PRESENTASI KASUS EFUSI PLEURA SINISTRA MASIF SUSPEK TUBERKULOSIS PARU Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Salatiga
Disusun Oleh: Sinta Merlinda Yuni 1413010015
Pembimbing: dr. Aprilludin., Sp.P
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO RSUD KOTA SALATIGA
2019
i
HALAMAN PENGESAHAN Telah disetujui dan disahkan presentasi kasus dengan judul
EFUSI PLEURA SINISTRA MASIF SUSPEK TUBERKULOSIS PARU
Disusun Oleh: Sinta Merlinda Yuni 1413010015
Telah dipresentasikan Hari/Tanggal: Senin/18 Maret 2019
Disahkan oleh: Dosen Pembimbing,
dr. Aprilludin., Sp.P
ii
BAB I LAPORAN KASUS A. IDENTITAS Nama
: Tn. N
Umur
: 45 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Buruh
Alamat
: Dusun Krajan RT 04 RW 01, Duren, Tengaran.
Tanggal Masuk
: 04 Maret 2019
B. ANAMNESIS 1. Keluhan Utama Demam. 2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan demam sudah 14 hari. Demam dirasakan naik turun. Riwayat mimisan, gusi berdarah dan berpergian ke daerah endemik disangkal. Pasien juga mengeluh batuk berdahak kurang lebih sudah satu bulan. Sudah diobati dengan obat yang dibeli di warung tetapi tetap tidak membaik. Nafsu makan pasien menurun kurang lebih sudah satu bulan ini. Mual, muntah, nyeri perut, nyeri dada dan sesak nafas disangkal. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Satu hari setelah dirawat, pasien mengeluhkan sesak nafas secara tiba-tiba, berlangsung terus menerus, dan tidak disertai suara ngik-ngik. Keluhan sesak dirasakan berat saat bernafas dan tidak membaik dengan perubahan posisi yang membuatnya sulit untuk melakukan aktifitas. 3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD) Pasien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi, jantung, asma, dan diabetes melitus. 4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK) Keluarga pasien (istri) didiagnosis menderita tuberkulosis paru kurang lebih 2 tahun yang lalu, dan sudah menjalani pengobatan selama 6
1
bulan dan sekarang sudah dinyatakan sembuh. Riwayat penyakit DM, hipertensi, stroke, alergi, dan sakit jantung pada keluarga disangkal. 5. Riwayat Personal Sosial (RPSos) Pasien merupakan seorah buruh tani. Sehari-hari bekerja di sawah dari pagi hari sampai sore. Dirumah pasien tinggal bersama istri dan anaknya. Rumah tempat tinggal pasien berada di perkampungan yang padat penduduk. Sinar matahari tidak dapat masuk kedalam rumah, ventilasi dirumahnya juga tidak terlalu baik.
C. PEMERIKSAAN FISIK 04 Maret 2019 Status Generalisata Kesan Umum
Tampak sakit sedang
Kesadaran
Compos Mentis (GCS : E4V5M6) IGD
Vital Signs / Tanda-Tanda Vital
Bangsal
Tekanan Darah : 105/75 Tekanan Darah : 140/80 mmhg
mmhg
Nadi : 141x/menit
Nadi : 90x/menit.
Respirasi : 26x/menit
Respirasi : 25x/menit
Suhu :38,3 0C
Suhu :39,20C
Kepala dan Leher Inspeksi
Conjungtiva anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-), deviasi trakea (-)
Palpasi
Pembesaran Limfonodi (-), Trakea teraba di garis tengah, JVP 5±1
Thorax Pulmo Inspeksi
Bentuk dada simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan bentuk, ginekomasti (-), spider navi (-)
Palpasi
Terdapat ketertinggalan gerak di lapang paru sinistra. Vokal fremitus lapang paru sisnistra menurun sedangkan dextra normal.
Perkusi
Redup, terutama dibagian basal paru sinistra
2
Auskultasi
Suara vesikular dasar (SDV) : +/+ menurun dilapang paru sinistra Suara ronkhi: -/Wheezing : -/-
Cor Inspeksi Palpasi
Pulsasi tidak terlihat Ictus cordis teraba 2cm dari SIC V linea parasternalis sinistra Jantung tidak membesar, namun terdorong ke arah dextra, dengan batas paru-jantung:
Perkusi
Auskultasi
Kanan atas: SIC II bergeser 2cm dari Linea Para Sternalis Dextra Kanan bawah: SIC IV bergeser 2cm dari Linea Para Sternalis Dextra Kiri atas: SIC II Linea Sternalis Kiri bawah: SIC IV begeser 2cm dari Linea Medio Clavicularis Sinistra Suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak ada bising ataupun suara tambahan jantung
Abdomen Inspeksi
Asites (-), caput medusa (-), striae (-), sikatriks (-)
Auskultasi
Bising usus (+) normal
Palpasi
Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak tidak ada pembesaran
Perkusi
Timpani, batas paru-hepar dan paru-lien dalam batas normal
Ekstremitas Inspeksi
Edema (-)
Palpasi
Pitting edema (-), akral hangat, WPK <2 detik
Genitalia Inspeksi
Tidak dilakukan pemeriksaan
3
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1.
Pemeriksaan EKG
Gambar 1.1. Hasil EKG tanggal 04 Maret 2019
Kesimpulan: Old miokard infark anterior
2.
Pemeriksaan Laboratorium Tabel 1.1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (04 Maret 2019)
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
Leukosit
7,13
4,5 – 11
ribu/ul
Eritrosit
4,95
3,8 – 5,8
juta/ul
Hemoglobin
14,4
11,5 – 16,5
gr/dL
Hematokrit
43,6
37 – 47
vol%
MCV
88,1
85 – 100
Fl
MCH
29,1
28 – 31
Pg
MCHC
33,0
30 – 35
gr/dL
Trombosit
265
150 – 450
ribu/ul
Hematologi
Golongan darah
B
Hitung Jenis
4
Eosinophil
0,2
1–6
%
Basophil
0,5
0–1
%
Limfosit
16,0
20 – 45
%
Monosit
3,3
2–8
%
Neutrofil
80,0
40 – 75
%
Urinalisa Bau Warna pH
Khas Kuning
Kuning
6,0
Kejernihan
keruh
Berat jenis
>1,025
Reduksi
Negatif
Bilirubin
Negatif
<0,20
Norm (0,1)
0,2-1,0
mg/dl
Keton
Negatif
<5
mg/dl
Nitrit
Negatif
Negatif
Blood
Negatif
<5
/mikro
Leukosit esterase
Positif 2 (75)
<10
/mikro
Protein-albumin
Negatif
Negatif
mg/dl
Epitel
1-4
5-15
/LPK
Leukosit
4-6
1-4
/LPB
Erythrosit
0-1
0-1
/LPB
Negatif
/LPB
Urobilinogen
1,015-1,025
mg/dl mg/dl
Mikroskopis
Kristal
Negatif
Silinder
Negatif
Bakteri
Negatif
Benang Mucus
Negatif
Lain-lain
Negatif
Negatif
Sputum BTA Sewaktu
Negatif
Negatif
Sputum BTA Pagi
Negatif
Negatif
Sputum BTA Sewaktu
Negatif
Negatif
/LPK
Mikrobiologi Mikroskopis
5
3.
Pemeriksaan Radiologi
Gambar 1.2. Foto thorax (04 Maret 2019)
Hasil: - Tampak opasitas homogen yang hampir memenuhi hemithorax sinistra, menutup sinus costophrenicus dan diafragma sinistra - Tampak perselubungan semiopaq inhomogen di apex pulmo dextra et sinistra dengan air bronchogram (+) - Diafragma dextra tampak licin - Sinus costofrenicus dextra tampak lancip - Cor, CTR tak valid dinilai o/k batas kanan-kiri tertutup opasitas di hemithorax - Sisterna tulang yang tervisualisasi intak
6
Kesimpulan: - Gambaran TB Paru aktif dengan pleural effusion sinistra masive - Besar cor tak valid dinilai
E. ASSESSMENT Tuberkulosis paru BTA negatif kasus baru dengan komplikasi efusi pleura masif sinistra dan penyulit penyakit jantung iskemik
F. PENATALAKSANAAN/PLANNING IGD Tatalaksana 04-03-2019 -
Infus RL 20 tpm
-
O2 3 liter/menit
laboratorium
-
Injeksi ceftriaxone 2x1
rutin, Ureum, Kreatinin,
gram
SGOT/SGPT, GDS dan
Infus PCT jika suhu >39
Elektrolit
-
-
derajat -
Injeksi ranitidin 1 amp IV
-
Tab PCT 3x500 jika suhu >37 derajat
BANGSAL Tatalaksana 04-03-2019 -
Infus RL 30 tpm
-
Injeksi ceftriaxone 2x2 gram
-
PCT tab 3x1
-
Omeprazol 2x1
-
Neurodex 1x1 tab
-
Nitrocaf 2x1 tab
-
EKG
7
Pemeriksaan (Darah
Tatalaksana 05-03-2019 -
Infus RL 30 tpm
-
Injeksi ceftriaxone 2x2 gram
-
PCT tab 3x1
-
Omeprazol 2x1
-
Neurodex 1x1 tab
-
Nitrocaf 2x1 tab
-
Konsul dr. Aprilludin, Sp.P
Tatalaksana 06-03-2019 -
Infus RL 30 tpm
-
Injeksi ceftriaxone 2x2 gram
-
PCT tab 3x1
-
Omeprazol 2x1
-
Neurodex 1x1 tab
-
Nitrocaf 2x1 tab
-
WSD
-
PO Lefofloxacin 1x750 mg
-
Telah dilakukan pungsi, didapatkan 250 cc cairan berwarna keruh
-
Injeksi ketorolac per 12 jam
-
Foto ulang setelah WSD
Tatalaksana 07-03-2019 -
Infus RL 30 tpm
-
Injeksi ceftriaxone 2x2 gram
-
PCT tab 3x1
-
Omeprazol 2x1
-
Neurodex 1x1 tab
-
Nitrocaf 2x1 tab
-
PO Lefofloxacin 1x750 mg
-
Injeksi ketorolac per 8 jam
-
Tes ADA cairan pleura
1
Tatalaksana 08-03-2019 -
Infus RL 30 tpm
-
Injeksi ceftriaxone 2x2 gram
-
PCT tab 3x1
-
Omeprazol 2x1
-
Neurodex 1x1 tab
-
Nitrocaf 2x1 tab
-
PO Lefofloxacin 1x750 mg
-
Injeksi ketorolac per 8 jam
-
Tes ADA cairan pleura
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkulosis Paru 1. Definisi Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. 2. Patogenesis Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN (Depkes RI, 2014). Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis) (Depkes RI, 2014). Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-
3
104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler (Depkes RI, 2014). Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan (Depkes RI, 2014). Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi (TBCTA, 2006). 4
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik (TBCTA, 2006). Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk p0enyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya (TBCTA, 2006). Di
dalam
koloni
yang
sempat
terbentuk
dan
kemudian
dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain (TBCTA, 2006). Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita (TBCTA, 2006).
5
Gambar 2.1 Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan Perjalanan Penyembuhannya
Gambar 2.2 Patogenesis Tuberkulosis 3. Manifestasi Klinis Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik. a.
Gejala Sistemik 1) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
6
2) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul. 3) Penurunan nafsu makan dan berat badan 4) Perasaan tidak enak (malaise), lemah b. Gejala Khas 1) Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak. 2) Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada. 3) Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah. 4) Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang. 4. Klasifikasi Tuberkulosis paru Klasifikasi berdasarkan lokal anatomi penyakit a. TB Paru - Tuberkulosis paru. Merupakan TB yang menyerang parenkim paru. - Limfadenitis TB di rongga dada (kelenjar pada hilus dan atau mediastinum) dan efusi pleura tanpa gambaran yang endukung radiologis TB pada paru dinyatakan sebagai TB ekstra paru (Depkes RI, 2018) b. TB Paru Ekstra Paru - Tuberkulosis ekstra paru. Merupakan TB yang menyerang organ selain paru (pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kemih dan alat kelamin) - Gejala sesuai organ yang terkena. - Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan yang terkena (Depkes RI, 2018). Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat 7
a. Mono resisten (TB MR) Resisten terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja. b. Poli resisten (TB PR) Resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain isoniazid dan rifampisin secara bersamaan. c. Multi drug resistan (TB MDR) Resistan terhadap isoniazid dan rifampisin secara bersamaan. d. Extensive drug resistan (TB XDR) Adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin) e. Resistan rifampisin (TB RR) Resistan terhadap rifampisin dngan atau tanpa resistan terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional) (Depkes RI, 2018) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya a. Pasien kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (< dari 28 dosis). b. Pasien pernah diobati TB 1. Pasien kambuh (Relaps) Pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosa TB berdasar hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. 2. Pasien yang diobati kembali setelah gagal Pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir. 3. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat Pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (sebelumnya dikenal sebagai pasien setelah putus berobat/default). 4. Lain-lain Semua pasien TB yang pernah diobati namun hasil pengobatan sebelumnya tidak diketahui. 8
Pasien dengan riwayat pengobatan yang tidak diketahui sebelumnya (Depkes RI, 2018). Klasifikasi berdasarkan status HIV 1. Pasien TB dengan HIV positif (co-infeksi TB/HIV) 2. Pasien TB dengan HIV negatif 3. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui 5. Diagnosis Tuberkulosis Paru Diagnosis
tuberkulosis
dapat
ditegakkan
berdasarkan
gejala
klinik,
pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. A. Gejala klinik Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat). 1. Gejala respiratorik a. batuk-batuk lebih dari 2 minggu b. batuk darah c. sesak napas d. nyeri dada Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. 2. Gejala sistemik a. Demam b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun. 3. Gejala tuberkulosis ekstra paru Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat
9
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
B. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”
C. Pemeriksaan Bakteriologi 1. Bahan pemeriksasan Pemeriksaan
bakteriologik
untuk
menemukan
kuman
tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH) 2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS): a.
Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b.
Pagi ( keesokan harinya )
10
c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) d.
atau setiap pagi 3 hari berturut-turut. Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung
dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium. Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 35 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring: a. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya. b. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml. c. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak. d. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di dalam dus. e. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil. f. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi. g. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak. h. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.
11
3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain. Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara : Pemeriksaan mikroskopik: Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening) lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila : 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto toraks, kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif bila 3 kali negatif : BTA negatif Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) : Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+). Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+). Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+). Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst Skala Bronkhorst (BR) : BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan. BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang. BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang. BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang. BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang. b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara : Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh. Agar base media : Middle brook.
12
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.
D. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : 1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah. 2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular. 3. Bayangan bercak milier. 4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang). Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif 1. Fibrotik 2. Kalsifikasi 3. Schwarte atau penebalan pleura
13
Gambar 2.3 Alur Diagnosis TB Paru
6. Tatalaksana Medikamentosa Prinsip pengobatan TB yaitu: (1) Diberikan dalam bentuk panduan OAT yang tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah resistensi (2) Diberikan dalam dosis yang tepat (3) Ditellan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh 14
PMO sampai pengobatan sebelasi (4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta lanjutan untuk mencegah kekambuhan. (Depkes RI, 2018). Tahap pengobatan TB dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Tahap awal: pengobatan tiap hari. Tujuan tahap ini untuk menurunkan jumlah kuman dalam tubuh dan meminimalisir pengarug sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapat pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru harus diberikan 2 bulan. Pada umumnya daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu. (2) Tahap lanjutan: penting untuk membunuh sisa kuman yang masih ada dalam tubuh terutama kuman yang persisten sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. (Depkes RI, 2018). Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH, Rifampisin, Streptomisin, Etambutol. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin , Amikasin, Kuinolon Pengobatan Tb paru pada orang dewasa di bagi dalam beberapa kategori yaitu: a. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan). Diberikan kepada: - Penderita baru TBC paru BTA positif. - Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat. b. Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3 Diberikan kepada: - Penderita kambuh. - Penderita gagal terapi. - Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat. c. Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3 Diberikan kepada penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif. d. Kategori 4: RHZES Diber ikan pada kasus Tb kronik.
Pengobatan Suportif / Simptomatik
15
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan. 1. Pasien rawat jalan a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya) b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain. 2. Pasien rawat inap Indikasi rawat inap : TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb : a. Batuk darah (profus) b. Keadaan umum buruk c. Pneumotoraks d. Empiema e. Efusi pleura masif / bilateral f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura) TB di luar paru yang mengancam jiwa : a. TB paru milier b. Meningitis TB Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi rawat
Terapi Pembedahan lndikasi operasi 1. Indikasi mutlak a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
16
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif 2. lndikasi relatif a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan c. Sisa kavitas yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan) 1. Bronkoskopi 2. Punksi pleura 3. Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage) Kriteria Sembuh 1. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat 2. Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan 3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
Evaluasi Pengobatan Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat. Evaluasi klinik 1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan 2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit 3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik. Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan) 1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak 2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik a. Sebelum pengobatan dimulai b. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) c. Pada akhir pengobatan 17
3. Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensiEvaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan) Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada: 1. Sebelum pengobatan 2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan) 3. Pada akhir pengobatan
Evalusi keteraturan berobat 1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya. 2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi. Evaluasi pasien yang telah sembuh Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.
7. Perjalanan Penyakit Cara penularan 1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. 2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. 3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
18
4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. 5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi
percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Risiko penularan 1. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru
dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. 2. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. 3. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. 4. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.
Risiko menjadi sakit TB 1. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. 2. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000
terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif. 3. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya
tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). 4. HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit
TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bias mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula. Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan: 19
1. 50% meninggal 2. 25%
akan
sembuh
sendiri dengan daya
tahan
yang
tinggi
3. 25%
tubuh
menjadi kasus kronis
tetap
yang
menular
Gambar 2.4 faktor resiko kejadian TB 8. Komplikasi Tb
paru
apabila
tidak
ditangani
dengan
baik
akan
menimbulkan
komplikasi.Komplikasi-komplikasi yang terjadi pada penderita Tb paru dibedakan menjadi dua, yaitu: a.
Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, usus.
b.
Komplikasi pada stadium lanjut, seperti: - Hemoptisis masif (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan nafas atau syok hipovolemik. - Kolaps lobus akibat sumbatan duktus. - Bronkietaksis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru. - Pneumotoraks spontan, yaitu kolaps spontan karena bula/blep yang pecah. - Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal, dan sebagainya. 20
9. DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program penanggulangan tuberkulosis adalah dengan menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh negara kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik. DOTS mengandung lima komponen, yaitu : 1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional 2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis 3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal dengan istilah DOT (Directly Observed Therapy) 4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan 5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku /standar Saat ini terdapat 6 elemen kunci dalam strategi stop TB yang direkomendasi oleh WHO: 1. Peningkatan dan ekspansi DOTS yang bermutu, meningkatkan penemuan kasus dan penyembuhan melalui pendekatan yang efektif terhadap seluruh pasien terutama pasien tidak mampu 2. Memberikan perhatian pada kasus TB-HIV, MDR-TB, dengan aktiviti gabungan TB-HIV, DOTS-PLUS dan pendekatan-pendekatan lain yang relevan 3. Kontribusi pada sistem kesehatan, dengan kolaborasi bersama program kesehatan yang lain dan pelayanan umum 4. Melibatkan seluruh praktisi kesehatan, masyarakat, swasta dan nonpemerintah dengan pendekatan berdasarkan Public-Private Mix (PPM) untuk mematuhi International Standards of TB Care 5. Mengikutsertakan pasien dan masyarakat yang berpengaruh untuk berkontribusi pada pemeliharaan kesehatan yang efektif 6. Memungkinkan dan meningkatkan penelitian untuk pengembangan obat baru, alat diagnostik dan vaksin. Penelitian juga dibutuhkan untuk meningkatkan keberhasilan program A. Tujuan : · Mencapai angka kesembuhan yang tinggi · Mencegah putus berobat · Mengatasi efek samping obat jika timbul · Mencegah resistensi B. Pengawasan Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh : Pasien berobat jalan Bila pasien mampu datang teratur, misal tiap minggu maka paramedis atau petugas sosial dapat berfungsi sebagai PMO. Bila pasien diperkirakan tidak mampu datang secara teratur, sebaiknya dilakukan koordinasi dengan puskesmas setempat. Rumah PMO harus dekat dengan rumah pasien TB untuk pelaksanaan DOT ini Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO 1.
Petugas kesehatan
21
2.
Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
3.
Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah
Pasien dirawat : Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah petugas rumah sakit, selesai perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.
C. Langkah Pelaksanaan DOT Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien diberikan penjelasan bahwa harus ada seorang PMO dan PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik untuk mendapat penjelasan tentang DOT
D. Persyaratan PMO
PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama pengobatan dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS. PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader kesehatan, kader dasawisma, kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani pasien
E. Tugas PMO
Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien agar tetap mau menelan obat Merujuk pasien bila efek samping semakin berat Melakukan kunjungan rumah Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala TB
F. Penyuluhan Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat dilakukan secara : ·
Peroranga/Individu Penyuluhan terhadap perorangan (pasien maupun keluarga) dapat dilakukan di unit rawat jalan, di apotik saat mengambil obat dll · Kelompok Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok pasien, kelompok keluarga pasien, masyarakat pengunjung rumah sakit dll Cara memberikan penyuluhan . Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada . Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat penerimaannya sebagai bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya . Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang belum jelas . Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti, kalau perlu dengan alat peraga (brosur, leaflet dll) PENCATATAN DAN PELAPORAN
22
Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam sistem informasi penanggulangan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB harus melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk itu pencatatan dibakukan berdasarkan klasifikasi dan tipe penderita serta menggunakan formulir yang sudah baku pula. Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa item/formulir yaitu : 1. Kartu pengobatan TB (01) 2. Kartu identiti penderita TB (TB02) 3. Register laboratorium TB (TB04) 4. Formulir pindah penderita TB (TB09) 5. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan (TB10) Cara pengisisan formulir sesuai dengan buku pedoman penanggulangan TB Nasional (P2TB) Jika memungkinkan data yang ada dari formulir TB01 dimasukkan ke dalam formulir Register TB (TB03). Catatan : . Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk kepentingan pencatatan pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru. . Bila seorang pasien ekstraparu pada beberapa organ, maka dicatat sebagai ekstraparu pada organ yang penyakitnya paling berat . Contoh formulir terlampir
23
BAB III PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
A. PEMBAHASAN Dari hasil anamnesis didapatkan Tn.N berusia 45 tahun ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan demam. Demam dirasakan naik turun sudah kurang lebih 14 hari. Riwayat mimisan, gusi berdarah dan berpergian ke daerah endemik disangkal. Pasien juga mengeluh batuk berdahak kurang lebih sudah satu bulan. Sudah diobati dengan obat yang dibeli di warung tetapi tetap tidak membaik. Nafsu makan pasien menurun kurang lebih sudah satu bulan ini. Mual, muntah, nyeri perut, nyeri dada dan sesak nafas disangkal. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Satu hari setelah dirawat, pasien mengeluhkan sesak nafas secara tiba-tiba, berlangsung terus menerus, dan tidak disertai suara ngik-ngik. Keluhan sesak dirasakan berat saat bernafas dan tidak membaik dengan perubahan posisi yang membuatnya sulit untuk melakukan aktifitas. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, jantung dan asma. Keluarga pasien (istri) didiagnosis menderita tuberkulosis paru kurang lebih 2 tahun yang lalu, dan sudah menjalani pengobatan selama 6 bulan dan sekarang sudah dinyatakan sembuh. Riwayat penyakit DM, hipertensi, stroke, alergi, dan sakit jantung pada keluarga disangkal. Pasien merupakan seorang buruh tani. Sehari-hari bekerja di sawah dari pagi hari sampai sore. Dirumah pasien tinggal bersama istri dan anaknya. Rumah tempat tinggal pasien berada di perkampungan yang padat penduduk. Sinar matahari tidak dapat masuk kedalam rumah, ventilasi dirumahnya juga tidak terlalu baik.. Dari pemeriksaan status generalisata pasien didapatkan hasil bahwa suhu awal saat di IGD yaitu 38oC, namun pada saat sudah dipindahkan dibangsal suhu pasien mendadak naik menjadi 39,2oC, nadi: 90x/menit dan pernafasan 25x/menit. Hasil pemeriksaan dari kepala dan leher dalam batas normal. Pada pemeriksaan thorax didapatkan hasil bahwa bentuk dadanya simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan bentuk. Palpasi thorax didapatkan dalam batas normal. Namun pada perkusi thorax didapatkan suara yang dihasilkan redup terutama dibagian basal paru sinistra, ini menandakan bahwa adanya cairan didalam rongga pleura. Pada auskultasi paru didapatkan suara dasar vesikuler menurun di lapang paru sinistra, sedangkan pada lapang paru dextra dalam batas normal, suara tambahan seperti ronki dan wheezing tidak ditemukan. Pada pemeriksaan jantung 24
didapatkan dalam batas normal. Saat dilakukan asukultasi suara jantung juga normal tidak ada suara tambahan maupun bising jantung. Pemeriksaan abdomen dan ekstremitas juga dalam batas normal. Kemudian pasien dirawat inap dibangsal untuk mengevaluasi demam yang dirasakan kurang lebih sudah 14 hari dan dilakukan usulan pemeriksaan laboratorium berupa darah rutin, urin rutin, EKG dan foto rontgen thorax. Dari hasil pemeriksaan hematologi tidak didapatkan adanya kelainan, semua masih dalam batas normal. Hasil pemeriksaan urinalisa juga dalam batas normal, sehingga diagnosis banding demam akibat infeksi saluran kemih dapat disingkirkan. Hasil dari pemeriksaan rekam jantung menunjukkan adanya Q patologis di sadapan V1 dan V2, hal ini menunjukkan bahwa ada old miokard infark (OMI) namun pasien tidak pernah mengeluh dada terasa berat dan nyeri, sering cepat lelah serta sesak nafas. Foto thorax pasien didapatkan hasil adanya opasitas homogen yang hampir memenuhi hemithorax sinistra, menutup sinus costophrenicus dan diafragma sinistra, selain itu juga tampak perselubungan semiopaq inhomogen di apex pulmo dextra et sinistra dengan air bronchogram (+), diafragma dextra tampak licin, sinus costofrenicus dextra tampak lancip, CTR tak valid dinilai oleh karena batas kanan-kiri tertutup opasitas di hemithorax. Dari penjabaran foto thorak tersebut dapat diambil kesimpulan yaitu terdapat gambaran TB Paru aktif dengan pleural effusion sinistra masive. Lalu dilakukan tindakan untuk mengeluarkan cairan pada pleural space paru sinistra dengan water sealed drainage (WSD). WSD adalah suatu tindakan pemasangan kateter pada rongga thoraks, rongga pleura ,mediastinum dengan tujuan untuk mengeluarkan udara atau cairan dari rongga tersebut. Setelah dilakukan WSD, keluar cairan kurang lebih 250 cc yang berwarna agak kekuningan keruh (serous-xantho-ctrone). Lalu pasien disarankan dokter untuk dilakukan foto thorak ulang. Pada hari berikutnya keluar cairan lagi kurang lebih 1000 cc yang berwarna keruh. Lalu dokter menyarakan untuk dilakukan pemeriksaan cairan pleura berupa tes ADA. ADA test menggunakan bahan cairan pleura, yaitu cairan yang terdapat di antara paru dan pleura. ADA adalah protein yang diproduksi oleh sel-sel di dalam tubuh dan berhubungan dengan aktivitas limfosit. Limfosit adalah salah satu jenis lekosit yang memainkan peranan dalam respon imun terhadap infeksi. Kondisi pencetus bekerjanya sistem imun, seperti infeksi Mycobacterium tuberculosis dapat menyebabkan peningkatan jumlah ADA yang diproduksi di daerah infeksi. Produksi sejumlah ADA di dalam cairan pleura 25
menggambarkan adanya sel darah putih yang teraktivasi karena adanya infeksi. Pemeriksaan ini cukup spesifik terhadap infeksi Tuberkulosa. Selain itu, pasien juga diprogram untuk dilakukan cek sputum BTA dari dahak. Pasien juga mendapatkan antibiotik berupa levofloxacin 1x750 mg. Levofloxacin merupakan antibiotik golongan kuinolon generasi 3 yang merupakan isomer S dari ofloxaxin. Pemeriksaan sputum BTA didapatkan hasil yang negatif dari ketiga spesimen dahak sewaktu, pagi, sewaktu. Efusi pleura pada pasien ini terjadi akibat dari antigen TB memasuki rongga pleura, biasanya melalui pecahnya fokus subpleural dan terjadi interaksi dengan limfosit yang akan menghasilkan suatu reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Limfosit akan melepaskan limfokin yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas dari kapiler pleura terhadap protein yang akan menghasilkan cairan pleura. Sel T helper tipe 1 (Th 1) subset memperantarai limfosit dalam memberikan respon terhadap infeksi M.Tb. Efusi pleura ini dapat terjadi setelah infeksi primer atau reaktivasi TB yang mungkin terjadi jika penderita mengalami imunitas rendah, dan juga tidak melibatkan basil yang masuk ke rongga pleura.
Jadi dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang sudah dilakukan pada pasien ini, dapat diambil kesimpulan bahwa pasien ini didiagnosis efusi pleura suspek tuberkulosis paru, Walaupun dari hasil foto thoraks didapatkan gambaran tuberkulosis paru aktif, pasien tidak dapat didiagnosis menderita tuberkulosis paru karena ketiga hasil pemeriksaan BTA sputumnya negatif.
26
B. KESIMPULAN Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada kasus ini pasien didiagnosis efusi pleura suspek tuberkulosis paru, Walaupun dari hasil foto thoraks didapatkan gambaran tuberkulosis paru aktif, pasien tidak dapat didiagnosis menderita tuberkulosis paru karena ketiga hasil pemeriksaan BTA sputumnya negatif. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini yaitu antibiotik, WSD untuk pengambilan cairan pleurnya dan sudah sesuai dengan alur diagnosis tuberkulosis paru.
27
DAFTAR PUSTAKA Bing, K. Diagnostik dan klasifikasi tuberkulosis paru. RTD Diagnosis dan Pengobatan Mutakhir Tuberkulosis Pam Semarang, Mei 2007 1-6. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta, 2018; 3-4. PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta. 2018. Werdhani, Retno Asti. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, Dan Keluarga FKUI. 2002.
28