Ternyata Guru SD di Indonesia Jauh Lebih Sejahtera Oleh: Amir Hamzah
Dalam usaha meningkatkan kualitas guru sekolah dasar di Indonesia, Dinas Pendidikan Jawa Timur bekerja sama dengan Universitas Negeri Malang membuka program S-2 PGSD yang dikirim ke Universitas Atenio de Naga di Philipina. Sebuah program baru pertama kali di buka dan hanya satusatunya di seluruh Indonesia. Setelah melalui proses seleksi dan pengurusan prosedur keimigrasian yang cukup panjang, beberapa waktu yang lalu sebanyak 20 mahasiswa yang terpilih telah bertolak ke Philipina melalalui acara pelepasan oleh Kepala Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Timur. Dalam melaksanakan studinya para mahasiswa selain mendapatkan pembekalan di dalam kampus juga di terjunkan ke lapangan untuk melakukan observasi langsung ke sekolah-sekolah dasar, baik yang berstatus negeri (public elemntary school) maupun sekolah-sekolah swasta (private elementary school). Observasi dilakukan dalam rangka memahami system manajemen sekolah dan pembelajarannya secara objektif dan akurat kemudian hasil observasi yang dilakukan diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan dengan system pendidikan dasar yang ada di Indonesia. Selama malakukan observasi di lapangan, secara umum tidak ditemukan sesuatu yang istimewa atau berlebihan daripada sistem pendidikan yang ada di Indonesia, hampir semua yang diterapkan di sekolah dasar sama saja kecuali penggunaan bahasa Inggris yang lebih menonjol karena digunakan
dalam pelajaran science dan matematika sedangkan pelajaran bahasa Inggris sendiri termasuk dalam pelajaran pokok, tidak seperti di Indonesia yang hanya dijadikan mata pelajaran dalam muatan local. Itupun masih banyak sekolah yang tidak mampu melaksanakan karana berbagai hal, terutama guru sekolah dasar yang tidak menguasai materinya. Hal tersebut memang masih menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia di masa yang akan datang. Mengingat pentingnya pembelajaran bahasa Inggris sejak dini, tampaknya sudah saatnya pemerintah Indonesia membuat suatu terobosan baru dalam mengatasi permasalahan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah, khususnya sekolah yang berada di pelosok. Jika dicermati sampai saat ini keberhasilan kurikulum pelajaran bahasa Inggris di sekolah yang masih diwajibkan di tingkatan sekolah menengah pertama (SMP) hingga sekolah menengah atas (SMA) masih belum menunjukkan hasil yang menggembirakan, selama enam tahun anak belajar bahasa Inggris hanya sebatas memperoleh nilai di raportnya saja belum memberikan nilai manfaat yang besar bagi kehidupannya setelah terjun di masyarakat. Indikatornya bahwa bahasa Inggris di Indonesia masih menjadi sesuatu yang sulit dan tidak banyak yang mampu mengunakan dalam kehidupan sehari-hari, tidak seperti di negara-negara lain. Di philipina misalnya, hampir semua kalangan masyarakat bisa menggunakan bahasa Inggris praktis dalam kehidupan sehari-hari, hal tersebut membuktikan keberhasilan pemerintah Philipina dalam menerapkan system pembelajaran bahasa Inggris kepada masyarakatnya. Di Philipina bahasa Inggris sudah menjadi the second
language setelah bahasa nasional tagalong. Yang sangat menarik adalah mengenai kesejahteraan guru baik sekolah dasar sampai perguruan tinggi di Philippina tampak tidak begitu bagus. Tidak terlihat pola hidup yang berlebih sebagimana di Indonesia yang sudah banyak memakai kendaraan mewah dengan berbagai fasilitas yang bagus, minimal sepeda motor keluaran terbaru. Jika hanya dilihat sepintas saja, gaji guru di Philipina memang lebih tinggi jika dibandingkan dengan gaji guru di Indonesia, untuk guru yang baru diangkat dengan kualifikasi sarjana sudah memperoleh bayaran sekitar 12.000 peso ekuivalen dalam rupiah kurang lebih Rp. 3.000.000 belum dipotong biaya asuransi, sedangkan guru yang baru diangkat di Indonesia masih memperoleh bayaran kurang dari dua juta setiap bulannya. Namun demikian, guru-guru di Indonesia tidak perlu berkecil hati karena sebenarnya guru di Indonesia jauh lebih sejahtera sebab semua barang kebutuhan pokok di Philipina harganya lebih mahal daripada di Indonesia. Semisal untuk membeli satu liter bensin di Philipina harus membayar sekitar 40,55 peso atau sekitar 10.150 rupiah, harga satu liter solar sekitar 36,50 peso atau sekitar 9.125 rupiah, belum lagi untuk kebutuhan pokok yang juga tergolong sangat mahal, misalkan untuk 1 kg beras kualitaas rendah seharga 40 peso atau sekitar Rp. 10.000 untuk satu kali makan dalam ukuran yang amat sederhana harus membayar sekitar 12.500 rupiah. Dapat dibayangkan betapa bersukyurnya jadi guru di Indonesia yang masih banyak mendapatkan subsidi dan tunjangan yang berlebih dari pemerintah, hanya
saja kadangkala guru-guru di Indonesia kurang bersyukur dan menuntut macam-macam, bayangkan saja jika benar sertifikasi itu nantinya direalisasikan, maka berapa basar uang negara yang akan tersedot untuk kepentingan ‘perut para guru’. Kalau saja diikuti oleh kinerja yang maksimal mugkin saja itu baik, tetapi pada kenyataanya masih jauh harapan. Apa tidak sebaiknya dana APBN yang sangat besar bagi pendidikan lebih dialokasikan kepada peremajaan fasilatas fisik dan peningkatan sarana dan prasarana pendidikan yang lebih modern, peningkatan mutu guru dengan membekali keterampilan-keterampilan baru yang akan menunjang profesionalitasnya semisal program pertukaran mahasiswa ke luar negeri yang dilakukan pemerintah Jawa Timur melalui dinas propinsinya atau program lain yang lebih mengutamakan skill daripada hanya membuang dana tanpa hasil yang jelas. Kadang perlu disesali bagaimana arogansi birokrasi Indonesia menghabiskan dana yang tidaksedikit hanya untuk kepentingan yang sama sekali tidak efisien. Contoh yang paling sering digunakan dalam banyak tulisan cetak maupun elektronik tentang penghamburan dana pemerintah untuk membeli kendaraan dinas yang mewah padahal para pejabat yang menggunakan kendaraan tersebut tidak sedikit kendaraan pribadinya. Dalam dunia pendidikan di Indonesia, yang masih berlangsung sampai saat ini tentang pelaksanaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang semakin hari semakin amburadul, bagaimana mungkin penggunaan uang rakyat yang begitu besarnya berlangsung tampa kendali justru terjadi di depan mata kita sendiri. Kenapa
justru para prilaku pendidik (pengajar?) sendiri memberikan contoh prilaku moral yang tidak dedikatif sementara mengajarkan tentang pentingnya moral kepada anak didiknya. Penggelontoran dana BOS yang tidak terkendali seperti sekarang ini betul-betul merusak sendi-sendi pendidikan di Indonesia, kecemburuan social tidak hanya tejadi dalam lintas sosial di luar sekolah bahkan di dalam lingkungan sekolah pun sering muncul iklim yang tidak sehat antara pemegang kendali (stick holder) dengan bawahannya yang sering kali tidak terakomodasi kepentingannya. Hal tersebut terjadi karena lemahnya control yang diterapkan dalam menegakkan aturan main yang telah ditetapkan bersama. Adanya BOS betul-betul merusak moral para pelaku pendidikan sampai pada tingkatan yang paling rendah, padahal guru adalah ujung tombak dari terbentuknya moral bangsa ini. Bagaimana mungkin akan tersampaikan pesan moral kepada anak didik kalau gurunya masih belum bisa mengatasi masalah moralnya sendiri ? Sebagaimana yang disampaikan Theresia Tirta bahwa seseorang yang menjadi panutan harus menunjukkan sifat-sifat yang baik dan bijaksana, karena dia dianggap sebagai pemimpin. Di kelas guru dianggap sebagai sumber ilmu pengetahuan. Sedang seseorang yang menjadi teladan diharapkan selalu memberikan contoh-contoh yang baik kepada masyarakat di sekitarnya, karena dia menjadi model di lingkungannya. Di kelas guru juga dianggap sebagai model dari kebenaran. (http://www.kambing.com.au/bahasaraya/brv1i5.html#ForPrimaryTeachers, diakses 27 November 2008)
Di Kota Naga, Philipina, yang masih sulit secara ekonomi, lapangan kerja belum merata, banyak pengangguran namun etos kerja gurunya jauh lebih
baik daripada bangsa Indonesia. Belum lagi proses perekrutan menjadi seorang guru SD saja dibutuhkan kualifikasi yang tidak sederhana, minimal mereka harus berijasah S-1 dan menguasai bahasa Inggris dengan baik, tanpa menguasai bahasa Inggris dengan baik maka tidak mungkin mereka bisa menjadi guru, karena memang tuntutan pelajaran matematika dan science yang berbahasa Inggris. Betapa murah dan mudahnya menjadi guru di Indonesia, cukup hanya ijasah diploma saja, itupun tidak sedikit yang karbitan dan yang jelas tanpa keterampilan yang memadai. Akhir-akhir ini banyak sekali tuntutan yang kadang tidak rasional kepada pemerintah yang masih kesulitan mengatasi masalah krisis ekonomi sejak meletusnya reformasi beberapa tahun yang lalu. Ada apa dengan bangsa Indonesia, apanya yang salah? Kapan berbuat untuk kepentingan bangsa dannegaranya? Kapan para guru mendedikasikan dirinya demi mencerdaskan kehidupan bangsa dana negara? Tampaknya kita memang harus belajar banyak ke negara lain yang semakin hari semakin meninggalkan bangsa Indonesia, sayang sekali jika bangsa yang besar ini semakin terpuruk karena kepicikan pola prilaku kita sendiri. Sekarang sudah saatnya bangsa Indonesia bangkit dari keterpurukannya dengan meninggalkan prilaku yang buruk. Gaji guru di Indonesia sudah cukup tinggi, belum lagi program sertifikasi yang mulai bergulir dan berbagai tunjangantunjangan lain yang berujung demi peningkatan kesejahteraan. Guru-guru di Indonesia harus belajar malu kepada dirinya sendiri dengan mendapatkan kesejahteraan dari uang rakyat jika tidakas diimbangi oleh profesionalitas
yang semestinya dikerjakan dalam mengabdikan ilmu pengetahuannya.
Penulis adalah Mahasiswa Atenio de Naga University Philippines asal Indonesia.