Ricky Valdy 18/433019
Bab 3. Positivisme Logis 3.1 Latar Belakang Positivisme adalah pandangan bahwa ilmu alam merupakan satu—satunya sumber pengetahuan yang benar. Positivisme menekankan pengalaman dan kehendak bebas. Pengalaman merupakan data inderawi yang bisa dibuktikan; jika bukan data inderawi maka tidak dapat dibuktikan sebagai fakta. Positivisme menolak teologi dan metafisika karena keduanya bersifat spekulatif dan preskriptif. Spekulasi bersifat non— sensikal dan preskriptif berlaku sebagai keyakinan begitu saja. 3.2 Positivisme dan Perkembangannya 3.2.1 Tahap 1: Positivisme Klasik Positivisme klasik dikembangkan oleh Comte terutama dalam bidang sosiologi untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan secara empiris. Comte bermaksud memperlihatkan bahwa perubahan sosial yang adil harus diletakkan pada analisis yang menggunakan metode positif sebagaimana yang digunakan oleh ilmu-ilmu alam sehingga hasilnya dapat dipercaya dan diterima dalam melakukan perubahan sosial. Comte menjelaskan masyarakat dalam tiga tahapan: teologis, metafisis, dan positif. Tahap teologis menandai cara berpikir masyarakat yang menjelaskan realitas sosial menurut konsep-konsep teologis sehingga perubahan sosial selalu dikaitkan dengan ajaran agama. Tahapan teologis ke metafisis menunjukkan usaha manusia untuk menjelaskan realitas sosial menurut konsep-konsep filosofis yang abstrak, spekulatif, dan universal. Tahapan tertinggi dalam perubahan sosial dicapai dalam masyarakat yang berpikir secara positif (kehendak manusia yag memutuskan bertindak sesuai dengan kenyataan empiris/baik secara empiris bukan secara moral). Menurut Comte, analisis perubahan sosial mengharuskan penggunaan metode yang menekankan fakta sebagai titik tolak, karena syarat perbaikan sosial adalah pengalaman empiris yang menjamin 1
kepastian dalam pelaksanaannya secara cermat. Comte mendorong positivisme dijalankan dengan dua metode, yaitu metode positif (pengamatan, perbandingan, eksperimen dan berlaku bagi ilmu alam) dan metode historis (hukum-hukum yang menguasai perkembangan gagasan-gagasan dalam mayarakat dan berlaku dalam ilmuilmu sosial). 3.2.2 Tahap II: PositivismeEmpiris E. Mach dan R. Avenarius mengembangkan positivisme sebagai sebuah metode positif yang semakin meninggalkan ciri positivisme klasik yang secara formal menekankan objek-objek nyata objektif. Avenarius berpendapat bahwa filsafat ilmu pengetahuan harus dikaitkan dengan definisi murni deskriptif mengenai pengalaman yang berarti bahwa pengetahuan ilmiah harus dibebaskan dari metafisika dan materialisme. Mach menekankan definisi deskriptif atas pengalaman sebagai pengetahuan ilmiah dan bukan pengalaman begitu saja. Keduanya mengembangkan metode positif yang menolak materialisme dan fisika Newton, mereka membuka jalan bagi hadirnya teori relativisme Einstein. Mereka menekankan pada fenomenalisme (sensasi sebagai pengalaman yang nyata). Sebelum positivisme logis, muncul aliran atomisme logis, yaitu hubungan antara bahasa dan kenyataan. Penekanan atomisme logis pada logika formal menyatakan posisi dasar pemikiran Russell dan Whitehead tentang positivisme sebagai formalisme, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa angka atau bentuk matematis bukanlah kenyataan empiris, melainkan model untuk menjelaskan kenyataan empiris. Supaya bahasa dapat menjalankan fungsinya, yaitu menjelaskan kenyataan, prinsip fundamental yang harus dikuasai oleh ilmuwan adalah menguasai logika dan matematika sebagai bahasa formal yang dapat digunakan sebagai model untuk menjelaskan makna realitas dalam kalimat logis, yakni proposisi-proposisiatomik. 3.2.3 Tahap III: PositivismeLogis Positivisme logis dikaitkan dengan tokoh-tokoh Lingkaran Wina seperti Neurath, Carnap, Frank. Positivisme logis merupakan pandangan mengenai ilmu pengetahuan yang dikaitkan dengan dua tradisi filsafat, yakni empirisme-positivisme dan logika. 2
Aliran ini merupakan kritik terhadap atomisme logis yang cenderung mengembangkan positivism sebagai formalisme yang secara langsung atau tidak
langsung membuka
ruang kembalinya metafisika. Posisi dasar positivism logis adalah pembuktian makna secara empiris: apakah sebuah klaim mengenai kenyataan yang diungkapkan dengan bahasa formal (logis dan matematis) dapat diverifikasi atau dikonfirmasi. Dalam positivism logis, formalisme dalam bentuknya sebagai logika, matematika, metafisika bersifat nonsense.
3.3 Kekhususan Positivisme Logis 3.3.1
Aposteriorisme Pengetahuan berasal dari pengalaman tentang sesuatu yang sudah terjadi.
3.3.2
Eksplanasi Deduktif-Nomologis Metode positivisme logis yang dikembangkan dalam penelitian ilmiah sebagai metode yang menjamin kesatuan ilmu pengetahuan. Eksplanasi adalah pengalaman empiris atau fakta tidak dapat dipakai begitu saja.
3.4 Siklus Empiris: pendekatan ilmiah yang mengembangkan positivisme logis: 1. Metodologi de Groot: observation, induction, deduction, testing, evaluation. 2. Metodologi Wallace: informasi dan metodologi. Informasi: hipotesis pengujian hipotesis, keputusan menerima atau menolak hipotesis, generalisasi empiris, logika penarikan kesimpulan. Metodologi: pengamatan, pengukuran dan perkiraan parameter, pembentukan konsep dan penyusunan preposisi, teori, deduksi nomologis, penjabaran instrumentasi-pembentukan skala-penentuan sampel. 3. Positivisme Logis: observasi, hukum universal, teori, hipotesa.
3.5 Kritik Terhadap Siklus Empiris: 3.5.1
Metode empiris tidak baru sama sekali -
Aristoteles adalah pemula metode pengetahuan empiris yang kemudian dikembangkan oleh para filsuf Islam (Arab) dan Kristen (Eropa).
3
3.5.2
Kelemahan-kelemahan siklus empiris -
Kebenaran pengetahuan hanya ditentukan melalui tinggi rendahnya probabilitas karena didasarkan pada verifikasi sehingga kemungkinan untuk
menjelaskan
pengetahuan
ilmiah
sampai
pada
tingkat
pemahaman menjadi tidak penting -
Hilangnya aspek intuisi (sebagai cara mengenal kebenaran ilmiah secara langsung) dalam pengetahuan karena observasi hanya mengumpulkan dan mengelompokkan data
-
Penggantian hegemoni metafisika dengan hegemoni metode induktif sebagai satu-satunya cara memperoleh pengetahuan ilmiah
-
Kontingensi, relativitas dan historisitas pengetahuan disingkirkan dari metode ilmiah karena tidak bisa dijelaskan menurut hubungan sebabakibat
Catatan Kritis Koento Wibisono terhadap Positivisme Comte Pandangan positivisme membatasi kenyataan hanya pada sesuatu yang dapat terjangkau panca indera. Padahal kenyataan tidak hanya terbatas pada apa yang dapat dijangkau oleh panca indera saja. Ada kenyataan yang meskipun tidak dapat dijangkau oleh panca indera namun tetap ada, seperti nilai, moral, kesadaran, dan lain sebagainya. Dengan demikian, positivisme belum dapat menjelaskan dan menyentuh kenyataan secara komprehensif. Selain membatasi kenyataan, positivisme juga telah mereduksi manusia dan alam. Positivisme hanya mampu melihat manusia sebagai sekumpulan daging. Positivisme tidak mampu menjangkau aspek-aspek sujektifitas manusia seperti kesadaran, perasaan dan kehendak dalam kehidupan eksistensial manusia. Selain itu, positivisme juga tidak mampu menghayati manusia dalam hakikatnya yang “monopluralistik”, yaitu kesatuan atau keutuhan organik dariunsur-unsur dan taraf-tarafnya yang fisik-kimiawi, vegetatifbiologis, dan berakal-berasa-berkehendak. Unsur-unsur yang menyusun keutuhan manusia tersebut tidak dapat direduksi hanya menjadi salah satu unsur saja. Positivisme terlalu deterministik dan naturalistik dalam memandang proses perkembangan. Positivisme mengasumsikan bahwa perkembangan manusia terjadi 4
sebagaimana perkembangan ilmu pengetahuan yang berjalan linier, progresif dan niscaya. Pandangan terhadap perkembangan manusia, baik secara keseluruhan maupun individual yang bermula dari tahap teologis kemudian melalui tahap metafisis untuk kemudian menuju tahap positifis, berasal dari pandangan bahwa manusia hanyalah bagian dari alam yang berkembang karena hukum alam. Dalam setiap tahap perkembangannya, pikiran dan mental manusia seolah-olah sudah ditentukan oleh suatu keadaan tertentu yang ada dalam tiap-tiap tahapan. Dengan kata lain, pandangan ini meniadakan salah satu unsur yang menyusun manusia, yakni unsur kesadaran, perasaan dan kehendak. Akibatnya, manusia seakan tidak mempunyai kuasa atas dirinya, dan hanya sekedar menjadi objek bagi hukum alam. Dengan demikian, keutuhan manusia dalam hakikat “monopluralistiknya” menjadi tereduksi.
5