Daftar Isi
Daftar Isi ....................................................................................................................................................... 1 BAB I ............................................................................................................................................................ 2 PENDAHULUAN ........................................................................................................................................ 2 Latar Belakang Masalah.................................................................................................................... 2
A.
1.1
Rumusan Masalah ..................................................................................................................... 5
BAB II........................................................................................................................................................... 7 LANDASAN KONSEPTUAL ..................................................................................................................... 7 Implementasi kebijakan .................................................................................................................... 7
A. 1.
Pengertian Implementasi Kebijakan ............................................................................................. 7
2.
Model- model Implemntasi kebijakan. ......................................................................................... 8 Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga...................... 25
B.
BAB III ....................................................................................................................................................... 30 METODE PENELITIAN ............................................................................................................................ 30 A.
Strategis dan Tipe Penelitaian ......................................................................................................... 30
B.
Operasional Variabel....................................................................................................................... 30 1.
Defenisi operational .................................................................................................................... 30
2.
Indikator- indikator ..................................................................................................................... 31 Populasi , Sampel dan Responden .................................................................................................. 32
C. 1.
Populasi ....................................................................................................................................... 32
2.
Sampel......................................................................................................................................... 32
3.
Responden ................................................................................................................................... 33
D.
Jenis , Sumber Data, dan Teknik Analisis Data. ............................................................................. 33
E.
Teknik Pengeolahan dan Analisis data . ......................................................................................... 33
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat (1) menegaskan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain. Namun, dalam kenyataannya kondisi lingkungan hidup Indonesia khususnya di kawasan perkotaan sangat memprihatinkan. Persoalan lingkungan hidup yang sampai saat ini belum dapat ditangani dengan baikterutama di kawasan perkotaan adalah sampah. Permasalahan sampah telah menjadi permasalahan nasional dan menjadi isu penting dalam masalah lingkungan perkotaan. Pertambahan jumlah penduduk di kawasan perkotaan telah meningkatkan jumlah timbunan sampah, jenis, dan keberagaman karakteristik sampah. Meningkatnya daya beli masyarakat terhadap berbagai jenis bahan pokok dan hasil teknologi serta meningkatnya usaha suatu daerah juga memberikan kontribusi yang besar terhadap kuantitas dan karakteristik sampah yang dihasilkan. Meningkatnya volume timbunan sampah memerlukan penanganan sampah yang baik agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan dan mengganggu kelestarian lingkungan.
2
Masalah sampah meliputi jumlah bahaya, estetika lingkungan, pencemaran udara, serta pencemaran tanah dan air. Beberapa dampak yang ditimbulkan apabila sampah tidak ditangani dengan baik adalah sampah menjadi sumber penyakit, pembakaran sampah dapat menyebabkan pencemaran udara, pembusukan sampah dapat menimbulkan bau yang tidak sedap dan berbahaya bagi kesehatan, serta dapat memicu terjadinya banjir. Fenomena ini kemudian mengharuskan pemerintah untuk segera menyikapi dengan kebijakan yang dapat mengatasi masalah sampah. Akhirnya langkah yang diambil adalah mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pengelolaan sampah sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 mengandung pengertian tentang pengelolaan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomis, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah perilaku masyarakat. Di tingkat daerah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 selanjutnya dijabarkan menjadi Peraturan Daerah (Perda). Kementrian daerah menjabarakan peraturan dalam perda Kota Kupang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga,maksud dari perda ini dibuat untukmemberikanjaminan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang sehat bagi setiap anggota masyarakat sekaligus memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi partisipasimasyarakat dan pelaku usaha dalam penanganan sampah. Sedangkan tujuannya adalah menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang penanganan sampah yang berwawasan lingkungan hidup dan adanya koordinasi antara pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat agar terdapat keterpaduan dalam penanganan sampah.
3
Perda Nomor 3 Tahun 2011 menawarkan paradigma baru pengelolaan sampah. Paradigma baru pengelolaan sampah menginginkan pemetaan pengelolaan sampah dari hulu hingga hilirnya secara bertanggungjawab, sistematis, dan berkelanjutan. Dalam hal ini, pengelolaan sampah mengandalkan dua kerangka kerja besar, yakni pengurangan sampah dan penanganan sampah. Secara garis besar, paradigma baru pengelolaan sampah melihat sampah sebagai sumberdaya yang bernilai ekonomis, sehingga yang sampai ke tempat pemrosesan akhir (TPA) hanyalah residu. Sejak ditetapakan pada tanggal 31 Januari 2011, Perda Nomor 3 Tahun 2011 tidak banyak menunjukkan hasil yang memuaskan. Sudah lebih dari 6 tahun diundangkan, masalah sampah belum bisa teratasi dengan baik. Harapan Perda ini untuk menerapkan paradigma baru penanganan sampah dan partisipasi aktif masyarakat dan pelaku usaha dalam mendaurulang sampah tidak terlaksana. Minimnya sosialisasi dan penerapan sanksi kemungkinan menjadi penyebab kegagalan implementasi Perda Nomor 3 Tahun 2011. Indikasi kegagalan implementasi Perda Nomor 3 Tahun 2011 adalah tidak diterapkannya paradigma baru penanganan sampah dan minimnya partisipasi masyarakat dan pelaku usaha dalam rangka penanganan sampah (mendaur ulang sampah) sehingga sampah berserakan di sembarang tempat.Contoh kasus di Kelurahan Oesapa . Pengelolaan sampah di Kelurahan Oesapa masih menggunakan paradigma lama pengelolaan sampah, yakni mengumpul, mengangkut, dan membuang/membakar sampah. Dengan paradigma seperti ini, sampah hanya dilihat sebagai bahan buangan yang tidak berguna dan tidak bernilai ekonomis. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Kelurahan Oesapa volume, jenis, dan karakteristik sampah juga meningkat. Dapat dikatakan bahwa pertambahan jumlah penduduk berbanding lurus dengan meningkatnya volume sampah. Pada tahun 2017, penduduk
4
Kelurahan Oesapa berjumlah 8.670KK. Apabila menggunakan dasar perhitungan WHO, maka setiap hari sampah yang dihasilkan adalah 5,5 liter setiap orangnya, maka untuk Kelurahan Oesapa, sampah yang dihasilkan setiap hari ±30,29 m³/hari. Dengan kata lain, dalam waktu satu tahun sampah yang dihasilkan ±75.353 m3. Sementara kapasitas angkut sampah oleh Pemerintah Daerah ±30 m³/hari dalam satu kelurahan, dan yang masih tersisa sejumlah ±4,29m³/hari yang tidak terangkut. Sampah yang tidak terangkut ini kemudian menjadi masalah karena tidak ditangani dan berserakan di sembarang tempat. Memahami penjelasan tersebut, Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga harus dapat diimplementasikan dengan baik agar tercapai maksud dan tujuan dari peraturan tersebut. Sebagai suatu kebijakan yang harus diimplementasikan untuk mencapai tujuan maka situasi yang telah digambarkan di atas mengindikasikan bahwa kebijakan penanganan sampah belum berhasil. Implementasi Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 3 Tahun 2011 di Kelurahan Oesapa dapat berjalan dengan baik apabila didukung oleh berbagai faktor atau situasi sebagaimana dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn (1975). Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, maka penelitimerasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENANGANAN SAMPAH (Studi Kasus di Kelurahan Oesapa , Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang)”.
1.1 Rumusan Masalah
Bertolak dari rumusan latar belakang diatas maka masalah yang perlu dikaji dalam penelitian adalah:
5
1) BagaimanakahPelaksanaan ImplementasiKebijakan Penanganan Sampah di kelurahan Oesapa,Kecamatan Kelapa Lima,Kota Kupang. 2) Faktor – faktor yang mepengaruhi Implementasi Penanganan Sampah dikelurahan Oesapa,Kecamatan Kelapa Lima.
6
BAB II LANDASAN KONSEPTUAL
A. Implementasi kebijakan 1. Pengertian Implementasi Kebijakan
Implementasi Kebijakan merupakan suatu proses dalam kebijakan publik yang mengarah pada pelaksanaan kebijakan. Dalam prakteknya implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis, karena adanya intervensi dari berbagai kepentingan. Menurut Grindel dalam Wahab (2010:59) implementasi kebijkan sesungguhnya bukan hanya bersangkut paut dengan mekanisme penajabaran-penjabaran keputusankeputusan politik kedalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah-masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Sedangkan menurut Webster dalam Wahab (2010:64) merumuskan secara pendek bahwa mengimplementasikan berarti menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu, menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu. Kalau pandangan ini kita ikuti maka implementasi kebijakan dapat dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijaksanaan. Dari definisi-definisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut tiga hal berikut, yaitu: a. adanya tujuan atau sasaran kebijakan 7
b. adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan c. adanya hasil kegiatan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksanaan kebijakan melakukan sesuatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. 2. Model- model Implemntasi kebijakan.
Studi implementasi kebijakan telah melahirkan banyak publikasi yang berusaha untuk memahami fenomena implementasi, baik yang bersifat deskriptif maupun berupa model-model kausalitas hubungan sebab akibat antara kinerja implementasi dan variabelvariabel yang mempengaruhinya. Berdasarkan cara peneliti terdahulu memahami dan menjelaskan permasalahan implementasi maka dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu para pendekatan top-down dan bottom-up. Pendekatan bersifat top-down lebih tepat dipakai untuk menilai efektivitas implementasi suatu kebijakan, yaitu untuk memastikan apakah tujuan-tujuan kebijakan yang telah ditetapkan dapat tercapai di lapangan atau tidak. Pendekatan top-down berasumsi bahwa keberhasilan implementasi suatu kebijakan sangat dipengaruhi oleh kejelasan perintah atasan kepada bawahan dan selanjutnya bagaimana cara atasan mengawasi para bawahan tersebut dalam melaksanakan perintahnya. Sedangkan pendekatan bottom-up menekankan pentingnya memperhatikan dua aspek penting dalam implementasi suatu kebijakan, yaitu birokrat pada level bawah (street level bureaucrat) dan kelompok sasaran kebijakan (target group). Pendekatan bottom-up menilai bahwa
8
implementasi juga akan berhasil apabila kelompok sasaran dilibatkan sejak awal dalam proses perencanaan kebijakan maupun implementasinya. Berkaitan dengan penelitian ini, dengan objek penelitian yang dimaksud berupa Peraturan Daerah yang merupakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk kelompok sasaran maka Penulis menggunakan model-model dalam pendekatan top-down yang merupakan pendekatan implementasi dengan menitikberatkan pada kajian yang mengarah pada implementor kebijakan sebagai kunci keberhasilan implementasi. Model-model dalam pendekatan topdown sebagai berikut: a. Model Proses Implementasi Kebijakan Donald Van Meter dan Carl Van Horn Van Meter dan Van Horn mengatakan pentingnya membedakan isi (content) kebijakan, karena efektifitas implementasi akan sangat bervariasi bergantung tipe dan isu kebijakan tersebut, karena faktor-faktor yang mempengaruhi proses implementasi juga akan sangat berbeda. Menurut mereka, tipe kebijakan akan memerlukan karakteristik proses, struktur, dan hubungan antar berbagai faktor yang berbeda-beda pula dalam implementasinya. Mereka kemudian mengklasifikasikan kebijakan berdasarkan dua karakteristik pokok, yakni seberapa besar perubahan yang dituju oleh kebijakan tersebut, karena semakin besar perubahan yang diharapkan akan berdampak pula pada perubahan organisasional pelaksananya, dan seberapa besar penerimaan atas tujuan kebijakan dari para aktor implementasi (Wahab, 1997:79). Menurut Agustino (2012:141), implementasi kebijakan model ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu implementasi kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan publik yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Winarno (2007:155)
9
menegaskan, model ini tidak hanya menentukan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat mengenai kepentingan-kepentingan tetapi juga menjelaskan hubungan-hubungan di antara variabel-variabel bebas. Ada enam variabelmenurut Van Meter dan Van Horn (dalam Winarno, 2007:156), yaitu: 1. Ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor-faktor yang menentukan kinerja kebijakan. Menurut Van Meter dan Van Horn, identifikasi indikator-indikator kinerja merupakan tahap yang krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator-indikator kinerja ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan telah direalisasikan. Namun dalam banyak kasus sering ditemukan beberapa kesulitan besar untuk mengidentifikasi dan mengukur kinerja. Ada dua penyebab yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn untuk menjawab mengapa hal ini terjadi. Pertama, mungkin disebabkan oleh bidang program yang terlalu luas dan sifat tujuan yang terlalu kompleks. Kedua, mungkin disebabkan oleh kekaburan-kekaburan dan kontradiksi-kontradiksi dalam penyataan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan. Dalam melakukan studi implementasi, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran suatu program yang akan dilaksanakan harus diidentifikasi dan diukur karena implementasi tidak dapat berhasil atau mengalami kegagalan bila tujuan-tujuan itu tidak dipertimbangkan. Implementasi kebijakan yang berhasil bisa jadi gagal (frustrated) ketika para pelaksana (officials), tidak sepenuhnya memahami standar dan tujuan kebijakan. Agustino (2012:142) menambahkan, kinerja implementasi kebijakan
10
dapat diukur tingkat keberhasilannya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal untuk dilaksanakan di level warga, maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil. 2. Sumber-sumber kebijakan Selain ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan, yang perlu mendapatkan perhatian dalam proses implementasi kebijakan adalah sumbersumber yang tersedia. Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Sumbersumber yang dimaksud mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif. Van Meter dan Van Horn (dalam Subarsono, 2006:99) menjelaskan bahwa implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia. Agustino (2012:142) menambahkan, manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber-sumber daya itu nihil, maka kinerja kebijakan publik sangat sulit untuk diharapkan. Di luar sumber daya manusia, sumber daya-sumber daya lain yang perlu diperhitungkan juga, ialah: sumber daya finansial dan sumber daya waktu. Ketika sumber daya manusia yang kompeten telah tersedia sedangkan kucuran dana melalui anggaran tidak tersedia, maka memang menjadi persoalan pelik untuk merealisasikan apa yang hendak dituju oleh tujuan kebijakan publik. Demikian halnya dengan sumber daya waktu.
11
Saat sumberdaya manusia giat bekerja dan kucuran dana berjalan dengan baik, tetapi terbentur dengan persoalan waktu yang terlalu ketat, maka hal ini pun dapat menjadi penyebab ketidakberhasilan implementasi kebijakan. 3. Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan Implementasi akan berjalan dengan efektif bila ukuran-ukuran dan tujuantujuan dipahami oleh individu-individu yang bertanggung jawab dalam kinerja kebijakan. Dengan begitu, sangat penting untuk memberi perhatian yang besar pada kejelasan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan, ketepatan komunikasinya dengan para pelaksana dan konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan-tujuan yang dikomunikasikan dengan berbagai sumber informasi. Komunikasi di dalam dan antara organisasi-organisasi merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit. Dalam meneruskan pesan-pesan ke bawah dalam suatu organisasi atau dari suatu organisasi ke organisasi lainnya, para komunikator dapat menyimpangkannya atau menyebarluaskannya, baik secara sengaja atau tidak sengaja. Menurut Van Meter dan Van Horn, implementasi yang berhasil seringkali membutuhkan mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur lembaga. Hal ini sebenarnya akan mendorong kemungkinan yang lebih besar bagi pejabat-pejabat tinggi (atasan) untuk mendorong pelaksana (pejabat-pejabat bawahan) bertindak dalam suatu cara yang konsisten dengan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan. Berkaitan dengan hubungan-hubungan antar organisasi maupun antarpemerintah, dua tipe kegiatan pelaksanaan merupakan kegiatan yang paling penting, yakni nasihat dan bantuan teknis yang dapat diberikan dan atasan dapat
12
menyendarkan berbagai sanksi, baik positif maupun negatif. Menurut Van Meter dan Van Horn (dalam Agustino 2012:144), koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi, begitu pula sebaliknya. 4.
Karakteristik badan-badan pelaksana Van Meter dan Van Horn menilai bahwa dengan melihat karakteristik badan-badan pelaksana tidak lepas dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dan bagaimana menjalankan kebijakan. Van Meter dan Van Horn mengetengahkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan: (a) kompetensi dan ukuran staf suatu badan, (b) tingkat pengawasan hierarkis terhadap keputusan-keputusan sub-unit dan proses-proses dalam badan-badan pelaksana, (c) sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara angota-anggota legislatif dan eksekutif), (d) vitalitas suatu organisasi, (e) tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka” yang didefinisikan sebagai jaringan kerja komunikasi horizontal dan vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi, (f) kaitan formal dan
13
informal dalam suatu badan dengan badan pembuat keputusan atau pelaksana keputusan. Van Mater dan Van Horn (dalam Agustino, 2012:143) menambahkan bahwa pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat dalam pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan (publik) akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan. 5. Kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan politik Van Meter dan Van Horn mengusulkan agar memberi pertimbangan pertanyaan-pertanyaan berikut mengenai lingkungan ekonomi, sosial, dan politik yang mempengaruhi yurisdiksi atau organisasi dimana implementasi itu dilaksanakan: a) Apakah sumber-sumber ekonomi dalam yurisdiksi atau organisasi pelaksana cukup mendukung implementasi yang berhasil? b) Sejauh mana atau bagaimana kondisi-kondisi ekonomi dan sosial yang berlaku akan dipengaruhi oleh implementasi kebijakan yang bersangkutan? c) Apakah sifat pendapat umum, bagaimana pentingnya isu kebijakan yang berhubungan? d) Apakah elit-elit mendukung atau menentang implementasi kebijakan?
14
e) Apakah sifat-sifat pengikut dari yurisdiksi atau organisasi pelaksana; apakah ada oposisi atau dukungan pengikut bagi kebijakan? f) Sejauhmana kelompok-kelompok kepentingan swasta dimobilisasi untuk mendukung atau menentang kebijakan?
Agustino (2012:144) menegaskan bahwa hal yang perlu diperhatikan guna menilai kinerja implementasi publik dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Meter dan Van Horn adalah sejauhmana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal. Van Meter dan Van Horn (dalam Subarsono, 2006:99) menambahkan bahwa variabel kondisi sosial, politik, dan ekonomi mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauhmana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan, serta apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan. 6. Sikap/kecenderungan (disposition) para pelaksana Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan 15
yang mereka rasakan, melainkan kebijakan “dari atas” (top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan. Implementasi kebijakan yang berhasil harus diikuti oleh kesadaran terhadap kebijakan tersebut secara menyeluruh. Hal ini berarti bahwa kegagalan suatu implementasi kebijakan sering diakibatkan oleh ketidaktaatan para pelaksana terhadap kebijakan. Arah kecenderungan pelaksana terhadap ukuranukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan merupakan suatu hal yang penting. Para pelaksana mungkin gagal dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan dengan tepat karena mereka menolak tujuan-tujuan yang terkandung dalam kebijakan tersebut. Sebaliknya, penerimaan terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan yang diterima secara luas oleh para pelaksana kebijakan akan mendorong bagi implementasi kebijakan yang berhasil. Van Meter dan Van Horn (dalam Subarsono 2006: 100) menegaskan bahwa disposisi implementor mencakup tiga hal penting, yaitu respon implementor terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, kognisi yaitu pemahaman terhadap kebijakan, intensitas disposisi implementor yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
16
b. Model Pendekatan Masalah Implementasi George C. Edward III George Edward III (dalam Agustino 2012:149) mengemukakan empat isu pokok agar implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu: 1) Komunikasi Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang mereka kerjakan dapat berjalan bila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan implementasi harus ditransmisikan (atau dikomunikasikan) kepada bagian personalia yang tepat. Komunikasi (atau pentransmisian informasi) diperlukan agar para pembuat keputusan dan para implementor akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam masyarakat. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut di atas, yaitu: (a) Transmisi Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran
komunikasi
17
adalah
adanya
salah
pengertian
(miskomunikasi), hal tersebut disebabkan karena komunikasi telah melalui
beberapa tingkatan birokrasi,
sehingga apa
yang
diharapkan terdistorsi di tengah jalan.
(b) Kejelasan Komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level-bureuacrats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/mendua). Ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi pada tataran tertentu, para pelaksana
membutuhkan
fleksibilitas
dalam
melaksanakan
kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan. (c) Konsistensi Perintah
yang
diberikan
dalam
pelaksanaan
suatu
komunikasi haruslah konsisten dan jelas (untuk diterapkan atau dijalankan).
Kejelasan
dan
konsistensi
perintah
sangat
mempengaruhi pemahaman pelaksana, apabila perintah yang diberikan
sering
berubah-ubah
maka
kebingungan bagi pelaksana di lapangan. 2)
Sumberdaya
18
dapat
menimbulkan
Sumberdaya merupakan hal penting lainnya, menurut George C. Edward III, dalam mengimplementasikan kebijakan. Indikator sumber daya terdiri dari beberapa elemen, yaitu: (a) Staf Sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebagiankan oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak kompeten di bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak mencukupi, tetapi diperlukan pula kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan atau melaksanakan tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri. (b) Informasi Dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk, yaitu: pertama, informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan di saat mereka diberi perintah untuk melakukan tindakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementor harus mengetahui apakah orang lain yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum.
19
(c) Wewenang Pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang itu nihil, maka kekuatan implementor di mata publik tidak terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan. Tetapi dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat aktivitas kewenangan. Di satu sisi, efektivitas kewenangan diperlukan dalam pelaksanaan implementasi kebijakan. Tetapi di sisi lain, efektifitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan kelompoknya. (d) Fasilitas Fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukan, dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil. 3) Disposisi Disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting dalam pendekatan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika
20
pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi bias. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi, menurut George C. Edward III, adalah: (a) Pengangkatan birokrat Disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orangorang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga. (b) Insentif Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan
untuk
mengatasi
masalah
kecenderungan
para
pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif. Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi
21
faktor pendorong yang membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. 4) Struktur birokrasi Walaupun sumber-sumber untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana atau terealisasi karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini menyebabkan sumberdaya-sumberdaya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Dua karakteristik, menurut Edward III, yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi/organisasi ke arah yang lebih baik adalah: Standar Operating Prosedures (SOPs) dan melaksanakan Fragmentasi. SOPadalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai (atau pelaksana kebijakan/administrator/birokrat) untuk melaksanakan kegiatankegiatannya pada tiap harinya sesuai dengan standar yang ditetapkan (atau standar minimum yang dibutuhkan warga). Sedangkan fragmentasi adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan atau aktivitasaktivitas pegawai di antara beberapa unit kerja
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
22
Semua kebijakan publik dimaksudkan untuk mempengaruhi atau mengawasi perilaku manusia dalam beberapa cara, untuk membujuk orang supaya bertindak sesuai dengan aturan atau tujuan yang ditentukan pemerintah. Jika kebijakan tidak dapat dipenuhi, jika orang-orang tetap bertindak dengan cara yang tidak diinginkan, jika mereka tidak memakai cara yang ditentukan, maka kebijakan tersebut dikatakan tidak efektif atau secara ekstrem hasilnya nol. Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan atau tidaknya suatu kebijakan publik menurut Agustino (2012:157) adalah sebagai berikut:
1) Respeknya anggota masyarakat pada otoritas dan keputusan pemerintah Penghormatan dan penghargaan publik yang legitimate menjadi kata kunci penting bagi terwujudnya pemenuhan atas pengejawantahan kebijakan publik. Ketika warga menghormati pemerintah yang berkuasa oleh karena legitimasinya, maka secara otomatis mereka akan turut pula memenuhi ajakan pemerintah melalui undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, keputusan pemerintah, ataupun nama/istilah lainnya. 2) Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan Masyarakat yang digerakkan oleh rational choices (pilihan-pilihan yang rasional), banyak dijumpai bahwa individu/kelompok warga mau menerima dan melaksanakan kebijakan publik sebagai sesuatu yang logis, rasional, serta memang dirasa perlu. Tapi hal itu tidak mudah, karena bermain di ranah “kesadaran” artinya pemerintah harus mampu merubah mindset warga dengan
23
cara sikap dan perilaku yang sesuai dengan mindset yang hendak dibentuk oleh aparatur itu sendiri. 3) Adanya sanksi hukum Orang
dengan
akan
sangat
terpaksa
mengimplementasikan
dan
melaksanakan suatu kebijakan karena ia takut terkena sanksi hukuman, misalnya: denda, kurungan, dan sanksi-sanksi lainnya. Karena itu, salah satu strategi yang sering digunakan oleh aparatur administrasi atau aparatur birokrasi dalam upayanya untuk memenuhi implementasi kebijakan publik ialah dengan cara menghadirkan sanksi hukum yang berat pada setiap kebijakan yang dibuatnya. Selain itu, orang atau kelompok warga seringkali mematuhi dan melaksanakan kebijakan karena ia tidak suka dikatakan sebagai orang yang melanggar aturan hukum, sehingga dengan terpaksa ia melakukan isi kebijakan tersebut. 4) Adanya kepentingan publik Masyarakat mempunyai keyakinan bahwa kebijakan publik dibuat secara sah, konstitusional, dan dibuat oleh pejabat publik yang berwenang, serta melalui prosedur yang sah yang telah tersedia. Maka masyarakat cenderung mempunyai kesediaan diri untuk menerima dan melaksanakan kebijakan itu. Apalagi ketika kebijakan publik itu memang berhubungan erat dengan hajat hidup mereka 5) Adanya kepentingan pribadi Seseorang atau kelompok orang sering memperoleh keuntungan langsung dari suatu proyek implementasi kebijakan, maka dari itu dengan senang hati mereka akan menerima, mendukung, dan melaksanakan kebijakan yang ditetapkan.
24
6) Masalah waktu Jika masyarakat memandang ada suatu kebijakan yang bertolak belakang dengan kepentingan publik, maka warga akan berkecenderungan untuk menolak kebijakan tersebut. Tetapi begitu waktu berlalu, pada akhirnya suatu kebijakan yang dulunya pernah ditolak dan dianggap kontroversial, berubah menjadi kebijakan yang wajar dan dapat diterima.
B. Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Secara terminologis, penanganan sampah merupakan bagian dari aktivitas pengelolaan sampah (Salim, 2014:6).Sementara itu,peraturan Daerah Kota Kupang No. 3 Tahun 2011 mnengaskan bahwa sampah rumah tangga,dan sampah sejenis sampah rumah tangga merupakan sisa kegiatan sehari – hari manusia dan/ atau proses alam sebagai proses alam sebagai akhibat kegiatan manusia.Pengelolaan sampah sendiri dipahami sebagai kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah yang ditujukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Pengurangan sampah dapat dilakukan melalui pembatasan timbulan sampah (reduce), pemanfaatan kembali sampah (reuse) dan pendauran ulang sampah (recycle). Kegiatan penanganan sampah meliputi: 1) Pemilahan dalam bentuk pengelompokkan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan sifat sampah
25
2) Pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu guna melakukan proses pendauran ulang. 3) Pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir 4) Pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman. Sementara untuk pengelolaan sampah spesifik menjadi tanggung jawab Pemerintah yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (Naditya dkk.,2010:89)
C.
Implementasi Kebijakan Penanganan Sampah. Dalam kajian tentang implemntasi kebijakan penanganan sampah dideskripsikan tentang
enam (6) faktor penting yang dikemukakan oleh Donal van Meter dan Carl van Horn merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari implemntasi kebijakan yaitu sebagai berikut : 1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan. Ukuran dan tujuan kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kejelasan standard an sasaran kebijakan sehingga dapat dipahami oleh aparat pelaksana dalam implemntasi Peraturan Daerah Kota Kupang Nomor 3 Tahun 2011. 2. Sumber daya (resources) Sumber daya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah semua jumlah aparat pelaksana, ketersediaan biaya operasional, serta ketersediaan sarana prasarana yang memadai.
26
3. Karakteristik agen pelaksana Karakteristik agen pelaksana yang dimaksud dalam penelitian ini adanya mekanisme atau prosedur kerja (SOP) serta pembagian tugas dan tanggung jawab yang mendukung. 4. Sikap / kecendrungan (disposition) para pelaksana Sikap / kecendrungan (disposition) para pelaksana yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pemahaman dan komitmen aparat pelaksana.
5. Komunikasi antar organisasi dan aktifitas pelaksana Komunikasi antar organisasi dan aktivitas pelaksana adalah koordisasi dan frekuensi koordinasi terkait implemntasi. 6. Lingkungan ekonomi, social, dan politik Lingkungan ekonomi, social, dan politik adalah kerja sama antara pemerintah dengan pihak swasta serta masyarakat terkait implemntasi Peraturan Daerah No. 3 Kota Kupang. Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dengan ini dapat didefenisikan bahwa implemntasi penangan sampah adalah kegiatan- kegiatan atau aktivitas yang mengukur secara cermat terhadap fenomena lingkungan yang berkaitan dengan penangganan sampah yang ditetapkan berdasarkan tahapan- tahapan kegiatan yang ditetapkan dalam faktor- faktor yang mempengaruhi. 1) Ukuran dan Tujuan Kebijakan:
Kejelasan standar dan sarana kebijakan.
27
2) Sumber Daya.
Jumlah aparat pelaksana
Ketersediaan biaya operasional
Ketersediaan sarana dan prasarana pendukung
3) Karateristik agen pelaksana
Mekanisme atau prosedur kerja (SOP)
Pembagian tugas dan tanggung jawab
4) Sikap atau kecendrungan para pelaksana
Pemahaman aparat pelaksana
Komitmen aparat pelaksana
5) Komunikasi antar organisasi dan aktifitas pelaksana
Koordinasi
Frekunsi koordinasi
6) Lingkungan ekonomi, social, politik
Kerjasama pemerintah dengan masyarakat pihak swasta
Pegawasan DPRD kota Kupang
28
29
BAB III METODE PENELITIAN
A. Strategis dan Tipe Penelitaian a. Penelitian ini tentang Implementasi Kebijakan Penanganan Sampah,dan menggunakan strategi penelitian survey yaitu,penelitian yang dilakukan pada populasi besar / kecil, tetapi data yang dipelajari data sample yang diambil dari populasi(sugiyono) b. Tipe penelitian Tipe penelitian ini menggunakan deskriptif – kualitatif. Menurut Bogman dan Taylor, yang dikutip Moleong (1993:2), penelitian deskriptif-kualitatif didefenisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang- orang atau prikalu yang dicermati.
B. Operasional Variabel 1. Defenisi operational
Yang dimaksud dengan implementasi kebijakan penangana samapah adalah suatu program yang dinamis.dimana pelaku kebijakan membuat suatu kegiatan atau aktifitas,sehingga pada akhirnya mendapatkan hasil sesuai tujuan dan sasaran itu sendiri. Dengan menggunakan teori Van Meter dan Van Horn. Yaitu dengan memenuhi beberapa hal seperti ukuran dan tujuan kebijakan, sumber daya, 30
karakteristik agen pelaksana, sikap atau kecendrungan para pelaksana,komunikasi antar organisasi dan aktifitas pelaksana,lingkungan ekonomi,sosial dan politik.
2. Indikator- indikator
Indikator- indikator yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a) Ukuran dan Tujuan Kebijakan Aspek yang diukur :
Kejelasan standar dan sarana kebijakan.
b) Sumber Daya. Aspek yang diukur:
Jumlah aparat pelaksana
Ketersediaan biaya operasional
Ketersediaan sarana dan prasarana pendukung
c) Karateristik agen pelaksana Aspek yang diukur :
Mekanisme atau prosedur kerja (SOP)
Pembagian tugas dan tanggung jawab
d) Sikap atau kecendrungan para pelaksana Aspek yang diukur:
Pemahaman aparat pelaksana 31
Komitmen aparat pelaksana
e) Komunikasi antar organisasi dan aktifitas pelaksana Aspek yang diukur :
Koordinasi
Frekunsi koordinasi
f) Lingkungan ekonomi, social, politik Aspek yang diukur :
Kerjasama pemerintah dengan masyarakat pihak swasta
Pegawasan DPRD kota kupang
C. Populasi , Sampel dan Responden 1. Populasi
Populasi adalah wilaya generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang memiliki kualitas dan karateristik tertentu yang ditetapakan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiono 2005: 90). Dari pengertian diatas maka yang menjadi populasi adalah aparat pelaksana kebijakan implemntasi penangan samapah Kota Kupang dan masyarakat Oesapa berjumlah 8.670 KK. 2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tertentu.Oleh karena itu teknik pengambilan sampel yang digunnakan adalah Random Sampling, karena pengambilan anggota populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi tersebut (Sugiyono 2005:91-93 ) .
32
Dari Pengertian diatas
maka, yang jadi sampel dalam penelitian ini adalah aparat
pemerintah dan masyarakat Oesapa berjumlah 20 orang. 3. Responden
Kepala Dinas kebersihan dan pertamanan Kota Kupang : 1 orang Kepala Dinas pengelolaan sampah : 1 orang Kepala seksi pengumpulan dan pengangkutan: 1 orang Awak kebersihan : 4 orang Sopir : 2 orang Masyarakat Kelurahan Oesapa : 8 orang Pelaku Usaha Bisnis : 3 orang JUMLAH : 20 Orang
D. Jenis , Sumber Data, dan Teknik Analisis Data. a. Data primer,yaitu data yang diperoleh dari responden, dan untuk memperoleh data tersebut peneliti menggunakan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. b. Data sekunder, yaitu data yang bersumber dari dokumen atau laporan yang berhubungan langsung dengan masalah yang diteliti,di Kelurahan Oesapa, Kecamatan Kelapa Lima,Kota Kupang.
E. Teknik Pengeolahan dan Analisis data .
a.
Teknik pengolahan data
33
Teknik pengolahan data yang digunakan adalah : Reduksi data, yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok, dan Memfokuskan pada hal-hal yang penting. Display(penyajian data),penyajian data dibatasi sebagai sekumpulan informasi yang disesuaikan dan klarifikasi untuk mempermudah peneliti dalam menguasai data. Verifikasi (menarik kesimpulan), Verifikasi (verifying) adalah tahap penarikan kesimpulan dari data yang diperoleh untuk menjawab permasalahan yang diteliti. b.
Teknik analisis data. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisi deskriptif-kualitatif. Teknik analisis ini digunakan untuk menjelaskan dan menganalisis data hasil wawancara yang dikumpulkan dari seluruh sumber data.
34
35