gerak semu matahari terhadap bumi secara periodik di belahan bumi utara dan selatan menyebabkan angin di wilayah Indonesia sangat dipengaruhi oleh adanya perbedaan daerah tekanan tinggi dan daerah tekanan rendah di benua Asia dan Australia secara bergantian. Wilayah Monsun ditandai oleh pembalikan musiman sistem angin utama (Tjasyono, 2008) dengan wilayah sirkulasi permukaan di bulan Januari dan Juli pada kondisi sebagai berikut (Zakir dkk, 2010) : a. Arah angin kebanyakan (prevailing wind) berubah setidaknya 1200 antara Januari dan Juli. b. Rata-rata frekuensi arah angin kebanyakan pada bulan Januari dan Juli mencapai 40%. c. Angin resultan rata-rata yang terjadi minimum pada satu bulan mencapai 3 m/s. d. Setiap 2 (dua) tahun terjadi kurang dari satu kali perubahan siklon-antisiklon di bulan manapun dalam wilayah selebar 50 lintang-bujur. . Monsun mempengaruhi kondisi suhu permukaan laut (SST), variasi gelombang, upwelling, kondisi angin yang berdampak pada sebaran ikan.

Gambar 3. Rata-Rata Angin Bulanan (kiri) monsun Asia, (kanan) monsun Australia

122

2.4 WINDWAVE-05 WINDWAVE-05 adalah aplikasi wave model generasi ke-2 yang dikembangkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika dengan menggunakan input data arah dan kecepatan angin dalam bentuk data grib dapat dihasilkan beberapa produk seperti total wave, significant wave, maximum wave, upwelling, arus dan prakiraan gelombang dengan maksimal waktu prakiraan 7 hari. Selain itu, juga dapat dilakukan analisa harian dan bulanan.

Gambar 4. Tampilan Model Gelombang WINDWAVE-05

III. METODE PENULISAN DAN PENELITIAN 3.1 Data Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Data yang digunakan adalah data grib yang merupakan data arah dan kecepatan angin yang bersumber dari web maritim.bmkg.go.id/grib. Kemudian menggunakan data monsoon index Webster - Yang, agar didapat nilai normalnya. b. Klorofil-a, sebagai data acuan sebaran nutrient menggunakan data satelit MODIS

3.2 Teknik Pengolahan Data a.

b. c. d.

Teknik pengolahan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Konfigurasi model, yaitu menetapkan domain penelitian yang akan diteliti menggunakan model gelombang WINDWAVE-05. Domain yang digunakan adalah domain dengan koordinat Indonesia. Parameterisasi gelombang, yaitu pemilihan parameter jenis fenomena yang akan diteliti. Fenomena yang dipilih yaitu upwelling. Penyesuaiaan kondisi angin menggunakan monsun indeks. Pemetaan kondisi angin dan kondisi upwelling.

123

3.3 Diagram Alir penelitian Mulai

Data Grib Angin

Monsun Indeks

Data Klorofil-a

WINDWAVE-05

Arah Angin Monsun Asia

Arah Angin Monsun Australia

Upwelling saat Monsun Asia

Upwelling saat Monsun Australia

Verifikasi

Analisis

Kesimpulan

Selesai

Gambar 5. Diagram Alir Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Upwelling Monsun Asia (Musim Penghujan) Berdasarkan hasil pengolahan menggunakan model gelombang WINDWAVE-05 maka, didapatkan kondisi upwelling pada saat monsun Asia (musim penghujan) seperti gambar dibawah ini :

Gambar 6. Kondisi Upwelling Saat Monsun Asia (Musim Penghujan)

Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa indeks warna merah pada peta mengindikasikan fenomena upwelling. Pada saat kejadian monsun Asia (musim penghujan) daerah 124

Indonesia yang memiliki potensi upwelling yang cukup besar dominan berada di wilayah perairan bagian selatan Indonesia.

Gambar 7. Kondisi klorofil-a Saat Monsun Asia (Musim Penghujan)

Berdasarkan analisis nilai klorofil-a yang dikeluarkan oleh satelit MODIS terlihat sebaran klorofil-a dominan berada di perairan sebelah selatan Indonesia. Bulan yang dipilih adalah Desember, Januari, dan Februari karena pada saat itu angin monsun Asia berada dalam intensitas kuat. Berikut adalah grafik yang menunjukkan daerah potensial penangkapan ikan pada saat kejadian monsun Asia :

Gambar 8. Daerah Fishing Ground Indonesia

125

Gambar 9. Nilai Klorofil Periode Monsun Asia

Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui daerah yang memiliki potensi tangkapan ikan pada saat periode monsun Asia adalah daerah III, VIA, VIB, VIIC, IXC2, IXD1,IXD2. Daerah upwelling pada saat periode monsun Asia terdapat paling dominan di wilayah perairan sebelah selatan Indonesia. Hal ini terjadi karena pada saat fenomena monsun Asia matahari berada di sebelah selatan Indonesia sehingga perairan sebelah utara defisit radiasi matahari yang mengakibatkan suhu permukaannya menurun. Pergerakan upwelling terjadi apabila suhu permukaan laut lebih tinggi dibanding suhu di dalam laut sehingga sulit terjadi upwelling namun sebaliknya yang terjadi adalah downwelling. Namun, pada wilayah perairan selatan Indonesia mengalami surplus radiasi matahari sehingga suhu permukaan lebih tinggi daripada suhu di dalam laut yang mengakibatkan arus bergerak ke atas permukaan. Hal ini lah yang mengakibatkan fenomena upwelling lebih giat di wilayah perairan bagian selatan Indonesia.

4.1 Kondisi Upwelling Monsun Australia (Musim Kemarau) Berdasarkan hasil pengolahan menggunakan model gelombang WINDWAVE-05 maka, didapatkan kondisi upwelling pada saat monsun Australia (musim kemarau) seperti gambar dibawah ini :

Gambar 10. Kondisi Upwelling Saat Monsun Australia (Musim Kemarau)

Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa indeks warna merah pada peta mengindikasikan fenomena upwelling. Pada saat kejadian monsun Australia (musim Kemarau) daerah Indonesia yang memiliki potensi upwelling yang cukup besar dominan berada di wilayah perairan bagian utara Indonesia.

126

Gambar 11. Kondisi klorofil-a Saat Monsun Australia (Musim Kemarau)

Berdasarkan analisis nilai klorofil-a yang dikeluarkan oleh satelit MODIS terlihat sebaran klorofil-a dominan berada di perairan sebelah utara Indonesia. Bulan yang dipilih adalah Juni, Juli, Agustus karena pada saat itu monsun Australia berada dalam intensitas kuat. Berikut adalah grafik yang menunjukkan daerah potensial penangkapan ikan pada saat kejadian monsun Australia :

Gambar 12. Nilai Klorofil Periode Monsun Australia

Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui daerah yang memiliki potensi tangkapan ikan pada saat periode monsun Australia adalah daerah IIB, IIC, IIIA, VIIA, VIIB, VIIIA, VIIIB, VIIC, VIIID. Daerah upwelling pada saat periode monsun Australia terdapat paling dominan di wilayah perairan sebelah utara Indonesia. Hal ini terjadi karena pada saat fenomena monsun Australia matahari berada di sebelah utara Indonesia sehingga perairan sebelah selatan terjadi pengurangan radiasi matahari yang mengakibatkan suhu permukaannya menurun. Pergerakan upwelling terjadi apabila suhu permukaan laut lebih tinggi dibanding suhu di dalam laut sehingga sulit terjadi upwelling namun sebaliknya yang 127

terjadi adalah downwelling. Namun, pada wilayah perairan utara Indonesia mendapatkan radiasi matahari lebih banyak sehingga suhu permukaan lebih tinggi daripada suhu di dalam laut yang mengakibatkan arus bergerak ke atas permukaan. Hal ini lah yang mengakibatkan fenomena upwelling lebih giat di wilayah perairan bagian utara Indonesia.

V. PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil simulasi upwelling menggunakan model WINDWAVE-05 cukup baik dimana hal ini ditandai dengan adanya nilai yang berkesesuaian antara nilai klorofil-a hasil observasi MODIS dengan kondisi upwelling hasil simulasi model WINDWAVE-05. 2. Pada saat monsun Asia fenomena upwelling lebih dominan terjadi di wilayah perairan bagian selatan Indonesia sedangkan, pada saat monsun Australia fenomena upwelling lebih dominan terjadi di wilayah perairan bagian utara Indonesia. 3. Kondisi nutrient pada saat monsun Asia dominan terdapat di wilayah perairan bagian selatan Indonesia sedangkan, kondisi nutrient pada saat monsun Asia dominan terdapat di wilayah perairan bagian utara Indonesia.

5.2 Saran Berdasarkan analisis dan pembahasan diatas maka dapat diberikan saran sebagai berikut: 1. Hasil simulasi upwelling menggunakan model WINDWAVE-05 dapat dikaitkan dengan fluktuasi nilai SST (Sea Surface Temperature) sehingga perhitungan upwelling lebih akurat. 2. Fenomena upwelling dapat dikaji dalam waktu yang lebih panjang sehingga dapat dilakukan prediksi untuk memudahkan penangkapan ikan berdasarkan pola perubahan iklim.

128

DAFTAR PUSTAKA Bayong, Tj. HK. 2008. Meteorologi Terapan. Bandung : Institut Teknologi Bandung. Bowden, K. F. 1963. Physical Oceanography of Coastal Waters. Chichesfer : Ellis Horwood Limited Publisher. Ihsan. 2013. Pemodelan Konseptual Upwelling Terhadap Target Spesies Ikan dan Teknologi Penangkapan Ikan. http://ptmadanimultikreasi.com. [29 Agustus 2016]. Sunarto. 2008. Peranan Upwelling Terhadap Pembentukan Daerah Penangkapan Ikan. Bandung : Universitas Padadjaran. Zakir, A. 2010. Materi Diklat Meteorologi. Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

129

cxxx

PERANCANGAN DAN PEMBUATAN MAGNETOMETER DIGITAL DENGAN SENSOR MAGNET HMC5883L BERBASIS WEB Rizky Ananda Putra1) 1) Staf Sub Bidang INSKAL Balai Besar MKG Wilayah I Medan Email : [email protected] ABSTRAK Pengamatan medan magnet di BMKG khususnya bidang geofisika bertujuan untuk kepentingan survey magnet dan mengetahui peta perubahan variasi medan magnet bumi. Untuk itu diperlukan alat pemantau medan magnet yang dapat bekerja secara otomatis merekam data pembacaan medan magnet untuk mempermudah pengamatan dan pengukuran medan magnet bumi. Pada penelitian ini, penulis merancang dan membuat sebuah magnetometer digital berbasis web. Instrumen ini terdiri atas perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras terdiri atas modul sensor HMC5883L, LM35, RTC DS1307, GPS, minimum sistem, I/O level converter, AVR ATmega16, PC dan LCD 20x4 untuk menampilkan data hasil pengukuran. Perangkat lunak terdiri dari CodeVision AVR yang diprogram menggunakan bahasa C dan LabVIEW. Alat magnetometer hasil rancangan ini telah dikomparasi dengan magnetometer digital operasional yang telah dikalibrasi di Stasiun Geofisika Tangerang dengan hasil dapat mengukur arah dan besar medan magnet berupa keluaran variasi dari komponen X,Y dan Z dengan range -21.500 nT sampai 40.000 nT sesuai dengan kondisi kemagnetan di Stasiun Geofisika Tangerang, dimana data hasil pembacaan dari alat akan ditampilkan dan disimpan pada PC secara real time menggunakan aplikasi LabVIEW serta ditampilkan dalam bentuk web pada jaringan lokal sehingga dapat diakses oleh siapa saja dengan mudah oleh pengguna yang terhubung dengan jaringan lokal pada PC server tersebut. Kata kunci : Magnetometer, sensor HMC5883L, LCD 20x4, Mikrokontroler ATmega16, LabVIEW. I.

PENDAHULUAN Medan magnet adalah salah satu besaran fisis yang sangat penting dan digunakan dalam berbagai bidang, misalnya dalam bidang geofisika, geologi, serta dalam berbagai bidang lainnya. Di BMKG khususnya bidang geofisika, pengamatan medan magnet bumi dilakukan untuk mengetahui peta variasi magnet bumi dan memetakan perubahannya dalam kurun waktu 5 tahun. Pemetaan medan magnet merupakan hasil dari penggambaran medan magnet dalam ruang. Pada saat ini Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melakukan pengamatan fenomena kemagnetan bumi di 6 stasiun, yaitu di stasiun Geofisika Tangerang (1964), stasiun Geofisika Tuntungan, Medan (1980), dan stasiun Geofisika Manado di Tondano (1990). Sedangkan 3 stasiun lainnya baru mulai operasi akhir tahun 2006, yaitu di Stasiun Geofisika Kupang, Stasiun Geofisika Jayapura dan dan Stasiun Geofisika Bandung di Pelabuhan Ratu. Selain melakukan pengamatan magnet bumi secara stasioner, BMKG juga melakukan pengamatan magnet bumi secara berkala di titiktitik tertentu yang disebut sebagai repeat stations, setiap 5 (lima) tahun sekali. Jumlah repeat station saat ini ada 53 titik. Peta medan magnet digunakan dalam eksplorasi geologi karena variasi dalam besar dan arah medan magnet bumi memberikan gambaran dari permukaan bumi bagian dalam. Peta medan magnet dibuat dengan mengukur pola medan magnet di sekitar permukaan bumi menggunakan sensor medan magnetik. Untuk berbagai keperluan pemantauan dan penelitian yang berkaitan dengan medan magnet, dibutuhkan sebuah instrumen pengukur medan magnet yang akurat dan memiliki banyak kelebihan baikpada sisi kepraktisan, efisiensi, dimensi, catu daya yang 130

rendah dan pencatatan nilai arah medan magnet secara realtime. Dalam penulisan ini, instrumen pengukur medan magnet tersebut akan diaplikasikan dalam pengukuran arah dan besar medan magnet dengan komponen X,Ydan Z. Instrumen pengukur arah dan besar medan magnet memerlukan sensor magnet sebagai bagian terdepan untuk memperoleh data medan magnet. Sensor terdiri dari berbagai jenis dengan karakteristiknya masing - masing. Salah satu jenis sensor untuk mengukur arah dan besar medan magnet adalah sensor magnet HMC5883L dimana sensor inimemiliki rentang pengukuran dari -8000 sampai 8000milliGauss yang sesuai untuk aplikasi pengukuran arah dan besar medan magnet suatu daerah tertentu. Pada penulisan ini, mikrokontroler yang digunakan adalah mikrokontroler AVR ATmega16 produk Atmel yang dapat diprogram untuk melakukan pengambilan dan pengendalian data menggunakan bahasa C. Hasil pengukuran data ditampilkan secara real time menggunakan LCD 20x4 dan akan diakuisisi menggunakan program LabVIEW pada PC serta dapat diakses melalui web pada jaringan lokal. 1.1 PENGUKURAN MEDAN MAGNET Sensor medan magnet dibagi menjadi dua berdasarkan kepekaan pengukuran dimana magnetometer lebih peka untuk mengukur medan rendah dan gausmeter lebih peka untuk mengukur medan tinggi. Pada pengukuran medan magnet rendah (magnetometer) terdapat dua tipe sensor yaitu tipe sensor berdasarkan komponen vektor dan sensor berdasarkan besaran skalar. Hubungan antara medan magnet dan tiap – tiap komponenya dapat dinyatakan melalui persamaan berikut :

Gambar 1. Komponen vektor medan magnet bumi

X

= H cos D

(1.1)

Y

= H sin D = X tan D

(1.2)

Z

= F sin I = H tan I

(1.3)

D

= arctan (Y/X)

(1.4)

I

= arctan (Z/H)

(1.5)

F2

= X2 + Y2 + Z2 = H2 + Z2

(1.6)

Dimana :     

Intensitas vertikal (Z), yaitu besar medan magnet pada bidang vertikal Intensitas arah (X), yaitu besar medan magnetik yang searah dengan utara sebenarnya Intensitas arah (Y), yaitu besar medan magnetik yang searah dengan timur sebenarnya Deklinasi (D), yaitu sudut antara utara sebenarnya (true north) dengan utara magnetik Inklinasi (I), yaitu sudut antara medan magnetik total dengan bidang horizontal yang dihitung dari bidang horizontal menuju bidang vertikal ke bawah 131

 

Intensitas horizontal (H), yaitu besar medan magnetik pada bidang horizontal Medan magnetik total (F) , yaitu besar dari vektor medan magnetik total.

II

METODE PENELITIAN Pada bagian metode penelitian ini, akan dijelaskan seluruh perancangan sistem dari alat yang dirancang. Perancangan alat ini terdiri dari blok diagram alat, komponen alat yang digunakan, perancangan alat, flowcart alat, sistem kerja alat serta data yang ditampilkan 2.1 PERANCANGAN HARDWARE Perancangan hardware menjelaskan mengenai blok diagram perancangan alat secara keseluruhan serta system antar muka hardware yang terdiri dari setiap komponen alat. Blok Diagram Berdasarkan blok diagram pada gambar dibawah, Sensor magnet HMC5883L berfungsi untuk mengukur arah dan besar medan magnet pada suatu daerah tertentu, selanjutnya sensor akan dihubungkan dengan I/O Level converter agar tegangan 5 VDC dari mikrokontroler diubah menjadi 3,3 VDC yang kemudian dihubungkan ke mikrokontroler ATmega16 bersama RTC DS1307 agar data yang diperoleh merupakan data yang real time melalui interface I2C. Selanjutnya mikrokontroler akan mengolah dan menampilkan data hasil pengukuran arah dan besar medan magnet serta waktu pada LCD 20x4 dan PC dalam bentuk grafik menggunakan program LABView.

Gambar 2. Blok Diagram Alat

Sistem Antarmuka Hardware Sistem antarmuka yang digunakan pada alat ini adalah sebagai berikut: a. Antarmuka sensor ke mikrokontroler Sensor HMC5883L dan RTC menggunakan antarmuka komunikasi I2C, dimana Pin SCL sebagai sumber clock dan Pin SDA sebagai jalur untuk mengirim dan menerima. Sensor LM35 menggunakan ADC yang ada pada PORT A mikrokontroler dann GPS menggunakan USART serial sebagai media antarmukanya. b. Antarmuka mikrokontroler komputer Alat ini menggunakan komunikasi USB to serial yang telah terdapat pada minimum sistem agar bisa berkomunikasi dengan komputer dan menampilkan data pada program LabVIEW. Komponen Hardware dan Software Komponen – komponen alat hardware maupun software yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut - Sensor Magnet HMC5883L Sensor HMC5883L didesain untuk membaca besar medan magnet yang cocok untuk aplikasi yang memerlukan pengukuran medan magnet. Spesifikasi dari sensor ini 132

memiliki tegangan kerja 3,3 VDC dengan tegangan maksimum 3,6 VDC serta konsumsi arus yang rendah (100 µA), Memiliki sensor magnetoresistive 3 sumbu yaitu X, Y, dan Z, memiliki jangkauan pembacaan medan magnet dari -8 sampai 8 Gauss dengan resolusi 5 milligauss, sensor ini menggunakan antarmuka I2C, memiliki Output rate maksimum sampai dengan 160 Hz (Single Measurement Mode) dan output rate 0,75 Hz s/d 75 Hz (Continuous Measurement Mode) serta telah dilengkapi ADC internal 12 bit sehingga output dari sensor telah berbentuk sinyal digital.

Gambar 3. Bentuk fisik Sensor magnet HMC5883L

-

Sensor Suhu LM35 Sensor suhu LM35 Memiliki sensitivitas suhu dengan faktor skala linier antara tegangan dan suhu 10 mVolt/ºC, sehingga dapat dikalibrasi langsung dalam celcius. Memiliki ketepatan atau akurasi kalibrasi, 0,5ºC pada suhu 25 ºC. Memiliki jangkauan maksimal operasi suhu antara -55 ºC sampai +150 ºC. - Mikrokontroler Pada perancangan alat ini minimum sistem mikrokontroler yang digunakan adalah DI-Super Smart AVR.16 yang dipilih berdasarkan kebutuhan sistem yang dibangun serta pertimbangan biaya yang minimal.

Gambar 4. Bentuk fisik minimum sistem ATmega16

-

RTC (Real Time Clock) RTC (real time clock) biasanya berupa sebuah IC yg mempunyai clock sumber sendiri dan internal batery untuk menyimpan data waktu dan tanggal. Sehingga jika sistem microcontroller mati, waktu dan tanggal didalam memori RTC tetap up to date. - Neo GPS Starter Kit Spesifikasi dari Neo GPS Starter Kit adalah sebagai berikut : a. Berbasis SIM18, modul GPS Receiver 48 channel. b. Tersedia pilihan antarmuka: USB (virtual COM port), UART TTL, atau I2C. c. Tegangan input catu daya 5 VDC, dilengkapi dengan regulator tegangan1,8 VDC. - LCD (Liquid Cristal Display) LCD yang dipakai pada sistem ini adalah LCD 20x4 dengan jumlah karakter yang dapat ditampilkan adalah 80 karakter dalam 20 kolom x 4 baris. LCD ini dipilih karena harga yang cukup ekonomis dengan jumlah karakter yang sangat sesuai dengan keluaran hasil pengukuran. LCD ini dapat menampilkan keluaran data sensor magnet HMC5883L, Suhu dan Waktu sekaligus dalam satu tampilan. - CodeVision AVR dan LABVIEW CodeVision AVR merupakan sebuah software yang digunakan untuk memprogram mikrokontroler. Mikrokontroler dapat berfungsi jika telah diisi sebuah program, pengisian program ini dapat dilakukan menggunakan compiler, salah satu compiler program yang umum digunakan pada penelitian ini adalah CodeVision AVR yang menggunakan bahasa pemrograman C sedangkan LabVIEW adalah suatu bahasa pemrograman berbasis grafis yang menggunakan icon sebagai ganti bentuk teks untuk

133

menciptakan aplikasi. Pada penelitian ini LabVIEW digunakan untuk membuat tampilan GUI pada PC dan menampilkannya pada website. 2.2 PERANCANGAN SOFTWARE Software atau perangkat lunak yang digunakan adalah pemrograman CodeVison AVR dan LabVIEW. Dengan menggunakan program ini maka mikrokontroler dapat membaca dan menampilkan data hasil pengukuran arah dan besar medan magnet ke LCD 20x4 dan PC secara real time. Perancangan software terdiri dari perancangan program mikrokontroler AVR ATMega 16 dan Perancangan aplikasi LabVIEW. Diagram Alir program Mikrokontroler AVR ATMega 16 Pada Diagram alir ini akan dibahas mengenai alur dari program mikrokontroler AVR ATMega 16 yang digunakan untuk perancangan alat ukur medan magnet.

Gambar 5. Diagram Alir Program Mikrokontroler

Penjelasan diagram alir pada gambar diatas adalah sebagai berikut : 1. Awal dari suatu program. 2. Melakukan inisialisasi I2C, USART dan LCD pada library pemrograman Code Vision AVR. 3. Baca data yang diperoleh dari sensor Magnet dan GPS. 4. Proses pengolahan data pada mikrokontroler . 5. Apakah nilai arah dan besar medan magnet dalam sumbu (X, Y, Z), suhu serta waktu yang dihasilkan dari program mikrokontroler telah tersedia. 6. Apabila data yang dikeluarkan sudah tersedia maka output pengukuran dari sensor HMC5883L, LM35 dan GPS akan ditampilan pada LCD 20x4 dan PC Melalui USB to serial yang akan di tampilkan dalam grafik menggunakan program LabVIEW dan Web dimana program akan melakukan pengulangan atau looping secara terus menerus. Kemudian program berakhir. Diagram Alir Aplikasi LabVIEW Penjelasan Diagram alir dibawah adalah sebagai berikut : 1. Awal dari suatu program. 2. Melakukan inisialisasi komunikasi serial UART yaitu pada baudrate 9600 bps. Dan inisialisasi PORT sesuai nomor PORT yang terdeteksi pada PC. 134

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Proses menekan tombol connect atau start untuk memulai program dan pemilihan lokasi penyimpanan data dalam file .txt. Proses menerima output dari mikrokontroler. Proses mensortir data yang didapat dari mikrokontroler yang berupa data X, Y, Z dan suhu. Data akan ditampilkan dalam bentuk grafik. Data akan disimpan di tempat yang telah dipilih dalambentuk file .txt Akan ditampilkan pada web dengan memasukkan URL pada browser. Selesai.

Gambar 6. Diagram Alir Aplikasi LabVIEW

Perancangan Tampilan Web Pada perancangan tampilan web, penulis menggunakan tools yang telah tersedia pada software LabVIEW. Penulis menggunakan “web published tool” yang akan digunakan untuk memonitoring data yang terdapat dalam program LabVIEW ke dalam web dengan jaringan localhost. Tampilan pada web akan muncul dengan cara mengetikkan URL (Uniform Resource Locator) yang telah diberikan oleh LabVIEW pada browser yang dimiliki maka web akan menampilkan data yang sama dengan data yang tampil pada PC server. 2.3 HASIL RANCANGAN ALAT Pada dasarnya prinsip kerja dari alat ini adalah sebagai alat pengukur arah dan besar medan magnet dengan keluaran variasi nilai X, Y, dan Z yang didapatkan dari perubahan resistansi AMR (Anisotropic Magnetoresistance). Alat ini dapat digunakan pada range pengukuran -8000 s/d 8000 milliGauss sesuai dengan spesifikasi sensor dalam datasheet. Data besar medan magnet pada sumbu X,Y, Z, waktu dan suhu akan ditampilankan pada LCD dan PC dengan menggunakan program LabVIEW dan dapat ditampilkan dalam bentuk web menggunakan tools yang terdapat dalam LabVIEW. Data yang ditampilkan pada PC akan disimpan pada memory PC yang merupakan data hasil pengukuran arah besar medan magnet dan suhu yang realtime dalam bentuk txt.

135

Gambar 7. Bentuk fisik alat secara keseluruhan

2.4 TAMPILAN DATA Tampilan pada LCD Data yang akan ditampilkan pada LCD 20x4 adalah data arah dan besar medan magnet dimana:  Baris ke 1 menampilkan Sumbu X yaitu besar medan magnetik yang searah dengan utara sebenarnya dengan satuan nanoTesla.  Baris ke 2 menampilkan Sumbu Y yaitu besar medan magnetik yang searah dengan timur sebenarnya dengan satuan nanoTesla.  Baris ke 3 menampilkan Sumbu Z yaitu besar medan magnetik pada bidang vertikal dengan satuan nanoTesla.  Baris ke 4 menampilkan SUHU dan Tanggal.

Gambar 8. Bentuk tampilan pada LCD 20x4

Tampilan pada web locahost Tampilan pada web dengan jaringan lokal yang dibuat merupakan tampilan monitoring dari program akuisisi LabVIEW pada PC. Pengguna dapat melakukan monitoring dan mengakses data dari web tersebut secara real time asalkan di PC tersebut juga terinstal LabVIEW dan terhubung jaringan local dengan PC yang sebagai server.

Gambar 9. Bentuk tampilan pada web menggunakan internet explorer

Tampilan pada PC Tampilan sistem akuisisi data pada PC menampilkan grafik dari sumbu X, Y dan Z yang didapat dari output pegukuran arah dan besar medan magnet oleh sensor magnet HMC5883L dalam satuan nT beserta nilai komponen lainnya yang berupa nilai dari 136

komponen H, F, Inklinasi dan Deklinas yang didapat dari rumus yang dirancang dalam program LabVIEW serta tampilan data suhu yang didapat dari sensor LM35.

Gambar 10. Bentuk tampilan program LabVIEW pada PC

III HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah alat rancangan selesai dirancang, maka selanjutnya alat rancangan dilakukan validasi dan pengujian. Pengujian ini dibagi menjadi pengujian sensor dan pengujian kinerja grafik interface beserta kinerja seluruh sistem yang dirancang. 3.1 PENGUJIAN SENSOR MAGNET DAN SUHU Alat dan Bahan Dalam proses komparasi untuk nilai medan magnet dan suhu dibutuhkan beberapa alat sebagai berikut:  Magnetometer operasional merk LEMI-018.  Thermometer chamber dan alat kalirator suhu standart merk fluke tipe 1502a.  Alat magnetometer digital hasil rancangan.  PC sebagai tampilan grafik, penyimpanan data dan tampilan web.  Catu daya untuk PC dan data logger. Waktu pengujian  Hari/tanggal : Sabtu s/d Minggu / 04 s/d 05Juni 2015  Waktu : 00:00 s/d 23.59 UTC.  Tempat : Stasiun Geofisika Tangerang BMKG Metode Pengujian

Komparasi pada data medan magnet dilakukan dengan cara meletakkan alat magnetometer digital hasil rancangan bersebelahan dengan alat operasional magnetometer stasiun geofisika Tangerang yang dipasang di dalam ruangan khusus dan jauh dari aktivitas manusia. Setelah sejajar, atur penanda utara yang ditunjukkan oleh arah panah yang telah terpasang pada sensor magnetometer digital hasil rancangan searah dengan penanda utara pada alat operasional yang ditunjukkan dengan arah panah, sambungkan logger dengan PC melalui USB TTL serial yang terdapat pada minimum sistem agar dapat menampilkan data dalam bentuk grafik maupun numerik dan menyimpan data dalam PC secara otomatis. Pada proses komparasi ini dilakukan konversi satuan dari mG (milliGauss) menjadi nT (nanoTesla) dengan mengalikan hasil keluaran dari alat yang dirancang dengan 99,99 agar data yang diperoleh dari alat yang dirancang dengan alat operasional memiliki nilai satuan yang sama yaitu nT (nanoTesla) dan sama – sama memiliki nilai 2 satuan dibelakang koma.

137

Gambar 11. Proses komparasi magnetometer digital di Stasiun Geofisika Tangerang

Kalibrasi pada data sensor suhu dilakukan dengan cara mengkalibrasi nilai keluaran pada suhu LM35 yang dipakai dalam rancangan dengan kalibrator suhu yang terdapat pada kantor BBMKG II Ciputat. Website akan diuji coba dengan cara menempatkan 2 buah PC yang terhubung pada satu jaringan yang sama atau jaringan lokal dan sama – sama telah diinstal dengan program LABView 2011, kemudian kedua PC tersebut akan membuka URL yang sama dan akan dilihat tampilan antara PC 1 dan PC 2 apakah sama atau tidak.

Gambar 12. Proses uji coba website pada jaringan lokal

3.2 HASIL PEMBACAAN Hasil Komparasi Sensor magnet Tabel 1 Perbandigan nilai X, Y dan Z (nT) pada alat magnetometer hasil rancangan dengan alat operasional LEMi - 18

138

Hasil Kalibrasi Sensor Suhu Tabel 2 Komparasi nilai suhu (oC) pada alat magnetometer digital hasil rancangan dengan alat suhu standart merk fluke tipe 502a

Hasil data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan metode analisis standar deviasi. Rumus umum yang digunakan untuk menghitung standar deviasi adalah sebagai berikut : S=√

𝟐 ∑𝒏 𝒊=𝟏(𝒀𝒊 −Ῡ)

𝒏

(3.1)

dimana Yi : data alat ke-n Y : rata-rata data alat keseluruhan n : banyaknya data yang diambil 3.3 Hasil Analisa Data hasil komparasi dari alat magnetometer digital hasil rancangan menunjukkan bahwa nilai pada sumbu X, Y dan Z sudah mendekati nilai yang ditunjukkan oleh alat operasional merk LEMI-18 yang telah terkalibrasi walaupun perbedaan data masih diatas 100 nT namun perubahannya cukup linear. Data yang dikeluarkan masih tidak stabil dan sangat mudah berubah-ubah yang disebabkan karena data dari alat magnetometer digital hasil rancangan hanya dapat melakukan perubahan angka diatas bilangan ratusan. Hal ini sesuai dengan spesifikasi yang dimiliki oleh sensor dimana resolusi sensor adalah 1 mG dan range pengukuran hanya dalam rentang satuan mG (milliGauss) serta sistem akuisisi data yang diprogram untuk mengalikan nilai 100 pada setiap data yang dikeluarkan oleh sensor sehingga perubahan nilainya terlihat sangat besar.

Gambar 13. Perbandingan nila rata-rata medan magnet pada sumbu X, Y dan Z (nT)

-

Analisis Data Sumbu X Melalui hasil perhitungan standar deviasi yang didapat pada tabel 4.1 diatas, diperoleh standar deviasi untuk data sumbu X yang terukur dari alat magnetometer digital

139

hasil rancangan adalah sebesar 98,06180008 Nilai standar deviasi ini menunjukkan bahwa data terdistribusi di sekitar rata-rata. -

Analisis Data Sumbu Y Melalui hasil perhitungan standar deviasi yang didapat pada tabel 4.1 diatas, diperoleh standar deviasi untuk data sumbu Y yang terukur dari alat magnetometer digital hasil rancangan adalah sebesar 8,08916974 Nilai standar deviasi ini menunjukkan bahwa data terdistribusi di sekitar rata-rata. - Analisis Data Sumbu Z Melalui hasil perhitungan standar deviasi yang didapat pada tabel 4.1 diatas, diperoleh standar deviasi untuk data sumbu Y yang terukur dari alat magnetometer digital hasil rancangan adalah sebesar 122,752975 Nilai standar deviasi ini menunjukkan bahwa data tersebar cukup jauh dari nilai rata-ratanya. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal baik internal dari sensor maupun eksternal seperti kondisi lingkungan dan gangguan dari luar, penulis menduga hal ini dikarenakan memang sensor magnet yang dipakai pada alat magnetometer digital hasil rancangan memiliki spesifikasi yang masih jauh dibawah dari alat operasional yang digunakan pada stasiun geofisika Tangerang. -

Analisis Data Suhu

Dari data hasil kalibrasi yang ditunjukkan oleh tabel 4.2, diperoleh nilai koreksi, standar deviasi dan ketidakpastian dari sensor suhu LM35 yang digunakan pada alat magnetometer digital yang dirancang. secara umum nilai yang didapatkan masih cukup liner dan hubungan data suhu pada alat standar dan LM35 pada alat hasil rancangan tidak terlalu jauh. Dikarenakan parameter suhu bukanlah parameter utama yang menjadi pembahasan pokok pada penelitian ini, maka sensor suhu LM35 masih dikatakan cukup layak untuk digunakan dalam alat yang dirancang.

Gambar 14. Grafik suhu antara alat standar dengan alat hasil rancangan

-

Tampilan Website

Melalui proses uji coba diatas, website dapat berjalan dengan baik pada PC yang terhubung jaringan intranet (jaringan lokal) dengan PC server. Hal ini otomatis dapat diterapkan pada setiap PC di kantor yang terhubung dengan PC server asalkan PC tersebut telah terinstall program LabVIEW dengan versi yang sama dengan program LabVIEW yang digunakan pada PC server. Tampilan website telah mencangkup seluruh informasi tentang nilai medan magnet, tampilan telah berubah otomatis mengikuti perubahan data yang didapat dari sensor secara realtime, susunan grafik, teks, dan pewarnaan sudah cukup baik dan tampilan pada web cukup mudah untuk dibaca dan dipahami. IV KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Setelah menyelesaikan penelitian, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut : 140

   

Telah dibuat sebuah alat “Magnetometer Digital Berbasis Web” yang berfungsi untuk mengukur arah dan besar medan magnet secara real time berbasis web. Alat dapat digunakan untuk mengukur arah dan besar medan magnet pada sumbu X, Y danZ dengan range -22.500 nT sampai 40.000 nT sesuai dengan kondisi kemagnetan di Stasiun Geofisika Tangerang. Data yang dihasilkan dari alat ditampilkan pada LCD 20x4 dan monitor PC dalam bentuk grafik, serta dapat disimpan dalam format file .txt. Tampilan data pada program LabVIEW dapat dilihat dan di monitoring menggunakan web pada jaringan lokal.

SARAN Untuk pengembangan dan penyempurnaan alat lebih lanjut, diperlukan beberapa hal sebagai berikut :  Dibutuhkan sebuah sensor yang mampu mengukur arah dan besar medan magnet dengan range pengukuran dan tingkat resolusi yang lebih tinggi dari sensor yang dipakai pada penelitian ini agar mendapatkan data yang lebih akurat.  Diperlukan kalibrasi awal terhadap modul sensor agar mengetahui tingkat keakuratan maupun tingkat kepercayaan terhadap nilai yang dikeluarkan oleh modul sensor tersebut.  Dalam proses komparasi data medan magnet antara alat hasil rancangan dan alat operasional perlu untuk memperhatikan aspek noise.  Sistem tampilan web diharapkan dapat ditampilkan dalam jaringan publik sehingga dapat dilihat oleh semua user dimanapun yang memiliki akses internet. V

DAFTAR PUSTAKA

Buku [1] Andrianto, Heri. 2013 Program mikrokontroler AVR ATmega16 menggunakan bahasa C edisi revisi, Informatika. Bandung. [2] Winoto, Ardi. 2010. Mikrokontroler AVR ATmega8/32/16/8535 dan Pemrogramannya dengan Bahasa C pada WinAVR, Informatika, Bandung. [3] Husni, M. 2012. Magnet bumi dan listrik udara, Akademi Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Jakarta. [4] Yusuf, Erwin. 2012. Pengukuran & instrumentasi pada sistem tenaga ep6071 pengukuran medan magnet, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika,Institut Teknologi Bandung. Makalah seminar, lokakarya [5] Djamal, Mitra. 2006. Pengukuran Medan Magnet Lemah Menggunakan Sensor Magnetik Fluxgate dengan Satu Koil Pick-Up, Institut Teknologi Bandung, Bandung. [6] Artanto, Dian. 2012. Interaksi Arduino dan LabVIEW, Elex Media Komputindo, Jakarta. [7] Putra, Rizky A. Sutanto, Agus T, 2014. Prototipe magnetometer digital dengan sensor magnet HMC5883L berbasis mikrokontroler ATMega16. Jurnal DINAMIKA, edisi VII-Vol.2 (ISSN-14100487), Akademi Meteorologi dan Geofisika. Jakarta Artikel dari internet [8] Honeywell, 2013. (datasheet HMC5883L http://www.adafruit.com/datasheets/HMC5883L_3Axis_Digital_Compass_IC.pdf Diakses pada tanggal 11 Maret 2013) [9] Tutorials, Embedded. 2010. (TutoriaI I2C interface. http://www.embeddedtutorials.com/two-wire-interface/ . Diakses pada tanggal 11 Maret 2015).

141

MODEL PRAKIRAAN CURAH HUJAN BULANAN MENGGUNAKAN REGRESI KOMPONEN UTAMA DENGAN MULTI PREDIKTOR (STUDI KASUS ZONA MUSIM 6 SUMATERA UTARA) 1

Sahata Pakpahan Taruna Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Email : [email protected] Abstrak

Sumatera utara merupakan salah satu provinsi dimana terdapat tiga perkebunan negara yakni PTPN II, III dan IV sehingga memerlukan prakiraan curah hujan yang lebih akurat. Penelitian ini bertujuan menghasilkan model yang mampu memprakirakan curah hujan bulanan di ZOM 6 dengan menggunakan multi prediktor. Pemilihan grid domain prediktor dilakukan dengan memanfaatkan aplikasi berbasis web yaitu Interactive tools analysis climate system (ITACS). ITACS mampu membuat korelasi spasial antara prediktor yang digunakan dengan curah hujan ZOM 6 Sumatera Utara sehingga memudahkan dalam pemilihan grid domain prediktor yang akan digunakan. Model prediksi dibagun menggunakan curah hujan bulanan ZOM 6 Sumatera Utara sebagai prediktan dengan prediktor yang digunakan pada periode 1981-2010. Pembentukan persamaan model persamaan regresi menggunakan regresi komponen utama (RKU). Pembentukan persamaan regresi dilakukan berdasarkan lag time curah hujan terhadap prediktor dimana lag 0 , lag 1, lag 2 dan lag 3 adalah yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil 30 tahun validasi silang menghasilkan 30 persamaan pada setiap lag dimana performa model pada puncak musim hujan September, Oktober, November, dan Desember kurang bagus. Namun pada bulan kering menunjukkan hasil yang cukup bagus seperti pada bulan April mampu menghasilkan nilai RMSE sebesar 31.4 mm dan korelasi 0.55 pada model lag 1 . Kata kunci : model prakiraan curah hujan, multi prediktor, ITACS, regresi komponen utama, lag time Abstract North Sumatra is one of the provinces where there are three countries, namely plantation PTPN II, III and IV that require rainfall forecasts more accurate. This study aims to produce a model capable of predicting the monthly rainfall in ZOM 6 by using multi predictor. Selection grid predictor domain is done by utilizing a web-based application that is Interactive tools climate analysis system (ITACS). ITACS able to make the spatial correlation between the predictors used by rainfall ZOM 6 North Sumatra to facilitate the election of domain predictor grid to be used. The prediction model was built using monthly rainfall ZOM 6 North Sumatra as predictan predictors used in the period 1981-2010. Formation equation regression model using principal component regression (RKU). Establishment of regression equation is based on the lag time of rainfall against which the predictor lag 0, lag 1, lag 2, and lag 3 was used in this study. The result of 30 years of cross validation produce 30 equations at any lag in which the performance of the model at the peak of the rainy season in September, October, November, and December is not good. But in the dry months showed a pretty good result as in April can generate value RMSE of 31.4 mm and a correlation 0.55 on the lag 1 model. Keywords: rainfall forecast models, multi predictor, ITACS, the principal component regression, lag time

142

1.

Pendahuluan

Iklim merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Berdasarkan gambaran iklim akan dapat diidentifikasi tipe vegetasi yang tumbuh disuatu daerah. Faktor cuaca yang sangat mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah curah hujan , terutama untuk pertanian lahan kering (Setiawan, 2009). Untuk mendukung produktifitas tanaman maka diperlukan informasi curah hujan yang tepat dan akurat sehingga mengurangi dampak dari menurunnya produktifitas tanaman. Energi matahari yang diterima bumi merupakan penyebab semua proses cuaca dan iklim dibumi dan diatmosfer. Sebagian besar energi radiasi matahari sampai kepermukaan bumi kemudian didistribusikan kembali keatmosfer, kedalam tanah, dan perairan. Adanya energi radiasi dari matahari tersebut maka akan dijumpai perbedaan pemanasan permukaan diatas daratan dan diatas permukaan air. Pemanasan yang tidak sama pada permukaan bumi akan menyebabkan gaya yang bekerja pada partikel udara. Sirkulasi umum atmosfer disebabkan rotasi bumi terhadap poros semu dan oleh pemanasan yang tidak sama dipermukaan bumi dan atmosfer (Tjasyono HK, Klimatologi, 2004) Sirkulasi Walker yang terjadi di atas wilayah Indonesia merupakan pergerakan udara dengan arah yang sejajar dengan garis lintang bumi. Intensitas sirkulasi Walker dikendalikan oleh variasi Suhu Muka Laut (SST) di Samudera Pasifik bagian timur dan bagian barat. Perubahan SST kemudian dialihkan ke atmosfer dalam bentuk perubahan tekanan atmosfer yang dapat diamati dengan mengukur tekanan pada paras muka laut (MSLP). Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa ada rangkaian yang kuat antara lautan dan atmosfer yang disebut El Nino Southern Oscillation (ENSO). ENSO dapat dikaji dari sistem sirkulasi pada paras (lapisan) 850 mb dan 250 mb (Tjasyono HK, , 2007). Variasi spasial pada curah hujan di wilayah tropis memiliki hubungan yang erat dengan sirkulasi timur-barat sepanjang ekuator yang dikenal sebagai Sirkulasi Walker, sirkulasi ini melibatkan gerak naik udara di atas kepulauan Indonesia dan turun di atas Pasifik timur seperti pada Gambar dibawah .

Gambar 1 Skema gambaran Sirkulasi Walker di sekitar ekuator pada tahun nonENSO ( Sumber : Peixoto dan Oort, 1992 dalam Hewitt dan Jackson, 2003) Zona musim 6 Sumatera Utara memiliki tipe hujan ekuatorial yang puncak musim hujannua terjadi dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Mei dan Desember. Hal ini menyebabkan curah hujan dimedan kurang berkorelasi dengan angin moonson yang terjadi secara periodik.

143

Gambar 2 Grafik rata-rata curah hujan bulanan di ZOM 6 Sumatera Utara Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana time lag berpengaruh terhadap curah hujan di ZOM 6 Sumatera Utara dengan prediktor yang digunakan. Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini yaitu menemukan lag time yang yang berpengaruh terhadap curah hujan bulanan di ZOM 6 Sumatera Utara . Hal ini juga diharapkan menjadi sumbangan berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya serta STMKG dan BMKG pada khususnya.

2. Data dan Metode 2.1 Data Terdapat 2 jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : a. Data curah hujan bulanan ZOM 6 Sumatera Utara periode 1981-2010.

Gambar 3 Peta lokasi Penelitian b. Data anomali geopotensial height lapisan 850 mb, geopotensial height lapisan 200 mb, suhu muka laut, tekanan permukaan laut, angin zonal pada lapisan 850 mb, angin zonal pada lapisan 200 mb, velocity potential lapisan 850 mb dan velocity potential lapisana 200 mb pada domain peneltian.

144

Gambar 2.2 Peta domain penelitian Pemilihan ukuran domain prediktor merupakan bagian dari pra penelitian. Ukuran domain prediktor didasarkan pada peta korelasi spasial menggunakan ITACS(Interactive Tools Analysis System).

2.2 Metode 2.2.1 Pemilihan Domain Prediktor a. Peta Korelasi Spasial Korelasi spasial adalah wilayah yang memperlihatkan tempat-tempat yang mempunyai nilai korelasi yang signifikan. Peta korelasi spasial digunakan untuk menentukan domain penelitian. Korelasi ini menggambarkan seberapa besar hubungan antara curah hujan bulanan dengan prediktor yang digunakan pada bulan sebelumnya. Dalam hal ini penulis menggunakan lag 0, lag 1, lag 2 dan lag 3. Nilai korelasi yang dilihat dalam penelitian ini adalah seluruh wilayah yang berkorelasi. b. Domain berdasarkan luasan wilayah Belum ada penelitian yang menyatakan dengan tegas seberapa luas domain suhu muka laut yang diperlukan sebagai prediktor. Penelitian ini penulis menggunakan domain sesuai luasan wilayah yang signifikan berkorelasi.

2.2.2 Fitting model a. Menentukan Komponen Utama (KU) Salah satu cara untuk meminimalisasi multikolinearitas adalah reduksi dimensi spasial atau mencari peubah baru yang merupakan kombinasi linear dari peubah aslinya dengan syarat peubah baru tidak saling berkorelasi (Haryoko, 2014). Analisis Komponen Utama (AKU) digunakan untuk memeriksa apakah terdapat korelasi yang kuat antar prediktor yang digunakan atau multikolinearitas. Peubah baru yang dibentuk oleh AKU harus mampu menjelaskan keragaman dari seluruh data prediktor. Jumlah peubah baru atau komponen utama yang akan dipakai bergantung dari matriks ragam peragam Σ. Ragam atau varian dari setiap komponen utama ditandai dengan nilai akar ciri atau eigen value. Presentase kumulatif akar ciri merupakan kontribusi setiap komponen utama terhadap peubah aslinya. Setiap akar ciri berpadanan dengan nilai vektor ciri atau eigen vector yang merupakan koefisien dari suatu komponen utama. Penulis menggunakan kriteria pemilihan komponen utama dengan syarat presentase kumulatif akar ciri sebesar 98%. Setiap komponen utama dalam persamaan regresi merupakan kombinasi liniear dari semua peubah baku Z. Hubungan tersebut dinyatakan sebagai berikut :

b. Membangun model Regresi Komponen Utama (RKU) Perkalian antara koefisien KU atau vektor ciri dengan peubah aslinya (suhu muka laut) menghasilkan nilai komponen utama atau score. Score selanjutnya akan 145

digunakan untuk membangun persamaan regresi komponen utama, dimana score merupakan variabel prediktor dalam persamaan regresi komponen utama.

dimana : Y : peubah tak bebas Xi : peubah bebas ke-i A : konstanta regresi Bi : koefisien regresi dari peubah bebas ke-i ai : koefisien AKU Zi : skor komponen utama c. Prakiraan curah hujan Hasil prakiraan hujan didapatkan dari transformasi komponen utama ke peubah awal (seluruh prediktor). Transformasi tersebut merupakan perkalian antara koefisien AKU atau vektor ciri dengan koefisien RKU, yang selanjutnya dikalikan lagi dengan prediktor yang digunakan sesuai lag time yang dipakai.

2.2.3 Verifikasi Pemilihan teknik verifikasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan cara yang dipakai BMKG dalam memverifikasi prakiraan curah hujan bulanan dan musim, hal ini dimaksudkan agar teknik verifikasi sesuai dengan operasional BMKG. RMSE digunakan untuk mengetahui besarnya penyimpangan yang terjadi antara nilai prakiraan curah hujan dibandingkan dengan nilai curah hujan observasi (Wilks,1995) 1

RMSE =√𝑛 ∑𝑛𝑘=1(𝑦𝑘 − 𝑜𝑘 )2 Dimana : n : banyaknya data yk : prakiraan curah hujan ke -k (mm) ok : curah hujan observasi ke -k (mm) Korelasi digunakan untuk menentukan besarnya hubungan atau kedekatan antara prakiraan curah hujan dengan curah hujan hasil observasi (Wilks,1995) 𝑟=

𝑛 ∑ 𝑋𝑌−∑ 𝑋 ∑ 𝑌 √𝑁 ∑ 𝑋 2 −(∑ 𝑋)2 −√𝑁 ∑ 𝑌 2 −(∑ 𝑌)2

X = Prakiraan curah hujan (mm) Y = curah hujan observasi (mm) n = Jumlah data

3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Analisis Komponen Utama Metode Analisis Komponen Utama (AKU) mampu mengatasi masalah multikolineritas dengan mereduksi dimensi dari keseluruhan prediktor. Penentuan jumlah komponen utama dalam membentuk persamaan regresi penulis menggunakan grafik scree plot yaitu melihat letak terjadinya belokan dengan menghapus komponen utama yang menghasilkan beberapa nilai eigen kecil yang membentuk pola garis lurus.

146

Januari Lag_1 1200 1000

Eigenvalue

800 600 400 200 0 1

2

3

4

5

6 7 8 9 Component Number

10

11

12

13

14

Gambar 4 Grafik scree plot komponen utama Sesuai gambar scree plot pada gambar 4 menjelaskan bahwa komponen yang dilibatkan dalam model hanya 4 komponen karena setelah belokan ke-4, grafik scree plot membentuk pola linier yang artinya komponen yang membentuk pola tersebut tidak disertakan dalam model. Berdasarkan grafik scree plot tiap bulan pada data terlampir maka diperoleh jumlah komponen utama yang nantinya dilibatkan dalam pembuatan persamaan regresi yaitu sebagai berikut: Tabel 1. Jumlah komponen utama pada tiap bulan Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des

Jumlah Komponen Utama Lag_0 Lag_1 Lag_2 Lag_3 3 4 2 2 2 3 2 2 5 2 4 3 3 2 3 2 4 7 2 3 3 3 5 3 5 4 2 2 3 2 4 3 7 4 2 3 2 2 1 4 2 3 3 1 6 3 4 1

Adapun tabel diatas menunjukkan bahwa jumlah komponen utama berbeda-beda pada setiap lag time. Dari sejumlah prediktor yang digunakan mampu direduksi menjadi satu komponen utama tanpa menghilangkan informasi dari prediktor lain yang direduksi, hal ini dapat kita lihat pada Oktober lag 2, Nopember lag 3 dan Desember lag 3.

3.2 Hasil Prakiraan Model Regresi Komponen Utama Pembentukan persamaan menggunakan metode validasi silang yaitu dengan mengeluarkan tahun yang akan dibuat prakiraan curah hujannya dari data training yang akan dibuat persamaannya sehingga validasi yang diperoleh nantinya mampu menggambarkan sejauh mana kesesuaian tiap model regresi komponen utama yang telah dibangun. Data pengujian dijadikan data pelatihan ataupun sebaliknya, data pelatihan sebelumnya dijadikan kini menjadi data pengujian sehingga nantinya kita dapat mengetahui seberapa akurat pengaruh prediktor yang kita pilih terhadap prediktannya.

Nilai R2 merupakan determinasi model regresi yang menjelaskan besarnya pengaruh prediktor yang terpilih terhadap variasi curah hujan. Semakin besar nilai R2 maka pengaruh suhu muka laut semakin besar terhadap variasi curah hujan.

147

Gambar 5. Grafik perbandingan nilai koefisien determinasi antar lag time Gambar 4.3 merupakan grafik nilai rata-rata koefisien determinasi dari 30 persamaan pada setiap lag. Adapun pembuatan persamaan regresi komponen utama dilakukan pada setiap bulannya terdapat pada data terlampir. Secara umum, nilai keofisien determinasi cukup besar yaitu kurang lebih 40% yang berarti prediktor yang kita pilih dapat menjelaskan curah hujan diwilayah penelitian kecuali pada bulan Oktober nilai koefesien determinasinya pada keempat lag berada dibawah 30%. Berdasarkan grafik tersebut didapat lag time dengan nilai koefisien determinasi tertinggi pada setiap bulannya sebagai berikut: Tabel 2. Lag time nilai koefisien determinasi tertinggi Bulan

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des

R2 Tertinggi Lag_0 Lag_1 Lag_2 Lag_0 Lag_0 Lag_1 Lag_0 Lag_2 Lag_0 Lag_3 Lag_1 Lag_0

3.3 Pemilihan Model Terbaik Pemilihan model terbaik dimaksudkan untuk melihat lag time terbaik yang berpengaruh besar terhadap curah hujan pada tiap bulan. Pemilihan model terbaik didasarkan pada dua aspek penilaian yaitu dengan melihat nilai korelasi tertinggi antara nilai prakiraan dan obserbasi pada tiap lag time yang digunakan dan menghitung nilai Root Mean Squqre Eror(RMSE). Lag time terbaik adalah lag time prakiraan yang memiliki korelasi mendekati 1 terhadap nilai observasinya dan nilai RMSE terkecil.

148

Januari

Februari

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

Oktober

149

Desember

Nopember

Lag_0

Lag_1

Lag_2

Lag_3

Gambar 6. Diagram taylor Januari hingga desember Berdasarkan diagram taylor pada gambar 3.2 maka didapat model lag terbaik. Model lag terbaik dipilih berdasarkan nilai korelasi tertinggi, RMSE terkecil dan standar deviasi yang kecil. Akan tetapi, jika terdapat nilai faktor verifikasi antar model memberikan nilai yang hampir sama maka penulis memilih berdasarkan tujuan penulisan yaitu untuk membuat model prediksi. Adapun model terbaik berdasarkan diagram taylor diatas sebagai berikut : Tabel 3. Model terbaik

Bulan

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des

Model Terbaik Lag_2 Lag_1 Lag_2 Lag_1 Lag_0 Lag_1 Lag_0 Lag_1 Lag_2 Lag_1 Lag_0 Lag_0

Gambar 3.3 merupakan grafik perbadingan hasil prakiraan menggunakan model model lag terbaik dengan data obervasi pada setiap bulan.

150

151

Gambar 7. Grafik Perbandingan Model dan Observasi Berdasarkan gambar 3.3 menunjukkan bahwa variasi curah hujan observasi pada bulan Januari memiliki variasi curah hujan yang cukup besar sedangkan curah hujan hasil prakiraan memiliki variasi curah hujan yang cukup kecil. Hal ini menunjukkan bahwa kurang mampunya prediktor yang digunakan dalam menangkap variabilitas curah hujan pada wilayah penelitia seperti pada tahun 1981 terdapat selisih antara curah hujan prakiraan dan observasi mencapi 230 mm . Khusus pada antara tahun 1981 – 1986 terdapat variasi curah hujan yang cukup tinggi tetapi setelah tahun tersebut nilai variasi tersebut menurun dimana selisih prakiraan dan observasi relatif menurun. Bulan September, Oktober November dan Desember merupakan dimana bulanbulan dengan curah hujan di Zona Musim 6 Sumatera Utara tinggi. Pada bulan-bulan tersebut permforma model kurang bagus, terlihat pola yang ditunjukkan hasil model tidak mengikuti pola observasinya. Jika dilihat dari nilai rmse maka bulan-bulan tersebut memiliki nilai rmse yang besar. Nilai rmse pada bulan September, Oktober, November dan Desember berturut-turut 68 mm, 74 mm, 78 mm dan 82mm. Model terpilih pada Bulan April merupakan model terbaik dari seluruh bulan. Hal ini terlihat dari nilai rmse yang sangat kecil disetiap model lag dengan nilai rmse dibawah 35 mm. Hal ini sangat bagus dalam dunia pertanian karena dengan kesalaha prakiran curah hujan 30 mm tidak akan terlalu berpengaruh terhadap tanaman. Jadi, prediktor yang digunakan pada bulan April menunjukkan pengaruh yang besar terhadap curah hujan di ZOM 6 Sumatera Utara.

4.

Kesimpulan

Berdasarkan Analisis dan pembahasan yang dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1.

Hasil prakiraan menggunakan regeresi komponen utama menunujukkan hasil yang baik pada bulan-bulan tertentu terhadap curah hujan observasinya. Bulan dengang hasil prakiraan terbaik yaitu pada bulan April

2.

Prediktor yang dipakai tidak selalu berpengaruh pada curah hujan bulan yang diprediksi. Pengaruh prediktor terhadap curah hujan tidak selalu menurun terhadap lag time.

3.

152

5.

DAFTAR PUSTAKA

Haryoko, U. 2014. Model Prakiraan Cuaca Harian Memanfaatkan Luaran NWP dan Data Pengamatan Stasiun Cuaca.Disertasi Pascasarjana. Bogor: IPB. Hewitt, C., & Jackson, A. 2003. Handbook of Atmospheric Science: Princiles and Applications. Oxford and Victoria: Blackwell Publishing. Setiawan, E. 2009. Kajian Hubungan Unsur Iklim Terhadap Produktivitas Cabe Jamu Di Kabupaten Sumenep. Agrovigor , 1. Tjasyono HK, B. 2004. Klimatologi. Bandung: Penerbit ITB. Tjasyono HK, B. 2007. Meteorologi Indonesia I. Jakarta: Penerbit Badan Meteorologi dan Geofisika. Wilks, D.S., 1995, Statistical Methods in the Atmospheric Sciences, Academic Press, Amerika Serikat.

153

PERENCANAAN JARINGAN POS HUJAN MENGGUNAKAN METODE KAGAN DI KABUPATEN DELI SERDANG Siska Chrisvenny Rajagukguk Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Email: [email protected] Abstrak Curah hujan merupakan salah satu parameter yang penting dalam analisis iklim.Ketelitian pengukuran curah hujan dipengaruhi oleh kondisi alat penakar hujan dan pola penyebarannya sehingga penempatan pos hujan harus terdistribusi secara merata.Penelitian ini bertujuan untuk membuat perencaaan jaringan pos hujan di Kabupaten Deli Serdang untuk menentukan lokasi pos hujan yang direkomendasikan dan juga menghitung validitas jaringan pos hujan rekomendasi tersebut.Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode jaringan Kagan karena metode ini dapat menggambarkan jumlah dan letak pos hujan yang direkomendasikan berdasarkan analisis statistik curah hujan. Perhitungan curah hujan wilayah dilakukan dengan metode rata-rata aljabar dan metode Poligon Thiesen.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pos hujan yang diperlukan pada wilayah penelitian adalah 9 pos hujan berdasarkan nilai kesalahan 5% dengan jarak antar pos hujan sekitar 17,8 km. Hasil validitas jaringan pos rekomendasi menunjukkan nilai kesalahan relatif yang dihitung berdasarkan perbandingan curah hujan wilayah antara pos existing dan pos rekomendasi sebesar 2,39% berdasarkan metode rata-rata aljabar dan 0,95% berdasarkan metode poligon Thiessen. Kata Kunci: Pos hujan, Jaringan Pos Hujan, Metode Kagan, , Poligon Thiessen Abstract Rainfall is one of the most important parameters for climate analysis. Rainfall measurement accuracy is affected by conditions and distribution of the raingauge, so the placement of the raingauge should be spread appropriately. This study aims to make the design of raingauge network in Deli Serdang to determine the recommended raingauge station and also to know the validity of the recomendating raongauge station. This research was conducted by using Kagan method because the method can describe the number and location of recommended raingauge station based on statistical analysis of rainfall. Calculation of total rainfall in the region was done with arithmetic mean method and Thiesen polygons method.The results showed that the raingauge station required in the research area is 9 stations based on error value 5% and the distance between the station was about 17.8 km. The results of recommendating network validity showed the relative error values which calculated by compared the total rainfall between existing station and recomendating station. The relative error value was 2.39% based on arithmetic mean method and 0.95% based on Thiessen polygon method. Keywords: Raingauge Station, Raingauge network, Kagan Method, Thiessen Polygon

154

1.

PENDAHULUAN

Hujan merupakan salah satu parameter yang sangat penting dalam analisis iklim sehingga pengukuran hujan harus akurat agar mendapatkan hasil analisis yang tepat. Ketelitian pengukuran curah hujan dipengaruhi oleh kondisi alat penakar hujan dan pola penyebarannya.Hasil pengukuran yang akurat dapat diperoleh apabila jaringan pos hujan terdistribusi secara merata.Oleh karena itu diperlukan perencanaan yang baik dalam membangun jaringan pos hujan. Menurut Harto (1993), dalam merencanakan jaringan terdapat dua hal penting yang harus dipertimbangkan, yaitu berapa jumlah stasiun yang diperlukan dan dimana stasiun-stasiun tersebut akan dipasang. Penentuan jumlah optimum dari stasiun hujan yang perlu dipasang dapat dilakukan secara statistik.Dasar dari analisis statistik tesebut adalah bahwa sejumlah tertentu dari stasiun hujan yang diperlukan untuk memberikan hujan rerata dengan persentasi kesalahan tertentu (Triatmodjo, 2008). Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan jaringan pos hujan rekomendasi berdasarkan jumlah dan pola penyebaran yang ditetapkan menggunakan metode Kagan kemudian mengetahuin validasi terhadap jaringan pos hujan yang direkomendasikan. 2.

DATA DAN METODE

2.1. Data Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: a. koordinat pos hujan di wilayah penelitian b. data curah hujan bulanan dari 15 pos hujan di wilayah penelitian pada tahun 19912010 yang dihitung berdasarkan data curah hujan harian 2.2. Metode 2.2.1 Curah hujan wilayah Perhitungan curah hujan rata-rata wilayah dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu metode rata-rata aritmatika dan metode poligon Thiessen. a. Metode rata-rata aritmatika Metode ini menghitung rata-rata curah hujan disetiap pos hujan dalam periode waktu yang sama sehingga setiap pos hujan memiliki bobot yang sama dalam menentukan curah hujan Rata-rata wilayah. Metode ini dirumuskan dalam persamaan 1 𝑃̅ = 𝑛 ∑𝑛𝑖=1 𝑃𝑖

(1)

b. Metode Poligon Thiessen Metode poligon Thiessen mengasumsikan bahwa setiap pos hujan mewakili suatu daerah dengan luasan tertentu yang digambarkan dalam suatu poligon.Cara perhitungan dalam metode ini yaitu memberikan bobot tertentu untuk setiap stasiun hujan berdasarkan luas daerah yang diwakilinya. Metode ini dirumuskan dalam persamaan 𝑛

∑ 𝑃𝑖 𝐴𝑖 𝑃̅ = ∑𝑖=1 𝑛 𝑖=1 𝐴𝑖

(2)

keterangan: 𝑃̅ = curah hujan Rata-rata wilayah Pi = curah hujan pada pos hujan i Ai = luas wilayah pos i n = jumlah pos hujan

155

2.2.2

Metode Kagan Penentuan rancangan jumlah dan pola penyebaran pos hujan dilakukan berdasarkan Metode Kagan. Persamaan yang digunakan adalah (Harto, 1993): r(d) = r(0) e−d/d(0) [1−r(0) +

Z1 = CV

1−r(0)

Z2 = CV √

3



(3)

0,23√A d(0)√n

(4)

n

+

0,52 r(0)

𝑙 = 1,07 √

d(0)



A n

(5)

A n

(6)

Keterangan: r(d) = koefisien korelasi untuk jarak d r(0) = koefisien korelasi yang diekstrapolasikan CV = koefisien variansi d = jarak antar stasiun (km) d(0) =iradius korelasi, yaitu jarak dalam kilometer dimana koefisien korelasi berkurang dengan faktor e (fungsi eksponensial) A = luas DAS (dalam hal ini menggunakan luas wilayah Kabupaten Deli Serdang) n = jumlah pos hujan Z1 = kesalahan perataan (%) Z2 = kesalahan intepolasi (%) l = jarak antar stasiun hujan Selanjutnya dari perhitungan tersebut digambarkan jaring-jaring segitiga sama sisi yang panjang sisinya adalah jarak antar pos hujan (l). Simpul segitiga adalah lokasi pos hujan sehingga jumlah simpul segitiga yang digambarkan pada peta Kabupaten Deli Serdang harus sama dengan jumlah pos hujan yang telah dihitung.

2.2.3 Validitas Validitas dilakukan dengan menghitung selisih curah hujan rata-rata wilayah antara pos hujan existing dan pos hujan rekomendasi.Pendugaan nilai curah hujan pada pos rekomendasi dilakukan dengan interpolasi dari jumlah curah hujan pos existing disekitarnya. 1. Pendugaan nilai curah hujan pos rekomendasi Pendugaan nilai curah hujan di pos rekomendasi dilakukan dengan menggunakan metode pangkat jarak yang dirumuskan pada persamaan Px =

Pi dxi 2 1 ∑n i=1d 2 xi

∑n i=1

(7)

156

keterangan: Px = curah hujan pos hujan yang diperkirakan Pi = curah hujan pos hujan yang diketahui n = jumlah pos hujan yang diketahui dxi = jarak pos hujan yang diperkirakan dengan pos hujan i 2. Kesalahan Relatif Validitas dilakukan dengan menghitung kesalahan relatif yang diperoleh dengan menghitung persentase dari perbedaan curah hujan wilayah antara jaringan yang sudah ada (existing) dengan jaringan rekomendasi. Perhitungan nilai kesalahan relatif dilakukan dengan menggunakan persamaan 𝜀𝑟 =

𝑋𝑎 −𝑋𝑏 𝑋𝑎

× 100%

(8)

keterangan: 𝜀 r = kesalahan relatif Xa =curah hujan wilayah pos hujan tersedia Xb =curah hujan wilayah pos hujan rencana 3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Curah hujan rata-rata wilayah Curah hujan rata-rata wilayah dihitung dengan menggunakan dua metode yaitu metode rata-rata aritmatika dan metode Poligon Thiessen. Perhitungan ini dilakukan untuk mendapatkan nilai koefisien variasi yang akan digunakan dalam perhitungan untuk menentukan pos hujan rekomendasiberdasarkan metodeKagan. Metode rata-rata arimatika dilakukan dengan menghitung rata-rata curah hujan bulanan dari 15 pos hujan sedangkan metode Poligon Thiessen memberikan bobot berdasarkan luas wilayah.

Gambar 1.Peta poligon Thiessen pos hujan existing Kabupaten Deli Serdang Gambar 1 menunjukkan poligon-poligon yang menggambarkan luasan tertentu yang diwakili oleh suatu pos hujan pada jaringan pos existing yang digambarkan pada

157

peta wilayah penelitian.Pada gambar tersebut dapat kita lihat bahwa penyebaran pos hujan tidak mewakili seluruh wilayah penelitian tersebut. Tabel 1.Perhitungan statistik berdasarkan metode rata-rata aritmatika dan poligon Thiessen

Rata-Rata (mm) Standar Deviasi Koefisien Variasi

Metode Rata-Rata Aritmatika Poligon Thiessen 157,35 158,24 45,11 45,11 0,28669 0,28508

Tabel 1 menunjukkan hasil perhitungan statistik dari metode Rata-rata aritmatika dan metode poligon Thiessen yang terdiri dari rata-rata curah hujan wilayah standar deviasi dan koefisien variasi curah hujan di wilayah penelitian.

3.2. Perencanaan Jaringan Pos Hujan 3.2.1 Hubungan korelasi dan jarak pos hujan Korelasi antar pos hujan menggambarkan hubungan nilai curah hujan antara suatu pos hujan dengan pos hujan lainnya. Selanjutnya dianalisis hubungan korelasi tersebut dengan jarak pos hujan untuk mengetahui pengaruh jarak pos hujan terhadap perbedaan jumlah curah hujannya. Hubungan antara korelasi dan jarak pos hujan tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2.Hubungan korelasi dan jarak pos hujan Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin jauh jarak pos hujan maka korelasi antara curah hujannya juga semakin kecil, yang artinya bahwa pos hujan yang berdekatan memiliki nilai curah hujan yangcenderung lebih mirip daripada pos hujan yang jaraknya lebih jauh. 3.2.2 Perencanaan jaringan Perencanaan jaringan dilakukan dengan menggunakan persamaan Kagan dan langkah-langkah perhitungan yang telah dijelaskan pada bab 2. Gambar 3 menunjukkan hubungan jumlah pos hujan dan kesalahan rata-rata yang dihitung dengan metode ratarata aritmatika dan Gambar 4 menunjukkan hubungan jumlah pos hujan dan kesalahan rata-rata yang dihitung dengan metode rata-rata Poligon Thiessen. Nilai kesalahan yang ditoleransi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5% (0,05).

158

Gambar 3. Hubungan jumlah pos hujan dan kesalahan rata-rata menggunakan metode rata-rata aritmatika

Gambar 4. Hubungan jumlah pos hujan dan kesalahan rata-rata menggunakan metode poligon Thiessen Hasil perhitungan berdasarkan persamaan pada masing-masing grafik menunjukkan hasil yang sama dimana untuk nilai kesalahan 5% diperlukan sebanyak 9 pos hujandan jarak antar pos hujan adalah 17,8 km kemudian digambarkan dalam suatu jaring-jaring kagan yang ditunjukkan pada Gambar 5. Lokasi pos hujan yang direkomendasikan adalah pada titik yang terletak atau dekat dengan simpul segitiga pada jaring-jaring Kagan yang ditunjukkan pada Gambar 5. Selanjutnya lokasi pos hujan tersebut digambarkan pada peta wilayah Deli Serdang yang ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 5.Jaring-jaring segitiga Kagan

159

Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa lokasi penyebaran pos hujan rekomendasi lebih merata daripada penyebaran pos hujan existing sehingga pengukuran curah hujan dapat mewakili hampir seluruh wilayah Kabupaten Deli Serdang.hampir seluruh wilayah Kabupaten Deli Serdang. Koordinat masing-masing pos hujan rekomendasi yang digambarkan pada peta tersebut ditunjukkan pada Tabel 2.

Gambar 6. Peta pos hujan rekomendasi Kabupaten Deli Serdang

Tabel 2.Koordinat pos hujan rekomendasi No

Pos Hujan

Lintang

Bujur

1 2 3 4 5 6 7 8 9

A B C D E F G H I

3.781 3.643 3.620 3.497 3.499 3.497 3.365 3.361 3.227

98.561 98.631 98.794 98.550 98.709 98.860 98.616 98.769 98.682

3.3. Validitas Jaringan Rekomendasi Validitas jaringan pos hujan rekomendasi dilakukan dengan membandingkan jumlah curah hujan rata-rata wilayah antara jaringan pos hujan existing dan jaringan pos hujan rekomendasi. Jumlah curah hujan pada jaringan pos rekomendasi merupakan nilai dugaan yang dihitung dengan cara interpolasi nilai curah hujan pos existing disekitarnya. 3.3.1 Curah hujan pos rekomendasi 1. Pendugaan nilai curah hujan Gambar 7 menunjukkan pos-pos hujan existing yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menduga nilai curah hujan pada suatu pos rekomendasi.

160

Gambar 7. Peta penyebaran pos hujan existing Hasil perhitungan jarak antar pos hujan rekomendasi dengan pos hujan existing disekitarnya ditunjukkan pada Tabel 3.Perhitungan curah hujan dugaan dilakukan dengan menggunakan metode pangkat jarak. Tabel 3.Jarak pos hujan existing disekitar pos hujan rekomendasi Pos

Pos Hujan Terdekat

Jarak (km)

A

Kwala bingei Tandem Belawan Klumpang Klambir Lima Bandar Kalipah Btg Kuis Saentis Tuntungan Semayang Sampali Tuntungan Saentis Tj Gorbus Jaharun Sampali Tuntungan Tongkoh Sampali Jaharun Tongkoh Kuta Gadung

12.83 8.84 17.16 5.45 4.58 5.13 1.92 6.14 1.59 6.13 11.04 16.14 10.43 4.59 3.54 11.65 16.10 20.01 7.45 17.95 17.02 20.99

B C

D E

F G

H I

161

2. Curah hujan rata-rata wilayah Curah hujan rata-rata wilayah dihitung dengan menggunakan dua metode yaitu metode rata-rata aritmatika dan metode Poligon Thiessen.yang digambarkan berdasarkan titik pos hujan. Gambar 8 menunjukkan poligon yang terbentuk dari masing-masing pos hujan rekomendasi.Poligon pada jaringan pos rekomedasi tersebar secara lebih merata di seluruh wilayah penelitian dibandingkan poligon pada pos existing yang ditunjukkan pada Gambar 1 yang tidak mencakup keseluruhan wilayah penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan metode poligon Thiessen dimana setiap poligon dianggap sebagai wilayah yang diwakili oleh suatu pos hujan, maka jaringan pos hujan rekomendasi lebih mencakup keseluruhan wilayah penelitian dan pengukuran distribusi hujan lebih merata dibandingkan dengan jaringan pos hujan existing.

Gambar 8.Peta poligon Thiessen pos hujan rekomendasi Hasil perhitungan curah hujan rata-rata wilayah dari kedua metode tersebut ditunjukkan pada Tabel 4 Tabel 4.Curah hujan rata-rata wilayah Pos Rekomendasi Curah Hujan (mm)

Metode Rata-rata Aljabar Poligon Thiessen 158.68

155.49

3.3.2 Kesalahan Relatif Tabel 5 merupakan hasil perhitungan kesalahan relatif dari kedua metode.Berdasarkan tabel tersebut, nilai kesalahan relatif dari kedua metode tersebut sangat kecil. Berdasarkan metode rata-rata aljabar, nilai kesalahan relatif adalah 2,39%. Kesalahan tersebut lebih besar daripada kesalahan relatif pada metode poligon Thiessen yaitu 0,95%. Nilai kesalahan relatif pada kedua metode tersebut dianggap sangat kecil yang artinya bahwa perbedaan curah hujan wilayah yang diukur pada jaringan pos hujan existing dan nilai dugaan curah hujan wilayah pada pos hujan rekomendasi tidak signifikan atau curah hujan wilayah pada kedua jaringan hampir sama.

162

Tabel 5. Perhitungan kesalahan relatif Curah Hujan Rata-rata Wilayah Pos Hujan Existing Metode Rata-rata Aljabar Poligon Thiessen 157.35 158.24

Pos Hujan Rekomendasi Metode Rata-rata Aljabar Poligon Thiessen 161.11 156.74

Kesalahan Relatif (%) Metode Rata-rata Aljabar

Metode Poligon Thiessen

2.39

0.95

4. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jumlah pos hujan yang dibutuhkan berdasarkan metode Kagan (pos rekomendasi) lebih sedikit daripada jumlah pos hujan existing. 2. Penyebaran pos hujan rekomendasi lebih merata dan lebih mencakup keseluruhan wilayah penelitian daripada penyebaran pos hujan existing. 3. Hasil validitas menunjukkan nilai kesalahan yang sangat kecil yaitu 2,39% (berdasarkan metode rata-rata aljabar) dan 0,95% (berdasarkan metode poligon Thiessen) yang artinya jaringan pos existing dan jaringan pos rekomendasi menunjukkan hasil pengukuran yang hampir sama meskipun jumlah dan penyebaran pos hujan sangat berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa metode Kagan cocok diterapkan pada wilayah penelitian. DAFTAR PUSTAKA Harto Br, S., 1983, Mengenal Dasar Hidrologi Terapan, Biro Penerbit Keluarga Mahasiswa Tehnik Sipil Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Harto Br, S., 1993, Analisis Hidrologi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Junaidi, R., 2015, Kajian Rasionalisasi Jaringan Stasiun Hujan pada WS Parigi-Poso Sulawesi Tengah dengan Metode Kagan Rodda dan Krigging, Jurnal Ilmu-Ilmu Tehnik Vol 11 No.1, Malang. Soemarto, CD., 1999, Hidrologi Teknik, Edisi ke-2, Erlangga, Jakarta. Sosrodarsono, S., 1977, Hidrologi Untuk Pengairan, P.T. Dainippon Gita Karya Printing, Jakarta. Triadmodjo, B., 2008, Hidrologi Terapan, Beta Offset, Yogyakarta Yasa, I W. dan Harto Br, S., 2001, Beberapa Metode Pola Jaringan Stasiun Hujan dan Implikasinya pada Ketelitian Analisis, Jurnal, Forum Tehnik Sipil No.X/I, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

163

VALIDASI PREKURSOR GEMPA BUMI BERBASIS DATA MAGNET BUMI FREKUENSI ULF DI STASIUN GEOFISIKA TUNTUNGAN Yosi Setiawan1, Niken Woropalupi1, Bertalina Sihotang1 1 Stasiun Geofisika Tuntungan, BMKG ABSTRAK Kegiatan operasional prekursor gempa bumi menggunakan data magnet bumi telah dilakukan oleh BMKG sejak tahun 2015. Sejak saat itu telah banyak dilaporkan kejadian gempa bumi yang bersesuaian dengan anomali prekursor yang terdeteksi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa akurat anomali prekursor menggunakan data magnet bumi ini dalam memprediksi terjadinya gempa bumi. Dengan menggunakan data magnet bumi selama bulan Januari 2017 dari Stasiun Geofisika Tuntungan menggunakan metode polarisasi power ratio Z/H pada frekuensi ULF (22-100 mHz) dan fungsi transfer stasiun tunggal didapatkan hasil tingkat akurasi prekursor ini sebesar 57%. Kata kunci : prekursor, ULF, power ratio Z/H, fungsi transfer stasiun tunggal PENDAHULUAN Studi prekursor gempa bumi dengan menggunakan data magnet bumi telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti. Dari penelitian-penelitian tersebut, frekuensi ULF (Ultra Low Frequency) merupakan rentang frekuensi gelombang elektromagnetik yang paling menjanjikan dalam studi prekursor gempa bumi. Hal ini dikarenakan gelombang ULF eksternal di plasmasfer menimbulkan medan listrik yang menyebabkan timbulnya arus terinduksi di bawah tanah dimana skin depth atau kedalamannya bisa mencapai 200 km (Yumoto et al, 2009). Kedalaman aktivitas seismik juga berada pada kedalaman tersebut, sehingga munculnya anomali pada emisi ULF dapat diasosiasikan dengan adanya aktivitas seismik. Yumoto et al (2009) juga menjelaskan bahwa perubahan polarisasi ULF disebabkan oleh pembentukan zona konduktif di litosfer. Variasi musiman, waktu lokal, dan latitudinal teramati pada amplitudo gelombang ULF. Gelombang ULF ini adalah fungsi dari parameter angin matahari, magnetosfer, ionosfer dan litosfer yang dapat dirumuskan : 𝐴 = 𝐵𝑓(𝐿𝑇)𝜎

(1)

Dimana A adalah amplitudo gelombang ULF yang teramati di permukaan bumi, B adalah parameter gelombang sumber pada angin matahari/magnetosfer, f adalah fungsi waktu lokal di ionosfer, dan σ adalah faktor amplifikasi di litosfer. Dengan menggunakan data magnet bumi pada frekuensi ULF ini, Ahadi (2013) telah mengembangkan metode untuk mendeteksi anomali ULF dan arah vektor sumber anomali. Dengan metode polarisasi power ratio Z/H, tanda (signature) dan waktu mula (onset time) prekursor gempa bumi dapat ditentukan. Arah vektor sumber anomali ditentukan dengan metode fungsi transfer stasiun tunggal. Menurut Ahadi (2013), masalah utama dari studi prekursor gempa bumi dengan menggunakan data magnet bumi frekuensi ULF adalah bagaimana menentukan tanda (signature) dan waktu mula (onset time) anomali prekursor gempa bumi yang berasosiasi dengan emisi ULF. Signature yang muncul seringkali tidak berasosiasi

164

dengan gempa bumi manapun. Signature ini kemungkinan disebabkan oleh aktivitas elektromagnetik di ionosfer dan oleh noise akibat faktor lingkungan. Dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Ahadi (2013), saat ini BMKG telah mengoperasikan sistem prekursor gempa bumi berbasis data magnet bumi. Sistem ini telah beroperasi sejak tahun 2015 dan sejak beroperasinya sistem ini, beberapa gempa bumi telah berhasil dideteksi anomali ULF nya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keakuratan prekursor gempa bumi dengan metode polarisasi power ratio Z/H pada frekuensi ULF (22-100 mHz) dan metode fungsi transfer stasiun tunggal. Selain melakukan validasi, hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi langkah awal untuk mengetahui faktor-faktor penyebab ketidakberaturan anomali emisi ULF yang dianggap sebagai prekursor. Sehingga kedepannya, data prekursor gempabumi yang lebih akurat dapat digunakan dalam mitigasi bencana gempa bumi. METODE Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data magnet bumi Stasiun Geofisika Tuntungan selama bulan Januari 2017 dari magnetometer LEMI-018 dengan sampling rate 1 Hz. Data ini dipilih karena pada bulan tersebut terdapat gempa signifikan yang lokasinya tidak jauh dari Stasiun Geofisika Tuntungan. Untuk memperoleh sinyal ULF, data magnet bumi komponen X, Y dan Z dikonversi menjadi H dan Z. Sinyal ini selanjutnya difilter pada frekuensi 22-100 mHz (periode 10-45 detik) menggunakan filter butterworth. Hasil filtering ini kemudian di cuplik setiap jam dan dihitung magnitudo (nilai absolut) spektrum frekuensinya menggunakan jendela cuplik (window) tipe Hamming dengan lebar window 3600 detik sehingga dalam satu hari terdapat 24 nilai magnitudo untuk masing-masing komponen H dan Z. Kemudian dihitung nilai polarisasi power ratio Z/H pada masing-masing jam. Hasil polarisasi tersebut kemudian dicari kecenderungan pola (trend) menggunakan moving average 18 jam. Selanjutnya dihitung nilai standar deviasi dari keseluruhan data dan menjumlahkannya dengan nilai moving average yang telah diperoleh untuk mendapatkan batas atas standar deviasi dan mengurangkannya dengan nilai moving average untuk mendapatkan batas bawah. Jika ada nilai polarisasi power ratio Z/H yang melewati batas atas atau batas bawah standar deviasi, maka dianggap sebagai anomali/prekursor untuk gempa yang kemungkinan akan terjadi, dimana tanda (signature) awal waktu penentuan anomali ini dinyatakan sebagai onset time. Untuk menentukan arah vektor sumber anomali, Hattori (2004) memperkenalkan metode fungsi transfer stasiun tunggal. Pada metode ini, komponen magnet bumi dianggap memiliki hubungan yang linear : ∆𝑍(𝜔) = 𝐴(𝜔) ∙ ∆𝑋(𝜔) + 𝐵(𝜔) ∙ ∆𝑌(𝜔)

(2)

Dimana ∆𝑋(𝜔), ∆𝑌(𝜔), ∆𝑍(𝜔) adalah komponen NS, EW dan Vertikal. Koefisien 𝐴(𝜔) dan 𝐵(𝜔) dianggap invarian pada durasi tertentu dan spesifik untuk tiap lokasi stasiun magnet bumi. Fungsi transfer memiliki informasi tentang konduktivitas listrik di bawah tanah yang disebut dengan Conductivity Anomaly. Besarnya skala konduktivitas dan arah medan konduktivitas dapat ditentukan dengan rumus : 𝐴𝑚𝑝(𝜔) = √𝐴𝑟(𝜔)2 + 𝐵𝑟(𝜔)2 𝐵𝑟(𝜔)

𝐷𝑖𝑟 = arctan (𝐴𝑟(𝜔))

(3) (4)

165

Dimana Amp adalah skala konduktivitas (jarak antara medan konduktivitas), Dir adalah arah sudut dari bawah stasiun (arah medan konduktivitas), dan r adalah referensi stasiun magnet bumi. Arah medan konduktivitas dibuat rentang 45⁰ . Selain itu digunakan data Dst Index (Disturbance Storm Time) untuk mengetahui adanya gangguan eksternal global seperti badai magnetik (Nuraeni et al, 2010). Loewe dan Prölss (1997) menjelaskan bahwa nilai Dst < -30 nT diklasifikasi sebagai badai. Sehingga jika terdapat anomali emisi ULF yang muncul disaat bersamaan dengan adanya badai magnetik, maka anomali emisi ULF tersebut tidak dianggap sebagai prekursor. Data Dst Index diperoleh dari WDC for Geomagnetism, Kyoto. Menurut Hayakawa et al (2007), emisi ULF bisa muncul beberapa minggu hingga sebulan sebelum gempa bumi terjadi. Untuk jarak episenter gempa bumi, menurut Ahadi et al (2015) anomali ULF dapat dideteksi hingga jarak 550 km. Hattori et al (2004) menjelaskan bahwa anomali ULF dapat terdeteksi pada gempa dengan magnitudo minimum 4.5.

Gambar 1. Emisi ULF dalam bentuk diagram hubungan antara magnitudo gempa bumi versus jarak episenter gempa bumi (Hattori et al, 2004) Dengan menggunakan karakteristik tersebut serta arah vektor yang dihitung menggunakan metode fungsi transfer stasiun tunggal, dapat diketahui gempa bumi yang berasosiasi dengan anomali ULF yang muncul. Untuk melakukan validasi, dihitung seberapa besar tingkat akurasi metode ini dengan cara menghitung perbandingan antara anomali ULF yang berasosiasi dengan gempa bumi dan anomali ULF yang tidak berasosiasi dengan gempa bumi manapun. 166

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil analisis anomali emisi ULF pada bulan Januari 2017, terdapat tujuh anomali emisi ULF yang muncul. Dari ketujuh anomali tersebut hanya empat anomali emisi ULF yang berasosiasi dengan gempa bumi di Sumatra Bagian Utara seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Grafik polarisasi power ratio Z/H selama bulan Januari 2017 ditampilkan pada Gambar 2. Tabel 1. Gempa bumi yang berasosiasi dengan anomali emisi ULF No

Tanggal

Mag

Bujur

Lintang

Azimuth

Lead Time (hari)

1 2 3 4

12/Jan/2017 16/Jan/2017 13/Feb/2017 17/Feb/2017

5.2 5.6 5.2 4.9

94.68 98.46 98.46 96.37

5.33 3.41 3.37 4.48

290.292 247.879 186.965 286.503

9 9 28 27

Jarak Epic ke TSI (Km) 480 15 18 268

Gambar 2. Grafik polarisasi power ratio Z/H selama bulan Januari 2017 Peta seismisitas dari keempat gempa bumi tersebut ditampilkan pada Gambar 3. Dari peta tersebut diketahui bahwa dua dari keempat gempa bumi tersebut terjadi di wilayah Aceh dan sisanya terjadi di wilayah Sumatera Utara, tepatnya di Sibolangit.

Gambar 3. Lokasi gempa bumi yang berasosiasi dengan anomali emisi ULF 167

Pada event ke-1, gempa bumi terjadi pada tanggal 12 Januari 2017 di wilayah Aceh dengan lead time 9 hari. Artinya anomali emisi ULF muncul 9 hari sebelumnya atau pada tanggal 03 Januari 2017. Selama bulan Januari 2017 terdeteksi adanya gangguan magnetik global (Dst < -30 nT) pada tanggal 5 Januari 2017 dan 19 Januari 2017. Sehingga anomali yang muncul pada tanggal tersebut tidak dianggap sebagai prekursor. Grafik polarisasi power ratio Z/H dan arah vektor sumber emisi ULF untuk event ke-1 ditampilkan pada Gambar 4 dan 5.

Gambar 4. Grafik polarisasi power ratio Z/H pada anomali emisi ULF 03 Januari 2017

Gambar 5. Lokasi gempa bumi 12 Januari 2017 dan arah vektor sumber anomali emisi ULF Pada event ke-2, gempa bumi terjadi pada tanggal 16 Januari 2017 di Sibolangit dan lead time 9 hari. Artinya anomali emisi ULF muncul pada tanggal 07 Januari 2017. Grafik polarisasi power ratio Z/H dan arah vektor sumber emisi ULF untuk event ke-2 ditampilkan pada Gambar 6 dan 7.

168

Gambar 6. Grafik polarisasi power ratio Z/H pada anomali emisi ULF 07 Januari 2017

Gambar 7. Lokasi gempa bumi 16 Januari 2017 dan arah vektor anomali emisi ULF Pada event ke-3, gempa bumi terjadi pada tanggal 13 Februari 2017 di Sibolangit dan lead time 28 hari. Artinya anomali emisi ULF muncul pada tanggal 16 Januari 2017. Grafik polarisasi power ratio Z/H dan arah vektor sumber emisi ULF untuk event ke 3 ditampilkan pada Gambar 8 dan 9.

Gambar 8. Grafik polarisasi power ratio Z/H pada anomali emisi ULF 16 Januari 2017 169

Gambar 9. Lokasi gempa bumi 13 Februari 2017 dan arah vektor sumber anomali emisi ULF Pada event ke- 4, gempa bumi terjadi pada tanggal 17 Februari 2017 di wilayah Aceh dengan lead time 27 hari. Artinya anomali emisi ULF muncul pada tanggal 21 Januari 2017. Grafik polarisasi power ratio Z/H dan arah vektor sumber emisi ULF untuk event ke- 4 ditampilkan pada Gambar 10 dan 11.

Gambar 10. Grafik polarisasi power ratio Z/H pada anomali emisi ULF 21 Januari 2017

Gambar 11. Lokasi gempa bumi 17 Februari 2017 dan arah vektor sumber anomali emisi ULF 170

Dari hasil tersebut dapat dihitung bahwa tingkat akurasi sistem prekursor ini sebesar 57% atau sebanyak 4 dari 7 anomali emisi ULF yang terekam sesuai dengan gempa bumi yang terjadi. Munculnya anomali emisi ULF yang tidak berasosiasi dengan gempa bumi manapun dianggap sebagai false alarm dan hal ini kemungkinan disebabkan karena sinyal ULF yang diproses masih mengandung noise. Sumber noise ini bisa disebabkan oleh aktivitas manusia maupun oleh aktivitas matahari sebagaimana fungsi gelombang ULF yang dijelaskan oleh Yumoto et al (2009). Untuk menghilangkan pengaruh gangguan-gangguan tersebut, beberapa peneliti memisahkan terlebih dahulu sinyal ULF yang terekam menjadi beberapa sinyal sumber. Hayakawa et al (2007) menggunakan metode Principal Component Analysis untuk memisahkan sinyal ULF menjadi tiga komponen, yaitu komponen variasi magnet bumi di magnetosfer yang berhubungan dengan aktivitas matahari, komponen noise akibat aktivitas manusia, dan komponen lainnya (termasuk emisi akibat aktivitas seismik). Dengan memisahkan sinyal menjadi beberapa komponen tersebut, anomali ULF yang muncul dapat dipastikan berhubungan dengan aktivitas seismik. KESIMPULAN Dari hasil analisis yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan bahwa tingkat akurasi sistem prekursor yang telah dioperasikan oleh BMKG masih cukup rendah yaitu sebesar 57%. Namun hal ini masih membutuhkan studi yang lebih mendalam karena pada studi ini data yang digunakan hanya sebulan. Selain itu perlu dilakukan pemisahan sinyal magnet bumi pada frekuensi ULF menjadi beberapa komponen sumbernya. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa anomali ULF yang muncul memang berasosiasi dengan aktivitas seismik dan bukan disebabkan oleh noise. DAFTAR PUSTAKA Ahadi, Suaidi, Puspito N.T, Ibrahim G, Saroso S., Yumoto K., Yoshikawa A., dan Muzli. (2015). Anomalous ULF Emissions and Their Possible Association with the Strong Earthquakes in Sumatra, Indonesia, during 2007-2-12, J. Math Fund. Sci. Vol. 47, No.1, 84-103 Ahadi, Suaidi, Puspito N.T, Saroso S., Ibrahim G., Siswoyo, dan Suhariyadi. (2013). Prekursor Gempa Bumi Padang 2009 Berbasis Hasil Analisis Polarisasi Power Ratio dan Fungsi Transfer Stasiun Tunggal, Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 19 No. 1 Agustus 2013, 49-56 Hattori, K. (2004) ULF Geomagnetic Changes Associated with Large Earthquakes, TAO, Vol 15, No. 3, 329-360 Hattori, K., I. Takahashi, C. Yoshino, N. Isezaki, H. Iwasaki, M. Harada, K. Kawabata, E. Kopytenko, Y. Kopytenko, P. Maltsev, V. Korepanov, O. Molchanov, M. Hayakawa Y. Noda, T. Nagao, S. Uyeda. (2004). ULF geomagnetic field measurements in Japan and some recent results associated with Iwateken Nairiku Hokubu earthquake in 1998, Physics and Chemistry of the Earth 29, 481-494, doi:10.1016/j.pce.2003.09.019 Hayakawa, Masashi, Hattori, Katsumi, dan Ohta, Kenji. (2007). Monitoring of ULF (ultra-low-frequency) Geomagnetic Variations Associated with Earthquakes, Sensors 2007, 7, 1108-1122, ISSN 1424-8220 Loewe, C.A. dan Prölss, G.W. (1997). Classification and mean behavior of magnetic storms, Journal of Geophysical Research, Vol. 102, No. A7, pages 14, 209-14, 213, July 1, 1997 Nuraeni, Fitri, Juangsih, Mira, Wellyanita, Visca, Haryanto, Cucu E., Aris, M. Andi. (2010). Penentuan Prekursor Gempa Bumi Menggunakan Data Geomagnet Near Real Time dengan Metode Perbandingan Polarisasi 2 Stasiun, Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 5 No. 1 Maret 2010, 11-21 171

Yumoto, K., S. Ikemoto, M.G. Cardinal, M. Hayakawa, K. Hattori, J.Y. Liu, S. Saroso, M. Ruhimat, M. Husni, D.S. Widarto, E. Ramos, D. McNamara, R.E. Otadoy, G. Yumul, R. Ebora and N. Servando. (2009). A new ULF wave analysis for Seismo-Electromagnetics using CPMN/MAGDAS data, Physics and Chemistry of the Earth 34 360–366, doi:10.1016/j.pce.2008.04.005

172

KONDISI ATMOSFER KETIKA SEBARAN ABU VULKANIK GUNUNG SINABUNG DI SEKITAR STASIUN METEOROLOGI KUALANAMU Cristine Widya Simanungkalit (1) Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika(1) Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah I(1) (email: [email protected]) ABSTRAK Gunung Sinabung sebagai salah satu gunung berapi di Indonesia termasuk gunung berapi yang saat ini sedang aktif mengeluarkan material-material vulkaniknya. Kondisi masuknya zat lain ke dalam atmosfer atau berlebihannya jumlah zat atau bahan tertentu dalam atmosfer, seperti material vulkanik, tentu akan mengganggu kondisi atmosfer disekitarnya. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif analitik, menggunakan analisis sounding data sandi TEMP Stasiun Meteorologi Kualanamu dan menghasilkan nilai parameter udara atas, yaitu lapse rate, Lifting Condensation Level (LCL), Convective Condensation Level (CCL), Equilibrium Level (EL), tropopause, precipitable water, dan kelembaban udara relatif (RH) vertikal. Data yang diolah yaitu pada bulan Januari 2014 dengan periode banyak terjadi letusan dan bulan Januari 2015 dengan periode sedikit terjadi letusan Gunung Sinabung. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa nilai lapse rate udara lingkungan pada Bulan Januari 2014 dan 2015 secara umum labil bersyarat atau netral dan beberapa waktu pada lapisan 925 mb, 850 mb dan 700 mb memiliki kondisi stabil, ketinggian Lifting Condensation Level (LCL) tidak terlalu terpengaruh oleh sebaran abu vulkanik, ketinggian Convective Condensation Level (CCL) pada beberapa waktu lebih tinggi dibandingkan hari lain di Bulan Januari 2014 dengan ketinggian Equilibrium Level (EL) yang cukup rendah yang kemungkinan akibat perbedaan kandungan abu vulkanik Gunung Sinabung yang tersebar, ketinggian tropopause lebih rendah pada Bulan Januari 2014, serta kelembaban relatif (RH) vertikal dan precipitable water menurun pada Bulan Januari 2014 akibat sifat higroskopis dari abu vulkanik Gunung Sinabung. Kata kunci:Abu Vulkanik, lapse rate, LCL, CCL, EL, tropopause, precipitable water, RH vertikal ABSTRACT Sinabung as one of the main volcanoes in Indonesia is currently active producing volcanic materials. Conditions of entry of other substances into the atmosphere or too much amount of a particular substances in the atmosphere, such as volcanic material, certainly will disrupt the atmospheric conditions. This research was conducted with descriptive analytic method by sounding data TEMP Kualanamu Meteorological Station analysis and generate value over the air parameters, namely the lapse rate, Lifting Condensation Level (LCL), Convective Condensation Level (CCL), Equilibrium Level (EL), tropopause level, precipitable water, and vertical relative humidity (RH). The data used for processing is January 2014 with a lot eruption period and January 2015 with a period of little eruption of Mount Sinabung. Results of data processing shows that value of environmental lapse rate in January 2014 and 2015 generally conditional unstable or neutral and sometimes on the level of 925 mb , 850 mb and 700 mb have a stable condition , height Lifting Condensation Level (LCL) is not too affected by the volcanic ash , height convective Condensation Level (CCL) at several times higher than any other day in January 2014, with a height of Equilibrium Level (EL) is quite low which is likely due to differences in the content of volcanic ash of Mount Sinabung, the height of the tropopause is lower in January 2014 characteristic of volcanic ash of Mount Sinabung . Keywords:Volcanic Ash, lapse rate, LCL, CCL, EL, tropopause, precipitable water, vertical RH I.

PENDAHULUAN Letusan gunung berapi sering terjadi di Indonesia. Gunung Sinabung sebagai salah

satu gunung berapi di Indonesia termasuk gunung berapi yang saat ini sedang aktif mengeluarkan material-material vulkaniknya.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sebelumnya telah menaikkan status Gunung Sinabung dari Siaga (Level III) menjadi Awas (Level IV) pada tanggal 24 November 2013 pukul 10.00 WIB akibat aktivitas vulkanisnya yang terus meningkat dan mengancam keselamatan manusia, di mana hingga kini masih sering terjadi letusan-letusan dari Gunung Sinabung (vsi.esdm.go.id). Pada tanggal 11 Januari 2014 misalnya, letusan Gunung Sinabung yang terjadi menyebabkan abu vulkanik tersebar hingga sampai ke Kota Medan (news.detik.com). Masuknya zat lain ke dalam atmosfer seperti yang terjadi di Kota Medan akibat adanya sebaran abu vulkanik Gunung Sinabung tentu mengganggu kondisi atmosfer di Medan. Oleh karena itu Penulis melaksanakan penelitian untuk melihat bagaimana kondisi atmosfer ketika sebaran abu vulkanik Gunung Sinabung dilihat dari parameter pengamatan udara atas. Tujunnya adalah untuk mengetahui kondisi atmosfer ketika sebaran abu vulkanik Gunung Sinabung dilihat dari parameter pengamatan udara atas. Stabilitas vertikal udara ke atas merupakan gambaran kondisi fisis suatu parsel atau gugusan udara pada suatu kondisi ketinggian dan waktu yang sedemikian yang dapat berkembang dengan pengembangan teori dan persamaan fisika seperti hukum hidrostatika dan thermodinamika (Winarso, 2009). Terdapat tiga macam penurunan suhu terhadap ketinggian yaitu lapse rate udara sekitar ( ), lapse rate adiabatik kering ( ) dan lapse rate adiabatik basah ( ), di mana lapse rate adiabatik kering bernilai 9.8°C/km dan lapse rate adiabatik basah bernilai 4.6°C/km (Prawirowardoyo, 1996), yaitu stabil mutlak ( ), labil bersyarat( ), dan labil mutlak ( ). Secara vertikal terdapat beberapa level (ketinggian) penting, yaitu Lifting Condensation Level (LCL),Convctive Condensation Level (CCL), Equilibrium Level (EL), dan ketinggian tropopause. Aerosol atmosferik dapat berasal dari sumber alami, misalnya letusan gunung berapi, permukaan darat dan laut, dan dapat berasal dari buatan manusia, seperti pembakaran

bahan fosil dari industri atau kendaraan bermotor (Tjasyono, 2007).

II. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik, yaitu suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran dengan tujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 1998). Data-data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari: a. Sandi TEMP Stasiun Meteorologi Kualanamu diperoleh dari Stasiun Meteorologi Kualanamu b. Data citra satelit AURA/OMI dan SUOMI NPP/OMPS diperoleh dari website http://so2.gsfc.nasa.gov/. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. RAOB (Rawinsonde Observation) Program b. Microsoft Excel Lokasi penelitian adalah Stasiun Meteorologi Kualanamu yang terletak pada 3° 33' 36'' LU dan 98° 40' 48'' BT. Gunung Sinabung Sinabung bejarak sekitar 80 kilometer pada arah barat daya Kota Medan di Kabupaten Karo, dengan titik koordinat 3° 10' LU dan 98° 23' BT dengan puncak tertinggi 2.460 meter.

Medan G. Sinabung

Gambar 2.1 Lokasi Penelitian (Sumber: bakosurtanal.go.id)

Pada lokasi penelitian tersebut, waktu kejadian yang akan diteliti adalah: - Bulan Januari 2014 - Bulan Januari 2015 Bulan-bulan tersebut diperoleh berdasarkan banyak dan sedikitnya letusan di bulan yang sama, dalam hal ini dilihat dari citra satelit AURA/OMI.

Gambar 2.2 Beberapa Gambaran Sebaran SO2 Januari 2014 (Sumber: so2.gsfc.nasa.gov)

letusan Gunung Sinabung dan sedikit terjadi letusan Gunung Sinabung. Berdasarkan citra satelit AURA/OMI, maka Bulan Januari 2014 menjadi waktu dengan banyak letusan Gunung Sinabung dan Bulan Januari 2015 menjadi waktu dengan sedikit letusun Gunung Berapi. Selanjutnya dilakukan pengolahan data hasil pengamatan RASON Stasiun Meteorologi Kualanamu Bulan Januari 2014 dan Januari 2015. Sandi TEMP Stasiun Meteorologi Kualanamu yang sudah diunduh, disimpan dalam format .txt berbentuk notepad serta dibuka dengan aplikasi RAOB 5.7 sesuai tanggal dan jam pengamatan yang diinginkan. Dalam listings dapat muncul beragam data-data olahan sandi TEMP yang dibutuhkan dalam penelitian, seperti suhu udara vertikal dan ketinggian untuk menentukan lapse rate, precipitable water, LCL (Lifted Condensation Level), CCL (Convective Condensation Level), EL (Equilibrium Level), ketinggian tropopause, dan kelembaban udara relatif (RH) vertikal. Selain melalui program RAOB, nilai LCL, CCL, dan EL dapat ditentukan dengan cara manual. Data-data tersebut ditampilkan dalam bentuk tabulasi maupun grafik untuk memudahkan dalam menganalisa. MULAI

INFORMASI KEJADIAN LETUSAN GUNUNG SINABUNG

1 BULAN DENGAN LETUSAN KURANG INTENSIF (JANUARI 2015)

1 BULAN DENGAN LETUSAN INTENSIF (JANUARI 2014)

SANDI TEMP STASIUN METEOROLOGI KUALANAMU

OLAH DENGAN RAOB

LAPSE RATE, PRECIPITABLE WATER, LCL, CCL, EL, KETINGGIAN TROPOPAUSE, KELEMBABAN UDARA (RH) VERTIKAL,

TABULASI DAN GRAFIK

Gambar 2.3 Beberapa Gambaran Sebaran SO2 Januari 2015 (Sumber: so2.gsfc.nasa.gov)

ANALISA

KESIMPULAN

SELESAI

Dalam penelitian ini, diolah data dari 2 (dua) bulan dengan kondisi banyak terjadi

Gambar 2.4 Diagram Alir Penelitian

Lapse Rate Stamet Kualanamu Bulan Januari Lapisan 700 mb

Pada dasarnya stabilitas udara dapat dideteksi dari perubahan suhu (∂T) terhadap ketinggian (∂Z) yang disebut lapse rate ( ) yang dirumuskan sebagai (Winarso, 2009) (2.1)

8 Lapse Rate (C/km)

7 6 5 2014

4

2015

3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011 12 13 14 15 17 18 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Tanggal

Setelah data-data selesai diolah, maka dilaksanakan analisa dari tiap hasil olahan data. Ketinggian lapisan kondensasi dianalisa dengan membandingkan dengan bulan yang lain. Lapse rate dianalisa dengan melihat perbandingan lapse rate lingkungan, lapse rate adiabatik basah dan lapse rate adiabatik kering. Kelembaban udara relatif (RH) vertikal dianalisa dengan melihat tingkat kelembaban lapisan bawah dan atas atmosfer, adakah pengaruh hadirnya aerosol dari debu vulkanik. RH vertikal dicocokkan dengan data precipitable water yang menunjukkan jumlah kandungan uap air di atmosfer (Mayangwulan, 2011)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Lapse Rate Lapse Rate Stamet Kualanamu Bulan Januari 7

Lapse Rate (C/km)

6.8 6.6 6.4 6.2 6

2014

5.8

2015

5.6 5.4 5.2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011 12 13 14 15 17 18 Tanggal

20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Lapse Rate Adiabatik Basah = 4.9 C/km ; < 4.9 C/km = Stabil Lapse Rate Adiabatik Kering = 9.8 C/km; > 9.8 C/km = Labil

Lapse Rate (C/km)

Lapse Rate Stamet Kualanamu Bulan Januari Lapisan 925 mb 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0

2014

Lapse Rate Adiabatik Basah = 4.9 C/km; < 4.9C/km = Stabil Lapse Rate Adiabatik Kering = 9.8 C/km ; > 9.8 C/km = Labil

Gambar 3.1 Grafik Lapse Rate Stamet Kualanamu Bulan Januari Berdasarkan hasil pengamatan radiosonde di Stasiun Meteorologi Kualanamu Bulan Januari tahun 2014 dan 2015, terlihat pada Gambar 4.1 bahwa nilai lapse rate udara lingkungan pada Bulan Januari secara keseluruhan adalah labil bersyarat, yaitu nilai lapse rate udara lingkungan berada di antara lapse rate adiabatik basah dan lapse rate adiabatik kering, di mana lapse rate adiabatik kering bernilai 9.8°C/km dan lapse rate adiabatik basah bernilai 4.6°C/km (Prawirowardoyo, 1996). Lapse rate udara lingkungan pada Bulan Januari 2014 berada di antara 6,04°C/km sampai 6,85°C/km, sedangkan lapse rate udara lingkungan Bulan Januari 2015 berada di antara 5,77°C/km sampai 6,46°C/km. Kondisi labil bersyarat ini dapat dikatakan sebagai kondisi netral. Tetapi, untuk lapisan 925 mb, 850 mb, dan 700 mb terdapat lapse rate udara lingkungan yang lebih kecil daripada lapse rate adiabatic kering dalam beberapa waktu, baik pada Bulan Januari 2014 maupun Bulan Januari 2014. Artinya pada lapisan-lapisan tersebut terbentuk lapisan stabil akibat abu vulkanik Gunung Sinabung, walaupun secara umum dalam kondisi labil bersyarat.

3.2 Lifting Condensation Level (LCL)

2015

Grafik LCL Hasil Pengamatan Rason Stamet Kualanamu Bulan Januari

1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011 12 13 14 15 17 18 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Tanggal

Lapse Rate Adiabatik Basah = 4.9 C/km; < 4.9C/km = Stabil Lapse Rate Adiabatik Kering = 9.8 C/km ; > 9.8 C/km = Labil

1200 Ketinggian (m)

1000

Lapse Rate Stamet Kualanamu Bulan Januari Lapisan 850 mb 10

800 600 2014

400

2015

200

6

2014

5

31-12'

30-12'

29-12'

28-12'

27-12'

26-12'

25-12'

24-12'

23-12'

22-12'

21-12'

20-12'

19-12'

17-12'

15-12'

14-12'

13-12'

12-12'

9-00'

11-00'

8-00'

10-00'

7-00'

6-00'

5-00'

4-00'

7

3-00'

8

2-00'

0

1-00'

Lapse Rate (C/km)

9

Tanggal

2015

4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011 12 13 14 15 17 18 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Tanggal

Lapse Rate Adiabatik Basah = 4.9 C/km; < 4.9C/km = Stabil Lapse Rate Adiabatik Kering = 9.8 C/km ; > 9.8 C/km = Labil

Gambar 3.2 Grafik LCL Stamet Kualanamu Bulan Januari

3.3 Convective Condensation Level (CCL) Grafik CCL Hasil Pengamatan Rason Stamet Kualanamu Bulan Januari 3500 Ketinggian (m)

3000 2500 2000 2014

1500

2015

31-12'

30-12'

29-12'

28-12'

27-00'

26-00'

25-00'

24-00'

23-00'

22-00'

21-00'

19-12'

17-12'

15-12'

14-12'

13-12'

12-12'

9-00'

11-12'

8-00'

10-00'

7-00'

6-00'

5-00'

4-00'

3-00'

2-00'

500

1-00'

1000

Tanggal

Gambar 3.3 Grafik CCL Stamet Kualanamu Bulan Januari Berdasarkan hasil pengamatan radiosonde di Stasiun Meteorologi Kualanamu Bulan Januari tahun 2014 dan 2015, terlihat pada Gambar 4.3 bahwa ketinggian Convective Condensation Level (CCL) pada Bulan Januari 2014 dan ketinggian CCL pada Bulan Januari 2015 sangat bervariasi dan tidak banyak perubahan mencolok. Namun beberapa kali di Bulan Januari 2014 ketinggian CCL mencapai lebih dari 3.000 meter, yaitu tanggal 8, 22 dan 28 Januari 2014. Kondisi ini kemungkinan terjadi akibat adanya kandungan abu vulkanik yang lebih dibandingkan hari lain pada Bulan Januari 2014. Namun dalam hal ini tidak termasuk dalam pengolahan data mengenai kandungan abu vulkanik.

3.4 Equilibrium Level (EL) Grafik CCL-EL Hasil Pengamatan Rason Stamet Kualanamu Bulan Januari 16500 14500 12500 10500 8500

2014

6500

2015

4500

31-00'

30-00'

29-00'

28-00'

27-00'

26-00'

25-00'

24-00'

23-00'

22-00'

21-00'

20-00'

18-00'

17-00'

15-00'

14-00'

13-00'

9-12'

12-00'

8-12'

11-00'

7-12'

6-12'

5-12'

4-12'

3-12'

2-00'

500

1-00'

2500

Gambar 3.4 Grafik EL Stamet Kualanamu Bulan Januari Berdasarkan hasil pengamatan radiosonde di Stasiun Meteorologi Kualanamu Bulan Januari tahun 2014 dan 2015, terlihat pada Gambar 3.4 bahwa ketinggian Equilibrium Level (EL) pada Bulan Januari 2014 umumnya lebih rendah dibandingkan ketinggian EL pada Bulan Januari 2015. Bila dibandingkan dengan CCL sebelumnya, pada tanggal 8, 22, dan 28 Januari 2014 EL justru rendah. Kondisi ini menunjukkan ketebalan awal yang tidak terlalu besar, yaitu kira-kira 500 meter sampai 1.000 meter, meskipun secara umum berbeda-beda. Kondisi ini kemungkinan akibat perbedaan kandungan abu vulkanik dibandingkan hari-hari lain di Bulan Januari 2014 yang dalam hal ini tidak termasuk dalam pengolahan data mengenai kandungan abu vulkanik. 3.5 Tropopause Grafik Tropopause Hasil Pengamatan Rason Stamet Kualanamu Bulan Januari Ketinggian (m)

Berdasarkan hasil pengamatan radiosonde di Stasiun Meteorologi Kualanamu Bulan Januari tahun 2014 dan 2015, terlihat pada Gambar 3.2 bahwa ketinggian Lifting Condensation Level (LCL) pada Bulan Januari 2014 umumnya memiliki ketinggian dan pola yang hampir sama dibandingkan ketinggian LCL pada Bulan Januari 2015. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada Bulan Januari 2014 yang banyak terjadi letusan Gunung Sinabung maupun pada Bulan Januari 2015 yang sedikit terjadi letusan Gunung Sinabung, ketinggian LCL tidak terlalu berpengaruh. Kondisi ini dikarenakan, LCL terbentuk karena adanya udara yang dipaksa terangkat dari permukaan bumi dan tidak terlalu berpengaruh apabila di atmosfer terbentuk lapisan abu vulkanik.

19300 18800 18300 17800 17300 16800 16300 15800 15300 14800

2014 2015

Tanggal

Gambar 3.5 Grafik Tropopause Stamet Kualanamu Bulan Januari Berdasarkan hasil pengamatan radiosonde di Stasiun Meteorologi Kualanamu Bulan Januari tahun 2014 dan 2015, terlihat pada Gambar 3.5 bahwa ketinggian tropopause pada Bulan Januari 2014 umumnya lebih rendah dibandingkan ketinggian tropopause pada Bulan Januari 2015. Namun, pada tanggal 1 sampai 10 Januari 2014 serta tanggal 15 sampai 23 Januari 2015 terjadi penurunan ketinggian

3.6 Precipitable Water

2014

31-12'

30-12'

29-12'

28-12'

27-12'

26-12'

25-12'

24-12'

23-12'

22-12'

20-12'

19-12'

17-12'

15-12'

14-12'

13-12'

12-12'

9-00'

11-12'

8-00'

10-00'

7-00'

6-00'

5-00'

4-00'

3-00'

2015

2-00'

70.0 65.0 60.0 55.0 50.0 45.0 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0

1-00'

Precipitable Water (mm)

Grafik Precipitable Water Hasil Pengamatan Rason Stamet Kualanamu Bulan Januari

Tanggal

Gambar 3.6 Grafik Precipitable Water Stamet Kualanamu Bulan Januari Berdasarkan hasil pengamatan radiosonde di Stasiun Meteorologi Kualanamu Bulan Januari tahun 2014 dan 2015, terlihat pada Gambar 3.6 bahwa banyaknya precipitaable water pada Bulan Januari 2014 umumnya lebih rendah dibandingkan pada Bulan Januari 2015. Khususnya pada tanggal 8 sampai 9 Januari 2014 serta tanggal 19 sampai 23 Januari 2014, jumlah precipitable water yang teramati sangat sedikit, di mana jumlah uap air yang terkandung di atmosfer Kota Medan yang berpotensi menjadi hujan lebih sedikit dibandingkan Bulan Januari 2015. Banyaknya abu vulkanik yang tersebar di atmosfer sekitar Medan memiliki sifat menyerap uap air atau disebut higroskopis. Sifat abu vulkanik atau aerosol inilah yang menyebabkan rendahnya kadar uap air yang berpotensi menjadi hujan di Bulan Januari 2014.

3.7 Kelembaban Udara Relatif Vertikal RH Lapisan 700 mb Stamet Kualanamu Bulan Januari

RH (%)

tropopause yang cukup drastis. Kondisi ini terjadi pada Bulan Januari 2014 yang banyak terjadi letusan Gunung Sinabung. Dilihat dari ketinggiannya, letusan Gunung Sinabung bukan termasuk letusan yang cukup hebat, karena yang tertinggi hanya mencapai 10.000 meter, tidak sampai melewati troposfer. Akibat letusan yang tidak terlalu hebat inilah tropopause mengalami penurunan karena abu vulkanik Gunung Sinabung hanya berada di lapisan troposfer.

100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0

2014 2015

1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011 12 13 14 15 17 18 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Tanggal

Gambar 3.7 Grafik RH Lapisan 700 mb Stamet Kualanamu Bulan Januari Berdasarkan hasil pengamatan radiosonde di Stasiun Meteorologi Kualanamu Bulan Januari tahun 2014 dan 2015, terlihat pada Gambar 3.7 bahwa kelembaban udara relatif vertikal pada Bulan Januari 2014 dan pada Bulan Januari 2015 di lapisan 700 mb cenderung lebih rendah pada Bulan Januari 2014 dibandingkan pada Bulan Januari 2015. Sama halnya seperti precipitable water, kelembaban udara relatif juga berhubungan dengan uap air. Sifat higroskopis dari abu vulkanik atau aerosol tersebutlah yang menyebabkan berkurangnya kadar uap air di tiap lapisan atmosfer dan menyebabkan turunnya kelembaban udara relatif di lapisan 700 mb.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan data dan pembahasan selama periode Bulan Januari 2014 dan 2015 yaitu saat kejadian letusn Gunung Sinabung, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Nilai lapse rate udara lingkungan pada Bulan Januari 2014 dan Bulan Januari 2015 secara umum labil bersyarat atau kondisi netral dengan beberapa waktu pada lapisan 925 mb, 850 mb dan 700 mb memiliki kondisi stabil akibat sebaran abu vulkanik, 2. Ketinggian Lifting Condensation Level (LCL) tidak terlalu terpengaruh oleh adanya sebaran abu vulkanik Gunung Sinabung, 3. Pada beberapa waktu, ketinggian Convective Condensation Level (CCL) jauh lebih tinggi dibandingkan hari lain di Bulan Januari 2014 dengan ketinggian

Equilibrium Level (EL) yang cukup rendah, kemungkinan terdapat perbedaan kandungan abu vulkanik Gunung Sinabung yang tersebar pada saat itu. 4. Ketinggian tropopause lebih rendah pada Bulan Januari 2014 dibandingkan Bulan Januari 2015. 5. Kelembaban relatif (RH) vertikal dan precipitable water menurun pada Bulan Januari 2014 akibat sifat higroskopis dari abu vulkanik Gunung Sinabung. 4.2 Saran Hasil penelitian ini merupakan studi awal mengenai pengaruh abu vulkanik Gunung Sinabung terhadap parameter-parameter stabilitas vertikal atmosfer di kawasan sekitar Kota Medan. Secara operasional hasil penelitian ini belum bisa menjadi landasan teori, sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Tetapi hasil penelitian ini bisa menjadi wawasan tambahan terhadap kondisi atmosfer di sekitar Kota Medan. Untuk kedepannya diharapkan akan ada penelitian untuk waktu yang lebih panjang, yaitu sepanjang terjadinya letusan Gunung Sinabung (tahun 2013 sampai saat ini) dan membahas mengenai kandungan abu vulkanik yang dikeluarkan oleh Gunung Sinabung pada setiap letusan. Hasil penelitian tersebut dapat menjelaskan lebih detail bagaimana sebenarnya kondisi

atmosfer ketika adanya sebaran abu vulkanik Gunung Sinabung.

V. DAFTAR PUSTAKA AWS/Tr-79/006., 1990, The Use Of The Skew T, Log P Diagram In Analysis And Forecasting, (Illinois: Scott Air Force Base 62225-5008) Mayangwulan, 2011. Potensi Badai Guntur Berdasarkan Prameter Kelembaban, Labilitas Udara, dan Mekanisme Pengangkatan (Studi Kasus: Di Bandar Udara Frans Kaisiepo Biak), ITB, Bandung Nazir, Moh., 1998. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta Prawirowardoyo, S., 1996. Meteorologi, Institut Teknologi Bandung, Bandung Tjasyono, B. 2007, Mikrofisika Awan dan Hujan, BMG, Jakarta http://news.detik.com/read/2014/01/11/13053 0/2464868/10/ (diakses tanggal 6 Desember 2014) vsi.esdm.go.id (diakses tanggal 1 Desember 2014) http://so2.gsfc.nasa.gov/ (diakses tanggal 10 Desember 2014) http://weather.uwyo.edu/upperair/sounding.ht ml (diakses tanggal 12 Desember 2014)

ANALISIS MESOSCALE CONVECTIVE COMPLEX (MCC) DI BENUA MARITIM INDONESIA ANALYSIS OF MESOSCALE CONVECTIVE COMPLEX (MCC) OVER THE INDONESIAN MARITIM CONTINENT DURING STRONG LA NINA EVENT Ellya Veronika Iriani Manurung ABSTRAK Konveksi adalah gerak naiknya parsel udara hangat dan lembab di lingkungan atmosfer yang labil, proses ini umumnya dapat menghasilkan awan Cumulunimbus tunggal. Ketika banyak sel tunggal awan Cumulunimbus berkumpul, tumbuh dan matang maka akan membentuk sistem awan badai dalam luasan yang besar dengan waktu hidup lebih panjang dan disebut dengan Mesoscale Convective System (MCS). MCS terbagi atas beberapa jenis, salah satu yang terbesar diantaranya adalah Mesoscale Convective Complex (MCC). La Nina merupakan salah satu fenomena global yang terjadi saat permukaan laut di Pasifik Tengah dan Timur suhunya lebih rendah dari biasanya. Di Indonesia tekanan udara menjadi rendah sehingga udara bergerak menuju Indonesia. Awan-awan konvektif di atas Pasifik Tengah dan Timur bergeser ke Pasifik Barat. Fenomena ini menyebabkan aktifitas konveksi lebih intensif dan meningkatkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia meningkat. Penelitian ini mengkaji pengaruh kejadian La Nina terhadap kejadian MCC di wilayah Indonesia. Untuk menganalisis keberadaan MCC digunakan data citra satelit IR1 dan diolah menggunakan algoritma identifikasi MCC oleh Maddox(1980) kemudian hasilnya ditampilkan dengan menggunakan perangkat lunak Arc GIS. Hasil analisis menunjukan terdapat beberapa karakteristik penting dari MCC di sekitar benua maritim Indonesia. MCC di Benua Maritim Indonesia 53,8% bergerak kearah Barat dengan kecenderungan hidup pada malam hari, secara rata-rata memiliki masa hidup 8 jam. Pada Lanina 2010, MCC lebih aktif di wilayah Utara Indonesia dibandingkan di selatan Indonesia serta jumlah kejadian MCC lebih banyak jika dibandingkan dengan tahun normal. Kata Kunci: Mesoscale Convective Complex, MCC, La Nina, Hujan Ekstrem

ABSTRACT Convection is the movement of air parcels that rises in warm, moist and unstable atmospheric environment, this process can produce a single Cumulonimbus cloud generally. When many single cells Cumulonimbus clouds gather, grow and mature it will form a system of storm clouds in a large area with a longer life time, they produce the Mesoscale Convective System (MCS). MCS is divided into several types, which the largest one is Mesoscale Convective Complex (MCC). La Nina is a global phenomenon that occurs when sea surface in the central and eastern Pacific temperatures are lower than normal. The air pressure of Indonesian Maritime Continent is low, it causes the air moves toward Indonesia. Convective clouds over the eastern and central Pacific shift to the Western Pacific. This phenomenon causes more intense convective activity and increase rainfall in most parts of Indonesian region. In this research will analyze the influence of strong La Nina with Mesoscale Convective Complex (MCC) over the indonesian maritim continent. Analyze the presence of MCC by using of IR1 satellite image data and processed using MCC identification algorithm by Maddox (1980) then the results will show using Arc GIS software. Results of the analysis showed there are some important characteristics of MCC in Indonesian maritime continent. MCC in

1

Indonesia Maritime Continent moving to West about 53.8% with tendency to live at night, and have 8 hours life time on average. MCC is more active in northern regions than in southern Indonesia at La Nina 2010, and the number of MCC’s occurrences are more when compared with the normal years. Key words: Mesoscale Convective Complex, MCC, La Nina, Extreme Rain

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara meteorologi cuaca di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh berbagai macam sirkulasi yang terjadi di atmosfer baik secara zonal maupun meridional. Dari segi letak geografis wilayah Indonesia merupakan wilayah ekuator, sehingga merupakan daerah yang menerima banyak radiasi panas matahari. Sementara itu 2/3 bagian dari wilayah Indonesia merupakan wilayah kepulauan yang dikelilingi oleh lautan oleh karena aktifitas penguapan di wilayah ini sangat tinggi. Kondisi tersebut mengakibatkan wialayh Indonesia menjadi wilayah yang sangat kondusif dalam pembentukan awan-awan konvektif. Awan konvektif terbentuk dari proses konveksi yang terjadi di udara dekat permukaan sehingga udara akan bergerak naik dan membawa panas ke lapisan atasnya yang lebih dingin. Konveksi adalah gerak naiknya parsel udara hangat dan lembab di lingkungan atmosfer yang labil. Pemicu awal gerak naiknya parsel udara tersebut dapat diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu adanya pemanasan permukaan secara vertikal, efek orografi dan area pumpunan angin. Proses ini umumnya dapat menghasilkan awan Cumulunimbus tunggal. Sistem konvektif ini memiliki masa hidup 15 menit hingga satu jam (Ahrens, 2001). Ketika banyak sel tunggal awan Cumulunimbus berkumpul, tumbuh dan matang maka akan membentuk sistem awan badai dalam luasan yang besar dengan lama hidup (life time yang lebih panjang) inilah yang kemudian disebut dengan MCS (Mesoscale Convective System). MCS terbagi atas beberapa jenis, yang terbesar diantaranya adalah Mesoscale Convective Complex (MCC). Karakteristik dampak dari MCC ini adalah kejadian cuaca ekstrem atau cuaca buruk (severe weather). Berupa hujan dengan intensitas sedang hingga lebat kemudian ditambah dengan angin kencang dan badai petir yang hidup dengan waktu yang lama (lebih dari 6 jam) sehingga mengakibatkan bencana banjir dan longsor. La Nina merupakan salah satu fenomena global yang terjadi saat permukaan laut di Pasifik Tengah dan Timur suhunya lebih rendah dari biasanya sehingga tekanan udara di kawasan Pasifik Barat jadi menurun. Di Indonesia tekanan udara menjadi rendah sehingga udara bergerak menuju Indonesia dan membawa massa uap air dari Pasifik Tengah dan Timur. Awan-awan konvektif di atas Pasifik Tengah dan Timur bergeser ke Pasifik Barat. Fenomena ini menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia meningkat.Oleh karena itu sangat menarik untuk dikaji apakah kejadian La Nina berpengaruh dalam pembentukan MCC di wilayah Indonesia. Penelitian ini mengkaji apakah kejadian La Nina berpengaruh dalam pembentukan MCC di wilayah Indonesia. Permasalahan dalam penelitian ini adalah kajian tentang MCC di Benua Maritim masih belum dikaji tentang pengaruh fenomena baik global, regional maupun lokal terhadap munculnya MCC ini di Indonesia. Dalam penelitian ini akan mengambil lokasi penelitian yaitu benua maritime Indonesia dengan letak koordinat (7º LU – 15º LS; 90º BT – 150º BT). Penelitian menggunakan data citra satelit IR1 dari Desember 2010-Februari 2011 yang di ambil sebagai Bulan dengan Intensitas La Nina Kuat dan di bandingkan dengan tahun normal dari Desember 2014 - Februari 2015 dengan menggunakan metode / algoritma dari Machado (1998). Tujuan penelitian ini adalah

2

untuk mengkonfirmasi keberadaan MCC di Benua Maritim Indonesia saat La Nina Kuat sekaligus mengetahui karakteristik dan membuat peta sebarannya.

2. DATA DAN METODE PENELITIAN 2.1

Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian penerapan (applied research) yang nantinya akan diarahkan pada penggunaan secara praktis di tempat kerja. Penelitian ini diselenggarakan dalam rangka mengatasi masalah nyata dalam kehidupan khususnya cuaca ekstrim yang terjadi di Indonesia. Penelitian ini juga menguji manfaat dari teoriteori ilmiah serta mengetahui hubungan empiris dan analisis dalam bidang meteorologi. 2.2 Prosedur Penelitian 2.2.1 Alat dan Bahan a) Alat Penelitian Perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini, adalah sebuah Laptop dengan spesifikasi sebagai berikut:  Operating system : Windows 7 Ultimate 32-bit  Processor : Intel® Core ™ i3 CPU M 370 @2.40 GHz  Memory : 3 GB RAM DDR3 Adapun Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian menentukan MCC ini dijalankan dengan software Image Processing.

b)

Bahan Penelitian  Data Oceanic Nino Index (ONI)  Data Southern Oscillation Index (SOI)  Data Citra Satelit Infra Red (1R1)

Beberapa peneliti tentang Mesoscale Convective System telah menggunakan data IR1 suhu puncak awan dalam mengidentifikasi keberadaan sistem ini. (Carvalho dan Jones, 2001; Durkee dan Mote, 2009; Miller dan Fritsch,1991). Data IR1 relatif lebih banyak digunakan karena resolusi yang tinggi dan database yang tersedia relatif panjang. Dalam penelitian ini menggunakan data citra satelit dari Japanese Geostationary Meteorological Satellite (GMS) dan Multi-functional Transport Satellite (MTSAT) kanal inframerah (10,5 – 11,5 µm) dengan resolusi sekitar 5 x 5 Km. Data satelit yang digunakan adalah data citra satelit IR1 setiap jam selama 3 bulan (dari Desember 2010Februari 2011) dan sebagai data pembanding pada tahun normal (dari Desember 2014Februari 2015) dengan kekosongan data sekitar 6 %. Dalam penelitian ini menggunakan 3 jenis data yaitu berupa data ONI, SOI, data citra satelit IR1, bulan Desember 2010 – Februari 2011 dan Desember 2014 – Februari 2015. Adapun deskripsi dari cara pengumpulan data-data tersebut akan dibahas sebagai berikut: 1. Data ONI (Oceanic Nino Index): ONI adalah indeks yang menunjukkan pembagian daerah dan mengukur nilai SST (Sea Surface Temperature) di laut Pasifik. Untuk dapat menentukan intensitas La Nina yang dikategorikan sebagai lemah, sedang atau kuat itu, harus melihat nilai index yang menyamai atau melebihi ambang batas untuk setidaknya selama 3 bulan berturut-turut. Sumber ONI http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_monitoring 2. Data SOI Southern Oscilation Index adalah indeks ENSO dengan melihat perubahan anomali SLP (Sea Level Pressure). SOI adalah perbedaan anomali SLP

3

dari keadaan normalnya di antara SLP di Tahiti dan di Darwin. Ketika SOI positif (+) merupakan indikasi terjadinya La Nina, SLP di sekitar Darwin berada lebih rendah dari pada normalnya, sedangkan di Tahiti SLPnya lebih tinggi dibanding normalnya sehingga gerakan timuran akan menguat. Index SOI dapat di download dari http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/soi 3. Data citra satelit IR1 dari http://weather.is.kochi-u.ac.jp/index-e.html 2.2.2

Teknik Pengolahan Data Metode yang digunakan untuk dapat menyeleksi citra satelit yang sesuai dengan kriteria MCC, prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1.

Data satelit yang telah di download dari kochi (.pgm) merupakakan data gambar graymap dengan skala warna 0-225 (putih – hitam). Data ini di konversi menjadi data suhu dalam Kelvin dan di simpan dalam format (.dat) agar data dapat diproses oleh software image processing.

2.

Menentukan selimut awan dengan kriteria nilai suhu puncak awan >241 º K sebagai selimut awan (SA) dan 217 ºK sebagai inti awan (IA). Tiap grid yang memenuhi nilai diganti dengan “1” dan yang tidak diganti dengan angka “0” (merubah data satelit menjadi data biner)

3.

Mencari luasan area yang memenuhi syarat suhu (prosedur 1, pixel yang mempunyai nilai “1”) dengan menghitung jumlah piksel yang saling terhubung dengan 4 koneksi grid disekitarnya. Kemudian memilih area yang memiliki luasan SA ≥ 100.000 Km² sekitar 3305 piksel dan luasan IA ≥ 50.000 Km² sekitar 1652 piksel.

4.

Mencari titik pusat dari area yang terpilih. Untuk mencari titik pusat dapat dilakukan dengan rumus Carvalho dan Jones yang dikutip dari Ismanto 2011. 𝑁

𝑋𝑖

𝑁

𝑌𝑖

𝑋0 = 1 ; 𝑑𝑎𝑛 … 1 ………………..................................….(3.1) 𝑁 𝑁 Keterangan: Xi = piksel ke-i pada sumbu X Yi = piksel ke-i pada sumbu Y X0 dan Y0= pusat/ center N = luasan area / total piksel. 5.

Dalam kriteria MCC menurut Maddox (1980) harus mempunyai eksentrisitas ≥ 0,7. Dalam kajian ini dilakukan pertama adalah pengujian data biner contoh MCC untuk memastikan batas eksentrisitas tersebut. Ada 3 penentu eksentrisitas, yaitu metode Machado, metode elips fitting dan metode EOF. Syarat eksentrisitas penentuan MCC menggunakan threshold metode Machado (eksentrisitas ≥ 0,7), Namun metode ini kurang efektif pada kluster awan yang relatif miring, untuk mengatasinya ketika gambar (sistem awan) miring digunakan juga metode Ellips Fitting dengan batas < 0,8 (berdasarkan skema penelitian Ismanto,2011)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengolahan data menggunakan script yang diolah menggunakan software image processing dan hasilnya ditampilkan secara spasial dengan menggunakan perangkat lunak Arc GIS 10.0.

4

Gambar 3.1 Potensi MCC di Indonesia tahun La Nina DJF 2011 Dari gambar ini dapat dilihat bahawa sebaran titik pusat MCC lebih dominan di daerah utara Khatulistiwa. Pada Tahun ini penulis membandingkan saat musim penghujan yaitu bulan Desember, Januari, dan Februari, dimana terdapat 131 titik MCC. Adapun wilayah dominan adalah di Pulau Sumatra, Laut Cina Selatan, Utara Sulawesi dan juga Samudera Pasifik Utara Papua.

Gambar 3.2 Potensi MCC di Indonesia tahun Normal DJF 2015 Dari gambar ini dapat dilihat bahawa sebaran titik pusat MCC lebih tersebar baik di utara khatulistiwa maupun di selatan khatulistiwa. Pada Tahun ini penulis membandingkan juga saat musim penghujan yaitu bulan Desember, Januari, dan Februari, dimana terdapat 102 titik MCC yang tersebar di wilayah benua maritim Indonesia. Titik titik dalam peta sebaran ini dibuat dengan rentang waktu setiap jam. Sebaran titik MCC perjam ini untuk memudahkan dalam melihat pola penyebaran MCC dan traking dari MCC tersebut. MCC merupakan sel awan konvektiv yang dapat bertahan sampai 6 jam oleh karena itu penulis menyeleksi secara manual dan diperoleh pada tahun 2010 terdapat 9 Kejadian MCC dan pada tahun 2015 pada puncak musim penghujan terdapat 7 kejadian MCC di Indonesia dimana dominan MCC terjadi saat malam hari. Bila membandingkan jumlah MCC yang terjadi pada saat periode Lanina dan saat normal, dapat kita lihat ada pertambahan jumlah walaupun tidak begitu

5

signifikan yaitu 2 kejadian lebih banyak saat periode Lanina kuat di bandingkan saat periode normal. Salah satu karakteristik penting yang perlu di ketahui dari sistim MCC adalah pergerakan sistim tersebut. Untuk mendapatkan gambaran karakteristik tracking lintasan MCC posisi awal sampai posisi akhir MCC di plot. Berdasarkan hasil keluaran ploting peta tracking awan terlihat bahwa MCC cenderung bergerak ke arah barat sampai selatan baik pada tahun Lanina maupun Normal. Dalam penelitian ini didapatkan pergerakan MCC ke arah barat adalah 53,8%, kemudian pergerakan ke arah selatan sebanyak 30,7% dan arah lainnya sebesar 15,3 %. Saat bulan Desember Januari dan Februari Matahari berada di daerah Bumi Bagian Selatan. intensitas Matahari surplus di Indonesia, namun energi panas laten yang tersimpan di laut bagian utara khatulistiwa Indonesia ternyata masih sangat melimpah, sehingga suhu muka laut di utara khatulistiwa Indonesia masih sangat hangat. Hal inilah yang menyebabkan masih ada bahan bakar yang cukup untuk terjadinya pertumbuhan MCC di wilayah utara khatulistiwa. Dari data NOAA terlihat sejak awal Januari 2011 wilayah Indonesia (90-140 Bujur Timur) cenderung mengalami fase penurunan konveksi. Terlihat dari gambar 4.6 pada daerah 80 º- 100º Bujur Timur yaitu wilayah Indonesia Bagian Barat berwarna coklat yang menandakan penurunan konveksi. Hal itu berdampak pada penurunan jumlah curah hujan terutama di wilayah Indonesia bagian barat. Itulah sebabnya wilayah di bawah khatulistiwa cenderung tidak ada pertumbuhan MCC pada bulan DJF tahun 2011. Karakteristik berikut yang diperoleh yaitu pergerakan MCC di benua maritime Indonesia yang cenderung menunjukan pergerakan ke arah barat, baik pada saat periode La Nina maupun normal dan sebagian besar kejadian MCC muncul pada malam hari. Pergerakan MCC ini sama dengan kesimpulan Ismanto (2011) bahwa MCC yang ada di Benua Maritim bergerak kearah barat hingga barat daya dengan kecenderungan hidup pada malam hari. Pergerakan MCC ini disebabkan oleh arah angin yang mengikuti pola sirkulasi global dimana daerah tropis menjadi daerah pertemuan angin dari Belahan Bumi Utara dan Belahan Bumi Selatan. Pertemuan angin di daerah tropis ini yang menyebabkan Indonesia menjadi daerah dengan sirkulasi angin umum yang bersifat easterly yaitu angin dari timuran menuju kearah barat. Itulah mengapa fenomena gangguan cuaca di Benua Maritim Indonesia cenderung bergerak ke arah barat, termasuk dengan MCC.

4. KESIMPULAN 1.

2. 3.

Dari hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulakan bahwa: Pada Lanina 2010, MCC lebih aktif di wilayah Utara Indonesia dari pada di selatan Indonesia. Daerah – daerah yang berpotensi muncul MCC saat Lanina dan Normal berbeda. Lokasi pembentukan MCC saat Lanina cenderung di bagian utara Khatulistiwa sedangkan saat periode normal lokasi pembentukannya lebih menyebar baik di utara maupun selatan khatulistiwa. Secara umum dapat di identifikasi bahwa pada periode La Nina jumlah MCC lebih banyak bila dibandingkan dengan tahun normal. Karakteristik penting yang dapat dicatat adalah sekitar 53,8 % dari sistem kompleks konvektif skala meso yang ada di Benua Maritim bergerak kearah Barat hingga Selatan dengan kecenderungan hidup pada malam hari, serta ratarata memiliki masa hidup 8 jam.

6

DAFTAR PUSTAKA Ahrens, C.D. 2001. Cloud Development and Precipitation. Essentials of Meteorology – An Invitation to the Atmosphere, 504 As-syakur, A.R. 2010 Pola Spasial Pengaruh Kejadian La Nina di Indonesia Tahun 1998/1999.Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XVII. Bayong, T.H.K., 2004. Meteorologi, ITB. Bandung Budiyono, Djoko, dan Hariadi. 2006. Study Tentang Pola Sirkulasi Atmosfer Di Atas Wilayah Indonesia Dan Kaitannya Dengan Enso. Jurnal Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. Puslitbang BMKG. Carvalho, L.M.V., dan Jones C., 2001. A Satellite Method to Identify Structural Properties of Mesoscale Convective Systems Based on the Maximum Spatial Correlation Tracking Technique (MASCOTTE). University of San Paul. Brazil Durkee, J. D. 2009. The Contribution of Mesoscale Convective Complexes to Rainfall across Subtropical South America.Meteorology Program, Department of Geography and Geology.Western Kentucky University. Kentucky Durkee, J. D., Mote T. L., dan Shepherd J. M. 2009 The Contribution of Mesoscale Convective Complexes to Rainfall across Subtropical South America.Journal of Climate Vol. 22, 2009: 4590 – 4605. Djatmiko, H. 2014. Materi Meteorologi dan Klimatologi (OSN Ilmu Kebumian).SMUN 54. Jakarta Houze, R.A. Jr. 2004.Mesoscale Convective System.Review of Geophisics, American Geophisical Union, 43 pp. Ismanto, H. 2011. Karakteristik Kompleks Konvektif Skala Meso Di Benua Maritim. Tesis pada Institut Teknologi Bandung. Bandung. Ismanto, H. 2013. Distribusi Spasial dan Temporal Mesoscale Convective Complexes di Benua Maritim. Megasains, Vol. 4, No. 2, 74-81. Laing, A.G. dan Fritsch, J.M. 1997. The Global Population of Mesoscale Convective Complexes. Q.J.R. Buletin American Meteorological Society., 123, 389-405. Laing, A.G. dan Fritsch, J.M. 1992. Mesoscale Convective Complexes Over the Indian Monsoon Region. Department Of Meteorology.The Pennsylvania State University. Pennsylvania Maddox, R.A. 1980. Mesoscale Convective Coplexes.Buletin American Meteorological Society Vol. 61, No. 11. Miller, D. dan Fritsch J. M. 1991.Mesoscale Convective Complexes In the Western Pacific Region. Department Of Meteorology.The Pennsylvania State University. Pennsylvania. Mulyanti, Heri 2012 Pengaruh El Nino / Southern Oscillation (ENSO) Terhadap Curah Hujan Bulanan Pulau Jawa. Skripsi Fakultas Geografi UGM. Jogjakarta Purbawa, I.G.A. 2012.Study Komparasi Antara Data TMPA 3B43 (TRMM Multisatelitte Precipitation Analysis) dan Data Stasiun Pengamatan Hujan di Provinsi Bali (Study Kasus Lanina 2010). Tugas Akhir AMG. Jakarta Shibagaki, Y., Shimomai, T., Kozu, T., Mori, S., Fujiyoshi, Y., Hashiguci, H., Yamamoto, M. K., Fukao, S., dan Yamanaka, M. N. 2006. Multiscale aspect of

7

Convective Systems Ascociated with an Intraseasonal Oscillation over the Indonesian Maritime Continent. American Meteorology Society, 134, 16821696. Sucahyono, Dedi, Ribudiyanto dan Kukuh 2013. Cuaca dan Iklim Ekstrim di Indonesia. Jakarta. Puslitbang BMKG. Yuan J., House R. A. Jr. 2010. Global Variability OfMesoscale Convective CoplexesSystem Anvil Structure from A-Train Satellite Data. Department of Atmospheric Sciences.University of Washington, Seattle. Washington.

8

Related Documents


More Documents from ""