Pre Eklampsia.docx

  • Uploaded by: Tertindas Cinta
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pre Eklampsia.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,628
  • Pages: 16
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsep Preeklamsia

2.1.1

Definisi Preeklampsia adalah sekumpulan gejala yang timbul pada wanita hamil, bersalin dan nifas yang terdiri dari hipertensi, penambahan berat badan akibat edema, dan protein uria tetapi tidak menunjukkan tandatanda kelainan vaskuler

atau hipertensi sebelumnya,

sedangkan

gejalanya biasanya muncul setelah kehamilan berusia 28 minggu atau lebih (Fadlun & Feyanto, 2011; Mitayani, 2011; Sukarni & Sudarti, 2014). Penyakit hipertensi dalam kehamilan merupakan kelainan vaskular yang terjadi sebelum kehamilan, saat terjadi kehamilan atau pada permulaan nifas. Hipertensi yang muncul pada saat kehamilan adalah hipertensi akut, karena hanya muncul pada saat hamil, dan sebagian besar tidak memiliki riwayat hipertensi sebelumnya (Hutahaean, 2013). 2.1.2

Etiologi Penyebab preeklampsia sampai sekarang tidak diketahui. Tetapi ada teori yang dapat menjelaskan tentang penyebab preeklamsia, yaitu bertambahnya

frekuensi

pada

primigraviditas,

kehamilan

ganda,

hidramnion, dan mola hidatidosa. Bertambahnya usia kehamilan yang semakin tua, dapat terjadi kematian janin dalam uterus, timbulnya hipertensi, edema, protenuria, kejang dan koma (Sukarni & Sudarti, 2014).

8

9

Manuaba, Chandranita dan Fajar, (2007); Fauziyah (2012); Martaadisoebrata, Wirakususmah dan Effendi, (2013) menyebutkan beberapa teori tentang terjadinya HDK (hipertensi dalam kehamilan) antara lain : 1. Teori Genetik Berdasarkan teori ini, hipertensi pada kehamilan dapat diturunkan pada anak perempuannya sehingga sering terjadi hipertensi sebagai komplikasi kehamilannya. Kejadian hipertensi pada`kehamilan berikutnya atau ketiga akan semakin berkurang, hal ini dapat diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin

sempurna

pada

kehamilan

berikutnya

(Manuaba,

Chandranita & Fajar, 2007). Kemungkinan preeklamsia berhubungan dengan gen resesif tunggal, yang meningkat pada anak perempuan yang lahir dari ibu yang menderita preeklamsia. Mengindikasikan adanya pengaruh genotip fetus terhadap kejadian preeklamsia (Fauziyah, 2012). 2. Teori iskemia plasenta/hipoksia pada fetus Pada preeklamsia, adanya daerah pada arteri spiralis yang memiliki resistensi vascular disebabkan oleh karena kegagalan invasi trofoblas ke arteri spiralis pada tahap kedua. Akibatnya, terjadi gangguan aliran di daerah intervili yang menyebabkan penurunan perfusi daerah plasenta. Hal ini dapat menimbulkan iskemik dan hipoksia di plasenta yang berakibat terganggunya pertumbuhan bayi

10

intrauterine (I UGR) hingga kematian bayi (Fauziyah, 2012; Manuaba, Chandranita & Fajar, 2007). 3. Teori Disfungsi Endotel Pada

preeklamsia

terjadi

kerusakan

sel

endotel

akan

mengkibatkan menurunnya produksi prostasiklin karena endotel merupakan tempat pembentukan prostasiklin dan meningkatkannya produksi tromboksan sebagai kompensasi tubuh terhadap kerusakan endotel

tersebut.

Preeklamsia

berhubungan

dengan

adanya

vasospasme dan aktivitasi sistem koagulasi hemostasis. Perubahan aktifitas tromboksan memegang peranan sentral pada proses ini dimana hal ini sangat berubungan dengan ketidaksembangan antara tromboksan dan protasiklin (Fauziyah, 2012). 4. Teori Imunologis Beberapa penelitian menyatakan kemungkina maladaptasi imunologis sebagai patofisiologi dari preeklamsia. Pada penderita preeklamsia terjadi penurunan proporsi T-helper dibandingkan dengan penderita yang nomotensi yang dimulai sejak awal trimester II. Antibody yang melawan sel endotel ditemukan pada 50% wanita dengan preeklamsia, sedangkan pada kontrol hanya terdapat 15% (Fauziyah, 2012). Maladaptasi imunologi juga diduga terjadi akibat rendahnya ekspresi HLA-G dijaringan trofoblas ekstravili, yang berakibat pada gangguan vaskularisasi plasenta (Martaadisoebrata, Wirakususmah & Effendi, 2013).

11

5. Faktor nutrisi Faktor nutrisi juga diduga berhubungan dengan sindrom preeklamsia. Kejadian preeklamsia meningkat pada beberapa keadaan, seperti kukurangan zat/vitamin antioksidan (C, E beta karoten), kekurangan kalsium dan protein, kelebihan garam natrium atau kekurangan asam lemak tak jenuh (polyunsaturated fatty acid, PUFA) (Martaadisoebrata, Wirakususmah & Effendi, 2013). Peran kalium dalam hipertensi kehamilan sangat penting diperhatikan karena kekurangan kalium dapat memicu terjadinya hipertensi. Kalium berfungsi untuk membatu pertumbuhan tulang janin, mempertahankan konsentrasi dalam darah pada aktivitas kontraksi otot. Kontraksi otot pembuluh darah sangat penting karena dapat mempertahankan tekanan darah (Manuaba, Chandranita & Fajar, 2007). 2.1.3

Faktor Resiko Preeklampsia Menurut

Chapman

dan

Charles

(2013);

Salmah,

Rusmiati,

Maryanah Dan Susanti (2006); Dewi dan Sunarsih (2011); Norma dan Dwi (2013), berbagai faktor risiko terhadap hipertensi pada kehamilan preeklamsia/eklamsi menghasilkan hal-hal sebagai berikut : 1. Usia Insiden tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua. Pada wanita hamil berusia dari 25 tahun insiden >3 kali lipat. Pada wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun dapat terjadi hipertensi laten (Dewi & Sunarsih, 2011). Usia ibu >35 tahun memperparah risiko. Menurut riwayat, ibu dibawah usia 20 tahun

12

dilaporkan berisiko tinggi, meskipun studi terkini pada ibu dibawah usia 19 tahun yang melahirkan memperlihatkan angka preeklamsia yang rendah, meskipun kebanyakan partisipannya adalah ibu primigravida (Chapman & Charles, 2013). 2. Paritas a. Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua (Dewi & Sunarsih, 2011). Menurut Chapman dan Charles (2013) melaporkan, ibu 10x lipat berisiko mengalami preeklamsia pada kehamilan pertama. b. Primigravida tua risiko lebih tinggi untuk preeklamsia berat (Dewi & Sunarsih, 2011). 3. Faktor keturunan Jika ada riwayat preeklamsia/ eklamsia pada ibu/nenek penderita, faktor risiko meningkat sampai 25% (Dewi & Sunarsih, 2011). Menurut Chapman dan Charles (2013) mengungkapkan riwayat keluarga, yaitu ibu atau saudara perempuan yang mengalami preeklamsia, akan meningkatkan risiko hinga 4-8 kali lipat. 4. Faktor gen Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait), yang ditentukan oleh genotip ibu dan janin (Dewi & Sunarsih, 2011). 5. Diet/ gizi Menurut World Health Organization (WHO) tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu. Namun menurut penelitian lain menyebutkan bahwa kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi. Angka kejadian juga lebih pada ibu hamil

13

yang obesitas/overweight (Dewi & Sunarsih, 2011). Obesitas (indeks massa tubuh ≥ 30) meningkatkan risiko hingga empat kali lipat (Chapman & Charles, 2013). 6. Tingkah laku/sosial ekonomi Kebiasaan merokok: insiden pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat yang jauh lebih tinggi. Aktivitas fisik selama hamil: istirahat

baring

yang

cukup

selama

hamil

mengurangi

kemungkinan/insiden hipertensi dalam kehamila (Dewi & Sunarsih, 2011). Menurut Salmah, Rusmiati, Maryanah Dan Susanti (2006) mengatakan ibu hamil yang perokok aktif atau pasif ada hubungan dengan kelahiran bayi dengan berat badan rendah, yang berdampak pada perkembangan anak. 7. Hiperplasentosis Proteinuria

dan

hipertensi

gravidarium

lebih

tinggi

kemungkinannya pada kehamilan kembar, dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik. Hidrops fetalis: berhubungan, mencapai sekitar 50% kasus. Diabetes

mellitus:

angka

kejadian

yang

ada

kemungkinan

patofisiologinya bukan preeklamsia murni, melainkan disertai kelainan ginjal/vascular primer akibat diabetesnya (Chapman & Charles, 2013; Norma & Dwi, 2013). Molahidatidosa:

diduga

akibat

degenerasi

trofoblast

berlebihan

berperan menyebabkan preeklamsia. Pada kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/ pada usia kehamilan muda, ternyata hasil

14

pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan preeklamsia (Dewi & Sunarsih, 2011; Fauziyah, 2012; Norma & Dwi, 2013). 8. Stress dan kegelisahan (kecemasan) selama kehamilan karena perubahan sekresi hormon vasoaktif atau pemancar neuroendokrin lainnya, dapat menyebabkan peningkatan risiko preeklamsia (Kordi, Vahed, Talab, Mazloum & Lotfalizadeh, 2017). 2.1.4

Klasifikasi Preeklampsia Menurut Martaadisoebrata, Wirakususmah dan Effendi, (2013); Norma dan Dwi, (2013); walyani dan purwoastuti, (2015); Sukarni dan Sudarti, (2014) preeklamsia digolongkan ke dalam preeklamsia ringan dan preeklamsia berat dengan gejala dan tanda sebagai berikut : 1. Preeklamsia Ringan Preeklamsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut: tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring terlentang; atau kenaikn diastolic 15 mmHg atau lebih; atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara pengukuran sekurangkurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam. Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka; atau kenaikan berat badan 1 kg atau lebih perminggu. Proteinuria kwantatif 0,3 gr atau lebih per liter; kwalitatif 1 + atau 2 + pada urin kateter atau midstream (Sukarni & Sudarti, 2014). Nyeri kepala sementara, tidak ada gangguan penglihatan, tidak ada nyeri ulu hati (Norma & Dwi, 2013).

15

2. Preeklamsia berat Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih. Proteinuria 5 gr atau lebih per liter. Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam. Adanya gangguan serebral (sakit kepala menetap), gangguan visus, dan rasa nyeri pada epigastrium. Terdapat edema paru dan sianosis (Sukarni & Sudarti, 2014). Pemeriksaan kadar enzim hati meningkat disertai ikterus, perdarahan pada retina, trombosit kurang dari 100.000/mm Kreatin (Norma & Dwi, 2013). Gangguan penglihatan biasanya penglihatan menjadi kabur, bahkan terkadang penderita menjadi buta. Gangguan ini disebabkan vasospasme, edema atau ablasi retina. nyeri kepala hebat akibat vasospasme atau edema otak, edema paru dan sianosis, gangguan kesadaran. Pemeriksaan serum ≥ 1,2 mg/dl. Hemolisis dan peningkatan kadar LDH Peningkatan kadar serum transaminase (SGOT dan SGPT) (Martaadisoebrata, Wirakususmah & Effendi, 2013). 2.2.5

Tanda dan Gejala Preeklampsia Menurut Mitayani, (2011); Fauziyah, (2012); Sukarni dan Sudarti (2014) gejala pada preeklamsia sebagai berikut : 1. Tekanan darah Peningkatan tekanan darah merupakan tanda peningkatan awal yang penting pada preeklamsia. Tekanan diastolik merupakan tanda prognostic yang lebih andal dibandingkan dengan tekanan sistolik. Tekanan diastolic sebesar 90 mmHg atau lebih yang terjadi terus-menerus menunjukkan keadaan abnormal (Mitayani, 2011).

16

2. Kenaikan berat badan Peningkatan berat badan yang tiba-tiba mendahului serangan preeklamsia dan bahkan kenaikan berat badan (BB) yang berlebihan merupakan tanda pertama preeklamsia pada sebagian wanita. Peningkatan BB normal adalah 0,5 kg per minggu. Bila 1 kg dalam seminggu, maka kemungkinan terjadinya preeklamsia harus di curigai. Peningkatan berat badan terutama disebabkan karena retensi cairan dan selalu dapat di temukan sebelum timbul gejala edema yang terlihat jelas seperti kelopak mata yang bengkak atau jaringan tangan yang membesar (Mitayani, 2011). 3. Proteinuria Pada preeklamsia ringan, proteinuria hanya minimal 1+, 2+, atau tidak sama sekali. Pada kasus berat proteinuria dapat ditemukan dan dapat mencapai 10g/dL. Proteinuria hampir selalu timbul kemudian dibandingkan hipertensi dan kenaikan BB yang berlebihan (Mitayani, 2011). Keberadaan proteinuria sangat menentukan preeklamsia, yang menunjukkan bahwa kerusakan telah mencapai tingkat gromelurus ginjal sehingga fungsinya mulai menurun atau bersifat patologis. Proteinuria yang bersifat tetap dan melebihi +2 atau 2 gr/24 jam menunjukkan kerusakan fungsi ginjal yang serius karena akan terjadi peningkatan kreatinin dan dapat menimbulkan hemolisis (Fauziyah, 2012). Menurut Mitayani (2011) Gejala – gejala subjektif yang di rasakan pada preeklamsia adalah berikut :

17

1. Nyeri kepala Jarang ditemukan pada kasus ringan, tetapi akan sering terjadi pada`kasus-kasus yang berat. Nyeri kepala sering terjadi pada daerah frontal dan oksipital, serta tidak sembuh dengan pemberian analgetik biasa (Mitayani, 2011). 2. Nyeri epigastrium Merupakan

keluhan

yang

sering

ditemukan

pada

preeklamsia berat. Keluhan ini disebabkan karena tekanan pada kapsula hepar akibat edema atau perdarahan (Mitayani, 2011). 3. Gangguan penglihatan Keluhan penglihatan yang tertentu dapat disebabkan oleh spasme arterial, iskemia dan edema retina dan pada kasus-kasus yang langka disebabkan oleh ablasio retina. Pada preeklamsia ringan tidak ditemukan tanda-tanda subjektif (Mitayani, 2011). Menurut

Sukarni

dan

Sudarti

(2014)

Biasanya

tanda-tanda

preeklamsia timbul dalam urutan: pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada preeklamsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Pada preeklamsia berat didapatkan sakit kepala didaerah prontal, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual dan muntah. Kordi, Vahed, Talab, Mazloum dan Lotfalizadeh (2017); Hanan, Awad & Ade (2017) berpendapat preeklamsia menimbulkan gejala berupa kecemasan, stress, gangguan tidur, depresi dan marah – marah.

18

2.2.6

Patofisiologi Preeklampsia Pada preeklamsia terjadi pada spasme pembuluh darah yang disertai dengan retensi garam dan air. Pada biopsy ginjal ditemukan spasme hebat pada arteriola glomerolus. Pada beberapa kasus, lumen arteriole sedemikian sempitnya sehingga hanya dilalui oleh satu sel darah merah. Jadi, jika semua arteriola didalam tubuh mengalami spasme maka tekanan darah dengan sendirinya akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat tercukupi. Sedangkan kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan penimbunan air yang berlebihan dalam ruangan interstisial belum diketahui sebabnya, ada yang mengatakan disebabkan oleh retensi air dan garam. Proteinuria mungkin disebabkan oleh spasme arteriola, sehingga terjadi perubahan pada glomerulus (Marmi, Suryaningsih & Fatmawati, 2011; Mitayani, 2011). Vasospasme bersama dengan koagulasi intravascular akan menyebabkan gangguan perfusi darah dan gangguan multi organ. Gangguan multiorgan terjadi pada organ – organ tubuh diantaranya otak, darah, paru – paru, hati/liver, renal dan plasenta. Pada otak akan dapat menyebabkan terjadinya edema serebri dan selanjutnya terjadi peningkatan tekanan intrakanial. Tekanan intrakranial yang meningkat menyebabkan terjadinya gangguan perfusi serebral, nyeri dan terjadinya kejang sehingga menimbulkan diagnose keperawatan risiko cedera (Sukarni & Sudarti, 2014).

19

2.2.7

Pemeriksaan Diagnostik 1. Pemeriksaan laboratorium a. Pemeriksaan darah lengkap 1) Penurunan hemoglobin (normalnya untuk wanita hamil 12 – 14 gr%) 2) Hematokrit meningkat (normalnya 37 – 43%) (Mitayani, 2011). 3) Trombosit

menurun

dibawah

100,

sering

kali

dipertimbangkan untuk melahirkan bayi (normalnya 150-450 ribu/mm3) (Chapman & Charles, 2013). b. Urinalisis Ditemukan protein dalam urine (Mitayani, 2011). c. Pemeriksaan fungsi hati Preeklamsia dapat menyebabkan berbagai masalah pada hati, misalnya hematoma subkapsuler, rupture dan infark hati (Chapman & Charles, 2013). 1) Bilirubin meningkat (Normal < 1 mg/dl). 2) LDH (laktat dehidrogenase) meningkat. 3) Asparat aminomtransferase (AST) > 60 ul. 4) Serum glutamate pirufat transaminase (SGPT) meningkat (normal 15-45 u/l). 5) Serum

glutamate

oxaloacetic

transaminase

(SGOT)

menigkat (normal < 31u/l). 4) Total protein serum menurun (normal 6,7 – 8,7 g/dl) (Mitayani, 2011).

20

d. Tes kimia darah Asam urat meningkat (normal 2,4 – 2,7 g/dl) (Mitayani, 2011). Pemeriksaan kadar asam urat digunakan untuk mengkaji tingkat keparahan dan perjalanan penyakit. Akan tetapi, penyakit yang berat biasa saja muncul saat konsentrasi asam urat rendah, normal, tinggi (Chapman & Charles, 2013). 2. Radiologi a.

USG (Ultrasonografi) Ditemukannya retardasi pertumbuhan janin intrauterus. Pernapasan intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan ketuban sedikit.

b.

Kardiotokograf (CTG) Dapat member informasi tentang kesejahteraan janin, tapi tidak dapat memprediksi preeklamsia. Di ketahui denyut jantung bayi lemah (Chapman & Charles, 2013).

c.

CT scan hepar Menunjukkan adanya hematoma subkapsularis di hepar (Hutahaean, 2013).

d.

MRI Memungkinkan diperolehnya resolusi yang lebih baik, tetapi kausa mendasar tentang lesi-lesi masih belum mendasar (Hutahaean, 2013).

2.2.8

Penatalaksanaan Preeklampsia Adapun penatalaksanaan yang perlu dilakukan pada ibu hamil yang mengalami hipertensi adalah sebagai berikut :

21

1.

Medis a.

Obat anti kejang MgSO4 1) Lodaing dose: Injeksi 4 g IV bolus MgSO4 40% (10cc MgSO4 40% + 10 cc Aquades) diberikan IV secara perlahan selama 15-20 menit. 2) Maintenance dose: 6 g MgSO4 40% 15cc larutan MgSO4 dilarutkan ke dalam 500 cc Ringer Laktat selama 6 jam : (28 tts/menit). 3) Jika didapatkan kejang ulang setelah 15 menit, Tambahan 2 g IV bolus MgSO4 40% berikan 5cc MgSO4 diencerkan dengan 5cc aquabidest. Berikan selama 5 menit, dapat diulang 2 kali. Jika masih kejang kembali beri diazepam. 4) Dosis rumatan MgSO4: a) 6 g MgSO4 40% (15cc MgSO4 40%) dan larutkan dalam 500 cc larutan Ringer Laktat/Ringer Asetat, lalu berikan melalui infuse 28 tetes/menit selama 6 jam (1 g/jam). b) Diberikan hingga 24 jam setelah persalinan atau setelah kejang terakhir. 5) Perhatikan : a) Frekuensi nafas > 16x/menit b) Refleks Patela +/+ c) Jumlah urin minimal 0,5 cc/kgBB/jam d) Tersedia Ca Glukonas 10% (antidotum), diberikan jika refleks patella menghilang dan distres pernapasan (Long et al, 2016).

22

b.

Terapi obat antihipertensi Pemakain mempertahankan

obat

antihiperetnsi

kehamilan

atau

sebagai

memodifikasi

upaya prognosis

perinatal pada kehamilan dengan penyulit hipertensi dalam berbagai tipe dan keparahan telah lama menjadi perhatian (Hutahaean, 2013). 1) Nifedipin Panduan local mungkin bervariasi, tapi dosis yang direkomendasikan adalah 10 – 20 mg per oral diulangi setiap 30 menit sehingga dosis maksimum 50 mg (Chapman & Charles, 2013). 2) Labelatol Memiliki kelebihan karena dapat diberikan per oral pada kasus hipertensi berat dan selanjutnya diberikan melalui intravena (Chapman & Charles, 2013). c.

Penundaan persalinan pada hipertensi berat Ibu dengan hipertensi berat biasanya harus segera menjalani persalinan. Pada tahun – tahun terakhir, berbagai penelitian di seluruh dunia menganjurkan pendekatan yang berbeda dalam penatalaksanaan ibu dengan hiperetnsi berat yang

jauh

dari

aterm.

Pendekatanan

ini

menganjurkan

penatalaksanaan konservatif atau menunggu terhadap kelompok tertentu ibu hamil dengan hipertensi berat yang bertujuan memperbaiki prognosis janin tanpa mengurangi keselamatan ibu ( Hutahaean, 2013).

23

d.

Terminasi kehamilan Pada hipertensi sedang atau berat yang tidak membaik setelah rawat inap biasanya dianjurkan untuk dilakukan terminasi janin (persalinan) demi kesejahteraan ibu dan janin. Persalinan sebaiknya

diinduksi

dengan

oksitosin

intravena.

Apabila

tampaknya induksi persalinan hamper pasti gagal atau upaya induksi gagal, diindikasikan seksio sesaria untuk kasus – kasus yang lebih parah ( Hutahaean, 2013). 1.

Non medis a. Pendekatan nutrisi (diet rendah garam, diit tinggi protein, suplemen kalsium, magnesium). b. Anjurkan cukup istirahat baring c. Hindari kafein, merokok dan alcohol. d. Pembatasan aktifitas fisik (Purwaningsih & Fatmawati, 2010).

2.2.9

Komplikasi Preeklamsia Bergantung pada derajat preeklamsia yang dialami. Namun, yang termasuk komplikasi antara lain sebagai berikut: Solosio plasenta, Hipofibrinogenemia, Hemolisis, Perdarahan otak, Kelainan mata, Edema paru, qNekrosis hati, Sindrom Hellp, Kelainan ginjal dan Prematuritas (Purwaningsih & Fatmawati, 2010).

Related Documents

Pre
October 2019 50
Pre
June 2020 23
Pre
July 2020 22
Pre
June 2020 19
Pre
April 2020 20
Pre Niku
June 2020 0

More Documents from ""