Politik Stempel Karet

  • Uploaded by: Amir Khan
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Politik Stempel Karet as PDF for free.

More details

  • Words: 1,677
  • Pages: 6
POLITIK STEMPEL KARET Amir Hamzah Menjadi tukang buat stempel karet diam-diam memiliki posisi yang sangat strategis dalam mata rantai sistem korupsi di Indonesia, merekalah yang paling menentukan dalam tingkat legitimasi pengesahan sebuah laporan pertanggungjawaban (LPJ) Mungkin saja mereka tidak menyadari betapa sakti stempel karet yang telah mereka buat dengan harga yang relatif murah tetapi mampu menggelapkan uang negara milyaran bahkan trilyunan. Mari kita ambil contoh yang sederhana dan yang paling kasat mata yaitu Bantuan Oprasional Sekolah (BOS) karena sungguh sulit berbicara dana RAPBN, BLBI, BUMN, cadangan devisa, hutang luar negeri, investasi dan setingkatnya kalau belum memiliki rambut yang berwarna-warni seperti Miranda Gultom atau belum sekaliber Srimulyani mentri ekonomi yang paling keras menentang kebijakan pemerintah sebelum menjabat jadi ibu mentri. Bantuan Operasional Sekolah yang diluncurkan beberapa tahun yang lalu betul-betul terobosan yang paling spektakuler dalam sejarah pendidikan di Tanah Air, betapa tidak sekolah-sekolah yang berada di tempat yang hampir tidak pernah terdengar saja bisa mendapatkan bantuan langsung tanpa melalui jenjang birokrasi yang terkenal paling panjang urusannya dan yang paling dasyat jumlah uangnya tidak tanggung-tanggung untuk ukuran orang-orang udik, sehingga pertama kali mendengar kabar tentang BOS hampir tidak bisa membayangkan tentang bagaimana nanti cara untuk menngelapkannya. Barangkali itu pikiran yang paling berdesakan dan hendak melompat dari tempurung kepala para pelaksana lapangan ketika dana BOS betul-betul terealisasi. Kontan jabatan kepala sekolah menjadi posisi yang paling menggiurkan daripada menjadi kepala pos atau ketua RT. Gayungpun bersambut, BOS betul-betul diluncurkan, sekolah-sekolah menyambut dengan gembira seolah pesta panin besar ketika sawah-sawah dipenuhi oleh padi yang menguning, harapan akan kemajuan dan kemakmuran pendidikan bagi masyarakat sebesar harapan petani terhadap biji padi yang bertul-betul berisi dan masak. Berbagai iklan layanan masyarakat ditayangkan untuk memberikan informasi yang transparan dan terbuka dengan agar masyarakat tahu persis tentang bagaimana seharusnya aliran itu bisa sampai ketangan yang berhak. Administrasi diatur sedemikian rupa untuk menghindari kecurangan yang biasanya hanya dilakukan di tingkat elit baik pusat maupun

daerah. Dana BOS hanya bisa dicairkan oleh kepala sekolah dan bendahara sekolah, lebih dari itu tidak bisa karena rekening di bank harus ditulis sesuai nama SK kepala sekolah dan bendaharanya—pendek kata siapapun tidak boleh, mengingat sitem kerja bank yang betul-betul melindungi dan menjamin integritas nasabahnya. Uang rakyat berjumlah trilyunan siap diglontorkan dalam tiap tahun anggaran. Bagaimanakah nasib BOS di tangan birokrasi? Tidak mungkin jadi politisi atau birokrasi kalau tak pandai menipu, bagaimana tidak jabatan seberat itu hanya dijejali oleh orang-orang yang sama sekali tak jelas latar belakang keilmuannya tetapi sudah memiliki gelar berhimpit di depan dan belakang namanya, kadang masih ditambah dengan singkatansingkatan yang semakin membuat orang awam terheran-heran, salah satu penyakit yang sedang menjakiti orang-orang birokrasi kita; suka pasang gelar tanpa pertimbangan! Tak diragukan lagi aliran dana BOS yang cair tiap bulan menjadi incaran siapapun di level pengelola dari tingkat yang paling rendah yaitu kepala sekolah sampai ketingkat birokrsasi di kator dinas pendidikan. Terang saja aliran ini menjadi salah salah satu manifestasi kongkalikong yang paling bisa dipastikan waktu pencairannya. Segala macam upaya diusahakan untuk mencari celah keuntungan, seperti gurita yang semakin tak terhitung jumlah tentaklenya. Misalnya saja penggelembungan jumlah murid, sekolah-sekolah fiktif di bawah yayasan yang tidak jelas akte pendiriannya sampai pada manipulasi data belanjaan yang berbentuk laporan pertanggungjawaban. Semua diatur dalam sebuah sistem yang terkontrol yang disebut dengan “korupsi berjemaah”. Sistem kerja korupsi berjemaah ala BOS Kalau membodohi orang yang tolol itu biasa dan lumrah, orang tolol cukup disuguhi cerita horor atau kualat tujuh turunan dan kutukan dari langit sudah cukup, yang tidak biasa adalah membodohi orang pintar! Luar biasa, ini baru prestasi yang pantas mendapatkan perhargaan layak seperti baru lulus dengan cum laude di jurusan teknik nuklir. menakjubkan, semua terjadi dengan terang-terangan tanpa tirai sedikitpun, semua orang tahu bahwa dana BOS sudah bengkok 180 derajat, betul-betul pertunjukan etika yang tidak pantas dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami krisis kepercayaan. Pertanyaannya, kenapa kok tidak ada tindakan, sepi seolah tak terjadi apa-apa? Inilah masalahnya.

Sistem kerja korupsi berjemaah ala BOS memang pantas dijadikan model percontohan yang nyata dari adat ketimuran yang dikenal dengan “gotongroyong”. Sebuah pola kerja yang memang menjadi semangat hidup bangsa indonesia yang tidak terlalu senang dengan paham individualis. Dinas pendidikan dengan sigap segera membentuk jaringan kerja yang bertugas membedung produktifitas manajemen berbasis sekolah yang menjiwai semangat otonomi pendidikan, sehingga sekolah yang paling canggih sekalipun kerja manajemennya tetap akan kandas di level assesmen orang dinas. Kemudian ada tim khusus yang bekerja secara profesional untuk memanipulasi laporanpertanggungjawaban dengan catatan mendapatkan royalti atau lebih tepatnya setoran upeti dari sekolah secara rutin dengan jumlah yang sudah ditentukan. Kabarnya praktik seperti ini tidak hanya terjadi di daerah-daerah saja, bahkan di kota besar justru lebih ganas, sekolah tidak murah adalah motto yang menyebabkan anak-anak harus terjun kejalan menjadi sampah masyarakat karena orang tuanya tidak memiliki biaya untuk membayar pendidikan. Manisnya janji pendidikan gratis hanya tinggal kenangan ketika eforia kampanye sampai ke kampung-kampung. Sebuah pelajaran politik praktis yang konyol bahwa masyarakat kita mudah ditipu dan mudah percaya dengan bualan, mungkin mental ini memang menjadi kutukan tujuh turunan sejak jaman penjajahan atau kita belum merdeka sama sekali, hanya saja yang menjajah sekarang bukan kompeni tetapi orang pribumi sendiri. Stempel Karet Benda ini sangat berjasa dan menjadi salah satu yang paling penting dalam melancarkan legitimasi korupsi kecil-kecilan yang mewabah di negeri ini karena aturan mainnya asal ada bukti kwitansi pembayaran, selesai urusan. Jangan kaget kalau di dinas pendidikan ada jabatan baru sebagai tukang jahit laporan pertanggungjawaban dengan peralatan yang sangat sederhana, sekeranjang stempel karet yang bentuk dan ukurannya bermacam-macam, capnya pun beraneka ragam, mirip toko kelontongan yang menjual beraneka ragam barang dan jasa. Ada beberapa yang memang meniru milik toko-toko yang terkenal di wilayah masing-masing tetapi tidak sedikit yang fiktif alias palsu. Sebuah pola kerja yang sama sekali tidak canggih tetapi sangat efekti f untuk urusan tipu-menipu dan sekali lagi sebuah tontonan yang membosankan ditengah-tengah semangat transparansi dan reformasi di segala bidang. Ini hanya soal perubahan sistem dan pola korupsi yang sebenarnya tidak beranjak

dari bentuknya yang paling primitif yaitu menggelapkan uang rakyat. Hanya saja kalau jaman dulu (baca: Orba) korupsi dilakukan oleh orang-orang yang memang memiliki posisi yang memungkinkan, tetapi sekarang korupsi dibudidayakan dan beranak-pinak sampai pada level yang paling rendah dan tempat-tempat yang seharusnya menjadi lahan penanaman moral bagi anakanak penerus republik ini. Sekolah menjadi salah satu tempat yang tidak lagi steril dan secara sengaja memberikan pengaruh buruk kepada kepribadian anakanak di masa yang akan datang. Bukankah guru itu digugu dan ditiru? Kalau gurunya kencing berdiri maka muridnya kencing berlari. Sudah jarang kita mendengar jargon “guru hanya bisa korupsi kapur” meskipun para guru tetap tidak beranjak dari posisinya sebagai kambing hitam atas amburadulnya sistem yang dijalankan oleh pemerintah, apalagi otonomi daerah yang nyata-nyata melahirkan raja-raja kecil di lingkungan pemerintahan. Para guru mungkin malu dengan prilaku kebanyakan kepala sekolahnya karena bagaimanapun mereka ada dalam sistem kerja sebuah lembaga yang berlambang tut wuri handayani itu. Mungkin saja guru mendapatkan bagian dari dana BOS yang dikelola oleh sekolah tetapi tentu tidak dengan gratisan, di samping jumlahnya yang tidak sebarapa pengaturannyapun seketat ikat pinggang. Dalam hal ini guru sama sekali tidak berdaya, pernah suatu ketika seorang guru yang sok pahlawan melaporkan kepala sekolahnya ke dinas pendidikan karena korupsi yang dilakukan kepala sekolahnya sudah tidak terkendali tetapi bukannya dipuji karena keberaniannya melebihi pasukan TNI di perbatas Ambalat malah disemprot oleh kepala dinasnya dan yang lebih memprihatinkan, pahlawan kesiangan kita ini karir kedinasannya tetap jongkok. Komunikasi psikologis Sekolah adalah sebuah lembaga yang sangat unik, sistem kerja yang diterpkan lebih mendekati hubungan antara orang tua dan anak, kakak beradik atau teman seperjuangan. Semua dilandasi oleh hubungan emosional yang tulus dan akrab bukan seperti mandor dan buruh atau atasan dan bawahan, komandan dan anak buah, pendek kata sekolah adalah manifestasi dari sebuah keluarga besar yang harmonis. Komunikasi psikologis lebih doninan daripada komunikasi verbal dalam linkungan yang menjadi pusat dari agen perubahan dalam tatanan kehidupan manusia. Tetapi sayang keadaan itu lambah laun tergerus oleh sebuah sistem yang sebenarnya diharapkan menjadi penopang keberlangsungan hidup sekolah, terutama yang berada jauh di pelosok.

Para guru sekarang mulai belajar menngerutu dan tidak ikhlas dalam menjalankan tugasnya, beberapa menjadi pemalas dan sering melakukan class action menuntut kebijakan yang lebih transparan dan beradab. Mungkin kerena meraka hampir tidak kebagian jatah tetapi selalu menjadi sasaran omelan masyarakat karena dana BOS sama sekali tidak membantu meringankan beban mereka untuk menjadikan anak-anaknya tidak buta hurup seperti orangtuanya. Tidak seperti kepala sekolah yang memiliki kewenangan mutlak seperti raja karena memang dilindungi oleh sistem kongkalikong, taraf kehidupan mereka mulai berubah lambat laun menjadi kaum borjuis kelas kampungan, ada beberapa yang sudah berani memakai roda empat sekedar ingin menunjukkan dominasi kekuasaanya dan membuat garis perbedaan yang jalas antara guru dan kepala sekolah. Keintiman yang diharapkan terjalin dan dibangun berdasarkan rasa saling menghormati dan profesionalisme menjadi barang langka yang susah sekali ditemukan di sekolah-sekolah karena tergerus oleh keadaan yang saling mencurigai dan saling menuding antar guru dan kepala sekolah. Dalam hal ini para guru sering berada dalam posisi yang lemah sebagai tumpuan kesalahankesalah karena kepala sekolah sering mendapat semacam pembelaan dari atasan, misalkan saja para pengawas yang semestinya menjadi supervisor dan memberikan arahan-arahan kepada kepala sekolah untuk memperbaiki kinerjanya agar menjadi lebih baik dan bukan mengumpulkan guru untuk diberi pembinaan yang tidak jelas duduk permasalahannya. Garis komando kedinasan dalam hal ini menjadi kabur dan saling menginterfensi, keadaan ini sebenarnya disebabkan karena pengawas tidak memiliki bahan yang cukup untuk melakukan supervisi kepada kepala sekolah karena mereka sudah disuap dalam setiap pencairan dana pendidikan. Sudah menjadi pengetahuan jamak bahwa pengawas datang ke sekolah hanya untuk minta bagian. Praktik-praktik kotor semacam ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, evalusi secara menyeluruh harus dilakukan sehingga memberikan solusi yang dapat mengartasi permasalahan. Pihak-pihak yang berwenang dalam melakukan perngawasan harus tegas dalam memberikan sangsi kepada para pelaku yang terbukti secara sah melakukan penyelewengan dana yang paling srategis dalam menentukan arah bangsa kedepan. Jika pendidkan bangsa ini memiliki kualitas yang baik maka tidak ada alasan untuk menempatkan tingkat kompetensi Indonesia termasuk yang rendah di wilayah Asia Tenggara dan bukan dengan pemberlakuan standar kelulusan nasional yang kontrofersi. Komunikasi psikologis

harus terbangun kembali dan moralitas para pendidik harus menjadi tauladan bagi setiap peserta didik.

Penulis adalah guru SDN Pulau Mandangin Sampang Sedang menyelesaikan studi S2 di Universitas Negeri Malang

Related Documents

Politik Stempel Karet
May 2020 19
Stempel Legalisir.docx
April 2020 15
Stempel Sbar.xlsx
May 2020 4
Politik
November 2019 41
Politik
June 2020 29
Politik
April 2020 29

More Documents from ""