Nur Imamiati 1165030143/4-D Laporan Mingguan (Asy-Ariyah)
ASY’ARIYAH adalah madzhab dalam bidang akidah (teologi). Sebagaimana disiplin ilmu lainnya yang memiliki imam, asy’ariyah memiliki imam yang bernama al-Imam Abu al Hasan al-Asy’ari (873 – 947 M). Beliau seorang ahli kalam, alim, zahid Ahlus Sunnah wal Jam’ah yang berasal dari suku Asy’ari – suku yg berasal dari sebuah daerah di negeri Yaman. Ia pernah diasuh oleh tokoh Mu’tazilah, Ali al Jubbai, namun beliau akhirnya balik mengkritik kekeliruan-kekeliruan tokoh mi’tazilah. Dan menjadi rujukan ulama dalam menghadapi mu’tazilah. Imam Asy’ari dikenal mengkritik mu’tazilah dengan logika-logika mu’tazilah. Dengan pertolongan Allah beliau berhasil mematahkan hujjah mu’tazilah dengan rasional tanpa keluar dari syariat. Metode Imam Asy’ari lalu diikuti banyak ulama besar di kemudian hari. Hingga beliau diberi gelar “mujaddid” (pembaharu) karena dinilai berhasil mengalahkan dominasi pemikiran mu’tazilah. Banyaknya ulama yang mengikuti imam Asyari dalam metodologi akidah adalah karena beliau berhasil mematahkan mu’tazilah dengan tetap menyeimbangkan antara naql (teks agama) dengan aql (akal) secara adil. Kaidah tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah yaitu “taqdiimul naql alan naql” (mendahulukan teks atas akal). Sehingga beliau berjasa atas perjuangan para ulama sebelumnya yang menghadapi mu’tazilah. Hingga akhirnya para tokoh awal madzhab Hanbali mengikutinya karena dianggap berjasa meneruskan perjuangan imam Ahmad bin Hanbal dalam memerangi mutazilah. Meski metodenya berbeda. Dasar-dasar madzhab Asy’ari mengikuti ijma ulama yaitu al Qur’an, Hadis, ijma dan akal. Madzhab Asy’ari juga bertumpu pada al-Qur’an dan al-sunnah. Mereka teguh memegangi alma’sur. ”Ittiba” lebih baik dari pada ibtida’ (Membuat bid’ah). Dalam mensitir ayat dan hadist yang hendak di jadikan argumentasi, kaum Asy’ariah bertahap, yang ini merupakan pola sebelumnya sudah di terapkan oleh Asy’ariah. Biasanya mereka berhati-hati tidak menolak penakwilan sebab memang ada nas-nas tertentu yang memiliki pengertian sama yang tidak bias di ambil dari makna lahirnya, tetapi harus di takwilkan untuk mengetahui pengertian yang di maksud. Kaum Asy’ariah juga tidak menolak akal, karena bagaimana mereka akan menolak akal padahal Allah menganjurkan agar umat Islam melakukan kajian rasional. Pada prinsipnya kaum Asy’ariah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang di lakukan kaum mu’tazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan menempatkan akal di dalam naql (teks agama). Akal dan naql saling membutuhkan.naql bagaikan matahari sedangkan akal laksana mata yang sehat.dengan akal kita akan bias meneguhkan naql dan membela agama. Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah: a. Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain. b. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada. c. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan dan lain-lain.
Pemikiran-pemikiran Al-Asy'ari yang terpenting adalah berikut ini : 1. Tuhan dan Sifatnya. Perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah atak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-Asy'ari di hadapkan dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok mujasimah dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain esensinya. Adapun tangan , kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara arfiah, melainkan secara simbolis (berbeda dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-as'ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat di bandingkan dengan sifatsifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi-sejauh dengan menyangkut realitasnya (hagigah) tidak terpisah dari esensinya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya. 2. Pelaku Dosa Besar Terhadap dosa besar, agaknya Al-Asy'ari, sebagai wakil ahl As-Sunnah, tidak mengafirkan orang-orang sujud ke Baitullah (ahl Al-Qiblah) walaupun malakukan dosa besar, seperti bercina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika dosa besarnya dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir. Adapun balasan di akhirat kelak pelaku dosa besar apabila ia meninggalkan dan tidak dapat bertaubat, maka menurut Al-asy'ari, hal itu bergantung pada kebijakan tuhan yang maha berkehendak Mutlak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa itu mendapat syafaat nabi Saw, sehingga terlepas dari siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun begitu, ia tidak akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir lainnya. Stelah penyiksaan terhadap dirinya selesai, dia akan di maksudkan ke dalam surga. 3. Iman dan Kufur Agak pelik untuk memahami makna iman yang di berikan oleh Abu Al-Hasan Al-Asy'ari sebab, di dalam karya-karya seperti Maqalat, Al-Ibanah, dan Al-Luma, ia mendefinikan iman secara berbeda-beda. Dalam Muqallat dan Al-Ibanah di sebutkan bahwa iman adalah qawl dan amal dan dapat bertambah dan serta berkurang. Diantara defenisi iman yang diinginkan AlAsy'ari di jelaskan oleh Asy-Syahrastani, salah seorang teolog Asya'irah. Ia menulis: Al-Asy'ari berkata: Iman secara esensial adalah tashdiq bin al-janan membenarkan dengan kalbu. Sedangkan "mengatakan" (qawl) dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bi al-arkan) hanyalah merupakan furu cabang-cabang iman. Oleh sebab itu, siapapun yang membenarkan ke Esaan Tuhan dengan kalbunya dan membenarkan utusanya serta apa yang mereka bawadarinya, iman orang semacam itu merupakan iman yang sahih dan keimanan seorang tidak akan hilang kecuali jika ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut. 4. Perbuatan Tuhan Menurut aliran Asy-ariyah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik manusia, sebagaimana dikatakan kaum mu'tazilah, tidak dapat di terima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlah Tuhan. Hal ini di tegaskan Al-Ghazali ketika mengatakan bahwa tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dengan demikian Tuhan dapat berbuat dengan sekendak hati-Nya terhadap makhluk. Sebagai mana di katakan Al-Ghazali, perbuatan bersifat tidak wajib (ja'iz) dan tidak satupun darinya yang mempunyai sifat wajib.