Pengertian positivisme
Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif disini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Oleh karena itu, filsafat pun harus meneladani contoh tersebut. Maka dari itu, positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan “hakikat” benda-benda, atau “penyebab yang sebenarnya”, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta (Praja, 2005). Jadi, Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satusatunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak mengenal adanya spekulasi, semua harus didasarkan pada data empiris. Karena aliran ini lahir sebagai penyeimbang pertentangan yang terjadi antara aliran empirisme dan aliran rasionalisme. Aliran positivisme ini lahir berusaha menyempurnakan aliran empirisme dan rasionalisme, dengan cara memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Susanto, 2011, Filsafat Ilmu (Jakarta: Bumi Aksara). Comte sering disebut “Bapak Positivisme“ karena aliran filsafat yang didirikannya tersebut. Positivisme adalah nyata, bukan khayalan. Ia menolak metafisika dan teologik. Jadi menurutnya ilmu pengetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai kemajuan. Ciri-ciri positivisme antara lain: a)
Objektif/bebas nilai: dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai
mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati-terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari realitas (korespondensi). b)
Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu
pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang gejala-gejala penampakan ditolak (antimetafisika). c)
Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas
partikularlah yang nyata. Contoh: logam dipanaskan memuai, konsep logam dalam pernyataan itu mengatasi semua bentuk particular logam: besi, kuningan, timah dan lain-lain. d)
Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati.
e)
Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam
semesta yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati). Alam semesta memilii strukturnya sendiri dan mengasalkan strukturnya sendiri.
f)
Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-
prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-mesin (sistem-sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai a giant clock work.
. FUNGSI FILSAFAT POSITIVISME Berdasarkan uraian pada bagian terdahulu kiranya dapat dikatakan mengenai, fungsi filsafat positivisme yaitu : 1. Perkembangan yang diberi konotasi sebagai kemajuan memberikan makna bahwa positivisme telah mempertebal optimisme. Hal tersebut melahirkan pengetahuan yang positif yang terlepas dari pengaruh-pengaruh spekulatif, atau dari hukumhukum
yang umum. Berkat pandangan positivisme orang'tidak sekedar
menghimpun fakta, tapi ia berupaya meramal masa depan, yang an tara lain turut mendorong perkembangan teknologi 2.
Kemajuan dalam bidang fisik telah menimbulkan berbagai implikasi dalam segi kehidupan. Dengan kata lain, fungsi filsafat positivisme ini berperan sebagai pendorong timbulnya perkembangan dan kemajuan yang dirasakan sebagai kebutuhan.
3.
Dengan adanya penekanan dari filsafat positivisme terhadap segi rasional ilmiah, maka
berfungsi
pula kemampuannya
untuk
menerangkan
kenyataan,
sedemikian rupa sehingga keyakinannya akan kebenaran semakin terbuka (Adi, 2012). Dalam tahap teologis, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi dari pada makhluk insani biasa. Pada tahapan ini, dimana studi kasusnya pada masyarakat primitif yang masih hidupnya menjadi obyek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek. Animisme merupakan keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia, dimana mereka menganggap bahwa benda-benda memiliki jiwa, lalu beranjak kepada politeisme, yang menganggap adanya Dewa-dewa yang menguasai suatu lapangan tertentu, dan kemudian Monoteisme yang menganggap hanya ada satu Tuhan penguasa. Selanjutnya tahap metafisik. Tahapan ini merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi.
Tahap terakhir ialah tahap positif, pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas cara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang instrumental. Akan tetapi pengetahuan selalu bersifat sementara, dan tidak mutlak. Karenanya, semangat positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus menerus terhadap data baru atas dasar pengetahuan yang dapat ditinjau kembali. Sebagai contoh perbedaan dan peralihan dari tiap tahap tersebut, dapat dilihat misalanya dari penjelasan tentang angin topan. Pada tahap teologis, hal ini akan dijelaskan sebagai hasl tindakan lagsung dari seorang dewa angin, atau tuhan yang agung. Dalam tahap metafisik, hal ini akan dijelaskan sebagai manifestasi dari hukum alam yang tidak dapat diubah. Dan dalam tahap positif, angin topan akan dijelaskan sebagai hasil dari kombinasi tertentu dan tekanan-tekanan udara, kecepatan angin, kelembapan dan suhu. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu: http://rvandrian.weblog.esaunggul.ac.id/2014/06/15/hakekat-manusia-august-comte/ 1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer. 2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 18701890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme. 3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokohtokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain. Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir pada abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi tititk tolak dari pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalamanpengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan. Sebenarnya, tokoh-tokoh aliran ini sangat banyak. Namun begitu, Auguste Comte dapat dikatakan merupakan tokoh terpenting dari aliran filsafat Positivisme. Menurut Comte, dan juga para penganut aliran positivisme, ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Dengan demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Dengan model pemikiran seperti ini, kemudian Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme. Selanjutnya, karena agama (Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa serta dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Comte berpendapat bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta. Sebaliknya, sebuah pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan data empiris. Contoh misalnya pernyataan bahwa api tidak membakar. Model pemikiran ini dalam epistemologi disebut dengan teori Korespondensi. Keberadaan (existence) sebagai masalah sentral bagi perolehan pengetahuan, mendapat bentuk khusus bagi Positivisme Comte, yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan makna yang terkandung di dalam kata “positif”. Kata nyata (riil) dalam kaitannya dengan positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat dijangkau oleh akal dapat dijadikan sebagai objek ilmiah, sedangkan sebaliknya yang tidak dapat dijangkau oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah. Kebenaran bagi Positivisme Comte selalu bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan, dan nantinya berujung kepada penataan atau penertiban. Oleh karenanya, selanjutnya Comte beranggapan bahwa pengetahuan yang demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi. Dari model pemikiran tersebut, akhirnya Comte menganggap bahwa garis demarkasi antara sesuatu yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo science) adalah veriviable, dimana Comte untuk mengklarifikasi suatu pernyataan itu bermakna atau tidak (meaningful dan meaningless), ia melakukan verifikasi terhadap suatu gejala dengan gejala-gejala yang lain untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud. Dan sebagai konsekwensinya, Comte menggunakan metode ilmiah Induktif-Verivikatif, yakni sebuah metode menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat khusus ke umum, kemudian melakukan verifikasi. Selanjutnya Comte juga menggunakan pola operasional metodologis dalam bentuk observasi, eksperimentasi, komparasi, dan generalisasiinduktif. Singkatnya, filsafat Comte merupakan filsafat yang anti-metafisis, dimana dia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir(mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejalagejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala, agar supaya dia dapat meramalkan apa yang akan terjadi. Filsafat positivisme Comte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara “terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori. Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan lainlain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value). Apabila dikaitkan dengan ilmu sosial budaya, positivisme Auguste Comte berpendapat bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam,
(c) berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya.
FILSAFAT; POSITIVISME AUGUSTE COMTEhttp://moechrizal.blogspot.co.id/20 12/12/filsafat-positivisme-augustecomte.html PENDAHULUAN Semenjak abad ke 17 rasionalisme Rene Descartes mencapai posisi penting bagi ilustrasi keilmuan manusia, pemikirannya bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Lalu dilanjutkan dengan empirisisme yang mencapai puncak pada masa David Hume yang mana pengetahuan kita hanya bersumber dari pengalaman dan hanya terbatas pada dunia cerapan indra saja. Selanjutnya pada abad ke 19 muncullah positivisme yang diperkenalkan oleh Agustus Comte. Istilah “positivisme” berasal dari kata “positif” yang berarti “factual” atau apa yag berdasarkan fakta-fakta. Sehingga positivisme dalam hal ini diartikan sebagai teori yang bertujuan untuk penyusunan fakta-fakta yang teramati. Dalam pandangan positivisme, pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Kemudian, filsafat pun harus meneladani contoh itu.[1] Positivisme memang berkaitan erat dengan dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Ia pun mengutamakan pentingnya pengalaman. Akan tetapi, berbeda dengan empirisme Inggris yang menerima pengalaman bathiniah atau subjektif sebagai sumber pengetahuan. Positivisme tidak menerima pengalaman bathiniah sebagai sumber pengetahuan. Baginya, pengetahuan sejati hanyalah pengalaman obyektif yang bersifat lahiriah, yang bisa diuji secara indrawi. Karena itu, menurut F. Budi Hardiman, positivisme adalah ahli waris empirisme yang sudah diradikalkan dalam pencerahan Prancis. PEMBAHASAN Biografi Auguste Comte Auguste Comte memiliki nama panjang Isidore Marie Auguste François Xavier Comte, lahir di Montpelier, Prancis pada tanggal 19 Januari 1798, dan meninggal di Paris, Perancis, 5 September 1857 pada umur 59 tahun. Comte kecil tinggal di sebuah kota kecil bagian barat daya dari negara Perancis. Setelah bersekolah disana, ia melanjutkan pendidikannya di École Polytechnique di Paris (1814), yang kemudian menghantarkannya menjadi seorang matematikawan yang brilian.[2] Comte memulai karir profesionalnya dengan memberi les dalam bidang matematika. Meskipun ia telah memperoleh pendidikan dalam bidang matematika, namun perhatian yang sebenarnya ialah masalah-masalah kemanusiaan dan sosial. Perhatiannya tersebut kemudian berkembang setelah ia bertemu dengan Henri de SaintSimon, seorang ahli teori sosial yang tertarik pada reformasi utopis dan pendiri awal sosialisme Eropa, yang kemudian mempekerjakan Comte sebagai sekretarisnya.[3] Dengan Simon, Comte menjalin kerjasama yang erat dalam pengembangan karya awalnya. Namun, setelah tujuh tahun pasangan ini akhirnya pecah karena perdebatan mengenai kepengarangan karya bersama, dan Comte pun meninggalkan pembimbingnya tersebut.[4] Namun, walaupun Comte tidak lagi bekerjasama dengan Simon, pengaruhnya tetap saja melekat sepanjang hidup comte. Pasca meninggalkan Simon, comte selanjutnya meneliti tentang filosofi positivisme. Rencananya ini kemudian dipublikasikan dengan nama Plan de travaux scientifiques nécessaires pour réorganiser la société (1822) (Rencana studi ilmiah untuk pengaturan kembali masyarakat). Tetapi ia gagal mendapatkan posisi akademis sehingga menghambat penelitiannya. Sementara Comte sedang mengembangkan filsafat positifnya yang komprehensif, ia menikah dengan seorang bekas pelacur bernama Caroline Massin. Comte dikenal arogan, kejam dan mudah marah sehingga pada tahun 1826 dia dibawa ke sebuah rumah sakit jiwa, tetapi ia kabur sebelum sembuh. Kemudian setelah kondisinya distabilkan oleh Massin, ia mengerjakan kembali apa yang dulu direncanakannya. Namun sayangnya, pada tahun 1842 ia bercerai dengan Massin. Saat-saat di antara pengerjaan kembali rencananya sampai pada perceraiannya, ia mempublikasikan bukunya yang berjudul Course of Positive Philosophy. Pada tahun 1844, Comte menjalin kasih dengan Clothilde de Vaux, seorang wanita yang sedang di tinggal suaminya. Perasaan Comte terhadap Clothilde cukup besar, namun sayangnya hal itu tak berlangsung lama karena
Clothilde mengidap TBC dan akhirnya meninggal. Hal ini mengakibatkan Comte cukup terguncang, sampai bersumpah bahwa ia akan membaktikan hidupnya untuk mengenang “bidadari” nya tersebut. Sifat tulisan Comte umumnya berubah secara mencolok pasca menjalin hubungan dengan Clothilde. Dalam karya keduanya System of Positive Politics, ia menggagas bahwa kekuatan yang sebenarnya mendorong orang dalam dalam kehidupannya adalah perasaan, bukan pertumbuhan intelegensi manusia yang mantap. Dia mengusulkan suatu reorganisasi masyarakat, dengan sejumlah tata cara yang dirancang untuk membangkitkan cinta murni tanpa egois demi kebesaran manusia. Tujuannya ialah mengembangkan suatu agama yang baru yaitu agama Humanitas.[5]Dan pada gilirannya ia menyatakan diri sebagai pendiri agama universal, Imam Agung Humanitas.[6] Meskipun egois dan egosentris, Auguste Comte mengabdikan dirinya untuk kemajuan masyarakat sampai akhir hayatnya. Ia meninggal karena kanker perut di Paris pada tanggal 5 September 1857. Filsafat Auguste Comte Sebelum membicarakan lebih jauh mengenai pemikiran Auguste Comte, baiknya mengetahui terlebih dahulu apa-apa yang melatarbelakangi/ mempengaruhi pemikirannya. Dalam buku Hotman M. Siahaan (1986) dijelaskan ada beberapa sumber penting yang menjadi latar belakang yang menentukan jalan pikiran Comte [7], yaitu: 1. Revolusi Perancis dengan segala aliran pikiran yang berkembang pada masa itu. Comte tidaklah dapat dipahami tanpa latar belakang revolusi Perancis dan juga restorasi dinasti Burbon di Perancis pada masa itu. Pada masa mana menimbulkan krisis sosial yang maha hebat di negeri itu. Sebagai seorang ahli pikir, Comte berusaha untuk memahami krisis yang terjadi tersebut. Dan dia berpendapat bahwa manusia tidaklah dapat keluar dari krisis sosial yang terjadi itu tanpa melalui pedoman-pedoman berpikir yang bersifat scientific. Revolusi itu oleh karenanya merupakan stimulus bagi pikiran Comte sendiri. 2. Sumber lain yang menjadi latar belakang pemikiran Comte adalah filsafat sosial yang berkambang di Perancis pada abad ke-18, khususnya filsafat yang dikembangkan oleh para penganut paham Encyclopedist Perancis. Comte banyak menyerap ajaran filsafat kaum encyclopedist ini, terutama dasar-dasar pikirannya, sekalipun kelak dia mengambil posisi tersendiri setelah keluar dari aliran ini. 3. Sumber ketiga adalah aliran reaksioner dari pada ahli pikir Theocratic, terutama yang bernama De Maistre dan De Bonald. Aliran reaksioner dalam pemikiran Katholik Roma adalah aliran yang menganggap bahwa abad pertengahan di mana kekuasaan gereja sangat besar, adalah periode organis, yaitu suatu peiode yang dapat secara paling baik memecahkan berbagai masalah sosial. Aliran ini menentang pendapat para ahli yang mengatakan bahwa abad pertengahan adalah abad di mana terjadinya stagnasi di dalam ilmu pengetahuan, karena kekuasaan gereja yang demikian besar di segala lapangan kehidupan. Comte telah membaca karya-karya pemikir theocratic di bawah pengaruh Saint Simont. Sebagaimana diketahui, Saint Simont juga menganggap bahwa abad pertengahan adalah periode organic yang bersifat konstruktif. 4. Sumber terahir yang melatarbelakangi pikiran Comte adalah lahirnya aliran yang dikembangkan oleh para pemikir sosialistik, terutama yang diprakarsai oleh Saint Simont. Comte telah membangun hubungan yang sangat erat dengan Saint Simont juga dengan para ahli pikir sosialis Perancis lainnya. Dan seperti itu juga mereka, Comte di satu pihak akan membangun ilmu pengetahuan sosial yang bersifat scientific. Sebenarnya Comte memiliki sikap tersendiri terhadap aliran ini, tetapi sekalipun demikian, dasar-dasar aliran ini masih tetap dianutnya, terutama pemikiran mengenai pentingnya suatu pengawasan kolektif terhadap masyarakat, dan mendasarkan pengawasan tersebut di dalam suatu dasar bersifat scientific. a. Positivisme Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian diatas dan sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno dan juga digunakan oleh ibn al-Haytham dalam karyanya kitab al-Manazhir. Sekalipun demikian, konseptualisasi positivisme sebagai sebuah filsafat pertama kali dilakukan Comte.[8] Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang tertuang dalam karya utamanya Cours de Philosophic Positive (1830-1842) yang diterbitkan dalam enam jilid. Selain itu, karya lainnya yakni Discours L’esprit Positive (1844). Dalam karya inilah Comte menguraikan pendapat-pendapat positivis, hukum tiga tahap, klasifikasi ilmu-ilmu pengetahuan dan bagan mengenai mengenai tatanan kemajuan.[9] Dalam kaitannya (positivisme) tentang masyarakat, Comte meyakini bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam, maka untuk memperoleh pengetahuan tentang masyarakat menuntut pengetahuan metode-metode penelitian empiris dari ilmu-ilmu alam lainnya.[10] Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah sebagai puncak suatu proses kemajuan intlektual yang logis yang telah dilewati oleh ilmu-ilmu lainnya. Kemajuan ini mencakup perkembangan dari bentuk-bentuk pemikiran teologi purba, penjelasan metafisik, dan akhirnya sampai terbentuknya hukum-hukum ilmiah yang positif.
Melihat kepada perkembangan ilmu alam (natural science) yang dengan penyelidikannya atas prilaku alam, lalu dapat menemukan hukum-hukum tetap yang dapat berlaku pada alam (hukum alam), Comte kemudian melakukan copy-paste metodologi ilmu alam tersebut untuk digunakan menyelidiki prilaku sosial, dengan begitu, menurut keyakinannya akan ditemukan hukum-hukum tetap yang berlaku general pada masyarakat (hukum sosial).[11] Comte memulai pekerjaannya tersebut denga melakukan refleksi mendalam terkait sejarah perkembangan alam pikir manusia. Ia kemudian mendapati bahwa sejarah perkembangan alam pikir manusia terdiri dari tiga tahap, yaitu teologik, metafisik dan positif, yang akan di jelaskan pada bahagian berikutnya. Dari ketiga tahapan tersebut, tahap positif merupakan babak terakhir dimana pada tahapan itu manusia telah memasuki peradaban yang positif. Selanjutnya, Comte membuat norma-norma ilmiah yang disebut metodologi ilmiah. Metodologi positivisme berkaitan erat dengan pandangannya tentang objek positif. Objek positif sebagaimana dimaksud dapat dipahami dengan membuat beberapa distingsi, yaitu; antara yang nyata dan yang khayal, yang pasti dan yang meragukan, yang tepat dan yang kabur, yang berguna dan yang sia-sia, yang mengklaim memiliki kesahihan relative dan yang mengklaim memiliki kesahihan mutlak.[12] Distingsi-distingsi tersebut, oleh Comte diterjemahkan kedalam norma-norma metodologis sebagai berikut: Semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa-kepastian (sense of certainty) pengamatan sistematis yang terjamin secara intersubjektif. Kepastian metodis sama pentingnya dengan rasa-kepastian. Kesahihan pengetahuna ilmiah dijamin oleh kesatuan metode. Ketepatan pengetahuan kita dijamin hanya oleh bangunan teori-teori yang secara formal kokoh yang mengikuti deduksi hipotesis-hipotesis yang menyerupai hukum. Pengetahuan ilmiah harus dapat dipergunakan secara tekhnis. Ilmu pengetahuan memungkinkan control tekhnis atas proses-proses alam maupun sosial. Pengetahuan kita pada prinsipnya tak pernah selesai dan relative, sesuai dengan sifat relative dan semangat positif.[13] Atas dasar pandangan diatas, menurut Comte metode penelitian yang harus digunakan dalam proses keilmuan adalah observasi, eksperimentasi, dan komparasi. Yang terakhir ini digunakan untuk melihat hal-hal yang lebih komplek, seperti biologi dan sosiologi. Berkaitan dengan sosial, asumsi comte berkonsentrasi pada tiga hal, yakni; pertama, prosedur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Kedua, hasil-hasil riset dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti dalam ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat tekhnis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Dengan uraian diatas, dapat dijelaskan bahwa dalam perspektif positivisme, ilmu-ilmu menganut tiga prinsip; bersifat empiris-objektif, deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai. Ketiganya tidak hanya berlaku pada ilmu alam, namun juga berlaku bagi ilmu sosial, dan inilah kontribusi terbesar daru Auguste Comte, yang menghantarkannya sebagai bapak sosiologi modern. b. Hukum Tiga Tahap Dalam Cours de Philosophy Positive, Comte menjelaskan bahwa munculnya ilmu-ilmu alam tak bisa dipahami secara terlepas dari sejarah perkembangan pengetahuan umat manusia dari abad ke abad. Sejarah pengetahuan itu berkembang melalui tiga tahap yaitu Teologi, Metafisis dan Positif.[14] Hukum tiga tahap ini merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dari masa primitif sampai peradaban Prancis abad kesembilan belas yang sangat maju. Mengenai hukum tiga tahap ini, comte menjelaskannya sebagai berikut; “Dari studi mengenai perkembangan intelegensi manusia, dan melalui segala zaman, penemuan muncul dari suatu hukum dasar yang besar. Inilah hukumnya: bahwa setiap konsepsi kita yang paling maju, setiap cabang pengetahuan kita, berturut-turut melewati tiga kondisi teoritis yang berbeda; teologis atau fiktif, metafisik atau abstrak dan ilmiah atau positif” (Doyle Paul Jhonson, Robert MZ. Lawang,85). [15] Dalam tahap teologis, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi dari pada makhluk insani biasa. Pada tahapan ini, dimana studi kasusnya pada masyarakat primitif yang masih hidupnya menjadi obyek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek. Animisme merupakan keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia, dimana mereka menganggap bahwa benda-benda memiliki jiwa, lalu beranjak kepada politeisme, yang menganggap adanya Dewa-dewa yang menguasai suatu lapangan tertentu, dan kemudian Monoteisme yang menganggap hanya ada satu Tuhan penguasa. Selanjutnya tahap metafisik. Tahapan ini merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi. Tahap terakhir ialah tahap positif, pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukumhukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas cara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan
yang instrumental. Akan tetapi pengetahuan selalu bersifat sementara, dan tidak mutlak. Karenanya, semangat positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus menerus terhadap data baru atas dasar pengetahuan yang dapat ditinjau kembali. Sebagai contoh perbedaan dan peralihan dari tiap tahap tersebut, dapat dilihat misalanya dari penjelasan tentang angin topan. Pada tahap teologis, hal ini akan dijelaskan sebagai hasl tindakan lagsung dari seorang dewa angin, atau tuhan yang agung. Dalam tahap metafisik, hal ini akan dijelaskan sebagai manifestasi dari hukum alam yang tidak dapat diubah. Dan dalam tahap positif, angin topan akan dijelaskan sebagai hasil dari kombinasi tertentu dan tekanan-tekanan udara, kecepatan angin, kelembapan dan suhu. c. Prinsip-Prinsip Keteraturan Sosial Sejalan dengan perspektif organiknya, Comte sangat menerima saling ketergantungan yang harmonis antara bagian-bagian masyarakat, dan sumbangannya terhadap bertahannya stabilitas sosial. Meskipun keteraturan sosial dapat terancam oleh anarki sosial, moral, dan intelektual, selalu akan diperkuat kembali. Analisis Comte mengenai keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua fase. Pertama, usaha untuk menjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan metode positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita yang normatif dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak sesuai dengan positivisme, tetapi yang menyangkut perasaan juga intelek. [16] Menurut comte, individu dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan sosial, sehingga satuan masyarakat asasi adalah bukan individu-individu, melainkan keluarga. Dalam keluargalah individu diperkenalkan kepada masyarakat. Keteraturan sosial juga bergantung pada pembagian pekerjaan dan kerja sama ekonomi. Individu menjalankan kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan individunya. Akan tetapi begitu pembagian pekerjaan muncul, partisipasi individu dalam kegiatan ekonomi menghasilkan kerja sama, kesadaran akan saling ketergantungan dan muncul ikatan-ikatan sosial baru. Pembagian pekerjaan meningkat bersama industrialisasi, dan bertambahnya spesialisasi yang berhubungan dengan itu mendorong individualisme, sekaligus meningkatkan derajat saling ketergantungan. Jadi, keteraturan yang stabil dalam suatu masyarakat kompleks, berbeda dengan masyarakat primitif yang berstruktur longgar dan berdiri sendiri, berstandar pada saling ketergantungan itu yang perkembangannya dibantu oleh pembagian pekerjaan yang sangat tinggi. d. Agama Humanitas Wawasan Comte tentang konsekuensi-konsekuensi agama yang menguntungkan dan ramalannya terhadap tahap positif postreligius dalam evolusi manusia menghadapkan dia pada masalah rumit. Melirik fakta sejarah, ia tidak bisa menafikan peran penting agama terhadap keteraturan sosial yang paling utama. Akan tetapi, kalau dilihat dalam perspektif ilmiah (positif), agama didasarkan pada kekeliruan intlektual asasi yang mula-mula sudah berkembang pada saat-saat awal perkembangan intlektual manusia. Lalu, pertanyaan rumit yang dihadapi Comte adalah bagaimana keteraturan sosial itu dapat dipertahankan dalam masyarakat positif pada masa-masa yang akan datang, Dengan satu dasar tradisi pokok mengenai keteraturan sosial yang digali oleh positivisme. Mengatasi masalah tersebut, Comte kemudian mengemukakan gagasan untuk mendirikan satu agama baru yakni agama Humanitas, dan mengangkat dirinya sebagai imam agung agama tersebut. Ini aspek kedua dari perhatian Comte mengenai keteraturan sosial. Aspek pertama meliputi suatu analisis objektif mengenai sumber sumber stabilitas dalam masyarakat, sedangkan aspek kedua ini meliputi usaha meningkatkan keteraturan sosial dengan agama Humanitas sebagai cita-cita normatifnya. Gagasan Comte mengenai satu masyarakat positive di bawah bimbingan moral agama Humanitas makin lama makin terperinci. Misalnya, dia menyusun satu kelender baru dengan hari-hari tertentu untuk menghormati ilmuan-ilmuan besar dan lainnya, yang sudah bekerja demi kemanusiaan dan kemajuan manusia. Akan ada beberapa ritus doa yang disusun untuk menyalurkan hasrat-hasrat individu dan memasukkannya ke dalam the great being of humanity. Selain itu, ada juga ritual dimana Comte sebagai imam agung berlutut didepan altarnya sambil memegang seikat rambut kepala Cothilde de Vaux. Ia juga bahkan mengusulkan agar kuburan de Vaux dijadikan sebagai tempat ziarah.[17] Dalam agama baru ini, moralitas tertinggi adalah cinta dan pengabdian kepada kemanusiaan. Allah pada abad pertengahan digantikan dengan “Le Grand Etre” (Ada Agung), yakni Kemanusiaan.[18] e. Altruisme Altruisme merupakan ajaran Comte sebagai kelanjutan dari ajarannya tentang tiga zaman. Altruisme diartikan sebagai penyerahan diri kepada keseluruhan masyarakat. Bahkan bukan hanya salah satu masyarakat, melainkan suku bangsa manusia pada umumnya. Dengan demikia, altruism bukanlah sekedar lawan dari egoisme. Keteraturan masyarakat yang diidamkan oleh positivisme haya dapat dicapai kalau semua orang dapat menerima altruism sebagi prinsip dalam setiap tindakan mereka. Sehubungan dengan ini, Comte sampai beranggapan bahwa bangsa manusia menjadi semacam pengganti Tuhan. Keilahian baru dari positivisme ini disebut le Grand Eire (Maha Makhluk).[19]
Bila paham altruism ini dibandingkan dengan filsafat islam, maka akan tampak dalam pemikiran yang dikembangkan oleh filusuf islam yang membagi dua macam hak. Pertama haqqullah dan hak adamyy. Haqqullah ini digunakan untuk menjelaskan kepantingan bersama, baik masyarakat maupun Negara yang merupakan symbol dari kehendak Allah. Sementara hak adamyy yang berarti hak manusia, melambangkan kebebasan individu untuk menggunakan hak pribadinya. Ujung dari pencarian kebenaran yang dilakukan oleh Auguste Comte adalah falsafahnya tentang hidup manusia yang membutuhkan hubungan dengan zat yang sempurna, yang diwujudkan dalam bingkai teori sosiologinya. f. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Ilmu pengetahuan tidaklah mencapai titik kematangan yang sama secara serentak. Karenanya, perlu dilukiskan perkembangannya berdasarkan tingkat kerumitan bahan yang dipelajari di dalamnya. Ilmu pengetahuan tersusun sedemikian rupa, sehingga ilmu yang satu selalu mengandalkan ilmu yang lahir mendahuluinya. Auguste Comte membedakan ilmu pengetahuan pokok menjadi enam, yaitu; ilmu pasti, astronomi, fisika, kimia, biologi dan puncaknya pada sosiologi. Semua ilmu pengetahuan, dapat dijabarkan kepada salah satu dari enam ilmu tersebut diatas.[20] Ilmu pasti merupakan ilmu yang paling fundamental dan menjadi pembantu bagi semua ilmu lainnya. Selain relasi-relasi matematis, astronomi membicarakannya juga tentang gerak, sedangkan dalam fisika ditambah lagi dengan penelitian tentang materi. Selanjutnya kimia membahas proses perubahan yang berlangsung dalam materi yang telah dibicarakan dan dikupas dalam fisika. Perkembangan selanjutnya menjelma dalam biologi yang kini membicarakan kehidupan. Akhirnya, sampailah pada puncak ilmu pengetahuan yang diberi nama sosiologi yang mengambil objek penyelidikannya gejala-gejala kemasyarakatan yang terdapat pada makhluk hidup yang merupakan objek biologi (ilmu sebelum sosiologi). Karenanya, sosiologi merupakan puncak dan penghabisan untuk usaha manusia seluruhnya, sosiologi baru dapat berkembang sesudah ilmu lainnya mencapai kematangan. Oleh karena itu, Comte beranggapan bahwa selaku pencipta sosiologi, ia mengantarkan ilmu pengetahuan ke tahap positifnya. Comte dalam merancang sosiologinya bermaksud praktis, yaitu atas dasar pengetahuan tentang hukum-hukum yang menguasai masyarakat mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna. KESIMPULAN Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif, sesuatu yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan. positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerjasama. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perluanya eksperimen dan ukuran-ukuran. Dengan demikian positivisme sama dengan emperisme plus rasionalisme Dalam kaitannya tentang sosial, positivisme merupakan doktrin Comte yang menjadi pondasi strategi rekonstruksi masyarakat. Bagi Comte, sosiologi merupakan puncak perkembangan positivisme dan menjadikannya ratu dari ilmu-ilmu sosial. Sehingga, sosiologi positif diharapkan Comte mampu menjadi kunci kemajuan sosial dimasa depan Ujung dari pencarian kebenaran yang dilakukan oleh Auguste Comte adalah falsafahnya tentang hidup manusia yang membutuhkan hubungan dengan zat yang sempurna, yang diwujudkan dalam bingkai teori sosiologinya.
[1] Atang Abdul Hakim, Filsafat Umum, (Bandung; Pustaka Setia- 2008), hlm. 296. [2] Wikipedia; Ensiklopedia Bebas, Biografi Auguste Comte, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/August_Comte [3] Bio, True Story, Auguste Comte. Biografi, dalam http://www.biography.com/people/auguste-comte-9254680 [4] Hakim, Filsafat, hlm. 290. [5] Hakim, Filsafa, hlm. 291-292. [6] Ibid, hlm. 293 [7] Little Science, Sejarah Sosiologi, dalam http://mohammadhasbi.blogspot.com/ [8] Rabbani. Auguste Comte dan Positivisme, dalam http://robbani.wordpress.com/2009/02/07/auguste-comtedan-positivisme/ [9] Hakim, Filsafat, hlm. 296. [10] Ibid, hlm.297. [11] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta; Belukar, 2008-Cet. V), hlm. 108.
[12] Ibid, hlm. 109 [13] Ibid, hlm. 111. [14] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama-2007), hlm. 206. [15] Hakim, Filsafat, hlm. 301. [16] Ibid, hlm. 307. [17] Ibid, hlm.311 [18] Hardiman, Filsafat, hlm. 212. [19] Hakim, Filsafat, hlm. 317. [20] Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, (Bogor; Kencana, 2003), hlm. 136.