Presus Gadieh Tb 1.doc

  • Uploaded by: Gadieh Kasih Chaniago
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Presus Gadieh Tb 1.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 9,514
  • Pages: 47
PRESENTASI KASUS TUBERCULOSIS PARU

Oleh Gadieh Kasih Muharrom Jr 1102014112 Tutor dr. Windhi Kresnawati Sp.A Moderator dr. Anies Nuringtyas Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

i

ii

BAB I STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN Nama Pasien : An. I.S Jenis kelamin : Laki-laki Tanggal lahir : 28 September 2003 Umur : 15 tahun Alamat : Kampung Lanji RT 003, RW 006 papanggo tanjung priuk Jakarta Utara Suku Bangsa Pendidikan Tanggal masuk

: Jawa : Tidak melanjutkan sekolah sejak SD kelas 5 : 24 Oktober 2018

B. ANAMNESIS Dilakukan alloanamnesis pada tanggal 28 Oktober 2018 pukul 19:00 Keluhan Utama : Sesak nafas sejak 1 hari SMRS Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto dengan keluhan sesak nafas sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). sesak dirasakan berulang namun tidak dipengaruhi aktivitas, tidak disertai mengi, dan tidak dipengaruhi posisi tidur. Satu bulan SMRS, Pasien mengatakan sering demam, demam dirasakan naik turun dan tidak disertai menggigil, kejang, dan tidak ada tanda pendarahan seperti mimisan ataupun gusi berdarah. Pasien juga sering merasa lemas dan nafsu makan berkurang. Selain itu, pasien juga mengeluh batuk berdahak berwarna putih, setiap kali batuk keluar darah kental berwarna merah segar bercampur lendir. Kemudian pasien berobat ke RS Pulo Gandul dan dilakukan foto rontgen serta pemeriksaan darah, hasilnya pasien di diagnosis tuberculosis paru. Setelah di diagnosis pasien tidak mendapatkan terapi obat anti-tuberkulosis (OAT) dengan alasan pasien tidak memiliki badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS), lalu pasien hanya diberi obat simtomatik dan dokter menyarankan pasien untuk kontrol ke Puskesmas. Satu minggu SMRS, pasien kembali mengalami sesak nafas disertai batuk berdahak bercampur darah, demam, dan badan terasa lemas. Pasien kemudian dibawa

1

ke Puskesmas terdekat namun hanya diberikan obat batuk untuk mengeluarkan dahak selanjutnya pasien dipulangkan dan tidak mendapat terapi lainnya. Tiga hari SMRS, sesak nafas bertambah berat disertai demam yang naik turun dan batuk berdahak bercampur darah. Pasien juga mengatakan sering berkeringat malam dengan tanpa melakukan aktivitas. Selain itu, pasien merasakan lemes seluruh badan, nafsu makan berkurang, dan ada penurunan berat badan sebanyak 14,5 kg dalam 1 bulan terakhir. BAB 2 kali sehari, konsistensi lunak, berwarna kuning, dan tidak disertai darah ataupun lendir. BAK 6 kali sehari, berwarna kuning jernih, BAK tidak bercampur darah dan tidak ada nyeri saat BAK. Selanjutnya pasien memutuskan untuk berobat ke IGD RSPAD Gatot Soebroto. Pasien mengaku tidak memiliki anggota keluarga yang mengalami penyakit yang sama seperti pasien. Namun, pasien memiliki tetangga yang di diagnosis TB paru dan sudah menjalani pengobatan selama 4 bulan. Pasien mengaku merokok kurang dari satu bungkus perhari, dan sering mengonsumsi minuman beralkohol. Pasien mengaku tidak ada mengonsumsi obat sebelumnya selain obat pengencer dahak dan penurun panas. Riwayat imunisasi tidak lengkap. Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak ada Riwayat penyakit dalam keluarga yang ada hubungannya dengan penyakit sekarang : Tidak ada Riwayat Kehamilan : Status obstetrik ibu pada saat mengandung pasien adalah G2A0P1. Usia kehamilan ibu adalah 38 minggu, selama kehamilan ibu tidak rutin melakukan antenatal care (ANC). Riwayat Kelahiran : Tempat bersalin

: Rumah bersalin

Penolong

: Bidan

Cara persalinan

: Normal

Berat badan lahir

: 3200 gram (berat lahir cukup)

Panjang badan lahir

: 47cm 2

Masa gestasi

: 38 minggu

Keadaan setelah lahir

: Langsung menangis

Nilai APGAR

: Ibu lupa

Kelainan bawaan

: Tidak ada

Anak ke

: 2 dari 4 bersaudara

Riwayat Perawatan : 24/10/18

25/10/18

26/10/18

27/10/18

Pada awal perawatan, pasien dengan sesak nafas yang memberat sejak 1 bulan disertai batuk berdahak berwarna putih bercampur darah, demam yang naik turun dan lemes seluruh badan. Pasien diberikan terapi D5 ¼ 1000ml /24jam, paracetamol 3x500 mg, ambroxol 3 x 15 mg po, pasien diberikan inhalasi: Nacl 1 cc, bisolvon 30 gtt: Ventolin 1x respul. Pasien dianjurkan untuk cek lab darah, pengajuan foto thorax, infus RL 20tpm, inj. Ketorolac 30 mg iv. Perawatan hari kedua, batuk berdahak berkurang, sudah tidak ada darah, dahak berwarna bening, namun sesak masih dirasakan. Pasien didiagnosis suspek TB milier. Terapi yang diberikan O2 1-2 L /hari, D5 ¼ 1000ml /24jam, paracetamol 3 x 500 mg po, ambroxol 3 x 30 mg po, inhalasi: nacl 5,7 ml, venitoin 1 x rsp, bisolvon 15 - 30 gtt, dan diberikan terapi OAT dimulai dengan INH 1 x 300, Rif 1 x 450, PZA 2 x 500, ETB 2 x 500, prednisone 2 1/3 2 – 2 tab po. Pasien juga dianjurkan untuk tes mantoux dan sputum BTA. Perawatan hari ketiga, kondisi pasien masih sesak, batuk berdahak, tidak ada darah dan demam sejak semalam, muntah 1x isi makanan. Terapi masih dilanjutkan. Perawatan hari keempat, sesak berkurang, batuk berdahak berkurang, sudah tidak demam, tanda vital stabil, klinis membaik, terapi tetap dilanjutkan. Riwayat Perkembangan : Motorik Kasar Menegakkan kepala

: 2 bulan

Membalikkan badan

: 4 bulan

Duduk

: 6 bulan

Merangkak

: 6 bulan

Berdiri

: 8 bulan` 3

Berjalan

: 12 bulan

Bahasa Babling

: 9 bulan

Bicara

: 16 bulan

Motor Halus dan Kognitif Menyusun kotak

: 2 tahun

Mengancingkan baju

: 1 tahun

Menggenggam benda

: tidak diketahui

Menulis

: 7 tahun

Membaca

: 7 tahun

Prestasi Belajar

: tidak diketahui

Kesan: tumbuh kembang sesuai usia Riwayat Nutrisi : Usia (Bulan) 0-6 6-8 8 - 12 > 12

ASI/PASI dan takaran ASI ASI ASI Susu formula takaran ibu

Buah -

Biskuit

Bubur

Nasi

-

Susu + + -

Tim + -

lupa

Kesan : kualitas dan kuantitas pemberian nutrisi pasien cukup

4

Jenis makanan Nasi Sayuran

Frekuensi 7 hari dalam seminggu @ 3-4 kali sehari @ 1 centong nasi 3 hari dalam seminggu @ 2 kali sehari @ 1 sendok sayur /

Daging

1 kali makan 2 hari dalam seminggu @ 1 kali sehari @ 1 potong / 1 kali

Ikan

makan 3 hari dalam seminggu @ 2 kali sehari @ 2 potong / 1 kali

Telur

makan (hanya ikan asin saja) 3 hari dalam seminggu @ 2 kali sehari @ 1 butir / 1 kali

Tahu Tempe Susu

makan Tidak pernah

Kesulitan makan : Pasien tidak menyukai tahu, tempe, dan ikan, kecuali ikan asin. Riwayat pribadi/sosial/lingkungan: Pasien adalah anak kandung anak ke 2 dari 4 bersaudara, pasien tinggal bersama dengan ibu nya. Rumah pasien berada di kawasan yang padat penduduk. Rumah pasien terdiri dari 1 lantai dengan ukuran 10 x 5. Ventilasi kurang baik dan rumah tidak mendapatkan pencahayaan matahari dengan baik. Rumah rutin dibersihkan. Pasien mengatakan tetangga dekatnya ada yang mengalami batuk lama dan sudah menjalani pengobatan selama 4 bulan. Riwayat Imunisasi : Jenis Imunisasi Hepatitis B

Usia Lahir

-

5

-

Polio BCG DTP

Lahir 2 bulan -

HiB Campak Imunisasi Lain PCV Rotavirus Influenza MMR Tifoid Hepatitis A Varisela

-

-

-

-

-

-

-

Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap, tidak ada imunisasi tambahan. Riwayat Keluarga : Identitas (Orangtua/Wali)

AYAH Usia Meninggal Pernikahan ke 1 Usia saat menikah Tidak diketahui Pendidikan Tidak diketahui Pekerjaan Agama Islam Suku Bangsa Jawa Riwayat Penyakit Tidak diketahui Konsanguitas Tidak Anak ke 2 dari 4 bersaudara

Hubungan Ayah

IBU 47 tahun 1 17 tahun SD Pedagang sayur Islam Jawa Magh Tidak

Umur

Jenis

Kondisi

(Tahun) Tidak

Kelamin

saat ini

Laki-laki Meninggal diketahui Ibu 47 tahun Perempuan Sehat Kakak 21 tahun Laki-laki Sehat Pasien 15 tahun Laki-laki Sakit Adik ke-1 13 tahun Laki-laki Sehat Adik ke-2 5 tahun Laki-laki Sehat Angggota keluarga lain yang tinggal serumah: Tidak ada Masalah dalam keluarga : Tidak ada

6

Keterangan

Perkembangan Pubertas: Perkembangan genital: Stadium 4 (Pembesaran lanjut dari penis dengan pertumbuhan lebar dan panjang. Pembesaran glans penis. Kulit sekitar skrotum menjadi lebih gelap Perkembangan rambut pubis: Stadium 4 (Rambut jenis dewasa, tetapi dalam daerah terbatas. Tidak ada penyebaran ke permukaan medial paha). Riwayat Alergi : Tidak ada Riwayat Operasi : Tidak ada C.

PEMERIKSAAN FISIS (dilakukan 28 Oktober 2018) Dilakukan di Ruang Perawatan IKA pukul 19.00 perawatan hari ke 4 Kesadaran : Compos mentis Keadaan umum : Tampak sakit sedang Status mental : Tenang Lingkar lengan atas

: 15 cm

Lingkar kepala

: 49 cm

Berat badan

: Berat tertinggi kapan (kg)

: 48 kg

Berat badan sekarang (kg)

: 34 kg

Berat badan masuk (kg)

: 33,5 kg

Tinggi badan Tekanan darah

: 155 cm : 120/60

Frekuensi nadi Frekuensi nafas

: 88 kali/menit, reguler, isi cukup, equal 4 ekstremitas : 20 kali/menit, tipe pernafasan thorakoabdominal, kedalaman

cukup Suhu

: 36.8 oC (axilla)

Data Antropometri Berat badan = 34 kg Tinggi badan = 155 cm Status Gizi : - Berdasarkan BB/U = 34 : 56 x 100% = 60% (berat badan kurang) - Berdasarkan TB/U = 155: 170 x 100% = 91% (Tinggi badan normal) - Berdasarkan BB/TB = 34 : 46 x 100% = 73% (Gizi kurang) Kesan : anak laki-laki usia menurut kurva CDC-NCHCS berdasarkan berat badan terhadap usia = berat badan kurang; tinggi badan terhadap usia = tinggi badan normal; berat badan terhadap tinggi badan = gizi kurang.

7

Kepala

: Normochepal, rambut hitam merata, tidak mudah dicabut, ubun-ubun

besar sudah menutup Kulit

: Sawo matang, terdapat scar pada daerah deltoid sebelah kanan bekas

vaksin Wajah

: Simetris, ekspresi wajah normal, tidak dismorfik

Mata

: Kedudukan simetris, konjungtiva pucat, sklera tidak ikterik, kornea

jernih, pupil bulat, isokor diameter 3 mm letak sentral, reflex cahaya langsung (+/+), reflex cahaya tidak langsung (+/+), tidak terdapat konjungtivitis flutenularis. Hidung

: Bentuk normosepta, tidak ada nafas cuping hidung, tidak deviasi, tidak ada secret, tidak ada edema, mukosa tidak hiperemis, dan epitaksis tidak ada

Telinga

: Normotia, simetris, liang telinga lapang, serumen (-/-), cairan (-/-),

perdarahan (-/-) Mulut

: Mukosa bibir lembab, bibir tidak sianotik, tonsil T1-T1, tidak

hiperemis, lidah normal, tidak kotor dan tidak deviasi, gusi tidak membesar Leher

: trakea berada di tengah, tiroid tidak membesar

KGB

: Submandibula

Thoraks

: normal, tidak teraba membesar

Submental

: normal, tidak teraba membesar

Supraklavikula

: normal, tidak teraba membesar

Axilla

: normal, tidak teraba membesar

Inguinal

: normal, tidak teraba membesar

: Normal, tidak tampak retraksi sela iga, spider nevi (-), tidak terdapat

lesi kulit, buah dada normal, simetris, ginekomastia ( - ) Paru-paru

Inspeksi

:

Kiri

Depan

Belakang

Simetris dalam keadaan statis

Simetris dalam keadaan statis

dan dinamis

dan dinamis 8

Kanan

Palapasi

Kiri

Kanan

Perkusi

Simetris dalam keadaan statis

Simetris dalam keadaan statis

dan dinamis

dan dinamis

Sela iga normal, benjolan ( - ), Sela iga normal, benjolan ( - ), nyeri ( - ), stem fremitus

nyeri ( - ), stem fremitus

normal

normal

Sela iga normal, benjolan ( - ), Sela iga normal, benjolan ( - ), nyeri ( - ), stem fremitus

nyeri ( - ), stem fremitus

normal

normal

Kiri

Sonor

Sonor

Kanan

Sonor

Sonor

Vesikuler, ronkhi (+) pada

Vesikuler, ronkhi (+) pada

apeks paru, wheezing ( - )

apeks paru, wheezing ( - )

Vesikuler, ronkhi (+) pada

Vesikkuler, ronkhi (+) pada

apeks paru, wheezing ( - )

apeks paru, wheezing ( - )

Auskultasi Kiri

Kanan

Jantung : Inspeksi

: Tidak terlihat pulsasi ictus cordis

Palpasi

: Ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: Batas atas: ICS II linea parasternalis sinistra Batas kanan: ICS IV linea parasternalis dextra Batas kiri: ICS V linea midclavicullaris sinistra

Auskultasi

: BJ I-II normal, reguler, murmur tidak ada, gallop tidak ada,

keempat katup terdengar normal reguler Abdomen : Inspeksi

: Datar, simetris, tidak ada luka / sikatrik / perdarahan, dan

tidak tampak benjolan Auskultasi

: Bising usus ada

Perkusi

: Timpani pada kuadran abdomen

Palpasi

: Supel, hepar dan lien tidak teraba, ginjal ballotement negatif,

bimanual negative, nyeri ketuk CVA negatif, dan tidak teraba massa Punggung : Tidak tampak gibus 9

Anus dan rectum : Tidak dilakukan (tidak ada indikasi) Genitalia : Tidak dilakukan (tidak ada indikasi) Ekstremitas : Akral hangat, tidak ada kelainan bentuk dan posisi, tidak ada bengkak, deformitas, nyeri, tonus baik, CRT <2” Refleks : 



D.

Refleks Patologis :  Refleks babinski : -/ Refleks Chaddoks : -/ Laseque : -/Rangsang Meningeal :  Kaku kuduk : Brudzinsky I :-

Refleks Oppenheim Refleks Gordon

: -/: -/-

Brudzinsky II Kernig

::-

PEMERIKSAAN PENUNJANG Hasil pemeriksaan Laboraturium Darah

JENIS PEMERIKSAAN

HASIL

Nilai Rujukan

24-10-2018

29-10-18

Hemoglobin

8.7*

10.1*

13.0-16.0 g/Dl

Hematokrit

25*

32*

37-49 %

Eritrosit

3.5*

4.4*

4.5-5.3 juta/ µL

Leukosit

6920

6760

4.500-13.500 / µL

417000*

522000*

150.000- 400.000/ µL

HEMATOLOGI Hematologi lengkap

Trombosit Hitung Jenis:

10



Basofil

-

0

0-1 %



Eosinofil

-

0*

1-3 %



Batang

-

2

2-6 %



Segmen

-

79*

50-70 %



Limfosit

-

17*

20-40 %



Monosit

-

2

2-8 %

MCV

71*

73*

78-98 fL

MCH

25

23*

25-35 pg

MCHC

35

32

31-37 g/dL

RDW

-

16.00

11.5 -14.5%

Retikulosit hemoglobin

-

27.7*

28-35 pg

Ureum

12*

-

20-50 mg/dL

Kreatinin

0.6

-

0.5-1.5 mg/dL

Glukosa Darah (Sewaktu)

110

-

60-140 mg/dL

Natrium (Na)

132

-

132-145 mmol/L

Kalium (K)

3.6

-

3.1-5.1 mmol/L

Klorida (Cl)

90*

-

96-111 mmol/L

Bilirubin total

-

0.30

< 1.5 mg/dL

Bilirubin direk

-

0.20

< 0.3 mg/dL

Bilirubin indirek

-

0.10

< 1.1 mg/dL

SGOT (AST)

-

20

< 35 U/L

SGPT (ALT)

-

10

< 40 U/L

Protein total

-

7.0

6- 8.5 g/dL

Albumin

-

3.2*

3.5- 5.0 g/dL

Globulin

-

3.8*

2.5-3.5 g/dL

Kimia Klinik

Hasil Pemeriksaan Mikrobiologi Jenis Pemeriksaan

26 Oktober 2018

29 Oktober 2018 (pewarnaan BTA 2) 11

Nilai Rujukan

Mikrobiologi Pemeriksaan BTA 1  Jenis Bahan  

Sputum

Tanggal diperiksa

Sputum 29 Oktober 2018

26 Oktober 2018

Hasil

Negatif

++ /positif 2

Negatif

Skoring TB:

Parameter Kontak TB

0 Tidak jelas

1 -

2 Laporan

3 BTA (+)

Skor 3

keluarga, BTA

(-)

/BTA tidak jelas / tidak tahu Uji

tuberculin Negatif

(mantouox) Berat badan /

-

keadaan gizi

-

-

BB/TB

<90% Klinis

gizi -

atau

BB/U buruk

atau

<60%

yang

3 1

BB/TB <70%

Demam

Positif

-

≥ 2 minggu

-

≥ 3 minggu ≥ 1 cm, lebih

atau

BB/U <60% -

-

1

-

-

1 0

-

-

0

tidak diketahui penyebabnya Batuk kronik Pembesaran kelenjara limfe

dari KGB tidak

kolli,

nyeri

aksilla,

inguinal Pembengkakan tulang / sendi panggul,

-

Ada pembengkakan

lutut 12

falang Foto thoraks

Normal

/ Gambaran

-

kelainan

sugestif

tidak jelas

(mendukung TB) Skor Total

1

10

Hasil Pemeriksaan Radiologi (25 Oktober 2018)

FOTO THORAX TOP LORDOTIK : -

Tampak infiltrat milier di apeks kedua paru.

-

Tampak cavitas di apeks paru kiri.

Kesan : 

-

Sugestif TB paru dengan komponen cavitas di apeks kiri

13

Hasil Pemeriksaan Radiologi (28 Oktober 2018)

FOTO THORAX AP : -

Jantung kesan tidak membesar.

-

Aorta dan mediastinum superior tidak melebar.

-

Trakea di tengah, kedua hillus suram.

-

Tampak infiltrate milier di kedua lapangan paru dan sebagian infiltrate noduler yang tersebar di lapangan paru.

-

Sinus kostofrenikus kanan kiri lancip.

-

Kedua hemidiafragma licin.

-

Tulang-tulang yang tervisualisasi optimal kesan intak.

Kesan : 

Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung.



Infiltrate milier di kedua lapangan paru, suspek TB paru milier.



Infiltrate noduler di paru kiri, DD/Tuberkuloma.

14

E. RESUME Pasien laki-laki berusia 15 tahun datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari smrs. Keluhan disertai batuk berdahak disertai darah, demam yang naik turun tanpa disertai menggigil, keringat malam tanpa melakukan aktivitas, muntah darah, lemas dan penurunan berat badan 14,5 kg dalam 1 bulan terakhir. BAB dan BAK dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisis didapatkan kesadaran compos mentis, keadaan umum tampak sakit sedang, tinggi badan 155 cm, berat badan sekarang 34 kg, tekanan darah 120/60 frekuensi nadi 88 kali/menit, frekuensi nafas 20 kali/menit, Suhu

36.8oC.

Pada

pemeriksaan lokalis terdapat konjungtiva pucat pada kedua mata, penurunan pendengaran pada telinga kiri, rhonki pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan, Hb: 10,1 gr/dL, Ht: 32%, leukosit 6760/Ul, eritrosit 4.4 juta/Ul, trombosit 522000/ul, hitung jenis didapatkan basofil 0%, eusinofil 0%, batang 2%, segmen 79%, limfosit 17%, monosit 2%, MCV 73 fL, MCH 23 pg, retikulosit hemoglobin 27,7 pg, albumin 3,2 g/dL, globulin 3,8 g/dL Pemeriksaan bakteriologi sputum BTA didapatkan hasil ++/positif. Pada tes tuberkulin didapatkan hasil indurasi 12 mm. Hasil foto thorax didapatkan sugestif TB paru dengan komponen cavitas di apeks kiri. Foto thorax AP didapatkan kesan infiltrate di kedua lapangan paru, susp tb paru milier dan infiltrat noduler di paru kiri. F. DIAGNOSIS BANDING - Tuberculosis Paru - Anemia mikrositik hipokrom ec suspek defisiensi besi - Gizi kurang - Keganasan G. DIAGNOSIS KERJA - Tuberculosis Paru - Gizi kurang H. ANJURAN PEMERIKSAAN - kultur specimen - pemeriksaan BTA ulang pada akhir bulan ke-2, ke-5 dan ke-6 masa pengobatan - foto thorax diulang setelah 1 bulan pengobatan - ferritin, serum iron. - Pemeriksaan SGOT/SGPT I. PENATALAKSANAAN Medikamentosa: Cairan : 15

-

O2 1-2 L/hr D5 ¼ s 1000ml / 24jam Paracetamol 3 x 500 mg p.o Ambroxol 3 x 30 mg p.o Inhalasi: Nacl 5,4 ml Venitoin 1 amp Bisolvon 15 – 30 - B6 2 x 1 OAT : 2HRZE-4RH -

INH 1 x 300 mg p.o RIF 1 x 450 mg p.o PZA 2 x 500 mg p.o ETB 2 x 500 mg p.o Prednison 3 – 2 – 2 tab p.o

 -

Non-medikamentosa: Pendekatan Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS), yang meliputi: Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis Pengobatan dengan OAT dengan pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat

-

(PMO) Kesinambungan ketersediaan OAT dengan mutu terjamin Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantuan dan evaluasi program penanggulangan TB

J.

PROGNOSIS Qua ad vitam Qua ad fuctionam

: bonam : dubia ad bonam

Qua ad sanationam

: dubia ad bonam

FOLLOW UP

28 Oktober 2018 S:

29 Oktober 2018

Batuk berdahak berwarna hijau, sesak berkurang,

Demam tidak ada. Batuk ada tapi tidak ada

keringat malam masih ada, demam tidak ada.

darah, dada teraba sakit bila batuk

16

O:

KU: Tampak sakit sedang

KU: Tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

Kesadaran : compos mentis

TD = 110/75 mmHg

HR = 80 x/menit

Suhu = 36,8o C

HR = 64 x/menit

RR = 32 x/menit

SpO2 = 99%

Suhu = 36,4 o C

Kepala : normocephali

RR = 22 x/menit

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera

SpO2 = 98%

tidak ikterik

Kepala : normocephali, UUB terbuka, datar

THT : telinga normotia, tidak ada sekret,

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,

tidak ada napas cuping hidung

reflek cahaya langsung positiv/positiv, reflek cahaya

Leher : tidak terdapat pembesaran KGB

tidak langsung positiv/positiv

Thoraks : simetris kanan dan kiri, tidak ada

THT :normotia, tidak ada sekret, tidak ada napas cuping

retraksi

hidung

Cor : Bunyi jantung I dan II murni, reguler,

Leher : Tidak teraba pembesaran KGB

tidak ada murmur, tidak ada gallop

Mulut : lembab, tidak sianosis, tidak ada sekret

Pulmo : suara napas vesikuler, ada ronki, tidak ada wheezing.

Thoraks : simetris, tidak ada retraksi Cor : Bunyi jantung I dan II murni, reguler, tidak ada

Abdomen: supel, bising usus positif normal, tidak ada organomegali

murmur, tidak ada gallop Pulmo : suara napas vesikuler, rongki ada, wheezing

Ekstremitas : akral hangat , tidak sianosis, CRT < 2 detik

tidak ada. Abdomen: supel, bising usus positif normal, tidak ada organomegali Ekstremitas : akral hangat , tidak sianosis, CRT < 2 detik

A:

Hemoptoe susp TB Paru / TB Milier

Hemoptoe susp TB Paru / TB Milier

Anemia mikrositik hipokrom

Anemia mikrositik hipokrom

Gizi kurang

Dd : Defisiensi besi Gizi kurang

P:

-

-

-

O2 1-2 L/hr D5 ¼ s 1000ml / 24jam Paracetamol 3 x 500 mg p.o Ambroxol 3 x 30 mg p.o Inhalasi: 3 x/hari Nacl 5,4 Ml Venitoin 2 amp Bisolvon 15-30 Terapi OAT : INH 1 x 300 mg (PO) RIF 1 x 450 mg (PO) PZA 2 x 500 mg (PO)

17

IVFD D5 ¼ s 1000ml / 24 jam Terapi OAT : - INH 1 x 300 mg p.o - RIF 1 x 450 mg p.o - PZA 2 x 500 mg p.o - Prednisone 3 - 2 -2 tab p.o Terapi Batuk : - Ambroxol 3 x 30 mg p.o - Inhalasi 3 x/hari - Nacl 5fml - Fentolin 1/mpv L/resep - Bisolvan 15 – 30 tts

- ETB 2 x 500 mg (PO) - Prednison 3 - 2 – 2 tab PG

-

Cek GDT, Retikulosit, dan Hb Rapid, OQ/PT/Kimia Darah

30 Oktober 2018

S O

31 Oktober 2018

Pasien mengatakan dada kanan sedikit sakit, abdomen

Pasien mengatakan masih batuk,

sakit (lumbal dextra), batuk masih ada

pendengaran masih berkurang

KU = Tampak sakit sedang Kesadran = compos mentis

KU : tampak sakit sedang Kesadaran : Compos mentis

Suhu : 36,3 o C

Suhu : 36,6o C

HR : 92 x/menit RR : 28 x/menit SpO2 : 99% Kepala : Normocephal Mata : konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, reflek

HR : 68 x/menit

cahaya (+/+) THT : Normotia, NCH tidak ada, tidak ada secret, Leher : tidak teraba KGB Thoraks : simestris Cor : BJ I-II murni regular Pulmo : suara navas vesicular, ada ronki dan tidak ada

Kepala : Normocephal

wheezing Abdomen : bising usus positif Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik

Hidung : NCH tidak ada, tidak keluar

RR : 24 x/menit SpO2 : 99%

Mata : Konjutiva anemis, tidak ada edema palpebra THT : telinga normotia, tidak keluar cairan,

sekret, tenggorokan T1-T1 Mulut :bibir pucat, tidak sianosis Leher : tidak teraba KGB Thoraks : kedua dada simetris Cor : Bj I-II murni regular Pulmo : suara navas vasikular, ada rongki, wheezing tidak ada Abdomen : bising usus positif Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik

A

TB milier on OAT Anemia mikrositik hipokrom Gizi kurang

TB paru / milier Anemia mikrositik hipokrom Gizi kurang

P

Inj. Cefotaxime 3 x 1 gr IV OAT : INH 1 x 300 mg po PZA 2 x 500 mg po RIF 1 x 450 mg po ETB 2 x 500 mg po Prednison 3 - 2 -2 tab po Batuk : Ambroxol 3 x 30 mg po Inhalasi 3 x /hari

OAT : INH 1 x 300 mg po PZA 2 x 1000 mg po RIF 1 x 450 mg po ETB 1 x 1000 mg po Prednison 3 - 2 -2 tab po

18

Nacl 7Ml Bisolvan 15 – 30 Ventalin 1 resp

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh, dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokais infeksi primer. Terdapat perbedaan antara infeksi TB dengan sakit TB. Seorang anak yang positif terinfeksi TB belum tentu menderita sakit TB. Pasien sakit TB perlu mendapat terapi obat antituberkulosis (OAT), sedangkan infeksi TB tanpa sakit TB tidak memerlukan terapi OAT. Pada kelompok resiko tinggi pasien infeksi TB tanpa sakit TB, perlu mendapatkan profilaksis. 1 Etiologi Mikroorganisme penyebab tuberkulosis pada manusia adalah Mycobacterium tuberculosis. Kuman Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri pleomorfik, batang gram positif lemah dengan panjang 2 sampai um. Mikrobakteria bersifat tahan asam , yaitu mampu membentuk kompleks mikolat yang stabil dengan pewarna arylmethane. Istilah basil tahan asam digunakan sebagai nama lain mikrobakteria. Mikrobakteria tumbuh lambat dan waktu yang dibutuhkan untuk menumbuhkan kuman ini di media sintesis biasanya tiga sampai enam minggu. Tes sensistivitas obat membutuhkan waktu tambahan 4 minggu. Pertumbuhan kuman dapat terdeteksi dalam satu hingga tiga minggu dalam media cair

19

tertentu menggunakan radiolabeled nutrients. Metode polymerase chain reaction (PCR) dari spesimen klinis digunakan berbagai laboraturium untuk diagnosis cepat. 1 Epidemiologi Pada tahun 2000, terdapat 8,3 juta kasus baru TB di dunia dan 10,7% diantaranya terjadi pada anak-anak: 75% kasus TB anak tersebut terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Di Indonesia, TB terjadi pada 23 orang per 100.000 anak. Sebagian besar anak dengan infeksi dan penyakit tuberkulosis memperoleh kuman M. tuberculosis dari orang dewasa yang infeksius. 1

Klasifikasi Klasifikasi TB menurut: 1. Lokasi anatomi dari penyakit a. Tuberkulosis paru - adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. TB milier dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru. -Limfadenitis TB di rongga dada (hilus dana tau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB paru. -Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.2 b. Tuberkulosis ekstra paru -Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak, dan tulang. -Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan temuan bakteri Mycobacterium tuberculosis . -Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat. 2 2. Riwayat Pengobatan Sebelumnya a. Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis). 20

b. Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (>= dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu: -pasien kambuh:adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi). -Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir. -Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir. -pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (Ilost to follow up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat / default) -Lain-lain adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui. 2 3. Hasil Pemeriksaan Uji Kepekaan Obat a. Mono resisten (TB MR): resisten terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja. b. Poli resisten (TB PR): resisten terhadap lebih dari salah satu jenis OAT lini pertama selain isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan. c. Multi Drug resistant (TB MDR): resisten terhadap isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan. d. Extensive drug resistant (TB XDR): TB MDR yang sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin, dan Amikasin). e. Resisten Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional). 2 4. Status HIV a. HIV positif b. HIV negatif c. HIV tidak diketahui Manifestasi Klinis Infeksi tuberkulosis yang menggambarkan fase asimtomatik dari infeksi M. tuberculosis, juga dikenal sebagai tuberkulosis laten. Uji tuberkulin memberikan hasil positif namun pemeriksaan radiologis dada normal dan tidak didapatkan tanda-tanda atau gejala penyakit. Penyakit tuberkulosis terjadi ketika terdapat tanda dan gejala klinis atau hasil 21

pemeriksaan radiologis dada tidak normal. Isitilah tuberculosis biasanya menggambarkan penyakit. Interval waktu antara tuberkulosis laten dan awitan penyakit dapat beberapa minggu atau bertahun-tahun kemudian pada orang dewasa. Pada anak-anaka tuberkulosis biasanya berkembang sebagai komplikasi dini dari infeksi primer, dan kadang sulit membedakan antara infeksi dengan penyakit. 1 Tuberkulosis paru primer: Pada bayi dan anak biasanya asimtomatik. Seringkai penyakit bermanifestasi sebagai uji tuberkulin yang positif dengan kelainan yang minimal pada foto toraks paru seperti adanya infiltrat dengan limfadenopati hillus atau kompleks Ghon. Malaise, demam tidak tinggi, eritema modosum, atau gejala akibat pembesaran kelenjar getah bening dapat terjadi setelah berkembangnya hipersensitivitas tipe lambat. 1 Efusi pleura TB: dapat meneyrtai infeksi primer, biasanya menggambarkan respons imun terhadap kuman tuberkulosis dan terjadi paling sering pada anak yang lebih besar atau remaja. Pemeriksaan cairan pleura menunjukkan limfositosis dan peningkatan kadar protein, namun cairan pleura biasanya tidak mengandung basil tuberkulosis. Biopsi pleura mungkin diperlukan untuk memperoleh konfirmasi diagnosis dengan ditemukannya granuloma dan organisme tahan asam. 1 Tuberkulosis paru reaktivasi: biasa ditemukan pada remaja dan khas pada orang dewasa dengan tuberkulosis, umumnya terbatas pada segmen apeks dari lobus paru atas atau segmen superior dari lobus paru bawah. Biasanya terdapat limfadenopati dan tidak ada infeksi ekstratorakal oleh kerena adanya reaksi hipersensitivitas. Hal ini adalah manifestasi dari perluasan sekunder dari infeksi primer. Penyakit stadium lanjut berhubungan dengan kavitas dan penyebaran kuman di endobronkial. Gejala yang ditimbulkan antara lain demam, keringat malam, malaise, dan penurunan berat badan. Batuk produktif dan berdarah biasanya terjadi pada keadaan adanya kavitas dan erosi bronkus. 1 Perikarditis tuberkulosis: Biasanya terjadi ketika kuman dari paru atau pleura menyebar ke permukaan kontinu dari perikardium. Pengumpulan cairan dengan infiltrasi limfosit terjadi di ruang perikardium. Inflamasi persisten dapat mengakibatkan respon imun selular dengan pecahnya granuloma ke dalam perikardium dan terjadi perikarditis konstriktif. Selain terapi anti mikroba, perikarditis Tb ditatalaksana dengan kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi. 1

22

Limfadenopati: Sering ditemukan dalam penyakit TB paru primer. Lokasi limfadenitis ekstratorakal paling sering adalah di sekitar leher, supraklavikula dan submandibula. Pembesaran kelenjar dapat menyebabkan tekanan pada struktur di sekitarnya. Tuberkulosis milier adalah penyebaran hematogen generalistaa ke berbagai organ. TB milier bermanifestasi sebagai demam, malaise umum,

penurunan berat badan, limfadenopati,

keringat malam, dan hepatosplenomegali. Pneumonitis bilateral difus sering ditemukan dan dapat terjadi meningitis. Foto toraks dada memperlihatkan infiltrat milier bilateral dengan gambaran infeksi luas. Uji tuberkulin dapat non-reaktif sebagai akibat anergi. Biopsi hati dan sumsum tulang dapat berguna untuk penegakkan diagnosis. 1 Meningitis tuberkulosis: Paling sering trjadi pada anak di bawah usia 5 tahun dan dalam 6 bulan

sejak infeksi primer. Basil TB yang mneyebar ke selaput otak selama

infeksiprimer akan bereplikasi, dan menimbulkan respons inflamasi. Kondisi ini memiliki awitan tiba-tiba, diawali dengan demam tinggi, nyeri kepala, dan perubahan kepribadian ringan. Perkembangan infeksi selanjutnya menyebabkan meningitis di basal dengan kelainan pada syaraf kranial dan bermanifestasi sebagai iritasi meningeal dan selanjutnya meningkatkan tekanan intrakranial, perubahan status mental, dan koma. Computed tomography

(CT) scan menunjukkan hidrosefalus, edema, radio lusen pada daerah

periventrikular, dan infrak. Analisis cairan serebrospinal menujukkan pleositosis (50-500 leukosit/mm3), yang pada awal perjalanan penyakit dapat berupa limfosit atau leukosit polimorfonuklear. Kadar glukosa rendah, dan protein meningkat secara bermakna. Basil tahan asam sering tidak dijumpai dalam cairan serebrospinal baik dari pemeriksaan rutin maupun melalui prosedur pewarnaan fluoresensi. Walaupun kultur kuman TB meru pakan diagnosis standar, namun PCR dari M. Tuberculosis berguna untuk mengkonfirmasi meningitis. Regimen pengobatan untuk meningitis TB biasanya pada umumnya terdiri dari empat antituberkulosis dan kortikosteroid. 1 Tuberkulosis skeletal: disebabkan karena penyebaran hematogen atau perluasan langsung dari perkijuan nodus limfoid. Hal ini biasanya merupakan keadaan yang kronik dengan awitan tiba-tiba yang dapat diduga sebagai osteomielitis kronik akibat Staphylococcus aureus. Pemeriksaan radiologis menunjukkan destruksi korteks. Biopsi dan kultur penting utuk penegakkan diagnosis yang tepat. Tuberkulosis tulang punggung, pott’s disease, merupakan tempat paling sering terkena diikuti tulang panggul dan jari tangan dan kaki (dactylitis). 1

23

Bentuk lain tuberkulosis adalah tuberkulosis abdomen yang terjadi akibat menelan bahan infeksius. Komplikasi ini relatif jarang ditemukan di negara maju di mana dilakukan pemeriksaan terhadap tuberkulosis bovine pada ternak sapi. Peritonitis TB berhubungan dengan TB abdomen dan memiliki manifestasi klinis demam, anoreksia, asites, dan nyeri abdomen. Tuberkulosis urogenital adalah komplikasi lambat dan jarang ditemukan pada anak. Gejala penyakit ini adalah disuria, frekuensi, urgensi, hematuria, dan piuria steril. 1 Faktor resiko 

Faktor resiko infeksi TB: kontak TB positif, daerah endemis, kemiskinan, lingkugan yang tidak sehat (sanitasi yang tidak baik).



Faktor resiko sakit TB: faktor usia (anak berusia ≤ 5 tahun memiliki resiko lebih tinggi; terkait imunitas yang belum sempurna), malnutrisi, kondisi immunocompromised (HIV, keganasan, transpalntasi organ), serta sosial ekonomi rendah dan lingkungan padat.

Gejala Klinis Gejala Sistemik/umum a. Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi gagal tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik dalam waktu 1-2 bulan. b. Demam lama (>= 2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain. c. Batuk lama >= 2 minggu, batuk bersifat non remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan. Batuk tidak membaik dengan pemberian antibiotika atau obat asma (sesuai indikasi). d. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain. Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat. .

24

Patogenesis

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5mikrometer) akan terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut yang dinamakan fokus primer Ghon. Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. 25

Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer. Waktu yang diperlukan sejak masuknya kukman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler. Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberculin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negative. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated imunity, CMI). Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.

26

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritic fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe halus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-value-mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelectasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Masa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Masa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelectasis, yang sering disebut lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di organ yang memiliki vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan

27

fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa. Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun penjamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama dibawah dua tahun. Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Diagnosis Tuberculosis Secara umum penegakan diagnosis TB pada anak didasarkan pada 4 hal yaitu: 1. Konfirmasi bakteriologis TB 2. Gejala Klinis yang khas TB 3. Adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberkulin positif atau kontak erat dengan pasien TB) 4. Gambaran foto toraks sugestif TB Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis, baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak, batuk bukan merupakan gejala utama. Diagnosis TB ditegakkan dengan ditemukannya M. tuberculosis pada pemeriksaan sputum atau bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau pada biopsi jaringan. Kesulitan menegakkan diagnosis pasti pada anak disebabkan oleh dua hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen sputum.

28

Anamnesis 

Nafsu makan menurun



Berat badan sulit naik, menetap, atau malah turun tanpa penyebab yang jelas



Demam subfebris yang berkepanjangan, terutama jika berlanjut hingga 2 minggu



Pembesaran kelenjar superfisial di daerah leher, aksilla, inguinal, atau tempat lain



Keluhan respiratoris berupa batuk kronis lebih dari 3 minggu, dengan atau tanpa wheeze



Keluhan gastrointestinal, seperti diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku

Pemeriksaan Fisik Pada sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan yang khas pada pemeriksaan fisis. Demam subfebris terjadi hampir sebagian besar kasus. Pemeriksaan antropometri menunjukkan status gizi kurang. Temuan yang lebih spesifik dapat diperoleh jika TB mengenai organ tertentu, seperti:  TB tulang ditemukan gibus, kifosis, paraparesis, atau parapelgia.  TB kelenjar ditemukannya pembesaran kelenjar getah bening multipel yang berkonfluens tanpa disertai nyeri tekan.  TB meningitis ditandai adanya kaku kuduk dan tanda rangsang meningeal lain.  TB kulit (skrofuloderma) terdapat ulkus kulit dengan skinbridge yang umumnya terjadi di daerah leher, aksila, atau inguinal  TB mata ditemukannya konjungtivitis fliktenularis (bintik putih di limbus yang sangat nyeri). Uji tuberculin biasanya positif pada anak dengan TB paru, tetapi bisa negatif pada anak dengan TB milier atau yang juga menderita HIV/AIDS, gizi buruk, atau baru menderita campak. Pengukuran BB/U atau BB/TB. Untuk memudahkan penegakan diagnosis TB anak, IDAI merekomendasikan diagnosis TB anak dengan menggunakan sistem skoring, yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.

29

Keterangan:

a. Jika skor total ≥ 6 → diagnosis TB dan obati dengan OAT b. Jika skor total < 6, dengan uji tuberkulin positif atau ada kontak erat → diagnosis TB dan obati dengan OAT c. Jika skor total < 6, dan uji tuberkulin negatif atau tidak ada kontak erat → observasi gejala selama 2-4 minggu, bila menetap, evaluasi ulang kemungkinan diagnosis TB atau rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Pemeriksaan Penunjang a. Uji tuberculin Uji tuberculin bermanfaat untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak, khususnya jika riwayat kontak dengan pasien TB tidak jelas. Uji tuberculin dengan cara Mantoux yaitu penyuntikan 0,1 ml tuberkulin PPD secara intrakutan di bagian volar lengan dengan arah suntikan memanjang lengan (longitudinal). Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 (2 TU). Reaksi diukur 48-72 jam setelah penyuntikan. Indurasi tranversal diukur dan dilaporkan dalam mm berapapun 30

ukurannya, termasuk cantumkan 0 mm jika tidak ada indurasi sama sekali. Indurasi ≥ 10 mm dinyatakan positif. Indurasi ≤ 5 mm dinyatakan negatif, sedangkan indurasi 5-9 mm meragukan dan perlu diulang, dengan jarak waktu minimal 2 minggu. Hasil positif uji tuberculin menunjukkan adanya infeksi dan tidak menunjukkan ada tidaknya sakit TB. Sebaliknya, hasil negatif uji tuberculin belum tentu menyingkirkan diagnosis TB.

Cara melakukan dan pembacaan hasil uji tuberkulin

b. Foto toraks Foto toraks merupakan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB pada anak. Terdapat tujuh gambaran radiologis sugestif TB, yaitu pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal, konsolidasi segmen/lobus paru, milier, kavitas, efusi pleura, atelectasis, atau kalsifikasi. c. Pemeriksaan histopatologi

31

Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan ditengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB. d. Pungsi Lumbal Dilakukan pada TB milier untuk mengetahui ada tidaknya meningitis TB. e. Pemeriksaan Bakteriologis Pemeriksaan bakteriologis adalah pemeriksaan yang penting untuk menentukan diagnosis TB, baik pada anak maupun dewasa. Pemeriksaan sputum pada anak terutama dilakukan pada anak berusia lebih dari 5 tahun, HIV positif, dan gambaran kelainan paru. Cara mendapatkan sputum anak: a. Berdahak; pada anak lebih dari 5 tahun biasanya sudah dapat mengeluarkan sputum/dahak secara langsung dengan berdahak. b. Bilas lambung; Bilas lambung dengan NGT dapat dilakukan pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan minimal 2 hari berturut-turut pada pagi hari. c. Induksi sputum; Induksi sputum relative aman dan efektif untuk dikerjakan pad anak semua umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan yang memadai untuk melakukan metode ini. Beberapa pemeriksaan bakteriologis TB: a. Pemeriksaan mikroskopis BTA sputum atau specimen lain (cairan tubuh atau jaringan biopsi) sebaiknya dilakukan minimal 2 kali yaitu sewaktu dan pagi hari Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang 32

dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-PagiSewaktu (SPS), S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah

pot dahak untuk

mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. P (Pagi) : Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Fasyankes. S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2 spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan hasil jaminan mutu eksternal pemeriksaan laboratorium.

Tes cepat molecular (TCM) TB 1) Saat ini beberapa teknologi

baru

telah

dikembangkan

untuk

dapat

mengidentifikasi kuman Mycobacterium tuberculosis dalam waktu yang cepat (kurang lebih 2 jam), antara lain pemeriksaan Line Probe Assay (misalnya Hain Genotype) dan NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) (misalnya Xpert MTB/RIF). Xpert MTB / RIF assay merupakan deteksi cepat Mycobacterium tuberculosis (MTB) dan resistensi rifampisin dengan metode real time PCR, dengan gabungan sensitivitas 89% untuk TB paru pada orang dewasa. Dalam penelitian Hasan, et al (2017), sensitivitas pemeriksaan pada anak adalah 88,9% dan spesifitas 95%. 2) Pemeriksaan TCM dapat digunakan untuk mendeteksi kuman Mycobacterium tuberculosis secara molecular sekaligus menentukan ada tidaknya resistensi terhadap Rifampicin. Pemeriksaan TCM mempunyai nilai diagnostic yang lebih baik daripada pemeriksaan mikroskopik sputum, tetapi masih dibawah uji biakan. Hasil negative TCM tidak menyingkirkan diagnosis TB.

33

b. Pemeriksaan biakan Baku emas diagnosis TB adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan biakan (dari sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura maupun biopsy jaringan). Pemeriksaan biakan sputum dan uji kepekaan obat dilakukan jika fasilitas tersedia. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menegakkan diagnosis pasien TB ekstra paru, TB anak dan TB BTA negatif. Jenis media untuk pemeriksaan biakan yaitu: 1. Media padat: hasil biakan dapat diketahui 4-8 minggu 2. Media cair: hasil biakan dapat diketahui lebih cepat (1-2 minggu), tetapi lebih mahal

34

Tatalaksana Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri atas terapi (pengobatan) dan profilaksis (pengobatan pencegahan). Pengobatan TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan pengobatan pencegahan TB diberikan pada anak sehat yang berkontak dengan pasien TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder). Beberapa hal penting dalam tata laksana TB Anak adalah: 1. Obat TB diberikan dalam panduan obat, tidak boleh diberikan sebagai monoterapi 35

2. Pengobatan diberikan setiap hari 3. Pemberian gizi yang adekuat 4. Mencari penyakit penyerta, jika ada ditata laksana secara bersamaan

A. Obat yang digunakan pada TB anak 1. Obat anti tuberculosis (OAT) Anak umumnya memiliki jumlah kuman yang lebih sedikit (pausibasiler) sehingga rekomendasi pemberian 4 macam OAT pada fase intensif hanya diberikan kepada anak dengan BTA positif, TB berat dan TB tipe dewasa. Terapi TB pada anak dengan BTA negative menggunakan paduan INH. Rifampisin, Pirazinamid pada fase inisial (2 bulan pertama) diikuti Rifampisin dan INH pada 4 bulan fase lanjutan.

36

B. Kombinasi Dosis Tetap (KDT) atau Fixed Dose Combination (FDC) Untuk mempermudah pemberian OAT dan meningkatkan keteraturan minum obat, panduan OAT disediakan dalam bentuk KDT (kombinasi dosis tetap) / FDC (fixed dose combination). Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intentif, yaitu rifampisin (R) 75 mg, INH (H) 50 mg, pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.

Keterangan: R; Rifampisin; H:Isoniazid; Z: Pirazinamid. 1. Bayi dibawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk KDT dan sebaiknya dirujuk ke RS. 37

2. Apabila ada kenaikan BB maka dosis atau jumlah tablet yang diberikan disesuaikan dengan berat bdan saat itu. 3. Untuk anak dengan obesitas, dosis KDT berdasarkan Berat Badan ideal (sesuai umur). 4. OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus). 5. Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable). 6. Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan. 7. Bila INH dikombinasi dengan Rifampisin, dosis INH tidak boleh melebihi 10 mg/KgBB/hari. 8. Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer. C. Nutrisi Status gizi pada anak dengan TB akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB. Malnutrisi berat meningkatkan risiko kematian pada anak dengan TB. Penilaian status gizi harus dilakukan secara rutin selama anak dalam pengobatan. Penilaian status gizi harus dilakukan secara rutin selama anak dalam pengobatan. Penilaian dilakukan dengan mengukur berat, tinggi, lingkar lengan atas atau pengamatan gejala dan tanda malutrisi seperti edema atau muscle wasting. Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan selama pengobatan. Jika tidak memungkinkan dapat diberikan suplementasi nutrisi sampai anak stabil dan TB dapat diatasi. Air susu ibu tetap diberikan jika anak masih dalam masa menyusui. Komplikasi

Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut: 1. 2.

Komplikasi dini: pleuritik, efusi pleura, empyema, laryngitis. Komplikasi lanjut: Obstruksi jalan napas, kerusakan parenkim berat. Komplikasi penderita stadium lanjut adalah hemoptysis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok, kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru, penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal, dan sebagainya. 38

Pencegahan Diagnosis penyakit TB pada anak sangat sulit, karena gejala umumnya yang tidak khas dan sulit untuk mendapatkan spesimen diagnostik. Oleh karena itu, upaya deteksi dini dan terapi ang adekuat merupakan bagian terpadu dari upaya promotif-preventif. Imunisasi BCG hingga saat ini masih dilakukan, walau oleh sebagian kalangan efektivitasnya diragukan. Asupan gizi yang baik akan meningkatkan daya tahan anak terhadap risiko infeksi dan sakit TB. Upaya pelacakan tidak boleh diabaikan. Bila tenaga medis menemukan pasien TB dewasa dengan BTA sputum positif maka lacak sentrifugal harus dilakukan, yaitu mencari orang terutama anak yang memiliki kontak erat dengan pasien tersebut, untuk mencari kemungkinan apakah orang tersebut telah terinfeksi atau bahkan sakit TB. Deteksi infeksi TB dilakukan dengan menggunakan uji tuberkulin cara Mantoux. Pada anak yang didiagnosis TB, lacak sentripetal juga harus dilakukan, yaitu mencari orang dewasa sebagai sumber penularannya. 1. Vaksinasi BCG (Bacillus Celmette Guerin) Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang memberi perlindungan terhadap penyakit TB. Vaksin TB tidak mencegah infeksi TB, tetapi mencegah infeksi TB berat (meningitis TB dan TB milier), yang sangat mengancam nyawa. Vaksin BCG dapat memakan waktu 6-12 minggu untuk menghasilkan efek (perlindungan) kekebalannya. Vaksinasi BCG memberikan proteksi yang bervariasi antara 50-80 % terhdap tuberkulosis. Pemberian vaksinasi BCG sangat bermanfaat bagi anak, sedangkan bagi orang dewasa manfaatnya masih kurang jelas.6 Di Indonesia, vaksin BCG merupakan vaksin yang diwajibkan pemerintah. Vaksin BCG juga diberikan pada anak usia 1-15 tahun yang belum divaksinasi (tidak ada catatan atau tidak ada skar), imigran, komunitas travelling, dan pekerja di bidang kesehatan yang belum divaksinasi (tidak ada catatan atau skar). Setelah vaksinasi, papul (bintik) merah yang kecil timbul dalam waktu 1-3 minggu. Papul ini akan semakin lunak, hancur, dan menimbulkan parut. Luka ini mungkin memakan waktu sampai 3 bulan untuk sembuh. Biarkan tempat vaksinasi sembuh sendiri dan pastikan agar tetap bersih dan kering. Jangan menggunakan krim atau salep, plester yang melekat, kapas atau kain langsung pada tempat vaksinasi. Vaksinasi BCG tidak terlepas memberikan efek samping, maka perlu diketahui bahwa vaksin ini tidak dianjurkan pada seseorang yang mengalami penurunan status kekebalan tubuh dan uji tuberkulin positif. Vaksin BCG dapat diberikan bersamaan dengan vaksin lain. Misalnya Dtap/IPV/Hib. Saat memberikan vaksin BCG, imunisasi primer lain juga diberikan. Lengan yang digunakan

39

untuk imunisasi BCG jangan digunakan untuk imunisasi lain selama minimal 3 bulan, agar tidak terjadi limphadenitis. Imunisasi BCG terbaik diberikan pada usia 2-3 bulan karena pada bayi usia < 2 bulan sistem imun anak belum matang. Pemberian imunisasi penyokong (booster) tidak dianjurkan. Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu: a. Bayi terlahir dari ibu TB BTA positif Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada trimester 3 kehamilan berisiko tertular ibunya melalui plasenta, cairan amnion maupun hematogen. Sedangkan bayi yang terlahir dari ibu pasien TB BTA positif selama masa neonatal berisiko tertular ibunya melalui percik renik. Pada kedua kondisi tersebut bayi sebaiknya dilakukan rujukan. b. Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terbukti infeksi HIV/AIDS tidak dianjurkan diberikan imunisasi BCG, bayi sebaiknya dilakukan rujukan untuk pembuktian apakah bayi sudah terinfeksi HIV atau tidak.

2. Skrining dan Manajemen Kontak Skrining dan manajemen kontak adalah kegiatan investigasi yang dilakukan secara aktif dan intensif untuk menemukan 2 hal yaitu anak yang mengalami paparan dari pasien TB BTA positif, dan orang dewasa yang menjadi sumber penularan bagi anak yang didiagnosis TB. Latar belakang perlunya investigasi kontak : a. Konsep infeksi dan sakit pada TB. b. Anak yang kontak erat dengan sumber kasus TB BTA positif sangat berisiko infeksi TB dibanding yang tidak kontak yaitu sebesar 24,4-69,2 %. c. Bayi dan anak usia < 5 tahun, mempunyai risiko sangat tinggi untuk berkembangnya sakit TB, terutama pada 2 tahun pertama setelah infeksi, bahkan pada bayi dapat terjadi sakit TB dalam beberapa minggu.

40

d. Pemberian terapi pencegahan pada anak infeksi TB, sangat mengurangi kemungkinan berkembangnya sakit TB. e. Kasus TB yang memerlukan skrining kontak adalah semua kasus TB dengan BTA positif dan semua kasus anak yang didiagnosis.

3. Tatalaksana Pencegahan dengan Profilaksis INH Sekitar 50-60 % anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10 % dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB. Sekitar 50-60 % anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10 % dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB.

41

BAB III ANALISIS KASUS Interpretasi Kasus Pasien An. IS laki-laki 15 tahun didiagnosis dengan Tuberculosis Paru berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini ditemukan hal-hal yang mendukung diagnosis ini, yaitu: Anamnesis Batuk lebih dari tiga minggu disertai demam naik turun lebih dari dua minggu. Batuk berdahak disertai darah, dan pasien merasa sesak. Selain itu, pasien merasa lemas, sering berkeringat malam tanpa melakukan aktivitas. dan mengalami penurunan berat badan 14,5 kg sejak sebulan yang lalu. Pemeriksaan Fisis Pada pemeriksaan fisis didapatkan tekanan darah 120/60 mmHg, Nadi 80x/menit, pernafasan 20x/menit, suhu 36,8 ºC. Pada pemeriksaan lokalis, terdapat rhonki pada kedua apeks paru, wheezing tidak ada, retraksi tidak ada. KGB tidak teraba pembesaran, tidak tampak penonjolan pada tulang belakang, tidak tampak benjolan pada thorak maupun abdomen dan

42

tidak ditemukan konjungtivitis fliktenularis pada kedua mata. Pada pemeriksaan antropometri berdasarkan berat badan dan tinggi badan termasuk kategori gizi kurang. Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan BTA menunjukkan hasil ++ /positif. Pada pemeriksaan uji tuberkulin didapatkan indurasi 12 mm, skoring tb didapatkan skor 10 dan pada hasil foto thorax lordotik didapatkan kesan sugestif TB paru dengan komponen cavitas di apeks kiri. Foto thorax AP

didapatkan kesan infiltrate di kedua lapangan paru suspect tb paru milier dan infiltret noduler di paru kiri. Pada kasus TB paru diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan TBC, Departemen Kesehatan (DEPKES), tahap awal penemuan TB dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala: batuk berdahak lebih dari 3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu, dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, dan demam meriang lebih dari dua minggu. Gejala diatas sesuai dengan gejala yang dirasakan pasien. Pada kasus dengan TB paru dapat ditegakkan berdasarkan dengan gejala klinis yang sama disertai dengan gambaran radiologis dan riwayat kontak dengan pasien TB atau uji tuberkulin positif. Pada pasien ini ditemukan gejala yang sesuai dengan kriteria pedoman nasional penangulangan TBC. Pada pemeriksaan antropometri pasien dengan BB: 34 kg dan TB: 155cm, berdasarkan kurva CDC-NCHCS berat badan terhadap usia menunjukkan berat badan kurang dan tinggi badan terhadap usia menunjukkan tinggi badan normal, namun berat badan terhadap tinggi badan menunjukkan gizi kurang. Berdasarkan teori, pada pasien TB terjadi gejala sistemik dimana berat badan akan turun atau terjadi gagal tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik dalam 1-2 bulan. Pada pasien ini juga didapatkan nafsu makan yang berkurang dan penurunan berat badan. Menurut Pedoman Nasional Penanggulangan TBC, Departemen Kesehatan (DEPKES) dan buku Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB anak, pemeriksaan bakteriologis adalah pemeriksaan yang penting untuk menentukan diagnosis TB baik pada anak maupun dewasa. Terdapat 3 pemeriksaan bakteriologis salah satunya adalah pemeriksaan mikroskopik 43

BTA sputum yang dilakukan minimal 2 kali yaitu sewaktu dan pagi hari. Pemeriksaan sputum pada anak terutama dilakukan pada anak berusia lebih dari 5 tahun dan sudah dapat mengeluarkan sputum / dahak secara langsung dengan berdahak. Pada kasus ini, pasien berusia 15 tahun dan sudah dapat mengeluarkan dahak sehingga dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopik BTA sputum. Pemeriksaan BTA pada pasien ini menunjukkan hasil positif, sehingga mendukung diagnosis yang diterapkan. Pada pemeriksaan uji tuberkulin pasien, menunjukkan hasil 12 mm dimana uji tuberculin bermanfaat untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak, khususnya jika riwayat kontak dengan pasien TB tidak jelas. Uji tuberculin tidak dapat membedakan antara infeksi dan sakit TB. jika hasil tes tuberkulin ≥ 10mm dinyatakan positif adanya infeksi bukan menunjukkan ada tidaknya sakit TB. Sebaliknya, jika uji tuberkulin negatif belum tentu menyingkirkan diagnosis TB. Selain itu, pemeriksaan foto thoraks menunjukan gambaran infiltrate milier dikedua lapang paru. Berdasarkan teori, pemeriksaan foto thoraks juga dapat membantu menegakkan diagnosis TB pada anak terutama pada TB milier yang memiliki gambaran khas yaitu berupa tuberkel halus yang tersebar merata di seluruh lapangan paru. Pada pasien ini didapatkan Hb: 10,1 gr/dL, MCV 73 fL, MCH 23 pg, berdasarkan teori dapat dikatakan anemis bila Hb di bawah 13 dan bila MCV dan MCH dibawah nilai normal maka dapat dikatakan mikrositik hipokrom. Sehingga pada pasien ini dapat disimpulkan mengalami anemia mikrositik hipokrom. Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini adalah Obat Anti Tuberculosis (OAT); 2RHZE/4RH : INH 1 x 300 mg, RIF 1 x 450 mg, PZA 2 x 500 mg, ETB 2 x 500 mg, Prednison 3–2–2 tab. Berdasarkan teori, dosis dan sediaan OAT yang diberikan sesuai dengan teori yang ada. Selain itu, pada TB milier perlu ditambahkan pemberian prednisone, ini sesuai dengan tatalaksan yang diberikan kepada pasien ini.

44

DAFTAR PUSTAKA 1. Kliegman R, Stanton B, St. Geme J, Schor N, Behrman R. Nelson textbook of pediatrics. 20th ed. Canada: Elsevier; 2015. 2. Subuh M.H, Waworuntu W. Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB pada

anak. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2016. 3. Tanto K, L. Frans, H. Sonia, P. Eka Adib, 2014, Kapita Selekta Kedoteran, Media

Aesculapius, Jakarta. 4. Aditama, TY., et al. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 5. Graham, S., et al. 2014. Guidance For National Tuberculosis Programmes On The

Management Of Tuberculosis In Children Second Edition. World Health Organization 2014.

45

Related Documents

Presus Gadieh Tb 1.doc
August 2019 26
Presus Tb
August 2019 29
Benchmarking 1doc
June 2020 45
Homework.1doc
October 2019 76
Presus Melatiku.pptx
May 2020 18
Presus Skabies.docx
December 2019 20

More Documents from "ahmad unissula"

Presus Gadieh Tb 1.doc
August 2019 26
Presus Tb
August 2019 29
Mematikan Autorun
April 2020 13
Teori Sfft
October 2019 35