Jadi Guru Itu Harus Jujur “Guru dalam segala aktifitasnya merupakan peletak dasar bangunan moral bangsa” “di masa pembangunan, maka sebenarnya tiap-tiap orang harus menjadi pemimpin, menjadi guru. Pahlawan politik menjadi gurunya massa yang mendengarkan pidato-pidatonya dan mengikut pemimpin taktik perjuangnanya…” (Ir. Soekarno) Guru itu digugu dan ditiru, bukan hanya sekedar pepatah jika guru kencing berdiri maka murid kencing berlari, oleh karenanya suri tauladan guru seharusnya tidak hanya sekedar dihadirkan dalam sosok tokoh “Oemar Bakri” saja, tetapi sangat dibutuhkan untuk hadir sebagai pahlawan sungguhan yang akan membawa bangsa Indonesia menuju masyarakat yang cerdas dan berbudi pekerti luhur serta mampu bersaing dalam era global yang penuh tantangan. Tampaknya kata “guru” sengaja dipilih oleh Soekarno untuk mewakili tokoh yang dianggap mampu menempatkan moralitas bangsa ke dalam bangunan idiologis yang seharusnya, meskipun sampai saat ini setiap usaha yang mengarah kepada perbaikan moral masyarakat terutama moral para pejabat masih selalu berakhir nihil. Salah satu contoh, dalam dunia birokrasi di Indonesia kebiasaan sogok-menyogok, upeti-upetian, uang pelicin, untuk kepentingan administrasi dan apapun yang senada dengan semua itu masih dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Hal itu membuktikan bahwa mental para pelakunya masih jauh dari pekerti yang luhur. Contoh lain yang masih hangat dibicarakan saat ini adalah posisi Indonesia yang menempati rangking teratas sebagai negara paling korup di dunia, bahkan hasil penelitian tersebut menunjuk tiga lembaga yang dianggap menjadi sarang para koruptor, yaitu lembaga legeslatif, lembaga kejaksaan dan lembaga kepolisian negara. Ironis sekali, karena ketiganya merupakan lembaga yang seharusnya menjadi pilar tegaknya supremasi hukum. Di pihak lain para pejabat terus-menerus mengkhotbai masyarakat mengenai nilai-nilai luhur bangsa, kepribadian yang utuh, rela berkorban, kewajiban dan tanggung jawab, tentang kritik yang membangun dan sebagainya. Sayangnya, hal yang semacam itu berbanding lurus dengan kerusakan moral para pejabat itu sendiri, yaitu: korupsi yang semakin giat, penyalahgunaan jabatan yang dianggap biasa, skandal seks yang menghebohkan, penggunaan asset negara untuk kepentingan pribadi, kemunafikan yang dianggap loyalitas, serta sikap masa bodoh terhadap nasib masyarakat yang disuruh berbudi pekerti luhur tadi. Keadaan yang sudah parah itu tidak hanya terjadi dalam lingkungan lembaga pemerintahan saja, dalam dunia pendidikan yang seharusnya mencetak nilai-nilai moral bangsa juga tidak kalah arogannya. Semakin merosotnya kwalitas pendidikan mejadi indikator bobroknya sistem yang ada di dalamnya. Misalnya saja kasus jual-beli ijasah, kuliah sistim jarak jauh tanpa tatap muka, asal bayar bisa lulus yang akhirnya banyak melahirkan gelar salah alamat, sekedar pelengkap nama atau untuk gengsi-gengsian saja. Belum lagi kerusakan yang terjadi dalam lingkungan sekolah, seperti penggelapan uang bantuan sekolah, menjual asset sekolah tanpa prosedur yang semestinya, kasus jual beli soal, guru yang bermasalah dalam kedinasannya dan banyak lagi yang lainnya. Pertanyaannya, apakah para pejabat yang terkait tidak mengetahui hal tersebut? Justru karena kegiatan tersebut diketahui dengan jelas kemudian menjadi rahasia umum sehingga tidak ada keraguan bagi pelaku kecurangan dalam melakukan aksinya atau yang lebih dikenal dengan istilah korupsi berjemaah. Sangat sulit menemukan kemajuan dalam dunia pendidikan dalam situasi seperti sekarang ini, jika dahulu Indonesia sering menjadi tujuan pendidikan internasional, setidaknya tingkat Asia, maka sekarang yang terjadi justru banyak warga Indonesia mencari sekolah ke luar negeri. Jika ditelusuri lebih dalam maka akar permasalahannya terletak pada rendahnya moralitas bangsa hingga mencapai titik yang paling mengkhawairkan. Memang permasalahan yang menyangkut moralitas sangat rumit dan dilematis sebab moralitas akan menjadi kosong jika manusianya sering mengorupsi moral dalam memperlancar kepentingan-kepentingannya, cita-cita yang luhur dan tujuan yang terpuji hanya akan menjadi retorika jika budi pekerti, kejujuran dan kebaikan hanya dilaksanakan berdasarkan tingkat kebutuhan, lebih tepatnya tergantung pada situasi dan
kondisi. Kadang kala kejujuran dan kebaikan hanya dianggap milik orang suci atau yang bicara moral dianggap sok suci, urusan moral tidak pantas dibicarakan di tempat umum, tidak usah bawa-bawa nama agama dan banyak lagi alasan yang menjadi pembenaran untuk berprilaku bejat. Guru dalam segala aktifitasnya merupakan peletak dasar bangunan moral bangsa. Oleh karenanya, guru harus menjadi pelopor, suri tauladan bagi masyarakat, terutama anak didik sebagai penerus perjuangan bangsa. Prilaku yang mencerminkan pekerti luhur tidak hanya sebatas dalam lingkungan sekolah saja, lebih luas lagi dalam lingkungan masyarakat. Sebab tuntutan moralitas bukan hanya sekedar pernyataan yang didasarkan atas tuntutan norma, bahwa manusia hendaknya selalu bersikap jujur seperti yang diajarkan pancasila atau dalam tuntunan agama memang harus demikian, tetapi betul-betul menjadi budaya dalam prilaku hidup sehari-hari Selaku pendidik, guru memegang peranan penting dalam membentuk pribadi bangsa, terutama bagi para penerus yang akan menentukan wajah Indonesia di masa yang akan datang. Guru harus bisa membentuk pribadi-pribadi yang mempunyai moral dan intelektual yang siap menjawab semua tantangan kemajuan jaman yang bergerak semakin cepat. Sayangnya, peran tersebut sejauh ini tampak belum bisa optimal, yang banyak terjadi justru para guru lebih tertarik untuk mencari makan, mungkin gajinya tidak begitu cukup, ditambah banyaknya potongan-potongan, akhirnya terpaksa banyak guru yang mencangkul di luar lahannya untuk mencukupi kesejahteraannya. Tentu saja hal yang semacam ini sangat menguras energi akademik dan profesionalitasnya. Di samping masalah finansial yang serba kekurangan, masih banyak lagi masalah lain yang membebani tugas-tugas guru dan sekaligus memperkuat posisi guru sebagai kambing hitam atas tudingan masyarakat; bahwa pendidikan tidak berhasil karena gurunya loyo, tidak bisa mengajar dengan baik, sering meninggalkan tugasnya, gajinya sudah habis untuk kredit sepeda motor, kulkas atau kredit rumah dan banyak lagi yang lainnya. Masalah ini sebenarnya menyangkut lembaga yang menangani masalah kedinasan dan kesejahteraan guru, mulai dari tingkat yang paling rendah sampai pada tingkatan yang paling tinggi. Tampaknya niat pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan kurang serius, buktinya anggaran pendidikan dalam APBN masih di bawah anggaran lainnya, gaji guru di Indonesia sampai saat ini masih terendah jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Kembali kepada masalah moralitas, kemungkinan keadaan ini tidak semakin buruk jika para pejabat memiliki moral yang baik. Suka atau tidak masalah seperti ini selalu berputar dan berulang-ulang, sulit ditemukan ujung dan pangkalnya. Akibatnya masyarakat selalu curiga, memberikan cap kotor pada para pejabat, meskipun dengan segala upaya mengatasnamakan untuk kepentingan bangsa, demi cita-cita yang luhur untuk kepentingan bersama, dengan segala keteguhan hati. Masyarakat akan tetap menuduh sebagai munafik, omong kosong, kalau kekuasaan itu kotor, orang jujur seharusnya tidak perlu ada di dalamnya. Celakanya lagi pemahaman itu selalu menjadi pembenaran untuk ketidakjujuran berikutnya. Kalau kekuasaan itu kotor, dengan sendirinya tidak ada alasan untuk menuduh orang lain bermoral bejat. “kan semuanya berbuat begitu”, “semua orang sudah tahu sama tahu”, wajar dong!”. Akhirnya kalau kekuasaan, kedudukan, dan jabatan diperoleh dengan cara-cara yang sama sekali tidak mencerminkan kejujuran, maka akan muncul semangat “mumpung” sebagai kesempatan untuk memperkaya diri. Jika kenyataannya demikian, akan sulit memberantas dan menghilangkan budaya kotor tersebut, karena tidak berujung pangkal, seperti mata rantai yang tidak terputus dari lapis atas sampai yang terbawah. Menegakkan supremasi hukum seperti menegakkan benang yang basah dan cita-cita menciptakan masyarakat yang adil dan makmur hanya akan menjadi utopi balaka. Guru sebagai pembentuk moralitas bangsa sangat bertanggung jawab dalam menentukan wajah generasi penerus di masa yang akan datang. Hanya generasi yang bermoral tinggi dan bertanggung jawab yang mempunyai keberanian menegakkan yang benar dan meluruskan yang bengkok, tidak rakus popularitas, tidak ‘ngiler’ sanjungan dan mencari-cari nama baik. Guru harus mampu membentuk moralitas bangsa yang baik sebagai pondasi dalam bangunan struktur kehidupan masyarakat yang adil dan makmur,
sejahtera lahir dan batin. Karenanya guru yang baik tidak hanya sebatas menunaikan kewajiban mengajar saja, tetapi memperjuangkan cita-cita yang luhur sebagaimana yang telah diamanatkan Pancasila. Tentu perjuangan ini memerlukan pengorbanan dan konsekwensi tersendiri. Guru harus siap, meskipun harus termarginalisasi kesejahteraanya, guru harus tetap berupaya untuk jujur dalam segala perilakunya baik di dalam lingkungan sekolah maupun di dalam lingkungan masyarakat. Sebagai tauladan bagi murid-muridnya, guru tidak harus malu atau kehilangan wibawa jika mengakui kesalahnnya kalau memang kenyataan demikian dan di dalam lingkungan masyarakat guru harus mampu menunjukkan sikap yang benar-benar bisa menjadi patunan sehingga citra guru betul-betul seperti yang diharapkan. Hal ini akan memberikan dampak positif yang sangat luas bagi mental masyarakat terutama anak didik di masa yang akan datang. Kejujuran merupakan modal utama dan satu-satunya yang paling berharga yang dimiliki oleh seorang guru, karena dengan kejujuran guru bisa mencetak generasi yang handal dan berpekerti luhur dan kejujuran pula yang mampu mengangkat martabatnya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Oleh : Amir Hamzah Guru SDN. Pulau Mandanging Sampang Alamat: Jl. Pahlawan VIII/ 16 Sampang No. Rekening: 0148-01-009312-50-9 BRI Cabang Sampang