Petunjuk Praktikum Biodiversitas Mangrove

  • Uploaded by: Biodiversitas, etc
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Petunjuk Praktikum Biodiversitas Mangrove as PDF for free.

More details

  • Words: 23,643
  • Pages: 144
Biodiversitas Genetik, Spesies dan Ekosistem Mangrove di Jawa Petunjuk Praktikum Biodiversitas; Studi Kasus Mangrove

Penulis:

Ahmad Dwi Setyawan, S.Si. Ari Susilowati, M.Si. Drs. Sutarno, M.Sc., Ph.D.

© 2002 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penulis dan penerbit, kecuali untuk tujuan pengajaran di ruang kuliah dan laboratorium.

Penerbit: Kelompok Kerja Biodiversitas Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta

Cetakan Pertama

2002

Kata Pengantar Buku BIODIVERSITAS GENETIK, SPESIES DAN EKOSISTEM MANGROVE DI JAWA PETUNJUK PRAKTIKUM BIODIVERSITAS, STUDI KASUS EKOSISTEM MANGROVE ini berbeda dengan dua buku petunjuk praktikum biodiversitas sebelumnya yang dilaksanakan di lereng Gunung Lawu, yaitu PETUNJUK PRAKTIKUM BIODIVERSITAS, STUDI KASUS RPH NGLERAK GUNUNG LAWU (2001) dan PETUNJUK PRAKTIKUM BIODIVERSITAS, STUDI KASUS JOBOLARANGAN (2000). Dalam praktikum ini aras biodiversitas genetik, spesies dan ekosistem dicoba untuk digabungkan, sehingga mahasiswa dapat memahami materi biodiversitas secara utuh. Berbeda dengan dua praktikum sebelumnya yang hanya mencakup aras spesies dan ekosistem. Aras genetik didekati melalui teknik isozim. Mengingat kompleksnya ekosistem mangrove maka praktikum hanya ditujukan pada tumbuhan (mayor, minor, asosiasi), sedangkan hewan dan mikrobia tidak dipraktikumkan dalam acara ini. Buku panduan ini terdiri dari empat bagian yaitu: pertama: kajian teoritis kondisi fisik, kimia, dan biotik kawasan mangrove, kedua: kajian teoritis biodiversitas pada aras genetik, spesies dan ekosistem yang dipraktikumkan; ketiga: petunjuk praktis cara melaksanakan praktikum, serta keempat: lampiran yang terkait dengan pelaksanaan praktikum, termasuk Panduan Identifikasi Mangrove Mayor dan Minor di Jawa. Akhirnya dengan mengucap syukur kehadirat Allah SWT penulis mendarmabaktikan tulisan ini untuk para mahasiswa pemerhati keanekaragaman hayati dan mangrove, khususnya mahasiswa Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta.

Surakarta, Oktober 2002 ADS., S., A.S.

Daftar isi Bagian 1. Mangrove 1. Definisi Mangrove 2. Asal dan Distribusi 3. Klasifikas Taksonomi dan Ekologi 4. Ekosistem 5. Komponen Abiotik Ekosistem 6. Adaptasi Lingkungan 7. Zonasi 8. Hewan 9. Nilai Kegunaan 10. Konservasi dan Legislasi 11. Riset 12. Jalan-jalan di Hutan Mangrove

1

Bagian 2. Biodiversitas 1. Pengantar 2. Genetik – Isozim/Protein 3. Spesies – Identifikasi Morfologi 4. Ekosistem – Analisis Vegetasi

57

Bagian 3. Praktikum 1. Area Kajian dan Populasi Sampel 2. Genetik – Isozim/Protein 3. Spesies – Identifikasi Morfologi 4. Ekosistem – Analisis Vegetasi 5. Faktor Kimia Fisika Lingkungan

73

Bagian 4. Lampiran 1. Indeks Mangrove di Jawa 2. Panduan Identifikasi Mangrove Mayor dan Minor di Jawa 3. Borang A. Praktikum Genetik 4. Borang B. Praktikum Spesies 5. Borang C. Praktikum Ekosistem 6. Borang D. Praktikum Kimia Fisika Lingkungan

95

Daftar Pustaka

137

Bagian 1 MANGROVE

1

2

1 MANGROVE Definisi Mangrove Hutan mangrove atau mangal adalah sejumlah komunitas tumbuhan pantai tropis dan sub-tropis yang didominasi oleh pohon dan semak tumbuhan bunga (Angiospermae) terestrial yang dapat menginvasi dan tumbuh di lingkungan air laut. Hutan mangrove disebut juga vloedbosh, hutan pasang surut, hutan payau, rawa-rawa payau atau hutan bakau. Istilah yang sering digunakan adalah hutan mangrove atau hutan bakau. Bakau sendiri merupakan nama pepohonan anggota genus Rhizophora. Istilah mangrove digunakan secara luas untuk menamai tumbuhan yang dapat beradaptasi dengan baik pada ekosistem hutan tropis dan subtropis pasang-surut, meliputi pantai dangkal, muara sungai, delta, rawa belakang dan laguna. Kata mangrove merupakan perpaduan bahasa Melayu manggimanggi dan bahasa Arab el-gurm menjadi mang-gurm, keduanya sama-sama berarti Avicennia (api-api), pelatinan nama Ibnu Sina, seorang dokter Arab yang banyak mengidentifikasi manfaat obat tumbuhan mangrove. Kata mangrove dapat ditujukan untuk menyebut spesies, tumbuhan, hutan atau komunitas.

3

2 MANGROVE Asal dan Distribusi ASAL USUL SPESIES MANGROVE Para peneliti berteori bahwa spesies mangrove berasal dari kawasan IndoMalaysia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kawasan nusantara merupakan pusat biodiversitas mangrove dunia. Spesies mangrove dapat terdispersal ke seluruh dunia karena propagul dan bijinya memiliki kekhasan dapat mengapung dan terbawa arus laut ke area yang luas dan jauh dari asalnya. Dari kawasan Indo-Malaysia, spesies mangrove tersebar ke arah barat hingga India dan Afrika Timur, serta ke arah timur hingga Amerika dan Afrika Barat. Penyebaran mangrove dari pantai barat Amerika ke laut Karibia melewati selat yang kini menjadi negara Panama. Pada jaman Cretaceous atas dan Miocene bawah, antara 66 s.d. 23 juta tahun yang lalu, tanah genting tersebut masih berupa laut terbuka. Selanjutnya propagul mangrove terbawa arus laut hingga pantai barat Afrika. Penyebaran ke arah timur diikuti penyebaran ke arah utara hingga Jepang dan ke arah selatan hingga Selandia Baru. Hal ini menjelaskan mengapa mangrove di Afrika Barat dan Amerika dikolonisasi oleh spesies yang sama dan keragamannya lebih rendah, karena harus melewati samudera Pasifik yang luas, sedangkan mangrove di Asia, India, dan Afrika Timur memiliki lebih banyak spesies, mengingat jaraknya yang lebih dekat dengan kepulauan nusantara (Indo-Malaysia).

4

DISTRIBUSI MANGROVE Mangrove biasa ditemukan di sepanjang pantai daerah tropis dan subtropis, pada garis lintang di antara 25oLU dan 25oLS di seluruh dunia, meliputi pantai tropis Asia, Afrika, Australia dan Amerika. Sebagai perkecualian, mangrove ditemukan di selatan hingga Selandia Baru (38oLS) dan di utara hingga Jepang (32oLU). Faktor lingkungan setempat seperti aliran laut yang hangat, embun beku (frost), salinitas, gelombang laut dan lain-lain mempengaruhi keberadaan mangrove dalam batas-batas garis lintang di atas. Kebanyakan negara tropis, pada masa lalu memiliki hutan mangrove.

Gambar: Dunia mangrove di Indo-Pasifik Barat dan Amerika-Afrika Barat

Walsh (1974) membagi dunia mangrove menjadi dua kawasan utama, yaitu kawasan Indo-Pasifik Barat yang meliputi Asia, India dan Afrika Timur, serta kawasan Amerika – Afrika Barat, berdasarkan keanekaragaman spesiesnya. Mangrove dari kawasan Indo-Pasifik Barat sangat terkenal dan beragam, terdiri lebih dari 40 spesies, sedangkan di Afrika Barat dan Amerika hanya sekitar 12 spesies. Terdapat perbedaan besar antara mangrove pada kedua kawasan ini. Dua genus utama mangrove, Rhizophora dan Avicennia, 5

memiliki spesies yang berbeda di kedua kawasan tersebut, mengindikasikan adanya spesiasi yang mandiri. Hal ini menunjukkan kawasan Indo-Malaysia, khususnya Indonesia merupakan pusat asal usul, keanekaragaman, dan distribusi mangrove.

Gambar: Kawasan pasang surut di Asia Tenggara

Gambar: Kawasan muara sungai di Asia Tenggara

Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Pada tahun 1982 luasnya sekitar 4,25 juta hektar, sumber lain mengatakan pada tahun itu luasnya sekitar 3,24 juta hektar dan pada tahun 1993 tinggal tersisa 3 juta hektar. Di Jawa Tengah luas hutan ini tinggal sekitar 13.577 hektar, umumnya tersebar di Karimunjawa, pantai utara Jawa, dan Segara Anakan. Pada masa lalu luas hutan mangrove di Segara Anakan saja mencapai 15.145 hektar atau bahkan 21.500 hektar. Pada masa kini luasnya sulit diperdiksi akibat tingginya sedimentasi hingga terbentuk dataran-dataran baru yang diinvasi mangrove, serta banyaknya perubahan peruntukan area vegetasi mangrove lama.

6

3 MANGROVE Klasifikasi Taksonomi & Ekologi KLASIFIKASI MANGROVE Terdapat berbagai macam klasifikasi tumbuhan mangrove. Menurut Tomlinson (1986), mangrove meliputi 16-24 familia terdiri dari 54-75 spesies. Sedangkan menurut Field (1995), spesies mangrove sejati sekurangkurangnya terdiri dari 17 familia, meliputi sekitar 80 spesies, dimana 50-60 diantaranya memberi kontribusi nyata dalam pembentukan hutan mangrove. Penulis lain (AIMS, 2000) menyatakan di dunia terdapat 69 spesies tumbuhan mangrove tergolong dalam 20 familia. Pusat biodiversitas mangrove terletak di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Di kawasan ini ditemukan 2/3 spesies mangrove dunia. Sebagai pembanding di Amerika hanya ditemukan 10-12 spesies dan di Amerika Serikat hanya 4 spesies. Adapun di Afrika hanya ditemukan 15 spesies, meliputi pantai timur dan barat. Tumbuhan mangrove di Indonesia terdiri dari 47 spesies pohon, lima spesies semak, sembilan spesies herba dan rumput, 29 spesies epifit dan dua spesies parasit, serta beberapa spesies alga dan bryophyta. Kompilasi menunjukkan ekosistem mangrove Segara Anakan disusun oleh 64 spesies. Secara taksonomi tumbuhan mangrove diklasifikasikan sebagai berikut: Mangrove Nama umum: Tumbuhan Seksi: Plantae Kerajaan: Magnoliopsida (Angiospermae) Kelas: Magnoliideae atau Liliideae Kerabat:

7

• • • • • •

Ciri-ciri tumbuhan mangrove: Tumbuhan berpembuluh (vaskuler). Dapat menggunakan air garam sebagai sumber air; daun keras, tebal, mengkilat, sukulen, memiliki jaringan penyimpan air dan garam Dapat mencegah masuknya sebagian besar garam ke dalam jaringan dan dapat mengekskresi atau menyimpan kelebihan garam. Dapat menghasilkan biji yang berkecambah saat masih di pohon induk (vivipar) dan dapat tumbuh dengan cepat setelah jatuh dari pohon, serta dapat mengapung. Akar dapat tumbuh pada tanah anaerob. Memiliki struktur akar tertentu (pneumatofora) yang menyerap oksigen pada saat surut dan mencegah kelebihan air pada saat pasang.

Gambar: Daun mangrove

Gambar: Akar mangrove 8

Tumbuhan mangrove berbentuk pohon dan semak dengan bentuk dan ukuran beragam. Semuanya termasuk dikotil kecuali Nypa fruticans. Mangrove mudah dikenali karena tumbuh pada area di antara rata-rata pasang dan pasang tertinggi, serta pembentukan akar yang sangat menyolok untuk menyokong dan mengait. Sebagian sistem akar terletak di atas tanah dan berfungsi untuk menyerap oksigen selama surut. Acrostichum merupakan satu-satunya pterydophyta terestrial mangrove.

KLASIFIKASI VEGETASI MANGROVE Vegetasi mangrove dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok besar, yaitu: mangrove mayor, mangrove minor dan tumbuhan asosiasi (Tomlinson, 1986). Mangrove mayor (true mangrove) memiliki sifat-sifat berikut: • Sepenuhnya hidup pada ekosistem mangrove di kawasan pasang surut, di antara rata ketinggian pasang perbani (pasang rata-rata) dan pasang purnama (pasang tertinggi), serta tidak tumbuh di ekosistem lain; • Memiliki peranan penting dalam membentuk struktur komunitas mangrove dan dapat membentuk tegakan murni; • Secara morfologi beradaptasi dengan lingkungan mangrove, misalnya memiliki akar aerial dan embryo vivipar; • Secara fisiologi beradaptasi dengan kondisi salin, sehingga dapat tumbuh di laut, karena memiliki mekanisme untuk menyaring dan mengeluarkan garam, misalnya melalui alat ekskresi; • Secara taksonomi berbeda dengan kerabatnya yang tumbuh di darat, setidak-tidaknya terpisah hingga tingkat genus. Antara lain: Avicennia, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Nypa fruticans, Rhizophora, dan Sonneratia. Mangrove minor dibedakan oleh ketidakmampuannya untuk membentuk komponen utama vegetasi yang menyolok, jarang membentuk tegakan murni dan hanya menempati tepian habitat. Antara lain: Acrostichum, Aegiceras, Excoecaria agallocha, Heritiera littoralis, Osbornia octodonta, Pemphis acidula, Scyphiphora hydrophyllacea, dan Xylocarpus. Mangrove/tumbuhan asosiasi adalah tumbuhan yang toleran terhadap salinitas, yang tidak ditemukan secara eksklusif di hutan mangrove dan hanya merupakan vegetasi transisi ke daratan atau lautan, namun mereka berinteraksi dengan true mangrove. Tumbuhan asosiasi adalah spesies yang berasosiasi dengan hutan pantai atau komunitas pantai dan disebarkan oleh arus laut. Tumbuhan ini tahan terhadap salinitas, seperti Terminalia, Hibiscus, Thespesia, Calophyllum, Ficus, Casuarina, beberapa polong, serta semak Aslepiadaceae dan Apocynaceae. Ke arah tepi laut tumbuh Ipomoea pescaprae, Sesuvium portucalastrum dan Salicornia arthrocnemum mengikat pasir pantai. Spesies seperti Porteresia (=Oryza) coarctata toleran terhadap berbagai tingkat salinitas. Ke arah darat terdapat kelapa (Cocos nucifera), sagu (Metroxylon sagu), Dalbergia, Pandanus, Hibiscus tiliaceus dan lain-lain. Komposisi dan struktur vegetasi hutan mangrove beragam, tergantung kondisi geofisik, geografi, geologi, hidrografi, biogeografi, iklim, tanah, dan kondisi lingkungan lainnya. 9

4 MANGROVE Ekosistem Organisasi tertinggi di alam adalah ekosfer, diikuti bioma, ekosistem, dan komunitas. Ekosfer adalah gabungan semua makhluk hidup (biosfer) dan tidak hidup (atmosfer, hidrosfer dan littosfer). Bioma adalah beberapa ekosistem sama yang terletak pada kawasan geografi luas. Ekosistem adalah organisme yang secara mandiri mampu mengatur komunitas dan lingkungan non biotiknya. Komunitas adalah populasi (kelompok spesies tunggal) tumbuhan dan hewan yang berinteraksi di suatu tempat tertentu. Oleh karenanya komunitas mangrove adalah bagian biotik ekosistem mangrove.

HABITAT MANGROVE Habitat mangrove. Hutan mangrove hidup di dua dunia, antara darat dan laut. Ekosistem mangrove terbentuk pada lingkungan tropis dan sub tropis dengan suhu tinggi, terdapat endapan lumpur (alluvial) berbutir halus, gelombang laut lemah, air garam dan tawar, serta jangkauan pasang surut yang lebar. Mangrove menempati kawasan luas sepanjang pantai, bantaran sungai, muara, delta, dan teluk yang terlindung, serta pulau-pulau yang "overwash". Mangrove juga dapat ditemukan pada laguna tepi pantai, yang terhubung langsung dengan laut namun pengaruh aliran pasang lemah dan salinitas rendah. Ekosistem ini dipengaruhi perbedaan salinitas yang lebar dari aliran pasang dan hujan. Istilah mangrove dapat digunakan untuk hutan intertidal yang toleran terhadap salinitas terdiri dari pohon, semak, dan palem, serta paku terestrial, epifit, dan rumput yang berasosiasi dalam tegakan tersebut. 10

Gambar: Tipe ekosistem mangrove Peran ekologi. Mangrove membantu melindungi pantai dari erosi (abrasi), angin ribut, dan gelombang laut. Mereka mencegah erosi garis pantai dengan bertindak sebagai penghalang dan penangkap material alluvial, sehingga menstabilkan ketinggian daratan dengan membentuk daratan baru untuk mengimbangi hilangnya sedimen. Ekosistem karang dan rumput laut juga terlindung akibat sedimentasi. Kawasan mangrove merupakan tempat persembunyian dan perkembangbiakan ikan, kepiting, udang dan moluska. Mangrove juga merupakan tempat bersarang dan tempat singgah ratusan jenis burung. Di samping itu duyung, kera, kucing hutan, kadal monitor, penyu laut, ikan gelodog, dan buaya muara berhabitat di hutan mangrove. Hubungan mangrove, rumput laut dan karang. Ketiga ekosistem ini disatukan oleh massa air yang mengalir keluar masuk pada saat pasang dan surut, serta oleh hewan-hewan yang hidup di habitat tersebut. Berbagai ikan 11

dan udang yang biasa ditemukan di lepas pantai menggunakan habitat mangrove selama sebagin siklus hidupnya. Mangrove merupakan tempat penting untuk berkembangbiak dan membesarkan anak berbagai spesies komersial. Beberapa spesies kecil yang tidak memiliki nilai ekonomi juga menggunakan mangrove, spesies ini akan menjadi sumber makanan spesies yang lebih besar. Sebaliknya spesies lain seperti kepiting lumpur (Thalassina anomala), menghabiskan sebagian besar hidupnya di mangrove dan bergerak ke laut bebas untuk bertelur. Habitat pantai dihubungkan oleh aliran air. Pasang dan arus membawa nutrien dari mangrove ke rumput laut dan karang, dan sebaliknya. Saling pengaruh ini tergantung dekat-jauhnya habitat satu terhadap habitat lainnya Adaptasi. Tumbuhan mangrove memiliki ketinggian beragam tergantung spesies dan lingkungan, dari semak-semak kerdil hingga pohon setinggi 40 meter. Akar penyangga beberapa spesies mangrove, seperti Rhizophora, dan pneumatafora spesies lain, seperti Avicennia, memiliki sejumlah lubang kecil lentisel untuk bernapas, sehingga oksigen dapat terdifusi ke dalam tumbuhan dan menuju akar bawah tanah melalui jaringan udara aerenkim dalam korteks. Lentisel tidak aktif pada saat tergenangi air pasang. Garis evolusi menyebabkan spesies mangrove memiliki beberapa sifat biologi yang khas, yang ditujukan untuk mengatasi salinitas, kondisi lumpur yang anaerob dan pemencaran biji. Tumbuhan mangrove secara khusus memiliki akar aerial untuk menyerap oksigen; akar penyaring garam untuk mencegah masuknya garam ke dalam sistem metabolisme; serta daun, akar atau cabang pengekskresi garam untuk mengeluarkan garam. Sehingga dapat menempati lahan basah yang salin, dimana tumbuhan lain tidak dapat hidup. Sistem perakaran mangrove sangat efektif menyaring garam sebagaimana dapat dirasakan dari air tawar yang muncul dari akar yang dipotong, meskipun akar itu tumbuh di tanah salin. Sebagian tumbuhan mangrove memiliki cara khusus untuk memencarkan biji, yakni biji dapat mengapung dan terbawa arus laut, serta embryo umumnya telah mulai tumbuh saat biji masih menggatung di pohon induk. Embryo yang tumbuh hingga memcahkan kulit biji disebut vivipar, sedang yang tidak memecahkan kulit biji disebut kriptovivipar. Zonasi. Keberadaan spesies dalam hutan mangrove tergantung berbagai faktor lingkungan seperti salinitas, ketersediaan nutrien, kadar oksigen dalam tanah dan aliran energi. Karena tumbuhan mangrove memiliki tanggapan tertentu terhadap kondisi-kondisi ini maka mereka tersebar dalam zonasi tertentu. Zonasi sering menjadi karakteristik hutan mangrove. Beberapa spesies dapat menempati bagian tertentu (niche) dalam ekosistem. Spesies 12

mangrove tumbuh di garis pantai, tepian pulau atau teluk yang terlindung, lainnya tumbuh jauh ke pedalaman hulu sungai pada muara yang masih dipengaruhi pasang surut. Tumbuhan di zona pasang-surut dipengaruhi fluktuasi salinitas yang sangat tinggi. Mereka terendam air laut pada saat pasang, sebaliknya pada saat surut atau musim hujan mereka dapat terendam air tawar. Pasang surut dan aliran sungai dapat mempengaruhi suhu air, serta suplai nutrien dan oksigen ke sistem perakaran. Tanah di daerah pasang-surut biasanya lembek, berlumpur dan sering anaerob. Spesies yang kurang toleran terhadap garam sering ditemukan di bagian atas zona pasang surut atau di tempat-tempat yang memiliki masukan air tawar. Spesies yang toleran dapat tumbuh pada zona pasang surut dimana tingkat evaporasi tinggi sehingga tanah lebih asin dari pada air laut (hipersalin). Tumbuhan mangrove memiliki keunikan dalam kemampuannya tumbuh di lingkungan yang dinamis ini. Manusia. Manusia dapat memberi dampak serius terhadap keberlangsungan hidup mangrove. Dalam kasus tumpahan minyak dari kapal tangker, mangrove yang dapat bertahan pada lingkungan lumpur dan asin ini akan menemui bahaya besar, karena minyak dapat menutupi permukaan akar napas, sehingga penyerapan oksigen terganggu.

TIPE LINGKUNGAN MANGROVE Vegetasi mangrove umumnya tumbuh di muara sungai, dimana terdapat aliran air tawar, sedimentasi, masukan air laut, dan perlindungan dari gelombang laut. Kondisi demikian disebut lingkungan sungai, dan ditemukan pada kebanyakan muara sungai di Indonesia. Namun vegetasi mangrove juga dapat terbentuk pada pantai yang tidak memiliki sungai sehingga masukan air tawar dan sedimentasi dari darat hanya terjadi pada musim hujan. Kondisi demikian disebut lingkungan laut, misalnya di Gili Sulat, NTB dan pantai utara Australia. Kedua lingkungan ini memiliki tipe salinitas yang berbeda. Lingkungan sungai (riverine environment) terbentuk sepanjang tepian sungai beserta anak-anak sungai. Struktur hutan di muara sungai didominasi tumbuhan mangrove, dan ke arah hulu secara gradual digantikan komunitas hutan tropis. Sungai membawa air tawar dan nutrien dari daerah tangkapan air ke dalam habitat mangrove.

13

Lingkungan laut (marine environment) terbentuk pada pantai tanpa sungai, sebagian besar air berasal dari laut, dimana masukan air tawar sedikit, yakni hanya dari aliran permukaan akibat hujan. Struktur hutan mangrove terbentuk di tepi pantai dan semakin ke dalam terdapat hutan tropis, yang menghindari tanah asin dimana mereka tidak dapat tumbuh. Lingkungan laut dan darat seringkali berasosiasi terutama pada anak-anak sungai di mulut muara. Pada ilustrasi di samping, tanah yang lebih salin diwarnai lebih gelap.

ALIRAN ENERGI Hutan mangrove sangat vital untuk kesehatan ekosistem pantai. Detritus hutan ini, terutama tersusun atas serasah daun dan cabang-cabang mangrove yang gugur, menyediakan nutrien autochthonous bagi ekosistem mangrove dan laut. Hal ini mendukung berbagai jenis hidupan laut dalam jaring-jaring makanan yang kompleks yang terhubung secara langsung dengan detritus atau secara tidak langsung dengan plankton dan alga epifit. Plankton dan alga merupakan sumber utama karbon pada ekosistem mangrove di samping detritus. Pada lingkungan riverine, nutrien (dan polutan) di bawa pula dari kawasan hulu sebagai allochthonous. Hutan mangrove merupakan ekosistem produktif yang mendukung sejumlah besar kehidupan melalui rantai makanan yang dimulai dari tumbuhtumbuhan. Daun tumbuhan mangrove, sebagaimana semua tumbuhan hijau, menggunakan sinar matahari untuk mengubah karbon dioksida menjadi senyawa organik melalui proses fotosintesis. Karbon yang diserap tumbuhan selama fotosintesis, bersama-sama dengan nutrien yang diambil dari tanah, menghasilkan bahan baku untuk pertumbuhan. Pertumbuhan pohon 14

mangrove sangat penting bagi keberlanjutan hidup semua organisme. Terurainya daun, batang, dan akar mangrove yang mati menghasilkan karbon dan nutrien yang digunakan oleh organisme lain dalam ekosistem tersebut. Tidak ada yang menjadi sampah dalam ekosistem mangrove. Tumbuhan mangrove merupakan lumbung sejumlah besar daun yang kaya nutrien yang akan diuraikan oleh fungi dan bakteri atau langsung dimakan kepiting yang hidup di lantai hutan. Material organik yang mati diuraikan menjadi partikelpartikel kecil (detritus) oleh sejumlah besar bakteri yang kaya protein. Detritus merupakan sumber makanan bagi beberapa spesies moluska (siput), Crustacea (kepiting dan udang) dan ikan, yang selanjutnya menjadi makanan bagi hewan yang lebih besar. Nutrien yang dilepaskan ke dalam air selama periuraian daun, kayu dan akar juga dimakan plankton dan alga.

15

5 MANGROVE Komponen Abiotik Ekosistem

Faktor lingkungan utama yang mempengaruhi mangrove dalam jangka panjang adalah ketinggian dan fluktuasi permukaan laut. Adapun faktor-faktor jangka pendek yang berpengaruh adalah suhu, salinitas, arus laut, angin badai, kemiringan pantai, dan substrat sedimen tanah. Kebanyakan mangrove tumbuh di tanah lumpur, namun dapat pula tumbuh di tanah gambut, pasir, dan batu karang. Apabila kondisi pasang surut optimal, mangrove dapat tumbuh jauh ke pedalaman sepanjang muara sungai dan teluk.

TANAH Tanah mangrove merupakan tanah alluvial yang dibawa sebagai sedimen dan diendapkan oleh sungai dan laut. Tanah ini dapat diklasifikasikan sebagai pasir (sand), lumpur/debu halus (silt) dan lempung/tanah liat (clay). Tanah disusun oleh ketiganya dengan komposisi berbeda-beda, sedangkan lumpur (mud) merupakan campuran dari lumpur halus dan lempung yang keduanya kaya bahan organik (detritus). Topsoil tanah mangrove biasanya bertipe pasir atau lempung. Topsoil pasir berwarna lebih terang, porous, dapat dilewati air pada saat pasang dan mengalami aerasi pada saat surut, sedangkan topsoil lempung berwarna lebih gelap, kurang porous dan tidak teraerasi dengan baik. Tanah subsoil selalu jenuh air atau tergenang (waterlogged), sehingga hanya teraerasi sedikit, sangat kaya bahan organik namun terurai sangat lambat. Tanah berwarna 16

abu-abu gelap atau hitam (gleying), dan menghasilkan bau menyengat karena tidak teraerasi, menunjukkan adanya hidrogen sulfida (H2S), hasil kegiatan bakteri anaerob pereduksi belerang (e.g. Desulfovibrio) yang tumbuh dengan baik pada kondisi anoksik. Variasi setempat dapat terjadi karena adanya hewan-hewan liang seperti udang dan kepiting, yang menyebabkan udara dapat terbawa melalui lubang-lubang yang terbentuk dalam tanah. Kondisi tanah merupakan salah satu penyebab terbentuknya zonasi penyebaran hewan dan tumbuhan, misalnya kepiting yang berbeda menempati kondisi tanah yang berbeda pula, dan tumbuhan seperti Avicennia dan Sonneratia hidup dengan baik pada tanah berpasir, sedangkan Rhizophora lebih menyukai lumpur lembut yang kaya humus, adapun Bruguiera menyukai tanah lempung yang mengandung sedikit bahan organik.

DERAJAT KEASAMAN (pH) Adanya kalsium dari cangkan moluska dan karang lepas pantai menyebabkan air di ekosistem mangrove bersifat alkali. Namun tanah mangrove bersifat netral hingga sedikit asam karena aktivitas bakteri pereduksi belerang dan adanya sedimentasi tanah lempung yang asam. Aktivitas bakteri pereduksi belerang ditunjukkan oleh tanah gelap, asam dan berbau telur busuk.

OKSIGEN Berbeda dengan tanah kering, lumpur hampir tidak memiliki rongga udara untuk menyerap oksigen, sehingga beberapa tumbuhan membentuk metode yang luar biasa untuk menyerap oksigen. Avicennia marina menumbuhkan sejumlah akar kecil sebesar pensil (akar pasak) dari akar utama ke atas permukaan lumpur untuk menyerap oksigen, sedangkan Bruguiera gymnorrhiza membentuk akar lutut, yakni akar utama yang tumbuh ke atas lalu masuk lagi ke lumpur seperti lulut yang terkubur. Rhizophora stylosa membentuk akar penyangga untuk menyerap oksigen sekaligus menyangga pohon. Beberapa pohon seperti Xylocarpus granatum membentuk akar papan yang lebar di atas permukaan tanah. Jumlah oksigen terlarut dalam perairan mangrove umumnya lebih rendah daripada di laut terbuka. Kandungan ini semakin rendah pada tempat yang kelebihan bahan organik, mengingat oksigen diserap untuk peruraian bahan organik tersebut, sehingga terbentuk zona anoksik di badan air. Oksigen pada 17

permukaan sedimen (sediment water interface) digunakan bakteri untuk mengurai dan respirasi. Kandungan oksigen pada beberapa milimeter lapisan sedimen teratas diperoleh melalui sirkulasi pasang-surut dan pengaruh atmosfer. Di bawahnya lumpur yang mengandung bahan organik dan partikelpartikel halus menghasilkan kondisi anoksik, yang hanya ditumbuhi bakteri anaerob yang dapat mengurai bahan organik tanpa oksigen. Hal ini menghasilkan H2S yang mengubah warna tanah menjadi abu-abu gelap, dan berbau seperti telur busuk.

NUTRIEN Nutrien (zat hara) yang dihasilkan produser primer hutan mangrove dilepaskan ke dalam komunitas, kadang-kadang dalam bentuk detritus melalui peruraian serasah daun dan kayu. Dapat pula melalui perumputan yang dilakukan herbivora sehingga terjadi pemindahan energi. Nutrien ekosistem mangrove tidak semata-mata dihasilkan oleh ekosistem itu sendiri (autochthonous) tetapi juga dihasilkan dari luar ekosistem (allochthonous), dari sungai atau laut. Hujan secara teratur menyapu detritus dari tepian pantai dan daerah aliran sungai ke dalam mangrove, sedangkan pada saat pasang naik laut membawa bahan organik yang terlarut atau tersuspensi ke ekosistem mangrove, seperti organisme mikroskopis yang selanjutnya dimakan organisme penyaring (filter feeders). Bersama dengan surutnya air laut, organisme mikroskopis tersuspensi dalam air tersaring oleh tanah, meninggalkan lapisan organisme mikroskopis di permukaan tanah, yang akan dimakan fauna terestrial selama surut. Sebaliknya pada saat surut ini nutrien dari daratan pantai juga terbawa ke laut.

SINAR, SUHU DAN KELEMBABAN Kondisi di atas dataran lumpur terbuka dan di bawah kanopi hutan sangat berbeda. Dataran lumpur yang tersinari matahari langsung pada saat laut surut di siang hari menjadi sangat panas dan memantulkan cahaya, sedangkan permukaan tanah di bawah kanopi hutan mangrove terlindung dari sinar matahari dan tetap sejuk. Tingkat kelembaban hutan mangrove lebih kering dari pada hutan tropis pada umumnya karena adanya angin. Suhu dan kelembaban udara sangat berpengaruh terhadap keanekaragaman spesies di suatu habitat.

18

ANGIN DAN ARUS LAUT Secara garis besar iklim di Jawa dibagi menjadi musim hujan (OktoberApril) dan kemarau (April-Oktober), namun secara lebih detail dapat dibagi menjagi empat musim (monsoon), yaitu: musim timur laut (Desember-Maret) dengan angin kuat dan hujan lebat, khususnya dua bulan pertama; antar musim (pancaroba) yang pertama (April) dengan angin tidak terlalu kuat; musim barat daya (Mei-September) dengan angin kuat dan hujan sangat sedikit; serta antar musim yang kedua (Oktober-Nopember) seperti antar musim yang pertama, namun curah hujannya kadang-kadang lebih tinggi. Arus laut terbentuk oleh musim angin, sehingga ketinggian gelombang laut mengikuti musim ini.

ALIRAN PASANG-SURUT Laut mengalami aliran air pasang (HW; high water, rising, flood tide) sebanyak dua kali dalam sehari, bergantian dengan aliran air surut (LW; low, receding, ebb tide). Hal ini disebabkan tarikan gravitasi dan gaya sentrifugal rotasi bumi, bulan dan matahari, serta kondisi geografi setempat. Aliran pasang surut biasanya campuran semi-diurnal, yakni dua pasang tinggi dan dua pasang rendah yang dalam satu hari tingginya tidak sama. Waktu pasang bergeser selama 50 menit dalam sehari, karena tergantung peredaran bulan, yaitu 24 jam 50 menit. Jangkauan pasang dan surut terbesar terjadi selama dua hari setelah bulan baru (perbani). Ketika bulan dan matahari sejajar pada bulan purnama terjadi aliran pasang tertinggi (high water spring tide; HWST). Kondisi yang sama pada bulan baru menyebabkan terjadi surut terendah (low water spring tide; LWST). Keduanya terjadi secara bergantian setiap dua minggu sekali. Rata-rata jangkauan antara pasang dan surut pada bulan baru dapat mencapai 3,5 m, sedangkan pada bulan purnama dapat mencapai 10 m. Daerah pantai yang terletak di antara pasang tertinggi (highest high water spring tide; HHWST) dan surut terendah (lowest low water spring tide; LLWST) dikenal sebagai zona pasang surut (intertidal). Hutan mangrove tumbuh di antara rata-rata pasang (mid-tide level; MTL) dan pasang tertinggi (HHWST) (periksa diagram di bawah). Jangkauan pasang-surut tertinggi terjadi setiap dua minggu secara bergantian(purnama dan perbani). Di antara dua periode pasang purnama, matahari dan bulan mendekati sudut kanan masing-masing, sehingga

19

Gambar: ketinggian pasang surut dalam satu bulan

pengaruh gravitasinya saling membatalkan dan sebagai gantinya menghasilkan pasang perbani. Apabila bulan terletak pada quarter pertama atau ketiga, terjadi jangkauan pasang terendah, hingga hanya 0,6 m, karena terjadi pasang perbani tinggi (high water neap tides; HWNT) dan surut perbani tinggi (low water neap tides; LWNT). Pola pasang surut bervariasi tergantung lokasi dan waktu. Tingginya jangkauan pasang-surut dan faktor-faktor lain menyebabkan terbentuknya zonasi horizontal dan vertikal tumbuhan dan hewan mangrove.

20

Gambar: Zonasi Bruguiera dan Rhizophora karena pengaruh pasang surut.

SALINITAS Kadar garam dalam air dinyatakan sebagai parts per thousand (ppt), yakni jumlah garam (gram) yang terlarut dalam 1000 gram air. Garam dapur (sodium chloride; NaCl) merupakan zat padat utama dalam air laut, salinitas rata-rata air laut adalah 35 ppt. Derajat salinitas dapat dikelompokkan menjadi oligohalin dengan salinitas rendah (0,5-5 ppt), mesohalin dengan salinitas sedang (5-18 ppt), dan polihalin dengan salinitas tinggi (18-30 ppt). Air tawar memiliki salinitas 0-0,4 ppt. Istilah air payau (brackish water) merupakan air pada derajat oligohalin hingga agak mesohalin. Salinitas kawasan mangrove sangat bervariasi, berkisar 0,5-35 ppt, karena adanya masukan air laut saat pasang dan air tawar dari sungai, khususnya pada musim hujan. Salinitas juga bervariasi tergantung kedalaman badan air di muara sungai. Garam yang terkandung dalam air laut cenderung tenggelam karena berat jenis (BJ)-nya lebih tinggi. Pada saat laut surut, kolam-kolam yang terbentuk pada saat pasang naik dapat menjadi hipersalin (>30 ppt) terutama jika surut lebih lama. Hal ini terjadi karena evaporasi yang menguapkan air menyebabkan konsentrasi garam naik. Biarpun di dalam mangrove pengaruh aliran permukaan air tawar sangat signifikan, terutama selama musim hujan. Sungai-sungai kecil dalam hutan mangrove bersifat oligohalin dan semakin ke dalam semakin tawar. Di batas ekosistem mangrove pengaruh masukan air tawar sangat nyata. 21

6 MANGROVE Adaptasi Lingkungan

Spesies mangrove berhasil tumbuh di lingkungan air laut karena memiliki beberapa bentuk adaptasi khas. Adaptasi ini umumnya terkait dengan upaya untuk bertahan dalam kondisi salin, bertahan dalam tanah lumpur anaerob dan tidak stabil, serta untuk perkembangbiakan.

SALINITAS Tumbuhan menghadapi berbagai masalah untuk tumbuh di dalam atau di dekat air laut yang secara fisiologi ‘kering’, karena kebanyakan jaringan tumbuhan dan hewan lebih encer daripada air laut. Agar terjadi osmosis, air harus bergerak dari tempat yang konsentrasinya lebih rendah (hipotonis) ke konsentrasi tinggi (hipertonis). Akibatnya air dari dalam jaringan tumbuhan dapat berpindah ke tanah salin, sehingga tumbuhan menjadi layu dan mati. Lingkungan yang keras dan tidak stabil ini menyebabkan diversitas hutan mangrove cenderung lebih rendah daripada umumnya hutan hujan tropis. Kebanyakan tumbuhan memiliki toleransi sangat rendah terhadap salinitas, tetapi mangrove yang dua kali sehari tergenangi air laut dapat bertahan. Semua pohon, semak, palem, tumbuhan paku, rumput, liana dan epifit yang berhabitat di hutan mangrove tumbuh paling baik pada lingkungan air tawar dan air laut dengan perbandingan seimbang (50% : 50%). Lebih dari 90% tumbuhan mangrove dapat mencegah masuknya garam dengan filtrasi pada akar. Garam yang tetap terserap ke dalam tubuh dengan cepat diekskresikan 22

oleh kelenjar garam di daun, sehingga daun tampak seperti ditaburi kristal garam dan terasa asin. Beberapa tumbuhan menyimpan garam dalam kulit kayu atau daun tua yang hampir gugur. Tingginya kadar garam pada lingkungan mangrove akan menyebabkan tingginya konsentrasi garam dalam jaringan, sehingga terjadi gangguan metabolisme. Penyimpanan air juga merupakan masalah penting bagi tumbuhan mangrove, karena tumbuh di tepi laut terbuka dimana kecepatan angin relatif tinggi, laju transpirasi tumbuhan mangrove juga relatif tinggi. Tumbuhan mangrove mengembangkan berbagai cara untuk mengatasi kehilangan air melalui daun. Mereka dapat mengatur pembukaan stomata dan orientasi daun, sehingga mengurangi serapan sinar matahari dan evaporasi. Sebagian tumbuhan mangrove memiliki daun keras, tebal, berlilin atau berbulu rapat untuk mereduksi hilangnya air. Beberapa daun bersifat sukulen untuk menyimpan air dalam jaringan. Fluktuasi salinitas di hutan mangrove dipengaruhi pasang-surut dan iklim. Selama musim hujan jumlah air yang menggenangi mangrove dan deposit sedimen bertambah. Beberapa spesies mangrove dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan air tawar. Di Pulau Christmas, Bruguiera cylindrica tumbuh selama ribuan tahun pada danau air tawar di dataran tinggi, sedangkan di Kebun Raya Bogor Bruguiera sexangula tumbuh selama ratusan tahun pada lingkungan air tawar. Terhentinya penyebaran mangrove ke air tawar tampaknya disebabkan ketidakmampuan untuk berkompetisi dengan spesies lain, sehingga tumbuhan mangrove mengembangkan adaptasi untuk tumbuh di air asin, dimana tumbuhan lain tidak mampu bertahan. Adaptasi terhadap salinitas umumnya berupa kelenjar sekresi untuk membuang kelebih garam dalam jaringan dan ultrafiltrasi untuk mencegah masuknya garam ke dalam jaringan. Sekresi garam. Beberapa tumbuhan mangrove seperti Avicennia, Acanthus dan Aegiceras corniculata memiliki alat sekresi garam. Konsentrasi garam dalam getah biasanya tinggi, sekitar 10% daripada air laut. Sebagian garam dikeluarkan melalui kelenjar garam dan selanjutnya diterbangkan angin atau hujan. Hal ini bisa dirasakan dengan menjilat daun tumbuhan mangrove atau bagian lainnya.

Gambar: Kristal garam pada permukaan daun Acantus illicifolius

23

Ultrafiltrasi. Tumbuhan mangrove seperti Bruguiera, Lumnitzera, Rhizophora, dan Sonneratia tidak memiliki alat sekresi. Membran sel pada permukaan akar mampu mencegah masuknya sebagian besar garam. Mereka secara selektif hanya dapat menyerap ion-ion tertentu melalui proses ultrafiltrasi. Namun hal ini tidak selalu berlangsung sempurna, untuk itu kelebihan garam dibuang melalui transpirasi melalui permukaan daun (stomata) atau disimpan di dalam daun, batang dan akar, sehingga seringkali daun tumbuhan mangrove memiliki kadar garam sangat tinggi. Sebagian spesies mangrove menyimpan kelebihan garam dalam daun tua yang akan segera gugur atau kulit kayu.

AKAR Tumbuhan mangrove memiliki adaptasi khusus untuk tumbuh di tanah yang lembut, asin dan kekurangan oksigen, dimana kebanyakan tumbuhan tidak mampu melakukannya. Suplai oksigen ke akar sangat penting bagi pertumbuhan dan penyerapan nutrien. Karena tanah mangrove seringkali anaerob, maka beberapa tumbuhan mangrove membentuk struktur khusus pneumatofora (akar napas). Akar di atas tanah ini dipenuhi dengan jaringan parenkim spons (aerenkim) dan memiliki banyak lubang-lubang kecil di kulit kayu sehingga oksigen dapat masuk dan diangkut ke sistem akar di bawah tanah. Akar ini juga berfungsi sebagai struktur penyokong pohon di tanah lumpur yang lembut. Pneumatofora (akar napas). Pneumatofora adalah akar tegak yang dapat merupakan alat tambahan dari atas batang atau pemanjangan sistem akar di bawah tanah. Akar ini, sebagian atau seluruhnya, tergenang dan terpapar setiap hari, sesuai dengan pola aliran pasang-surut. Pada saat terpapar, akar dapat menyerap oksigen. Lumpur mangrove bersifat anaerob (miskin oksigen) dan tidak stabil Tumbuhan yang berbeda dapat memiliki bentuk akar yang berbeda pula untuk beradaptasi dengan kondisi ini. Akar horizontal yang menyebar luas, dimana pneumatofora tumbuh vertikal ke atas merupakan jangkar untuk mengait pada lumpur yang labil. Sistem perakaran di bawah tanah dapat lebih besar dibandingkan sistem perakaran di atas tanah. Terdapat empat tipe pneumatofora, yaitu akar penyangga (stilt or prop), akar pasak (snorkel, peg or pencil), akar lutut (knee or knop), dan akar papan (ribbon or plank). Tipe akar pasak, akar lutut dan akar papan dapat berkombinasi dengan akar tunjang (buttres) pada pangkal pohon. Sedangkan akar penyangga akan mengangkat pangkal batang ke atas tanah. 24

Gambar: Akar penyangga pada Rhizophora

Gambar: Akar pasak pada Avicennia

Akar penyangga (sangga). Pada Rhizophora akar panjang dan bercabang-cabang muncul dari pangkal batang untuk menyangga batang. Akar ini dikenal sebagai prop root dan pada akhirnya akan menjadi stilt root apabila batang yang disangganya terangkat ke atas hingga tidak lagi menyentuh tanah. Akar penyangga membantu tegaknya pohon karena memiliki pangkal yang luas untuk mendukung di lumpur yang lembut dan tidak stabil. Juga membantu aerasi ketika terekspos pada saat laut surut.

Akar pasak. Pada Avicennia dan Sonneratia, pneumatofora merupakan cabang tegak dari akar horizontal yang tumbuh di bawah tanah. Pada Avicennia bentuknya seperti pensil atau pasak dan umumnya hanya tumbuh setinggi 30 cm, sedangkan pada Sonneratia tumbuh lebih lambat namun dapat membentuk massa kayu setinggi 3 m, kebanyakan setinggi 50 cm. Pada ekosistem alami mangrove di teluk Botany, Sidney masih dapat dijumpai pohon Avicennia marina yang memiliki pneumatofora setinggi lebih dari 28 m, meskipun kebanyakan tingginya hanya sekitar 4 m.

Akar lutut. Pada Bruguiera dan Ceriops akar horizontal tumbuh sedikit di bawah permukaan tanah, dan secara teratur tumbuh vertikal ke atas kemudian kembali tumbuh ke bawah, sehingga berbentuk seperti lutut yang ditekuk. Setiap akar horizontal dapat membentuk rangkaian lutut dengan jarak teratur secara berulang-ulang. Bagian di atas tanah (lutut) membantu aerasi dan 25

karena tersebar sangat luas dapat menjadi tempat bertahan di lumpur yang tidak stabil. Lumnitzera membentuk akar lutut kecil yang bentuknya merupakan kombinasi antar akar lutut dan akar pasak.

Gambar: Akar lutut pada Bruguiera

Gambar: Akar lutut pada Xylocarpus granatum

Akar papan. Pada Xylocarpus granatum akar horizontal tumbuh melebar secara vertikal ke atas, sehingga akar berbentuk pipih menyerupai papan. Struktur ini terbentuk mulai dari pangkal batang. Akar ini juga melekuklekuk seperti ular yang sedang bergerak dan bergelombang. Terpaparnya bagian vertikal memudahkan aerasi dan tersebarnya akar secara luas membantu berpijak di lumpur yang tidak stabil.

REPRODUKSI Mangrove merupakan tumbuhan penghasil biji (spermatophyta), dan bunganya sering kali menyolok mata. Biji mangrove relatif lebih besar dibandingkan biji kebanyakan tumbuhan lain. Biji ini seringkali telah mengalami perkecambahan ketika masih melekat di pohon induk (vivipar). Pada saat jatuh, biji mangrove biasanya akan mengapung dalam jangka waktu tertentu kemudian tenggelam. Lamanya periode mengapung propagul bervariasi tergantung jenisnya. Biji mangrove tertentu dapat mengapung lebih dari setahun dan tetap viabel. Pada saat mengapung biji terbawa arus ke berbagai tempat dan akan tumbuh apabila terdampar di kawasan pasang surut yang sesuai. Kecepatan pertumbuhan tergantung iklim dan ketersediaan

26

mineral nutrien tanah. Biji yang terdampar di tempat terbuka karena pohon mangrove tua telah mati dapat tumbuh sangat cepat, sedangkan biji yang tumbuh pada tegakan mangrove mapan umumnya akan mati dalam beberapa tahun kemudian.

Gambar: Biji dan propagul berbagai jenis tumbuhan mangrove

Vivipari. Vivipari adalah kondisi dimana embryo pertama kali tumbuh, memecah kulit biji dan keluar dari buah pada saat masih melekat pada tumbuhan induk, misalnya pada Bruguiera, Ceriops, Kandelia dan Rhizophora. Kriptovivipari (Yunani: kryptos, tersembunyi) adalah kondisi dimana embryo tumbuh dan memecah kulit biji, namun tidak keluar dari kulit buah hingga lepas dari tumbuhan induk, misalnya pada Aegiceras, Avicennia dan Nypa. Para pakar banyak berspekulasi mengenai fungsi vivipari atau kriptovivipari dalam kaitannya dengan morfologi, ekologi, dan fisiologi tumbuhan. Karena lingkungan mangrove unik ternyata dipengaruhi banyak faktor. Vivipari atau kriptovivipari tidak ditemukan pada tumbuhan halofita (tumbuhan di lingkungan salin) atau tumbuhan rawa-rawa air tawar, sehingga kondisi ini tidak 27

disebabkan salinitas atau tanah yang jenuh air. Salah satu hipotesis adalah vivipari disebabkan karena mangrove tumbuh pada kondisi yang relatif tidak stabil, sehingga memerlukan propagul yang tahan lama dan dapat tumbuh dengan cepat, misalnya seedling Rhizophora yang berbentuk runcing seperti anak panah sering tumbuh langsung di bawah induknya karena tarikan gravitasi, meskipun hal ini dapat menyebabkan kekalahan dalam berkompetisi dengan tumbuhan induk untuk mendapatkan cahaya, hara dan lain-lain. Melalui vivipari perkecambahan embyo dimulai sejak biji masih menempel pada pohon induk. Ketika buah jatuh sudah berupa seedling yang dapat membentuk akar pada tanah di bawahnya. Vivipari merupakan mekanisme adaptasi untuk mempersiapkan seedling tersebar jauh, dapat bertahan dan tumbuh dalam lingkungan salin. Selama pembentukan vivipari, propagul diberi makan oleh pohon induk, sehingga propagul dapat menyimpan dan mengakumulasi karbohidrat atau senyawa lain yang nantinya diperlukan untuk pertumbuhan mandiri. Struktur kompleks seedling pada awal pertumbuhan ini akan membantu aklimatisasi terhadap kondisi fisik lingkungan yang ekstrim, dimana biji tumbuhan lain tidak dapat berkecambah secara normal. Kebanyakan seedling tidak tumbuh di sekitar induk, namun mengapung selama berminggu-minggu hingga jauh dari induknya. Pada kondisi tanah yang sesuai seedling ini dapat berakar dan tumbuh dengan cepat dalam beberapa hari. Vivipari dan propagul yang berumur panjang, menyebabkan mangrove dapat tersebar pada area yang luas.

Gambar: Vivipari pada Aegiceras corniculata

← Gambar: Vivipari pada Bruguiera cylindrica

28

Gambar: Pembentukan propagul Rhizophora

Propagul. Tumbuhan mangrove memiliki biji terapung yang sesuai untuk terdispersi melalui air. Berbeda dengan kebanyakan tumbuhan, biji mangrove dapat berkecambah ketika masih melekat pada tumbuhan induk. Beberapa biji tumbuh memecah kulit buah (vivipari), seperti Acanthus, Avicennia dan Aegiceras, sedang biji lainnya tanpa memecah-kan kulit buah (kriptovivipari), seperti Ceriops, Rhizophora, Bruguiera, dan Nypa untuk menghasilkan propagul, berupa seedling yang dapat terbawa air kemana-mana. Propagul yang masak akan jatuh ke air dan tetap dormansi hingga tersangkut di tanah yang aman, menebarkan akar dan mulai tumbuh. Pembentukan propagul Rhizophora diilustrasikan pada gambar di samping. Tumbuhan lain dalam familia Rhizophoraceae memiliki cara yang serupa, misalnya Ceriops dan Bruguiera. Beberapa mangrove menggunakan cara konvensional (biji normal) untuk reproduksi seperti Heritiera littoralis, Lumnitzera, dan Xylocarpus.

29

7 MANGROVE Zonasi

Hutan mangrove di daerah tropis relatif heterogen. Spesies yang tumbuh di bibir pantai cenderung berhabitus rendah, sedang yang jauh berhabitus tinggi. Pada ekosistem alami tumbuhan mangrove membentuk zonasi. Zona luar yang terbuka didominasi Avicennia dan Sonneratia, diikuti Rhizophora pada bagian sedikit agak dalam. Zona tengah didominasi Bruguiera gymnorrhiza. Zona tiga didominasi Xylocarpus dan Heritiera. Zona dalam didominasi Bruguiera cylindrica, Scyphiphora hydrophyllacea, dan Lumnitzera. Adapun zona transisi didominasi Cerbera manghas. Pada perbatasan hutan mangrove dengan rawa air tawar tumbuh tegakan Nypa fruticans, diikuti Cyperus portulacastrum, Fimbristylis ferruginea, Scirpus litoralis dan S. malaccensis. Pada hutan mangrove yang tidak terganggu dapat terbentuk zonasi spesies tunggal sejajar dengan garis pantai dan tepian sungai. Hal ini diketahu dengan berjalan dari tepi pantai ke arah daratan. Beting lumpur yang luas atau beting pasir yang dangkal di tepi laut ditumbuhi oleh Avicennia dan Sonneratia. Rhizophora ditemukan lebih ke dalam pada tepian sungai, adapun Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus dan Heritiera membentuk bagian belakang mangrove. Pada lingkungan yang cocok, dimana terdapat pasir dan lempung, Nypa fruticans dapat menjadi tumbuhan utama pada tepi sungai atau laguna. Penyebab zonasi ini masih diperdebatkan dan kemungkinan disebabkan kombinasi berbagai faktor seperti salinitas, kondisi tanah, tingkat genangan, ukuran dan ketersediaan propagul, serta kompetisi antar spesies. Pada sebagian besar hutan mangrove yang sudah dipengaruhi kegiatan manusia (antropogenik), zonasi sulit ditentukan akibat tingginya sedimentasi dan 30

perubahan habitat. Dalam hal ini ketersediaan propagul diduga lebih berpengaruh dari faktor lain, dimana beting lumpur baru akan didominasi tumbuhan yang propagulnya paling banyak sampai di tempat tersebut, misalnya di Segara Anakan.

Gambar: Tiga zonasi mangrove di Sungei Buloh Singapura

Zonasi merupakan terminologi topografi, namun pada ekosistem mangrove di Sungei Buloh Singapura, zonasi hutan dipengaruihi oleh dua hal, yakni: ke arah laut oleh gumuk pasir dan ke arah darat oleh gundukan tanah setinggi 11,8 meter yang dibuat oleh kepiting lumpur (Thalassina anomala), sehingga hutan ini dibagi dalam tiga zona: • Gumuk pasir didominasi oleh Sonneratia ovata dan Avicennia alba; • Kanopi utama hutan didominasi oleh Avicennia rumphiana, A. officials, Bruguiera cylindrica, B. gymnorhiza, dan Rhizophora apiculata; • Gundukan lumpur dan kolam ditumbuhi Excoecaria agallocha, Bruguiera cylindrica, B. gymnorhiza dan Rhizophora apiculata. Kondisi lingkungan pada setiap zona berbeda-beda, sehingga penyebaran organisme terbatas pada zona tertentu, namun spesies yang beradaptasi dengan baik mampu hidup pada area yang lebih luas. 31

8 MANGROVE Hewan

Ekosistem mangrove merupakan bentuk pertemuan lingkungan darat dan laut, sehingga hewan dari kedua lingkungan ini dapat ditemukan di ekosistem mangrove. Sebagian kecil hewan menggunakan mangrove sebagai satusatunya habitat, sebagian dapat berpindah-pindah meskipun lebih sering ditemukan di hutan mangrove, sedang lainnya berpindah-pindah berdasarkan musim, tahapan siklus hidup, atau pasang surut laut. Kebanyakan orang menganggap mangrove sebagai tempat berlumpur dan rawa-rawa becek, yang penuh dengan nyamuk, ular, laba-laba, dan memberi rasa tidak nyaman. Namun apabila diperhatikan lebih teliti berjalan-jalan di kawasan mangrove merupakan perburuan besar. Di bawah kerimbunan hutan terdapat berbagai jenis arthropoda, moluska, burung, ikan, reptilia, mamalia dan lain-lain, sehingga menarik untuk ditelusuri. Mangrove merupakan salah satu habitat paling penting di dunia. Mangrove memiliki fungsi ekologi sangat penting. Sesendok teh lumpur mangrove mengandung lebih dari 10 juta bakteri, lebih kaya dari lumpur manapun. Bakteri ini membantu peruraian serasah daun dan bahan organik lain, sehingga hutan mangrove menjadi sumber nutrisi penting bagi tumbuhan dan hewan, serta ikut pula menjaga daur nutrisi pada habitat perairan pantai. Perairan payau di muara sungai yang dibatasi mangrove merupakan standing stock fitoplankton, sangat rapat didominasi oleh diatom, khususnya genus Coscinodiscus, Pleurosigma, dan Biddulphia. Adapun zooplankton diwakili oleh hampir semua hewan akuatik mulai dari protozoa, telur ikan, dan larva semua hewan Echinodermata. Bakteri patogen seperti Shigella, 32

Aeromonas, dan Vibrio dapat bertahan pada air mangrove yang kaya nutrien, kadang-kadang tercermari bahan kimia berbahaya, pestisida, pupuk kimia, limbah rumah tangga dan industri. Beberapa bakteri lignolitik, sellulolitik, proteolitik dan mikroorganisme lain dapat menguraikan molekul organik yang besar seperti tanin dan selulosa menjadi fragmen-gragmen lebih kecil yang bermanfaat. Alga tingkat tinggi biasa ditemukan menempel pada tumbuhan mangrove, khususnya di akar penyangga dan akar napas (pneumatofora) lainnya. Mikrobia, bakteri, fungi, dan alga hijau-biru (Cyanobacteria) merupakan elemen tanah mangrove yang penting. Invertebrata yang ditemukan di hutan mangrove umumnya adalah artropoda yang meliputi serangga, Chelicera dan Crustacea, serta moluska baik gastropoda maupun bivalvia. Sedangkan vertebrata yang banyak ditemukan adalah ikan dan burung. Dalam jumlah terbatas ditemukan pula reptilia dan mamalia. Amfibia sangat jarang ditemukan di kawasan mangrove. Serangga. Insekta merupakan taksa yang sangat banyak ditemukan di hutan mangrove, berupa berbagai jenis ngengat, kutu (bug), kumbang, lalat, semut dan jengkerik. Bersama dengan Crustacea dan Chelicera, serangga merupakan Arthropoda yang banyak ditemukan di mangrove.

Odites (ngengat)

Crypticerya jacobsoni (kutu)

Dysdercus decussatus (kutu kapuk) 33

Monolepta (kumbang)

Elleipsa quadrifasciata (lalat)

Tetraponera (semut)

Apteronemobius asahinai (jengkerik)

Custacea. Crustasea seperti remis, udang dan kepiting sangat melimpah di hutan mangrove. Salah satu yang terkenal adalah kepiting lumpur (Thalassina anomala) yang dapat membentuk gundukan tanah besar di mulut liangnya, serta kepiting biola (Uca spp.) yang salah satu capitnya sangat besar. Terdapat sekitar 60 spesies kepiting di hutan mangrove. Kebanyakan memakan dedaunan, lainnya memakan alga atau detritus di sedimen tanah dan membuang sisanya dalam gumpalan-gumpalan pelet. 34

Macrobrachium equidens (udang muara)

Caridina propinqua

Penaeus (udang laut)

Uca rosea (kepiting biola merah)

Uca vocans (kepiting biola kuning)

Varuna yui (kepiting pendayung)

Scylla olivacea (kepiting lumpur kuning) 35

Myomenippe harwicki (kepiting batu)

Thalassina anomala (kepiting lumpur)

Coenobita cavipes (pong-pongan)

Euraphia withersi (teritip)

36

Chelicera. Chelicera yang dapat dijumpai di hutan mangrove antara lain laba-laba, kutu (mite), dan kepiting ladam. Laba-laba paling banyak dijumpai.

Hyllus diardii (laba-laba)

Argiope mangal (laba-laba)

Ligurra latidens (laba-laba)

Trombiculus (mite)

Carcinoscorpius rotundicauda (ladam; mimi-mituno).

37

Moluska. Moluska, beserta Arthropoda, merupakan inverterbrata paling banyak dijumpai di hutan mangrove, baik Gastropoda maupun Bivalvia.

Nerita lineata

Chicoreus capucinus

Nassarius jacksonianus

Onchidium griseum

Marcia marmorata 38

Ikan. Hutan mangrove merupakan tempat aman bagi berbagai jenis burung dan ikan untuk mencari makan, bersarang dan tinggal. Kebanyakan ikan yang hidup di mangrove juga ditemukan di laut sekitar pantai. Ikan ini tinggal di hutan mangrove pada waktu atau tahap tertentu, misalnya pada saat muda dan musim kawin. Terdapat pula jenis ikan tawar yang dapat hidup di area mangrove. Ketersediaan makanan dan perlindungan merupakan faktor penting yang menyebabkan ikan bermigrasi keluar masuk lingkungan ini.

Bandeng (Mugilidae)

Scatophagus argus

Stigmatogobius sadanundio

Oryzias javanicus (wader pari)

Mystus gulio Zenarchopterus buffonis Ikan gelodok (Periophthalmodonidae; Gobiidae) merupakan salah satu dari sedikit hewan yang habitatnya terbatas di area mangrove. Mereka membentuk lubang dalam tanah dan dapat berenang seperti ikan dengan menggunakan sirip pektoral, akan tetapi juga dapat memanjat pohon atau melewati tanah dengan sirip tersebut. Terdapat beberapa jenis ikan gelodok antara lain: 39

Periophthalmodon schlosseri

Periophthalmodon schlosseri

Periophthalmus novemradiatus

Boleophthalmus boddarti Burung. Beberapa spesies burung pada musim tertentu membutuhkan mangrove untuk mencari makanan dan perlindungan. Burung pemakan madu dan loriket mengunjungi mangrove pada musim berbunga. Burung lain seperti merpati imperial juga tinggal di mangrove selama musim kawin. Mangrove merupakan habitat penting bagi migrasi tahunan dan dapat menjadi tempat berlindung pada musim kemarau atau apabila hutan di dekatnya ditebangi. Burung air yang sering mengunjungi mangrove antara lain: jabiru, bangau, heron, sedangkan robin, kutilang, burung madu, dan raja udang merupakan burung daratan yang secara tetap menggunakan ekosistem mangrove.

Nycticorax nycticorax 40

Egretta garzetta (bangau)

Pluvialis fulva (wader)

Trynga totanus (wader)

Todirhamphus chloris (raja udang)

Haliastur indus (elang)

41

Nectarinia calcostetha (burung madu)

Rhiphidura javanica (kutilang)

Acridotheres javanicus (gagak)

Amaurornis phoenicurus (punik) Amfibia. Katak jarang dijumpai di kawasan mengrove. Airnya yang asin barangkali kurang cocok dengan kondisi kulit katak yang relatif tipis. Jenis katak yang kadang-kadang dapat ditemukan di kawasan mangrove adalah Rana cancrivora.

Rana cancrivora 42

Reptilia. Buaya muara (Crocodilus porosus) merupakan hewan mangrove paling buas. Mereka tidak selalu bersarang di mangrove, tertapi dapat bersarang pada vegetasi di sekitar mangrove atau pada sungai-sungai kecil yang terhubung ke pantai. Pada saat pasang reptil ini menuju mangrove untuk mencari makan. Buaya muda memakan kepiting, udang, ikan gelodok dan ikan kecil lainnya, ketika dewasa mereka juga memakan burung dan mamalia. Ular laut dan ular darat kadang-kadang ditemukan sebagai pengunjung mangrove. Ular piton merupakan pengunjung paling sering dijumpai di mangrove. Di kawasan mangrove sendiri terdapat beberapa jenis ular yang menggunakan mangrove sebagai habitat primernya. Kadal dan biawak yang memakan insekta, ikan, kepiting dan kadang-kadang burung juga menggunakan mangrove sebagai habitat utama.

Trimeresurus purpureomaculatus (ular pohon)

Acrochordus granulatus (ular belang)

Cosymbotes platyurus (tokek biasa)

Hemiphyllodactylus typus (tokek kerdil) 43

Emoia atrocostata

Varanus salvator Mamalia. Kelelawar buah (kalong) sering membentuk koloni besar di hutan mangrove dan bergelantungan di siang hari. Mamalia lain yang dapat dijumpai di tempat ini antara lain barang-barang, bajing, anjing, tikus, kera, demikian pula babi dan kerbau air.

Cynopterus brachyotis (kalong)

Amblonyx cinereus (barang-barang) 44

9 MANGROVE Nilai Kegunaan Ekosistem mangrove menghasilkan sejumlah barang dan jasa yang tidak seluruhnya laku di pasaran. Beberapa diantaranya diteruskan sebagai pelayanan untuk ekosistem pantai dan lepas pantai. Nilai ini sulit ditentukan dan sering tidak disadari, sehingga hutan mangrove seringkali diubah untuk menghasilkan produk yang langsung laku di pasaran, misalnya untuk pertambakan. Untuk itu perlu penilaian ekonomi yang lengkap mengenai barang dan jasa yang dihasilkan ekosistem mangrove sehingga memudahkan mengambil keputusan dalam pengelolaannya.

MANFAAT MANGROVE Kegunaan mangrove banyak dan beragam. Referensi tertua mengenai pemanfaatan spesies mangrove berasal dari tahun 1230 di Arab, yakni penggunaan Rhizophora. Seedlingnya digunakan sebagai sumber pangan pada musim paceklik, getah untuk mengobati sakit mulut, batang tua untuk kayu bakar, menghasilkan tanin dan pewarna, serta menghasilkan minuman yang memiliki efek aprodisiak bagi lelaki dan efek pengasihan bagi wanita. Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem paling produktif dan memiliki nilai ekonomi tinggi, antara lain sebagai sumber bahan bangunan, kayu bakar, arang, tanin, zat warna, bahan makanan, bahan obat, bahan baku dan lain-lain. Keanekaragaman hayati ekosistem mangrove berpotensi besar untuk menghasilkan produk berguna di masa depan (bioprospeksi).

45

Tumbuhan obat yang selama ini dimanfaatkan secara tradisional dapat diteliti secara mendalam hingga diperoleh obat modern. Hutan mangrove mampu melindungi pantai dari abrasi, menjaga intrusi air laut, menahan limbah dari darat dan laut, menjaga daur global karbon dioksida, nitrogen dan belerang, tempat lahir dan bersarangnya ikan, udang, kerang, burung, dan biota-biota lain, serta berperan dalam ekoturisme dan pendidikan. Namun sejumlah besar area hutan mangrove di dunia telah hilang karena pengambilan kayu, kegiatan pertanian, perikanan, industri, perdagangan, perumahan dan gangguan alam. Mangrove merupakan ekosistem produktif dengan berbagai nilai ekonomi dan fungsi lingkungan yang penting. Kegunaan mangrove dibagi dalam dua kategori. Pertama, kegunaan langsung berupa keuntungan ekonomi dalam berbagai bentuk. Kedua, kegunaan tidak langsung berupa fungsi ekologi sebagai tempat pemijahan ikan, udang dan spesies komersial lain; mencegah pantai dari erosi, menjaga tanah, dan stabilisasi sedimen; purifikasi polutan secara alamiah; fungsi sosial-budaya, ekowisata dan pendidikan.

KEGUNAAN LANGSUNG Kegunaan langsung adalah produk mangrove yang memiliki nilai pasar. Selama berabad-abad mangrove telah dieksploitasi pada tingkat yang lestari untuk kayu bakar, konstruksi bangunan, tanin, bahan obat, bahan baku industri dan bahan pangan. Pada masa sekarang kebutuhan akan tanaman pangan, area wisata dan tekanan penduduk menyebabkan sejumlah besar kawasan mangrove diubah peruntukannya. Kegunaan tradisional dan medis mangrove akan hilang jika tingkat perusakan ini melebihi daya dukung mangrove. Kayu bangunan. Fungsi utama hutan mangrove adalah menyediakan kayu untuk memasak, membangun rumah dan perahu. Secara tradisional masyarakat lokal menggunakan mangrove secara lestari, namun bertambahnya penduduk menyebabkan penggunaan secara lestari sulit dipertahankan. Kayu Nypa digunakan untuk membangun dermaga atau bangunan bawah air lain karena tahan terhadap kebusukan, atau serangan fungi dan hewan pembuat lubang kayu, sedangkan daunnya digunakan untuk atap. Heritiera dan Xylocarpus menghasilkan kayu gergajian berkualitas tinggi, meskipun kini mulai jarang ditemukan dan sulit diperoleh. Tiang utuh Rhizophora merupakan hasil hutan mangrove paling utama, mudah ditebang, dan masa panennya pendek. 46

Kayu bakar dan arang. Kayu mangrove sering digunakan secara langsung sebagai kayu bakar atau diolah lebih dahulu menjadi arang. Kayu Rhizophora dan Avicennia memiliki nilai kalor tinggi dan menghasilkan panas sangat tinggi, sehingga sangat sesuai untuk kayu bakar dan arang. Di Indonesia hal ini telah dilakukan secara komersial sejak tahun 1887. Tanin. Kulit kayu mangrove mengandung metabolit sekunder untuk pertahanan diri, yakni tanin, terutama pada Rhizophoraceae. Tanin digunakan dalam industri penyamakan kulit, seperti di India dan Bangladesh; untuk merawat jaring ikan seperti di Sri Lanka, dan bahan baku obat tradisional. Tanin juga digunakan sebagai sumber warna yang berharga, khususnya untuk menghitamkan kain etnik, seperti di Afrika Timur, Australia, Polynesia, dan Sri Lanka. Nilai penting kulit kayu tanin di negara-negara Asia kini telah menurun. Tanin mengandung dua kelompok fenol, dapat dihidrolisis dan tidak, yang diperlukan untuk sintesis obat-obatan tertentu. Tumbuhan mangrove memiliki sifat sitotoksis atau antineoplastis dan antimikrobia. Tumbuhan mangrove merupakan sumber kaya saponin, alkaloid dan flavonoid. Saponin memiliki aktivitas biologi penting sebagai spermisida dan moluskisida. Ekstraksi senyawa kimia, dikenal pula sebagai pharmacopoeia, terus berlanjut hingga kini dan yang akan datang. Bahan-bahan seperti lem hingga alkaloid, saponin, dan lain-lain sangat penting sebagai bahan baku industri modern dan kedokteran. Ekstrak akar penyangga Rhizophora apiculata dapat menghambat aktivitas larva nyamuk. Ekstrak Aegiceras mengandung saponin yang beracun sehingga dapat digunakan untuk menangkap ikan. Bahan baku industri. Mangrove dieksploitasi untuk menghasilkan lignosellulosa, bubur kertas, dan rayon. Rhizophora apiculata menghasilkan lignosellulosa yang dibutuhkan industri tekstil di seluruh dunia. Bubur kertas, batang korek api, peralatan rumah tangga, peralatan pertanian dan boneka mainan merupakan beberapa produk dari mangrove. Serat dan kertas dapat dihasilkan dari Hibiscus tiliaceus, Thespesia populnea dan Pandanus. Bahan pangan. Produk kawasan mangrove yang langsung dapat dimakan antara lain madu, lilin, daging hewan, ikan, buah-buahan, minuman dan gula. Daun Osbornia octodonata dapat digunakan sebagai bumbu penyedap masakan. Buah Avicennia marina biasa digunakan sebagai sayuran. Buah Kandelia candel dan Bruguiera gymnorrhiza mengandung pati dan apabila dirajang, direndam dalam air dan dicuci taninnya akan menghasilkan pasta yang enak dibuat kue atau roti kering. Daun muda Acrostichum dan hipokotil Bruguiera merupakan makanan pokok pada beberapa suku di Irian. Sagu 47

yang diperoleh dari batang Metroxylon sagu juga digunakan sebagai makanan pokok. Cairan nira Nypa dan Borassus dapat dibuat tuak yang memabukkan. Nypa dapat menghasilkan gula dari cairan nira yang dimasak, yang selanjutnya dapat difermentasi menjadi alkohol dan cuka. Minyak goreng juga dapat diperoleh dari tumbuhan ini. Ekstrak kayu Avicennia alba dan A. officinalis menghasilkan tonikum, serta jelly yang enak dan terasa asin dapat diperoleh dengan mengasapi leafletnya. Seedling Avicennia dan Bruguiera dapat dimasak dan dimakan terutama pada musin paceklik.

Gambar: Kegunaan tradisional mangrove

48

Kegunaan lain. Daun Nypa fruticans dapat digunakan atap, kertas sigaret, serta kerajinan tangan seperti keranjang dan topi. Gabus dapat diperoleh dari pneumatofora berbagai tumbuhan mangrove, khususnya Avicennia dan Sonneratia. Propagul Rhizophora dan Bruguiera dapat ditanam dalam pot dan menjadi tanaman hias yang indah, seperti di Jepang. Garam dapat diperoleh dengan memasak daun Avicennia dalam periuk gerabah, seperti di pantai barat Afrika. Batang dan cabang Rhizophora mucronata, R. apiculata dan Lumnitzera racemosa, dapat digunakan untuk membuat joran pancing. Daun beberapa tumbuhan mangrove dapat digunakan sebagai makanan ternak seperti sapi, kambing, onta, dan kerbau, misalnya daun Suaeda dan Porteresia di Pakistan. Beberapa tumbuhan mangrove menghasilkan oabat penguat rambut, rempahrempah, obat kuat, serta kemenyan dan parfum.

KEGUNAAN TIDAK LANGSUNG Kegunaan tidak langsung merupakan penerjemahan fungsi ekologi ekosistem mangrove, meliputi perikanan, proteksi pantai, instalasi pengolah limbah, penjaga budaya tradisional, serta pariwisata dan pendidikan. Perikanan dan daur hara. Mangrove merupakan pelayan ekosistem laut dan kawasan di sekitarnya, dimana para nelayan mencari ikan. Mangrove mensuplai makanan ke komunitas laut melalui rantai makanan detritus yang dimulai dari serasah dedaunan mangrove. Tempat ini juga merupakan habitat berbagai organisme laut yang komersial, seperti udang, kepiting dan ikan, dimana pada saat tertentu fase hidupnya menggunakannya sebagai tempat berkembang biak dan membesarkan anak. Proteksi dan konservasi habitat ini akan menjaga keberlanjutan rantai makanan dan industri perikanan.

Gambar: Nelayan di kawasan ekosistem mangrove

Proteksi pantai. Mangrove umumnya hanya terbentuk di tempat-tempat yang dipengaruhi sedimentasi. Akar mangrove yang jalin-menjalin, beserta pneumatofora dan batang mangrove dapat mengurangi kecepatan arus air, menangkap sedimen untuk menjaga ketinggian daratan pantai dan mencegah siltasi pada lingkungan laut di sekitarnya. Mangrove memainkan peranan penting untuk mencegah erosi pantai. Di seluruh dunia keberadaan mangrove dapat mengurangi kerusakan akibat angin-badai dan gelombang laut. Keberadaan komunitas mangrove memastikan stabilitas dan mencegah perubahan garis pantai dan rawa-rawa di sekitarnya. Kemampuan mangrove untuk menjadi daerah penyangga membantu mengurangi kerusakan bangunan dan jatuhnya korban jiwa pada saat badai dan tsunami. Di tempattempat dimana hutan pantai telah ditebangi, terjadi erosi dan pendangkalan pantai. Di samping itu komunitas mangrove dapat mempengaruhi daur hidrologi, dan menghambat intrusi air laut ke daratan, serta mempengaruhi mikroklimat.

49

Instalasi pengolah limbah. Dalam kondisi yang baik dan jumlah sesuai, komunitas mangrove dapat berfungsi sebagai instalasi pengolah limbah. Polutan dan sampah dari kawasan industri dan domestik, secara lamiah dapat terbenam dan terurai dalam ekosistem mangrove. Demikian pula kelebihan nutrisi kimia dari areal pertanian dapat ditangkap dan di daur ulang di hutan mangrove. Ekosistem ini, misalnya, mampu menyerap kelebihan nitrat dan fosfat dari lahan pertanian di hulu sungai, sehingga tidak mencemari perairan pantai (eutrofikasi). Namun sebaliknya volume limbah yang berlebihan dapat meracuni dan merusak ekosistem mangrove. Budaya tradisional. Bagi jutaan masyarakat asli yang tinggal di tepi pantai, hutan mangrove menjadi tempat mencari nafkah dan memenuhi berbagai kebutuhan dasar selama ratusan tahun, sehingga terbentuk budaya tradisional yang terkait dengan ekosistem ini. Misalnya Cerbera manghas digunakan untuk membuat topeng dalam perayaan tradisional, seperti di Sri Langka. Ekowisata dan pendidikan. Salah satu nilai komersial terbaru hutan mangrove adalah rekreasi dan ekowisata. Kehidupan liar mangrove merupakan atraksi wisata yang menarik, misalnya migrasi burung-burung air. Sekolah juga menggunakan kawasan ini untuk praktikum. Habitat mangrove dapat berperan penting dalam program pendidikan, rekreasi, konservasi dan penelitian untuk menemukan metode yang tepat dalam menjaga cagar alam, suaka marga satwa, taman nasional dan cagar biosfer.

Gambar: Peran ekowisata dan pendidikan di ekosistem mangrove

50

KEGUNAAN POTENSIAL: KANDUNGAN KIMIA MANGROVE Nilai kegunaan potensial sulit ditentukan. Hutan mangrove alami yang masih memiliki keanekaragaman spesies tinggi, memiliki potensi tinggi untuk menghasilkan produk yang dapat dieksploitasi di masa depan. Hal ini dikenal sebagai bioprospeksi. Berbagai spesies yang digunakan dalam pengobatan tradisional merupakan titik awal penggunaannya secara ilmiah dalam pengobatan modern. Kandungan kimia tumbuhan mangrove menghasilkan kegunaan tradisional dan medis. Tumbuhan mangrove sangat potensial sebagai sumber baru pestisida, agrokimia, bahan obat, serta senyawa-senyawa bioaktif lain. Dunia tumbuhan merupakan sumber obat-obatan baru yang tiada habis, menunggu pengungkapan lebih lanjut. Kerusakan pada ekosistem darat dan laut yang berdampak pada mangrove menyebabkan penelitian untuk menemukan obat baru dari bioaktif mangrove mendesak dilakukan. Senyawa-senyawa kimia dengan struktur kimia baru dan kelas tersendiri telah dikarakterisasi dari tumbuhan mangrove. Penelitian kandungan kimia tumbuhan mangrove memiliki dua alasan utama: Pertama, mangrove merupakan salah satu tipe hutan tropis paling mudah ditanam, dan dapat tumbuh pada tempat dimana tumbuhan lain tidak mampu. Mangrove tumbuh di lokasi penuh stres seperti lingkungan yang fluktuatif, kelembaban tinggi, mikroorganisme dan insekta melimpah. Mangrove tumbuh dengan subur pada lingkungan yang sangat khusus dan berperan sebagai jembatan antara ekosistem tawar dan laut. Hal ini disebabkan adanya beberapa modifikasi untuk mangatur air dan garam, serta modifikasi fisiologis dalam metabolisme karbohidrat, sintesis polifenol dan lain-lain. Oleh karena itu mangrove diduga memiliki senyawa kimia khas yang melindunginya dari berbagai tekanan ini. Kedua, berbagai tumbuhan mangrove telah digunakan dalam pengobatan tradisional, dan ekstraknya diketahui memiliki aktivitas melawan penyakit pada manusia, hewan dan tumbuhan, namun masih sedikit penelitian untuk mengidentifikasi metabolit yang bertanggungjawab terhadap bioaktivitas ini.

51

10 MANGROVE Konservasi dan Legislasi KONSERVASI Mangrove telah lama menjadi sumber kekaguman orang awam dan perhatian peneliti. Bagi masyarakat yang hidup di kawasan Indo-Pasifik Barat dan Amerika-Afrika Barat, istilah mangrove sangat familiar. Dalam imajinasi samar yang romantis, hutan mangrove akan diangankan sebagai area yang selalu tergenang dan memiliki sistem perakaran aerial yang khas. Namun kebanyakan orang menganggap hutan mangrove hanya sebagai rawa-rawa yang menjadi sarang nyamuk, lalat, ular, tidak sehat dan berbahaya. Sehingga konsep pengelolaan hutan mangrove tidak dimiliki kebanyakan orang, termasuk para pengambil keputusan. Hutan mangrove banyak yang rusak karena aktivitas penebangan hutan, konversi ke lahan pertanian, pertambakan ikan dan garam, industrialisasi dan urbanisasi. Pertambakan udang merupakan perusakan terbesar ekosistem mangrove. Di tempat tertentu seperti Irian, Papua Nugini, Thailand dan Malaysia sejumlah besar mangrove dirusak oleh penambangan timah dan mineral lain. Manajemen lestari ekosistem mangrove harus merupakan konsep pengelolaan ekosistem secara utuh, meliputi kawasan hulu sungai dan kawasan pantai di sekitarnya. Mengingat hutan mangrove merupakan ekosistem rapuh yang dipengaruhi lingkungan daratan dan lautan. Restorasi mangrove. Hutan mangrove yang rusak dapat melakukan penyembuhan sendiri melalui suksesi sekunder dalam periode 15-30 tahun, dengan syarat sistem hidrologi pasang-surut tidak berubah, dan tersedia biji 52

(propagul) atau seedling. Oleh kerena itu sebelum dilakukan restorasi hutan mangrove hambatan yang dapat mencegah suksesi sekunder harus dihilangkan terlebih dahulu. Mangrove juga dapat dibuat dengan menghutankan dataran pasang surut yang gundul dan tempat-tempat yang dalam kondisi normal tidak ditumbuhi mangrove. Restorasi mangrove tanpa memperhatikan kemampuan alam untuk melakukan penyembuhan dapat menyia-nyiakan dana investasi yang besar. Pada tahun 1989-1995 area seluas 9050 ha di Bengali Barat, India ditanami mangrove, namun hanya 1,52% yang berhasil tumbuh. Sebaliknya di Tembilahan, Indonesia dari area seluas 715 ha hanya 10%-nya yang perlu ditanami mangrove, karena sebagian besar memiliki seedling alami sebanyak 2500 pohon per ha. Demi keberhasilan restorasi hutan mangrove perlu diperhatikan: • Autekologi setiap spesies mangrove, terutama pola reproduksi, penyebaran propagul, dan kemampuan seedling untuk bertahan. • Pola hidrologi yang mengatur distribusi, keberhasilan bertahan, dan pertumbuhan spesies mangrove. • Lingkungan mangrove yang menghambat suksesi sekunder secara alami. • Restorasi pola hidrologi dan penggunaan propagul alami setempat. • Penanaman dilaksanakan setelah langkah-langkah di atas dilakukan. Bibit tanaman dapat diperoleh dari seedling alamiah (wildling), biji dan propagul, serta seedling dari kebun bibit. Restorasi hutan mangrove dengan Rhizophora seluas 500 hektar di Sinjai, Sulawesi pada tahun 1985 dilakukan dengan wildling sehingga mengurangi biaya pembibitan. Namun beberapa spesies seperti Avicennia, Sonneratia, dan Xylocarpus memerlukan pembibitan, karena bentuk dan ukuran bijinya yang lebih kecil. Pembibitan biasanya dilakukan pada Desember-Januari. Terdapat 12 spesies yang biasa digunakan untuk restorasi hutan mangrove, sepuluh spesies merupakan tumbuhan mangrove mayor dan minor, yaitu Rhizophora, Bruguiera, Sonneratia, Heritiera, Lumnitzera, Ceriops, Avicennia, Excoecaria, Xylocarpus, Nypa, serta dua spesies tumbuhan asosiasi, yaitu Cassuarina dan Hibiscus. Pemilihan spesies yang tepat untuk setiap lingkungan mikro sangat penting dalam penanaman mangrove, jumlah bibit untuk setiap luasan perlu diketahui untuk menjaga kompetisi. Penghutanan mangrove memerlukan perhatian intensif selama sekitar 75 hari pertama sejak penanaman, dimana perlu dilakukan penyulihan tanaman yang rusak. Hal-hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah: luas area yang digenangi pasang-surut, tingginya genangan pasang, kecepatan aliran permukaan dan arus pasang surut, salinitas air pasang, masukan air tawar, sedimen yang terbawa air, tekstur tanah, pengaruh fisik gelombang pasang, dan suhu air. 53

• • • • • •

Strategi manajemen:. Manajemen mangrove merupakan bagian dari manajemen kawasan daratan dan pantai secara keseluruhan. Rencana manajemen mangrove harus diikuti sebanyak mungkin elemen stakeholders, seperti pemerintah, LSM, pengguna hutan (perhutani), masyarakat setempat dan ilmuwan. Peningkatan kepedulian masyarakat setempat dengan meningkatkan nilai mangrove yang terkait langsung dengan kepentingan mereka. Perlu database penelitian yang sistematis. Perlu komitmen politik untuk manajemen mangrove berkelanjutan. Perlu kerjasama konsep dan pengalaman lapangan dalam pengelolaan.

LEGISLASI Suaka mangrove. Ekosistem mangrove mempengaruhi hutan mangrove sendiri dan perairan di sekitar pantai. Detritus organik yang dihasilkan mangrove sebagian besar dikirim ke kawasan pantai dan membantu produktivitas perairan, sehingga terdapat kaitan yang luas antara mangrove dengan perairan pantai. Pada kenyataanya mangrove secara konstan berkurang sehingga perlu teknik manajemen tertentu untuk mengelola ekosistem yang bernilai ini secara keseluruhan. Pembuatan suaka mangrove merupakan strategi penting untuk melindungi mangrove dan ekosistem di sekitarnya, termasuk flora, fauna, komponen biotik dan abiotik. Pembentukan suaka mangrove diharapkan dapat berpengaruh positif terhadap konservasi biodiversitas. Penerapan pendekatan konservasi harus dilakukan secara tegas. Pemanenan produk dan jasa pada bagian tertentu kawasan suaka ini tidak dapat dilakukan. Kepemilikan hutan mangrove. Hak kepemilikan hutan mangrove secara lokal dan nasional umumnya tidak jelas, sehingga penanggung jawab kawasan ini tidak pasti. Hal ini menyebabkan tingginya degradasi hutan mangrove, dimana pemberian kompesasi kepada pemilik lahan untuk mencegah perusakan juga sulit dilakukan. Konsesi hak untuk menebangi hutan mangrove telah mengurangi luas dan kerapatan mangrove, serta menekan ekosistem yang tersisa secara nyata. Untuk itu kepemilikan hutan mangrove harus dipertegas, termasuk kawasan terbuka yang potensial untuk ditanami mangrove. Selanjutnya dibuat peraturan yang tegas dan dilakukan penegakan hukum secara konsisten. Sehingga ekosistem mangrove dapat terjaga kelestariannya. 54

11 MANGROVE Riset

Ekosistem mangrove menyimpan sejumlah besar permasalahn biologi yang menunggu untuk dipecahkan. Permasalahan ini menjadi sangat wigati, mengingat Indonesia merupakan pusat distribusi mangrove dunia. Topik-topik yang menarik untuk diteliti antara lain: • Floristik, morfologi, fenologi, distribusi, biogeografi, dan genetika tumbuhan mangrove. • Ekologi ekosistem mangrove, termasuk hubungan antara flora dan fauna. • Pengaruh stres lingkungan terhadap pertumbuhan dan perkembangan, rekruitmen, dan regenerasi mangrove. • Pengaruh tumpahan minyak bumi pada habitat mangrove dan penyembuhannya. • Restorasi dan rehabilitasi habitat mangrove, termasuk pembuatan semaian bibit, penanaman, dan perluasan mangrove pada area secara normal tidak ditumbuhi mangrove.

55

12 MANGROVE Jalan-jalan di Hutan Mangrove

Mangrove merupakan hutan cantik yang aman, namun untuk menikmatinya perlu disiapkan hal-hal berikut: • Berpakaian lengkap dan menutupi seluruh tubuh. Baju lengan panjang, celana panjang untuk melindungi diri dari sengatan matahari, lalat dan nyamuk; sepatu yang kuat untuk melindungi kaki saat melewati lumpur; serta obat pencegah serangga. • Pada mangrove tertentu yang alami masih dijumpai buaya muara, oleh karena itu perlu dihindari berdiam terlalu lama di dekat sungai-sungai kecil di dalam mangrove. • Pastikan tahu waktu pasang naik. Hal ini dapat ditanyakan kepada lembaga resmi atau kepada nelayan yang sehari-hari bekerja di lautan sekitarnya. • Apabila memungkinkan perlu digunakan perahu, sehingga dapat menjelajahi area yang luas.

56

Bagian 2 BIODIVERSITAS

57

58

1 BIODIVERSITAS Pengantar

Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman makhluk hidup dari semua sumber, meliputi tingkat gen (yakni: unit herediter terkecil yang mewariskan sifat keturunan dari induk kepada anak), spesies (yakni: unit dasar penyusun kehidupan yang dapat berkawin, dan menghasilkan keturunan fertil; seperti bakteri, fungi, tumbuhan berbunga, moluska, arachnida, ikan, burung, mamalia; bahkan manusia), dan ekosistem, (yakni: kesatuan bentuk kehidupan antara makhluk hidup dengan habitatnya; seperti pantai, laut dan terumbu karang, hutan bakau, sungai, sungai bawah tanah, padang rumput, hutan daratan rendah, hutan pegunungan, kawasan alpin dan lain-lain). Beberapa pakar memasukkan variasi budaya manusia ke dalam ruang lingkup biodiversitas, seperti orang berkebudayaan Aceh, Bali, Sumatra Selatan, Irian, Makassar, Toraja dan lain-lain. Posisi Indonesia di katulistiwa, di antara benua Asia dan Australia, di antara samudera Pasifik dan Hindia, terbentang sepanjang lebih dari 5.000 km dan seluas 7,7 juta km2, terdiri dari 17.500 pulau dengan panjang pantai lebih dari 81.000 km menyebabkan terbentuknya bermacam-macam ekosistem, yang dihuni oleh berbagai macam spesies, sehingga Indonesia memiliki biodiversitas sangat melimpah. Beberapa pakar mengakui Indonesia sebagai negara dengan biodiversitas tertinggi, lebih tinggi dari negara-negara di Afrika tengah dan Brasil yang sama-sama negeri tropis. Alfred Russel Wallace dalam bukunya “The Malay Archipelago” (1868) dan Charles Darwin dalam bukunya “The Origin of Spesies” menyatakan bahwa keanekaragaman hayati terbentuk secara alami melalui mekanisme seleksi 59

alam, adaptasi dan evolusi selama jutaan tahun.Menurut Wallace kepulauan Nusantara memiliki tiga bioregion, yaitu Indo-Malaya yang bertipe Asia di bagian barat meliputi Sumatera, Kalimantan dan Jawa; Austro-Malaya yang bertipe Australia di bagian timur meliputi Irian dan Maluku, serta tipe peralihan di bagian tengah, meliputi Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat. Setiap kawasan memiliki keanekaragaman spesies sangat tinggi. Indonesia bagian barat memiliki gajah dan macan, seperti Asia, sedangkan Indonesia bagian timur memiliki berbagai burung paruh bengkok dan hewan berkantung, seperti Australia. Adapun Indonesia bagian tengah memiliki spesies peralihan seperti burung rangkon yang “bercula” dan Tarsius yang berkantung. Sebagai negara kepulauan terluas, Indonesia memiliki spesies endemik paling beragam, misalnya orangutan di Sumatra dan Kalimantan, cendrawasih di Irian, komodo di Nusa Tenggara, dan babi rusa di Sulawesi. Indonesia memiliki bermacam-macam ekosistem, yang dihuni berbagai macam spesies. Meskipun luasnya hanya 1,3% permukaan bumi, kawasan ini merupakan habitat bagi 10% tumbuhan berbunga, 12% mamalia, 16% reptilia dan amfibia, 17% burung, dan 25% ikan. Beragam tipe pantai ditemukan di Indonesia, mulai dari pantai landai dan berpasir atau berpasir putih, pantai terjal berkarang, hingga muara sungai yang berlumpur. Terumbu karang Indonesia sangat luas (42.000 km2), dengan keanekaragaman jenis karang, ikan dan organisme terumbu karang terkaya di dunia. Kekayaan laut di wilayah Indo-Pasifik Barat merupakan yang tertinggi di dunia. Lebih dari 25% ikan dunia dapat ditemukan di Indonesia. Hutan mangrove Indonesia merupakan yang terluas didunia, yakni lebih dari 4 juta hektar. Terdiri dari 100-an spesies mangrove mayor, minor dan tumbuhan asosiasi. Indonesia mempunyai cukup banyak sungai besar, seperti Bengawan Solo di Jawa, Sungai Musi dan Batanghari di Sumatra, Sungai Mahakam dan Barito di Kalimantan, Sungai Mamberamo di Irian dan lain-lain. Sungai-sungai ini memiliki keragaman spesies endemik cukup tinggi, misalnya arwana di Kalimantan dan Irian, serta pesut di Mahakam. Negara kepulauan dengan sungai-sungai besar ini menjadi habitat sejumlah besar tumbuhan mangrove. Kawasan Asia Tenggara yang di dominasi negara Indonesia merupakan tempat asal, pusat biodiversitas dan pusat distribusi tumbuhan mangrove dunia. Sayangnya kawasan mangrove ini seringkali tidak dipahami fungsi ekonomi dan ekologinya sehingga dirusak oleh penebangan hutan, konversi ke lahan pertanian, pertambakan ikan dan garam, industrialisasi dan urbanisasi. Dalam praktikum ini dicoba untuk mengungkapkan keanekaragam tingkat genetik, spesies, dan ekosistem kawasan mangrove di Jawa, salah satu lingkungan di Indonesia yang paling dinamis dan berubah cepat. 60

2 BIODIVERSITAS Genetik – Isozim/Protein

Populasi merupakan bagian dari ekosistem yang memiliki peranan penting dalam kajian keanekaragaman hayati. Di alam, tumbuhan, hewan dan mikrobia membentuk kelompok-kelompok yang yang berubah secara spatial (ruang) dan temporal (waktu), sebagai bentuk adaptasi untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Setiap populasi mempunyai pola tanggapan yang spesifik terhadap lingkungan fisik-kimia dan kompetisi biologi. Tanggapan ini tidak selalu dapat dirunut berdasarkan karakter morfologi yang tampak (fenotip). Dalam tulisan ini akan diketengahkan penggunaan isozim untuk mengidentifikasi keragaman pada tingkat populasi. Keanekaragaman hayati merupakan bidang biologi yang mendapatkan perhatian secara luas dan terus-menerus sepanjang sejarah kehidupan manusia. Pada awal perkembangannya biologi hanyalah sekelumit ilmu yang mendeskripsikan makhluk hidup, sehingga hampir diidentikkan dengan taksonomi, yakni ilmu yang membahas identifikasi, deskripsi dan pemberian nama organisme hidup, meliputi tumbuhan, hewan dan mikrobia. Dengan berkembangnya sains, perhatian terhadap keanekaragaman hayati semakin intensif, karena keanekaragaman hayati merupakan sumber plasma nuftah yang diperlukan bagi pengembangan biologi molekuler yang di masa depan diharapkan dapat menjamin sumber pangan, obat dan bahan baku industri. Para pakar umumnya sepakat bahwa keanekaragaman hayati dapat digolongkan dalam tiga tingkatan, yaitu gen, spesies dan ekosistem. Populasi merupakan satuan penyusun ekosistem yang sangat penting. Komunitas penyusun populasi selalu melakukan adaptasi secara spasial dan temporal 61

terhadap perubahan habitatnya. Dalam jangka panjang hal ini akan menyebabkan munculnya ekotipe-ekotipe yang spesifik sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap lingkungan tempat hidup. Kenakeragaman hayati dalam populasi dapat didekati dengan metodemetode yang biasa digunakan dalam taksonomi. Secara tradisional keanekaragaman hayati didekati melalui karakter morfologi, namun sifat ini memiliki banyak keterbatasan mengingat sedikitnya jumlah ciri-ciri yang dapat dianalisis, di samping adanya plastisitas fenotipe dan pengaruh lingkungan. Pada tingkat populasi penggunaan sifat ini untuk menganalisis keanekaragaman semakin tidak berarti, karena tingginya persamaan ciri-ciri morfologi dan semakin sedikitnya sifat pembeda yang dapat diungkapkan. Perkembangan peralatan mikroskopi dan metode biokimia, membuka luas sifat-sifat yang dapat dianalisis, sehingga dikenal biosistematika atau taksonomi eksperimen, sebagai bidang biologi yang mewadahi kajian keanekaragaman hayati berdasarkan pendekatan sifat-sifat baru yang ditemukan dengan kemajuan peralatan dan metode tersebut, antara lain: sitologi, sitogenetika, palinologi, kemotaksonomi dan lain-lain. Perkembangan lebih lanjut pada biologi molekuler menyebabkan ruang lingkup kajian keanekaragaman hayati hampir tanpa batas, mengingat sifat ini mampu menguji adanya variasi hingga tingkat individu. Kromatografi dan elektroforesis. Pada beberapa dekade terakhir, kemajuan peralatan dan metode biokimia berkembang pesat, sehingga identifikasi diversitas biologi menggunakan ilmu ini menjadi menarik, khususnya dengan penemuan teknik kromatografi dan elektroforesis. Dengan kromatografi maka kandungan kimia suatu organisme dapat dikualifikasi dan dikuantifikasikan sehingga sangat berharga sebagai sifat pembeda. Pada saat ini kandungan kimia tumbuhan tersebar sangat luas, akan tetapi umumnya dikelompokkan sebagai golongan terpenoid, flavanoid dan alkaloid. Teknik elektroforesis membuka cakrawala yang lebih luas lagi. Dengan teknik ini maka makromolekul dapat diseparasikan menjadi beberapa bagian sesuai dengan berat molekulnya, sehingga terbentuk pita-pita yang dapat digunakan untuk mengetahui variasi pada suatu populasi. Umumnya teknik ini dikenakan pada material protein/enzim dan DNA, sehingga tingkat keakuratannya sangat tinggi dan sangat sesuai untuk menguji keanekaragaman pada tingkat populasi. Protein. Pendekatan keanekaragam hayati melalui pola elektroforegram protein umumnya dikenakan terhadap protein cadangan makanan pada biji (seed protein). Dalam hal ini visualisasi dilakukan dengan pewarna protein, 62

misalnya Coomassie Blue dan Indigo Black. Penggunaan pola protein biji (atau polen) yang dihasilkan oleh serangkaian kondisi elektroforesis untuk studi populasi, di masa depan kemungkinan akan surut karena dipertanyakannya validitas data yang dihasilkan. Dengan metode ini setiap protein biji dapat memunculkan lebih dari 20 pita dengan pola yang kompleks sehingga sulit diitepretasikan. Di samping itu pola pita yang dihasilkan tidak stabil dan sangat tergantung kondisi peralatan elektroforesis yang digunakan, sehingga untuk memastikan pola pita yang muncul adalah asli atau hanya akibat kondisi elektroforesis perlu dilakukan beberapa kali ulangan dalam kondisi yang berbeda-beda. Kesulitan ini menyebabkan metode protein biji mulai ditinggalkan, sejalan dengan meningkatnya popularitas penggunaan isozim.

Gambar: Jalur pembentukan protein dari DNA.

63

Isozim. Isozim merupakan pola pita multiple yang muncul pada elektroforesis dengan pewarna histokimia, karena adanya aktifitas enzim. Pitapita ini dikode lebih dari satu lokus gen struktural, apabila dikode alel yang segregasi pada lokus tunggal disebut allozim. Metode ini sangat berguna untuk studi keanekaragaman pada tingkatan taksa yang rendah, seperti spesies, subspesies dan populasi. Selama beberapa dekade terakhir, isozim telah memberikan sumbangan nyata terhadap studi variasi populasi. Isozim mendeteksi variasi urutan asam amino suatu protein yang memiliki fungsi katalitik sama, atau dengan kata lain ia mendeteksi variasi urutan DNA yang mengkode protein. Variasi isozim secara efektif dapat digunakan untuk mengetahui persamaan genetik di antara individu, populasi dan spesies yang memiliki kekerabatan dekat. Penggunaan data isozim untuk studi populasi lebih baik menggunakan beberapa enzim dari pada hanya satu jenis saja. Salah satu kelebihan isozim adalah mereka merupakan karakter kodominan, sehingga individu heterozigot dapat dibedakan dengan homozigot. Di samping itu mereka relatif murah dan mudah diuji. Sayangnya setiap enzim pewarna hanya memberikan sedikit pita isozim bahkan kadang-kadang tidak muncul, sehingga perlu digunakan beberapa macam enzim pewarna sampai diperoleh hasil yang dibutuhkan untuk studi variasi populasi. Hal ini menyebabkan sebagian peneliti lebih menyukai menggunakan variasi urutan DNA secara langsung, tidak melalui isozim. Enzim pewarna yang seringkali muncul pada makhluk biologi adalah esterase (EST). Mengingat setiap protein/isozim selalu merupakan hasil kerja sebuah gen, sebagaimana dalil “one gene one protein” maka bersama penanda DNA keduanya sering disebut penanda genetik (genetic marker) (periksa Gambar). Oleh karena itu “semestinya” akurasi kedua karakter ini tidak berbeda jauh, khususnya antara isozim dengan DNA, sedang protein sebagaimana dijelaskan di atas memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga akurasinya jauh di bawah isozim dan DNA. Namun bagaimanapun juga DNA memiliki lebih banyak situs yang dapat dideteksi untuk variasi populasi karena adanya intron yang tidak muncul dalam protein, khususnya pada organisme eukaryota. Sedangkan pada organisme prokaryota, seperti bakteri, intron tidak terdapat dalam materi genetik karena sudah dalam bentuk RNA.

64

3 BIODIVERSITAS Spesies – Identifikasi Morfologi

Salah satu tugas taksonomi adalah mengidentifikasi, mendiskripsikan dan mengklasifikasikan spesies, serta dan melakukan peninjauan ulang dan memperbaharui klasifikasi lama apabila diperlukan. Identifikasi tumbuhan perlu dilakukan baik terhadap spesimen awetan (herbarium), maupun tumbuhan hidup di lapangan. Petugas kehutanan, biologi, ekologi, arsitek pertamanan, geografi dan lain-lain membutuhkan nama yang akurat untuk tumbuhan yang dikerjai.

PROSES IDENTIFIKASI TUMBUHAN Proses identifikasi tumbuhan termasuk membangun keahlian botani sehingga dapat menentukan, mendeskripsi, menggunakan kunci identifikasi morfologi, dan mengenal sifat-sifat morfologi dan ekologi tumbuhan, meliputi semua sifat tampak yang secara kolektif khas untuk suatu tumbuhan. Dengan kata lain, sifat morfologi dan ekologi suatu spesies dapat dianggap baik apabila seragam dalam suatu spesies (atau sub spesies), sedangkan sifat dianggap buruk apabila terdapat keberagaman di antara individu pada taksa yang sama, sehingga sulit untuk memastikan suatu spesies. Beberapa sifat baik memiliki keterbatasan karena tergantung musim, misalnya bunga dan buah pada umumnya tumbuhan tropis, serta daun pada tumbuhan desidus. Meskipun taksonomi secara apriori menggunakan sifat bunga untuk klasifikasi,

65

namun dalam praktek identifikasi di lapangan bunga kadang-kadang kurang berarti, sebaliknya sifat vegetatif lebih penting. Klasifikasi tumbuhan mencakup empat proses dasar, yaitu: 1. Pengenalan sifat-sifat pembeda. 2. Penerapan terminologi botani. 3. Penggunaan kunci identifikasi, 4. Deskripsi spesies.

SUMBER SIFAT-SIFAT PEMBEDA Sifat pembeda (diagnostik) dapat dijelaskan melalui checklist di bawah. Pada pohon dan semak-semak, sifat pembeda terbagi dalam enam kelompok: 1. Habitus, yakni penampakan keseluruhan atau siluetnya. 2. Bolus, yakni ciri-ciri batang. 3. Daun, hijau sepanjang tahun atau rontok pada musim kemarau. 4. Cabang, sangat berguna pada tumbuhan desidus. 5. Bunga dan buah, sangat berguna bila tersedia. 6. Habitat, sangat panting pada kamunitas tumbuhan di alam. Setiap katagori di atas dapat dipilahkan dalam checklist di bawah: 1. Habitus 1.1. Ukuran: besar > 30 m, sedang 10-30 m, kecil < 10 m, seedling < 0,5 m. 1.2. Bentuk: kubah (dome), kerucut (conic), kolom (columnar). 1.3. Percabangan: berkarang (whorled), beraturan (regular), tidak beraturan (irregular), tegak (ascending), tergantung (pendulous). 1.4. Akar: aerial/ pneumatofora (penyangga, lutut, pasak), papan; di permukaan tanah, di bawah tanah. 2. Batang 2.1. Bentuk batang: bentuk, papan, akar. 2.2. Kulit kayu: warna, tekstur, pola. 2.3. Blaze (kilap): warna, tekstur, getah, bau. 2.4. Lain-lain: lichenes, fungi, cauliflora, dll. 3. Daun 3.1. Rangking: tunggal, majemuk beranak daun dua, dst. 3.2. Duduk daun: daun duduk, bertangkai. 3.3. Stipula: absen, presen (persisten atau desidus). 66

3.4. Susunan: tunggal, majemuk (menjari atau menyirip) 3.5. Warna: warna yang tampak atau tidak berwarna. 3.6. Ukuran: lepto- nano- mikro- meso- makro- megafil. 3.7. Bentuk: keseluruhan, ujung, pangkal. 3.8. Tepi: keseluruhan, macam-macam gerigi. 3.9. Venasi: reticulate, penniveined, paralel, dikotom. 3.10. Lain-lain: kelenjar, pulvinus, bulu, lilin, bau, rasa. 4. Cabang 4.1. Pertumbuhan: terus tumbuh atau musiman, monopodial atau simpodial. 4.2. Tunas: vegetatif atau reproduktif, terminal atau lateral. 4.3. Kulit: warna, retakan, pola. 4.4. Bekas luka: daun, stipula. 4.5. Lentisel: jumlah, ukuran, warna, pola. 4.6. Pith (inti): solid atau berongga empulur, warna, ukuran, bentuk. 4.7. Lain-lain: kelenjar, bulu, lilin, bau. 5. Buah dan Bunga 5.1. Infloresensi: tipe, jumlah bunga, duduk bunga. 5.2. Bunga: warna dan ukuran perianthium, kelopak, mahkota, stilus, stamen, anthera. 5.3. Buah dan biji: tipe, warna, ukuran, tekstur. 6. Habitat 6.1. Distribusi spesies: geografi/regional/lokal, alamiah atau ditanam. 6.2. Preferensi tempat: • Topografi: ketinggian, pemandangan, kemiringan lereng, posisi. • Tanah: kimia, fisika, mikrobiologi. • Iklim: suhu, curah hujan, arah angin, kebakaran. • Biologi: hama dan penyakit, budidaya pertanian, poluasi. 6.3. Modifikasi tempat: erosi, reklamasi, pemupukan, irigasi dan lain-lain. Karakter yang dipilih dalam identifikasi di lapangan. Sifat yang dipilih untuk identifikasi di lapangan tergantung musim dan tipe vegetasi. Musim mempengaruhi ketersediaan bahan, misalnya pada musim kemarau tumbuhan tertentu, seperti ketepeng memiliki sedikit daun. Tipe vegetasi dipengaruhi musim sehingga mempengaruhi ketersediaan karakter yang digunakan. Di Jawa terdapat hutan jati (desidus) yang akan menggugurkan daunnya di musim kemarau, sedangkan lainnya merupakan hutan tropis yang selalu hijau, termasuk hutan mangrove, meskipun pada 67

musim kemarau beberapa spesies asosiasi merontokkan sebagian daun. Kesulitan mendapatkan sumber identifikasi juga terjadi apabila tumbuhan terlelau tinggi, sehingga menghalangi akses mendapatkan daun, bunga, dan buah segar. Pada hutan mangrove tanah yang tidak stabil kadang-kadang berbahaya untuk didatangi. Material dari satu pohon kadang-kadang sulit dibedakan dengan dengan pohon lain untuk mengetahui keanekaragam spesies. Identifilasi sulit dilakukan berdasarkan sifat bolus dan kulit batang, dalam hal ini daun merupakan karakter kedua paling penting setelah bunga dan buah. Sayangnya bunga kadang-kadang hanya tersedia dalam jangka waktu pendek, dan musim pembungan setiap spesies berbeda-beda.

DEFINISI PENTING Spesies: sekelompok populasi yang berbeda dengan populasi lain dengan mencegah perkawinan dan dapat dikenali berdasarkan sifat morfologi. Spesies sibling adalah spesies yang berkerabat dekat, sehingga kadangkadang dijadikan sub spesies. Sub spesies Subspesies (Subsp.): tingkatan optional di bawah spesies dan di atas varietas; berdasarkan karakter minor dan memiliki daerah sebaran geografi tertentu. • Varietas (Var): taksa di bawah spesies dan subspesies; berdasarkan karakter warisan minor dan sering memiliki daerah sebaran geografi tertentu. • Forma (f): taksa yang didasarkan pada karakter yang lebih sepele dan daerah sebaran geografinya kurang terpisah dibandingkan subspesies atau varietas. • Kultivar (cv): tingkatan yang terdiri dari genotip tertentu yang sengaja diseleksi, sering diperbanyak secara aseksual untuk mendapatkan sifatsifat tertentu.



Beberapa istilah dasar yang penting. Genotip: kandungan hereditas (gen) yang diekspresikan atau tidak, menunjukkan satu atau lebih sifat. • Fenotip: sifat-sifat yang tampak dari suatu organisme; merupakan hasil interaksi antara gen dan lingkungan; dan diperoleh secara individual. • Populasi: kelompok individu sama yang tinggal di suatu tempat dan waktu



68



tertentu, sehingga membentuk unit genetik. Semua individu merupakan spesies yang sama meskipun terletak pada komunitas yang berbeda. Takson (jamak: taksa): unit taksonomi dengan tingkat klasifikasi tertentu.

Kategori ekogenetik. Populasi: unit evolusioner yang terdiri dari sejumlah kelompok individu yang saling dapat berkawin. • Ras (race): populasi dalam suatu spesies yang diskontinue dan berbeda dengan populasi lain spesies yang sama. Apabila sangat khas disebut landrace (varietas lokal). Apabila sifat pembedanya merupakan ciri khas untuk beradaptasi terhadap lingkungan disebut ekotipe. • Ekotipe: ras yang terbentuk sebagai adaptasi terhadap perbedaan habitat. Perbedaan sifat fisiologi tertentu kadang-kadang hanya tampak apabila ekotipe yang berbeda ditanam di tempat sama. Ras dan ekotipe dapat beradaptasi terhadap iklim, tanah, dan lingkungan geografi yang berbeda. • Klin (cline): gradien geografi fenotipe dalam jangkauan spesies, sering kali merupakan pengaruh gradien lingkungan. Penerapan klin lebih ditujukan untuk populasi dari pada ekotipe, verietas atau ras. •

• • •



• •

Terminologi dan kategori lain. Mutan: variasi individu yang muncul secara mendadak dari fenotipe induk karena perubahan genetik. Kultivar dapat diperoleh dari proses mutasi. Klon (clone): sekelompok tumbuhan yang berasal dari individu tunggal (ortet) melalui reproduksi aseksual. Semua anggota klon (ramet) memiliki genotip sama. Hibrida: anakan dari induk yang berbeda spesies. Hibrida sekawan (hybrid swarm): populasi yang terdiri dari spesies induk, hibrida anakan, backcross dan berbagai macam silangannya. Hibrida phantom: populasi yang tersusun oleh hibrida dari dua spesies induk dimana salah satu atau keduanya sudah punah. Populasi introgresi: populasi alam yang terbentuk karena infiltrasi gen dari satu populasi ke populasi lain melalui hibridisasi, dimana terjadi pemantapan hibrida melalui backcross dengan salah satu induk. Hibrida sekawan merupakan tahap antara proses introgresi. Kimera (chimera): tumbuhan yang secara genetik memiliki bagian-bagian jaringan yang berbeda-beda, misalnya: daun hijau dengan bagian tertentu putih. Kimera yang bereproduksi secara aseksual distatusi kultivar. Provenansi: sumber asal usul geografi suatu biji atau propagul, misalnya Indonesia adalah provenansi sebagian besar tumbuhan mangrove dunia.

69

4 BIODIVERSITAS Ekosistem – Analisis Vegetasi

DENSITAS, FREKUENSI DAN DOMINASI Kajian vegetasi atau komunitas tumbuhan di dalam ekosistem umumnya terkait dengan: 1. Komposisi dari struktur vegetasi sebagai gambaran karakter ekologi di ekosistem tersebut. 2. Hubungan atau asosiasi antara komunitas tumbuhan dengan faktor lingkungan, sehingga dapat menjawab terjadinya keanekaragaman tumbuhan, baik secara spasial (tempat) maupun temporal (waktu). 3. Kajian dengan tema khusus, misalnya: jumlah kayu di suatu ekosistem hutan, kualitas habitat satwa liar, distribusi satwa liar dan lain-lain. Pengambilan sampel (sampling) tumbuhan yang representatif adalah sampling yang mengikuti kaidah akurasi dan presisi. Akurasi artinya nilai sampel mendekati nilai sebenamya di alam, adapun presisi adalah nilai sampel mendekati (mengelompok) di sekitar nilai mean (rerata) populasi sampel. Pada pengambilan sampel juga harus dihindari adanya bias, yaitu distorsi sistematik karena tidak tepatnya pengukuran atau tidak tepatnya penerapan metode koleksi sampel. Agar sampel yang terambil bersifat valid dan tidak bias, sering kali dilakukan pengambilan cuplikan secara random (acak), sehingga semua bagian area kajian memiliki peluang atau kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Secara garis besar, metode pengambilan sampel dibedakan menjadi metode plot (metode kuadrat, metode releve dan metode transek), dan metode tanpa plot (metode kuadrat titik). 70

Metode untuk menganalisis vegetasi tumbuhan tergantung pada berbagai variabel, antara lain: tujuan penelitian, tipe struktur vegetasi, karakter vegetasi yang diukur, seperti: densitas, dominansi, frekuensi, dan lain-lain, derajat akurasi dan presisi yang diinginka, serta waktu, dana dan tenaga yang ada. Parameter vegetasi yang diukur secara kuantitatif meliputi: densitas, frekuensi dan dominansi. Dari nilai ini dapat diketahui nilai penting dan indek similaritas arau diversitas. Densitas (kerapatan) Densitas adalah jumlah cacah individu suatu spesies per satuan luas. Jumlah cacah individu seluruh spesies Densitas seluruh spesies = ------------------------------------------------------Luas area cuplikan (m2 atau Ha) Luas area cuplikan adalah jumlah plot dan luas plot yang diteliti. Misalnya jumlah plot yang diamati sebanyak 10 buah, dengan luas masing-masing plot 10 m x 10 m = 100 m2, maka luas total seluruh area yang dicuplik adalah 10 x 100 m2 = 1000 m2. Apabila total cacah individu spesies A yang ditemukan pada seluruh plot yang dikaji (10 plot) = 345 buah, maka densitas spesies A = 345 / 1000 m2 = 0,45 / m2. hal ini disebut densitas absolut atau aktual. Informasi tentang hubungan antara cacah individu suatu spesies dengan total cacah individu seluruh spesies dalam seluruh plot yang dikaji akan diketahui dengan menghitung densitas relatifnya. Total cacah individu spesies A Densitas relatif spesies A = ---------------------------------------------------- X 100% Jumlah total cacah individu seluruh spesies Frekuensi Frekuensi adalah pengukuran distribusi atau agihan spesies yang ditemukan pada plot yang dikaji. Jumlah plot terdapatnya spesies A Frekuensi spesies A = ---------------------------------------------------- X 100% Jumlah seluruh plot yang dicuplik Misalnya dalam 10 plot yang dikaji spesies A ditemukan 2 kali (2 plot), sehingga frekuensi spesies A = (2/10)x 100% = 20%. Selanjutnya dapat dihitung, dapat dihitung frekuensi relatif dengan cara berikut: Total frekuensi spesies A Frekuensi relatif spesies A = -------------------------------------------------- x 100% Jumlah total frekuensi seluruh spesies 71

Dominansi Dominansi suatu spesies ditentukan dengan mengukur basal area pohon atau nilai penutupan (coverage) pohon atau herba. Luas basal area suatu jenis pohon dapat diperoleh dari diameter pohon setinggi 1,5 m dari permukaan tanah atau setinggi dada dari permukaan tanah (dbh = diameter at breast hight). Bila pohon berakar papan (akar banir), maka diameter pohon diukur langsung diatas banirnya. Nilai penutupan pohon, semak atau herba adalah luas proyeksi tajuk atau kanopi pohon, semak atau herba ke media tumbuh (e.g. tanah). Misalnya suatu kajian yang dilakukan pada 10 plot, dimana masing-masing plot memiliki luas 100 m2, sehingga total luas area cuplikan 10 x 100 m2 = 1000 m2, menghasilkan luas total basal area spesies A sebesar 1250 cm2, maka dominansinya = (1250 cm2/1000 m2) x 10000/Ha = 12.500 cm2I Ha. Dengan luas basal area, maka: Total basal area spesies A Dominansi relatif spesies A = ------------------------------------------------- x 100% Jumlah total basal area seluruh spesies Dengan persentase nilai penutupan, maka: Total persentase penutupan spesies A Dominansi relatif spesies A = ------------------------------------------------- x 100% Jumlah total persentase penutupan seluruh spesies Fisiognomi adalah kenampakan vegetasi tumbuhan (struktur komunitas) yang berkombinasi dengan faktor lingkungan fifik, kimia dan biotik. Faktor biotik yang mempengaruhi adalah: spesies dominan, lifeform, stratifikasi, densitas daun (foliage density), penutupan (coverage), dispersal tumbuhan (pemencaran), dan lain-lain. Spesies dominan adalah spesies yang sangat berpengaruh pada habitat yang dikaji artinya dominan mengontrol struktur dan komposisi spesies dalam komunitas dengan mempengaruhi faktor fisik dan kimia. Zonasi merupakan gradasi populasi spesies lokal yang terdistribusi sepanjang gradien lingkungan. Penutupan (coverage) adalah area yang ditutupi oleh vegetasi yang diproyeksikan tegak lurus ke lantai habitat, dapat diklasifikasikan secara kualitatif menjadi jarang, sedang dan rapat. Pemencaran (dispersal) adalah distribusi spasial tumbuhan yang dapat diklasifikasikan sebagai seragam (uniform), random, dan bergerombol (clumped). Hal tersebut tejadi akibat faktor topografi, nutrien, kelembaban, dan suksesi. 72

Bagian 3 PRAKTIKUM

73

74

1 PRAKTIKUM Area Kajian & Populasi Sampel

Praktikum ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan secara eksploratif di lapangan dan laboratorium. Adapun prosedur kerja yang dilaksanakan pada garis besarnya meliputi: 1) Pengukuran keanekaragaman spesies mangrove mayor, minor dan asosiasi, dengan metode penjelajahan (survei). 2) Penentuan densitas, frekuensi dan dominasi spesies mangrove dengan metode kuadrat, yakni menggunakan plot pada lokasi yang secara visual memiliki keanekaragaman tertinggi. 3) Penentuan pola pita isozim pada spesies mangrove mayor dan minor. Adapun pola pita protein hanya dilakukan pada Nypa fruticans sebagai contoh pembanding. 4) Penentuan kualitas kimia-fisika lingkungan. Pengukuran parameter lingkungan dilakukan di lapangan dan di laboratorium. Di lab dilakukan asisten dan laboran, misalnya kandungan kimia sedimen tanah. 5) Pembuatan laporan kelompok, masing-masing satu laporan untuk kelompok pantai utara dan satu laporan untuk kelompok pantai selatan.

AREA KAJIAN Dalam praktikum ini dipilih dua lokasi utama pengambilan sampel lapangan, yaitu pantai selatan dan utara Jawa.

75





Pantai selatan Jawa dimulai dari muara Sungai Bogowonto, Yogyakarta, s.d. Sungai Jeruk Legi-Donan Cilacap sebanyak 8 stasiun, yaitu: Bogowonto, Cakrayasan, Lukulo, Cincingguling, Ijo, Bengawan, Serayu dan Jeruk Legi-Donan. Adapun Segara Anakan disampel sebanyak 3 stasiun, yaitu Motehan, Klaces, dan Kembang Kuning (dapat diubah sesuai kondisi di lapangan). Setiap stasiun dengan tiga ulangan. Pantai utara mulai dari Demak s.d. muara Bengawan Solo, Lamongan. Apabila memungkinkan dilakukan pula di tapal kuda pantura Jawa Timur dan pulau Madura. Pada asalnya hampir seluruh pantai utara Jawa merupakan habitat mangrove, namun pengaruh antropogenik yang sangat tinggi selama berabad-abad, menyebabkan sebagian besar kumpulan (patches) mangrove telah hilang. Oleh karena itu stasiun yang dipilih untuk praktikum akan ditentukan secara in cognito, pada 10 stasiun. Setiap stasiun dengan tiga ulangan.

Batas Stasiun Penelitian Penentuan batas-batas stasiun penelitian sangat perlu dilakukan, khususnya untuk menghitung keanekaragaman spesies asosiasi, dan membuat ulangan pengamatan ekologi. Hutan mangrove di pantai selatan Jawa umumnya hanya tinggal reliks kecil di muara-muara sungai, sehingga penentuan batas-batas area mangore dan non-mangrove relatif mudah dilakukan. Di Segara Anakan pun hal ini mudah dilakukan, meskipun merupakan pusat distribusi mangrove dimana komunitas tumbuhan ini relatif tumbuh lebat, kaya, dan sambung menyambung antar lokasi, namun adanya sungai-sungai besar yang memisahkannya dapat digunakan sebagai pemisah stasiun. Penentuan batas area mangrove di pantai utara Jawa relatif lebih sulit. Pada awalnya seluruh kawasan ini merupakan area mangrove yang kaya, namun kehidupan manusia telah memusnahkan sebagian besar di ekosistem ini. Kontinuitas ketersediaan propagul dari beberapa muara sungai seperti delta Bengawan Solo, menyebabkan kawasan “rusak” ini, tetap memiliki kemampuan untuk dimasuki spesies mangrove, sehingga tumbuhan mangrove ditemukan menyebar pada kawasan luas, meskipun dengan densitas sangat rendah. Mangrove dapat dijumpai di muara sungai (riverine environtment), maupun lingkungan pantai biasa (marine environtment). Hal ini dikarenakan ombak laut Jawa relatif kecil, adanya pengaruh intertidal, serta adanya masukan air dan sedimen dari daratan terutama di musim hujan sebagai limpasan (run off) air permukaan. Paragraf di bawah menjelaskan cara penentuan stasiun penelitian.

76

77

Kelompok II

I. Pantai Utara: Demak s.d. Lamongan II. Pantai Selatan: Bogowonto s.d. Jeruk Legi-Donan, dan Segara Anakan.

Kelompok:

Peta Lokasi Praktikum

Kelompok I

Keterangan: Jarak antara pohon dalam satu stasiun maksimal 200 m, selanjutnya seluruh area yang terletak pada jarak 100 m dari batas terluar pohon dimasukkan dalam satu stasiun. Stasiun I

Stasiun II

Kebanyakan pohon mangrove mayor dan minor secara sangat efektif dapat mensupai seedling hingga jarak ± 100 m, tergantung jenis dan biogeografi. Berdasarkan hal ini, maka suatu area dianggap satu stasiun apabila berada dalam lingkungan dimana pohon mangrove mayor dan minor paling jauh berada dalam jarak 200 m, selanjutnya antar pohon-pohon tersebut ditarik garis lurus membentuk lingkaran masif, dan ditambah 100 m ke arah luar (perhatikan gambar). Khusus di Segara Anakan, sungai merupakan batas mangrove meskipun lebarnya kurang dari 100 m, karena propagul dari suatu lokasi umumnya akan tertahan ditepi sungai, dan apabila terbawa ke sungai di sebelahnya maka juga tetap tertahan di tepian, sedangkan bagian dalam mangrove umumnya tetap disuplai oleh propagul setempat.

POPULASI SAMPEL Pengambilan sampel dilakukan pada lokasi dengan keanekaragaman tertinggi, yakni pada lokasi dimana sekurang-kurangnya terdapat satu jenis pohon mangrove mayor atau minor yang berjumlah 20 individu. Pada lokasi ini diukur keanekaragaman spesies tumbuhan dan ekosistem (analisis vegetasi), meliputi seluruh spesies tumbuhan mangrove mayor, minor dan asosiasi. Selanjutnya diambil 5-10 individu pohon kategori mangrove mayor dan minor untuk mengetahui keanekaragaman genetik, berupa daun pada pucuk cabang tumbuhan dewasa (sudah pernah berbunga) dan seedling tumbuhan yang sama (tinggi < 0,5 m). Dari jumlah ini tiga diantara sampel daun tumbuhan dewasa diuji keanekaragaman genetiknya. Apabila terjadi kerusakan pada daun tersebut, seperti terjadi penguapan berlebih karena 78

aerenkim terpotong atau luka sehingga enzim/ protein rusak, maka digunakan daun seeling. Untuk itu seedling perlu ditanam dalam pot. Pada setiap stasiun dipilih lima titik secara acak dengan jarak sekurangkurangnya 10 meter untuk mengukur parameter lingkungan. Faktor lingkungan yang dapat diukur secara in situ, maka diukur secara terpisah pada tiga dari lima titik tersebut dan ditentukan reratanya, misalnya suhu dan pH tanah, sedangkan faktor lingkungan yang harus diukur secara ex situ di laboratorium, maka sampel dari kelima titik disatukan dan diukur sebagai “komposit”, misalnya kandungan kimia tanah.

79

2 PRAKTIKUM Genetik – Isozim/Protein

TUJUAN PRAKTIKUM: • Mengetahui keanekaragaman pola pita isozim pada tumbuhan mangrove mayor dan minor di Jawa. • Mengetahui keanekaragaman pola pita protein Nypa fruticans (sebagai pembanding).

LANGKAH PRAKTIS: • Koleksi daun. • Pembuatan buffer. • Pembuatan larutan stok . • Pembuatan gel. • Ekstraksi daun. • Elektroforesis. • Pewarnaan. • Analisis data.

BAHAN DAN ALAT Obyek praktikum. Material praktikum adalah seluruh tumbuhan mangrove mayor dan minor (Lampiran 2).

80

Koleksi daun. Bahan yang diperlukan untuk pengawetan koleksi adalah air dingin dan es batu. Alat yang digunakan untuk koleksi di lapangan meliputi: gunting tanaman atau pisau tajam, kantung plastik dengan klip (atau tali karet), dan termos es. Di laboratorium diperlukan lemari pendingin suhu 4oC untuk penyimpanan sementara sebelum dianalisis, serta rumah kaca untuk menanam seedling. Elektroforesis. Bahan yang diperlukan selain kemikalia adalah akuades yang disterilisasi (akuabides) dan serpihan es batu. Alat yang diperlukan adalah mortar, cawan porselen, termomerter, sentrifus, mikropipet, timbangan analitik, pipet volumetri, gelas ukur, gelas beker, elenmeyer, slot dengan 10-14 sumuran, nampan plastik, penunjuk waktu (jam), serta apparatus elektroforesis mini vertical slab cell BIO-RAD USA model Protean III.

CARA KERJA Koleksi daun. Sampel daun dipilih daun urutan ketiga dari ujung cabang yang pertumbuhannya optimum dengan penampilan, umur dan ukuran relatif seragam, dan pernah berbunga. Koleksi daun dimasukkan ke dalam kantung plastik hitam dan diikat rapat dengan tali karet, lalu disimpan dalam termos es yang telah diisi es batu/air es. Sesampai di laboratorium daun disimpan dalam lemari pendingin bersuhu 4oC. Daun dapat disimpan selama-lamanya 14 hari, dan sebaiknya digunakan dalam kurun waktu 7 hari pasca pemetikan, setelah itu isozim/protein tidak aktif. Penyimpanan dalam bentuk ekstrak daun dapat bertahan selama 30 hari. Apabila daun dari tumbuhan dewasa ini rusak, maka praktikum dilakukan dengan daun seedling. Untuk itu perlu dilakukan penanaman seedling di rumah kaca. Pembuatan buffer. • Tank buffer. Tank buffer dibuat dengan melarutkan: boric acid (asam boraks) 14,4 gram dan borex (boraks) 31,5 gram, dalam akuades hingga mencapai volume 2 liter. • Buffer ekstraksi sampel. Buffer sampel dibuat dengan melarutkan 0,018 gram sistein, 0,021 gram asam askorbat, dan 5 gram sukrosa (PA) dalam 20 ml boraks buffer pH 8,4. Perbandingan antara buffer ekstraksi dengan sampel daun adalah 4:1, dalam satuan μl buffer ekstraksi dan μg sampel daun. • Running buffer. Running buffer yang digunakan ialah TAE (TrisAcetic-Acid EDTA) 50x yang diencerkan sampai konsentrasi 1x. 81

Pembuatan larutan stock. Untuk menyiapkan gel akrilamid, terlebih dahulu dibuat larutan stok yaitu: • Larutan "L": 27,2 gram Tris dan 0,6 gram SDS dilarutkan dalam 120 ml akuabides, diatur sampai pH 8,8 dengan menambahkan HCl, lalu ditambahkan akuabides hingga volumenya 150 ml. • Larutan "M": 9,08 gram Tris dan 0,6 gram SDS dilarutkan dalam 140 ml akuabides, diatur sampai pH 6,8-7,0 dengan penambahan HCl, lalu ditambahkan akuabides hingga volumenya 150 ml. • Larutan "N": 175,2 gram akrilamid dan 4,8 gram bisakrilamid dilarutkan dalam 400 ml akuabides dan buat volumenya hingga 600 ml. • Loading dye: 250 μl gliserol ditambah 50 μl bromphenol blue dilarutkan dalam 200 μl aquades. Penyiapan gel. Penyiapan cetakan gel dimulai dengan merangkai cetakan gel, yaitu cetakan kaca yang dilengkapi spacer (pemisah) yang ditempatkan di belakang cetakan kaca yang berukuran lebih kecil. Cetakan kaca tersebut dipasang pada casting frame, selanjutnya dipasang pada casting stand. Untuk membuat discontinuous gel 12,5%, bahan yang dicampur ialah: Gel pemisah: 3,15 ml larutan "L", 5,25 ml larutan "N", 4,15 ml H2O, 5 μl TEMED, dan terakhir dicampurkan dengan 10 μl APS (baru) konsentrasi 10%. Gel pemisah dituang pada cetakan, lalu ditambahkan iso-butanol jenuh. Setelah terbentuk gel yaitu kurang lebih 45 menit, iso-butanol jenuh tersebut diserap dengan kertas hisap dan dibuang, lalu dibilas dengan air dan diserap kembali air yang tersisa dengan kertas hisap. Setelah itu dipersiapkan bahanbahan untuk pembuatan stacking gel. Stacking gel: 1,9 ml larutan "M", 1,15 ml larutan "N", 4,5 ml H2O, 5 μl TEMED, dan terakhir dicampurkan dengan 10 μl APS (baru) konsentrasi 10%. Setelah stacking gel dituang di atas gel pemisah, sisir dipasang. Apabila telah terbentuk gel, sisir dilepas dari cetakan. Gel yang telah terbentuk dipindahkan ke clamping frame dan dimasukkan ke dalam buffer tank, diisi dengan running buffer sampai terendam. Ekstraksi daun. Jaringan segar daun dimasukkan dalam buffer ekstraksi, dengan perbandingan 1:4 (w/v), yakni 68 μg (0.068 gr) sampel daun dilumatkan dalam 272 μl (0,272 ml) buffer ekstraksi. Lalu digerus dalam cawan porselen yang diletakkan di atas serpihan-serpihan kristal es, agar tetap dingin (suhu 4oC). Sampel yang akan digunakan untuk mendeteksi pola pita protein disentrifugasi pada kecepatan 8500 rpm selama 20 menit pada

82

suhu ruang, sedang sampel yang akan digunakan untuk mendeteksi pola pita isozim disentrifugasi dengan kecepatan 8500 rpm selama 20 menit pada suhu 4oC, setelah disentrifugasi sampel tersebut direndam dalam kristal es. Supernatan yang terbentuk segera di masukkan dalam slot gel elektroforesis. Pelaksanaan elektroforesis. Supernatan sampel daun diambil dengan menggunakan mikropipet sebanyak 3,5 μl dan dengan ditambah loading dye dan dibantu sample loading guide, sampel tersebut ditempatkan pada gel yang telah tercetak. Setelah itu sampel dielektroforesis awal dengan menggunakan tegangan 200 volt, 60 mA selama 5 menit sampai sampel memasuki gel pemisah. Kemudian sampel dielektroforesis lanjutan, untuk protein digunakan tegangan listrik konstan 150 V, 400 mA, 180 menit, sedangkan untuk isozim tegangan listrik konstan 150 V, 400 mA, 60 menit. Elekroforesis diakhiri apabila penanda warna bromofenol biru mencapai sekitar 56 mm dari slot ke arah anoda. Lalu gel dipindah ke nampan plastik dan diwarnai dengan enzim pewarna. Pembuatan pewarna. Pewarna untuk mendeteksi pola pita isozim. Dalam praktikum ini digunakan dua sistem enzim peroksidase (PER) dan Esterase (EST). Adapun langkah pembuatannya sebagai berikut: Peroksidase. Sebanyak 0,0125 gram O-Dianisidine dimasukkan dalam erlenmeyer dan dilarutkan dengan 2,5 ml aseton, lalu ditambahkan 50 ml 0,2 M buffer asetat pH 4,5 kemudian ditambahkan 2 tetes H2O2. Gel yang telah dielektroforesis direndam dalam larutan pewarna selama + 10 menit sambil digoyang perlahan-lahan setiap 2 menit. Setelah pola pita muncul, pewarna dibuang dan dibilas dengan akuades. Gel direkam gambarnya dengan difoto atau scanner. Esterase. Sebanyak 0,0125 gram α-naftil asetat (α-naphthyl aceatate) dimasukkan dalam erlenmeyer dan dilarutkan dengan 2,5 ml aseton, kemudian ditambahkan 50 ml 0,2 M buffer phosphat pH 6,5 dan 0,0125 gram fast Blue BB Salt. Gel yang telah dielektroforesis dimasukkan dalam larutan pewarna tersebut dan diinkubasi selama 10 menit sambil digoyang secara perlahan-lahan setiap 2 menit. Setelah pola pita muncul, pewarna dibuang dan dibilas dengan akuades. Gel direkam gambarnya dengan difoto atau scanner. Pewarna untuk mendeteksi pola pita protein. Dalam hal ini diperlukan larutan pewarna dan pencuci. Larutan pewarna Comassie blue dibuat dengan melarutkan 1 gram zar warna tersebut ke dalam 100 ml asam asetat dan 400 ml metanol, lalu diencerkan dengan akuades hingga volume 1 L. Larutan 83

pencuci dibuat dengan mencampur 100 ml asam asetat dan 400 ml metanol, lalu dilarutkan dalam akuades hingga volume 1 L. Gel yang telah dielektroforesis dimasukkan ke dalam larutan pewarna selama semalam. Setelah itu gel diambil dan dibilas dengan air, lalu direndam dalam larutan pencuci selama + 4 jam sambil digoyang perlahan. Kemudian gel dapat direkam gambarnya dengan foto atau pemindai (scanner).

ANALISIS DATA Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif yaitu berdasarkan muncul tidaknya pita pada gel dan metode kuantitatif berdasarkan tebal tipisnya pita yang terbentuk. Keragaman pola pita ditentukan berdasarkan nilai Rf, merupakan nilai pergerakan relatif yang diperoleh dari perbandingan jarak migrasi protein atau isozim terhadap jarak migrasi loading dye. Pita yang muncul diberi nilai 1, sedangkan yang tidak diberi nilai 0, lalu dibuat dendogram hubungan kekrabatannya dengan analisis klaster.

84

3 PRAKTIKUM Spesies – Identifikasi Morfologi

TUJUAN PRAKTIKUM: • Mengetahui keanekaragaman spesies tumbuhan mangrove mayor, minor, dan tumbuhan lain yang berasosiasi di lingkungan mangrove di Jawa. • Mengetahui adaptasi morfologi khas tumbuhan mangrove mayor dan minor, serta perbedaannya dengan tumbuhan asosiasi. LANGKAH PRAKTIS: • Koleksi spesimen • Identifikasi morfologi • Pembuatan herbarium • Kunci identifikasi (diagnostik). • Deskripsi (komparasi).

BAHAN DAN ALAT Objek yang diamati meliputi seluruh spesies tumbuhan, baik tergolong mangrove mayor, minor atau asosiasi. Koleksi. Ransel, gunting tanaman, pisau, beliung, pensil, buku lapangan (Lampiran 4: Borang B), etiket gantung, peta topografi, kompas dan teropong.

85

Identifikasi. Mikroskop, mikroskop stereo, lampu penyorot, lensa pembesar, cawan petri, jarum pemisah, pisau/silet dan pinset, dan buku identifikasi (Lampiran 1-2; buku lain), Pembuatan herbarium. Herbarium kering: sasak, kertas koran, kertas kardus, tali/kawat, gunting, pisau dan oven. Kertas herbarium, label herbarium, amplop herbarium, etiket herbarium dan lem/selotip bening. Herbarium basah: botol kaca bening, gelas ukur, alkohol 70%, dan air.

CARA KERJA Koleksi. Koleksi dilakukan secara random dengan metode survei (penjelajahan), baik bersamaan dengan pelaksanaan sampling vegetasi atau sendiri. Spesimen segar hasil koleksi segera diidentifikasi dan dicatat sifatsifat morfologinya. Sebagian diawetkan, digambar penampakan umum, bunga dan buah; serta dibuat kunci identifikasi dan deskripsi. Identifikasi. Identifikasi spesies tumbuhan mayor dan minor dilakukan dengan Lampiran 2, sedangkan identifikasi tumbuhan asosiasi dilakukan dengan merujuk pustaka-pustaka: Backer dan Bakhuizen van den Brink (1963; 1965; 1968), Kitamura dkk. (1997), serta Ng dan Sivasothi (2001). Pembuatan herbarium. Herbarium basah digunakan untuk spesimen yang berair dan lembek, sehingga sulit dikeringkan dan cenderung membusuk, misalnya buah tertentu. Sedang herbarium kering digunakan untuk spesimen yang mudah dikeringkan, misalnya daun, batang, bunga dan akar. Herbarium dibuat dari spesimen yang telah dewasa, tidak terserang hama, penyakit atau kerusakan fisik lain. Disertakan ujung batang, daun, bunga dan buah. Apabila tumbuhan berbentuk herba disertakan seluruh habitus. Herbarium Kering. Spesimen dibersihkan, lalu dimasukkan dalam kertas koran, apabila terlalu besar dapat dilipat, atau dipotong sebagian. Setiap 5-10 lembar kertas koran dijepit dengan sepasang sasak. Lalu dipanaskan dalam oven dengan suhu 40-45oC selama 5-7 hari, hingga terasa kaku. Pemanasan yang terlalu lama menyebabkan spesimen mudah patah. Spesimen dilem pada kertas herbarium ukuran 11,5X16,5 inch. (± 29X43 cm). Di pojok bawah kertas herbarium diberi etiket tempel berisi: nama kolektor, tanggal koleksi, familia, genus, spesies, nama daerah, nama pendeterminasi, tanggal determinasi, pulau tempat koleksi, lokasi, ketinggian, habitat dan catatan tambahan berupa keadaan morfologi khas yang hilang setelah spesimen dikeringkan seperti warna dan bentuk. 86

Herbarium Basah. Spesimen dicuci bersih dari kotoran dan dimasukkan dalam botol kaca bening berisi alkohol 70%. Ukuran botol disesuaikan kondisi spesimen dan diberi etiket tempel. Botol ditutup rapat dan disimpan di dalam lemari koleksi yang sejuk dan tidak terkena sinar matahari langsung. Kunci identifikasi dan deskripsi. Dimulai dengan mengisi Borang B (Lampiran 3) secara lengkap, terdiri dari deskripsi serta gambar penampakan umum, bunga dan buah. Lalu dibuat kunci identifikasi diagnostik dan perbandingan (komparasi) deskripsi antara mangrove mayor, minor dan asosiasi dengan mengetengahkan ciri-ciri khas morfologi sebagai bentuk adaptasi. Deskripsi tidak ditujukan sekedar untuk pencandraan belaka.

87

4 PRAKTIKUM Ekosistem – Analisis Vegetasi

TUJUAN PRAKTIKUM: • Mengetahui struktur, komposisi, dan distribusi tumbuhan mangrove di Jawa, melalui densitas, frekuensi, distribusi, nilai penting, indeks diversitas dan indeks similaritas.

LANGKAH PRAKTIS: • Identifikasi morfologi. • Kuantifikasi spesies dengan metode plot kuadrat. • Penghitungan sifat ekologi (densitas, frekuensi, distribusi, nilai penting). • Analisis data (indeks diversitas dan indeks similaritas).

BAHAN DAN ALAT Objek yang diamati meliputi seluruh spesies tumbuhan, baik tergolong mangrove mayor, minor atau asosiasi. Bahan dan alat yang digunakan relatif sama dengan praktikum biodiversitas spesies, ditambah peralatan untuk membuat plot kuadrat berupa tali rafia, patok, palu, meteran dan rol meter.

88

CARA KERJA Sampling vegetasi dilakukan dengan metode plot kuadrat, dimana setiap stasiun dibuat tiga ulangan pada lokasi yang paling tinggi tingkat keanekaragaman spesiesnya (acak). Ukuran plot kuadrat adalah 10X10 m2 untuk pohon, 5X5 m2 untuk semak dan 1X1 m2 untuk seedling (< 50 cm) dan herba. Ketiganya dapat terletak pada satu tempat atau tidak. Cacah individu setiap spesies pada setiap plot kuadrat dihitung untuk menentukan densitas, frekuensi, distribusi, nilai penting, indeks diversitas dan indeks similaritas. Untuk itu perlu diisi Borang C (Lampiran 5). Deskripsi kondisi lingkungan dibuat. Topografi (fisiografi) dan bentuk kehidupan (fisiognomi) dipotret.

ANALISIS VEGETASI Data struktur dan komposisi vegetasi ditampilkan dalam bentuk densitas, frekuensi, dominansi, nilai penting, indeks similaritas dan indeks diversitas. Densitas: Jumlah cacah individu seluruh spesies Densitas seluruh spesies = ------------------------------------------------------Luas area cuplikan (m2 atau Ha) Total cacah individu spesies A Densitas relatif spesies A = ---------------------------------------------------- X 100% Jumlah total cacah individu seluruh spesies Frekuensi: Jumlah plot terdapatnya spesies A Frekuensi spesies A = ---------------------------------------------------- X 100% Jumlah seluruh plot yang dicuplik Total frekuensi spesies A Frekuensi relatif spesies A = -------------------------------------------------- x 100% Jumlah total frekuensi seluruh spesies Dominansi: Total basal area spesies A Dominansi relatif spesies A = ------------------------------------------------- x 100% 89

Jumlah total basal area seluruh spesies Total persentase penutupan spesies A Dominansi relatif spesies A = ------------------------------------------------- x 100% Jumlah total persentase penutupan seluruh spesies Nilai penting: densitas relatif + dominansi relatif + frekuensi relatif Indeks similaritas Sorensen (index of similarity = IS): 2xW IS Sorensen = ------------ x 100% A+B Keterangan: W = Jumlah nilai kuantitatif terkecil pada dua tegakan. A = Jumlah semua nilai kuantitatif pada satu tegakan B = Jumlah semua nilai kuantitatif pada tegakan lain. Nilai indeks ketidaksamaan (index of dissimilarity) ID = 100 – IS. Indeks diversitas Shannon: H = – Σ (m/N) log (m/N) atau H = – Σ Pi log Pi. Keterangan: m = Nirai penting cacah individu untuk setiap spesies N = Total nilai penting Pi = m /N Indeks diversitas Simpson: N (N – 1) D = ------------------Σn (n – 1) Keterangan: D = indeks diversitas N = Totaljumlah individu seluruh n = JumIah cacah individu suatu spesies

90

5 PRAKTIKUM Kimia-Fisika Lingkungan

TUJUAN PRAKTIKUM: • Mengetahui kondisi fisik dan kimia ekosistem mangrove di Jawa. LANGKAH PRAKTIS: • Pengukuran suhu air dan sedimen, pH air dan sedimen, kadar oksigen terlarut (DO), kadar salinitas, potensial redoks (Eh), daya hantar listrik (EC) air dan sedimen, kapasitas listrik (CEC), padatan terlarut (TSD) air, pola genangan (fluktuasi pasang-surut air laut harian), dilakukan secara in situ di lapangan. • Kandungan fisik dan kimia berupa kadar air, tekstur tanah, kadar bahan organik (OM), ammonium (NH4+), fosfat (PO43-), dan pirit (FeS2), dilakukan dilaboratorium [asisten dan laboran]. BAHAN DAN ALAT Parameter lingkungan yang diukur meliputi: suhu air dan sedimen, pH air dan sedimen, kadar oksigen terlarut (DO), kadar salinitas, potensial redoks (Eh), pola genangan (fluktuasi pasang-surut air laut harian), tekstur tanah; kadar bahan organik (OC), ammonium (NH4+), fosfat (PO43-) , dan pirit (FeS2). Preparasi sampel tanah. Alat yang digunakan meliputi: Eijkman dredge (atau gayung plastik), ember plastik, kantung plastik hitam atau botol 91

polietilen, nampan, kipas angin, timbangan, mortar dan lumpang porselen, saringan stainless steel atau nilon berdiameter 0,5 mm dan 2 mm. Pengukuran kualitas lingkungan in situ. Kualitas lingungan yang diukur secara in situ meliputi: suhu air dan sedimen, pH air dan sedimen, kadar oksigen terlarut (DO), kadar salinitas, potensial redoks (Eh), dan pola genangan (fluktuasi pasang-surut air laut). Suhu air dan sedimen diukur dengan termometer Hg (skala 0-100 0C), pH air dan sedimen diukur dengan pH meter electric merek Ciba-Corning, Jepang, kadar oksigen terlarut (DO) diukur dengan oxygenmeter merek YSI Incorporated, model 51B SN: 95 H 36111 buatan Simpson Electric Co., USA, kadar salinitas diukur dengan refractometer merek N.O.W, 0-100 ppt, Jepang, potensial redoks diukur dengan Eh-Meter model 42D SN-730692, Jerman, sedang pola genangan dicatat lembar kertas dengan bantuan penunjuk waktu. Pengukuran kadar bahan organik (OC). Bahan yang diperlukan meliputi: K2Cr2O7, H2SO4, H3PO3 85%, indokator difenilamin, akuades, dan FeSO4 1N. Alat yang digunakan meliputi: timbangan analitik, gelas arloji, gelas beker 50 ml, gelas ukur 10 ml, pipet, labu elenmeyer 50 ml, dan labu titrasi. Pengukuran kadar ammonium (NH4+). Alat yang digunakan: timbangan analitik, labu elenmeyer 300 ml, shaker, corong gelas, kertas Whatman 42, gelas arloji, pipet volumetri 20 ml, buret, oven, alat destilasi semi-mikro Kjehldal. Reagensia yang digunakan: KCl 10%, MgO 10%, indikator asam borat 2%, larutan standar H2SO4 0,01 N. Penentuan kadar fosfor (PO43-). Alat yang digunakan: labu kjeldahl 100 ml, apparus digesti elektris, pipet, corong gelas, kertas Whatman 42, pipet volumetri 100 ml, tabung gradasi 20 ml, labu volumetri 200 ml dan spektrofotometer (AAS). Reagensia yang digunakan:HClO4 dan HNO3 pekat, larutan HCl, larutan molibdat-vanadat, HNO3 2N, larutan fosfor standard (P 20 ppm; 250 ppm). Pengukuran kadar pirit (FeS2). Alat yang digunakan adalah botol polipropilen, lemari pendingin –200C timbangan analitik, cawan porselin, oven, hotplate, corong, kertas saring Whatman 42, gelas ukur 50 ml, dan AAS (Atomic Absorbance Spectrometer). Kemikalia yang digunakan adalah HNO3 10%, HNO3 pekat, dan akuades.

92

CARA KERJA Preparasi sampel tanah. Sampel sedimen tanah diambil dengan Eijkman dredge di kedalaman + 20 cm dari permukaan sedimen pada lima titik yang ditentukan secara random di ketiga lokasi penelitian, lalu dicampur dan diaduk secara merata dalam ember plastik. Proporsi sedimen tanah dari kelima titik tersebut relatif sama, dengan hasil akhir sekitar 1-2 kg basah. Sisa-sisa akar, batu dan material organik dibuang dan disaring dengan saringan berdiameter lubang 0,5 mm dan 2 mm. Sampel tanah siap untuk dianalisis. Apabila tanah tidak segera dianalisis maka perlu disimpan dalam plastik hitam, udara dalam plastik dikeluarkan, diikat rapat dan dimasukkan dalam lemari pendingin. Pengukuran kualitas lingkungan in situ. Suhu air dan sedimen diukur dengan termometer pada siang hari antara pukul 10.00-15.00 wib. Pengukuran pH dilakukan dengan pH meter electric. Pengukuran oksigen terlarut (DO) dilakukan dengan oxygenmeter. Pengukuran kadar salinitas dengan refractometer. Pengukuran potensila redoks dilakukan dengan Ehmeter. Pengukuran EC, CEC, dan TSD silakukan secara elektrik. Pola genangan ditentukan dengan mencatat waktu terjadinya pasang tertinggi dan surut terendah selama + 1 bulan. Pengukuran kadar bahan organik (OC). Sebanyak 1 g sampel tanah kering angin dimasukkan dalam gelas beker 50 ml, ditambah 10 ml K2Cr2O7 dan 10 ml H2SO4 dengan gelas ukur, lalu dikocok hingga homogen. Didiamkan 30 menit hingga larutan menjadi dingin. Ditambahkan 5 ml H3PO3 85% dan 1 ml indokator difenilamin, lalu ditambahkan akuades hingga volume mencapai 50 ml, dikocok hingga homogen dan dibiarkan mengendap. Sebanyak 5 ml larutan yang jernih diambil dengan pipet dan dimasukkan dalam labu elenmeyer 50 ml, dan ditambah 15 ml akuades. Kemudian dititrasi dengan FeSO4 1N hingga berwarna kehijauan. Langkah tersebut dilakukan pula tanpa sampel tanah sebagai blanko. Pengukuran kadar ammonium (NH4+). Sebanyak 20 g sampel tanah ditimbang dan dimasukkan dalam labu elenmeyer 200 ml yang telah diisi 100 ml KCl 10%, lalu digojok selama 30 menit dengan shaker dan disaring dengan kertas saring Whatman 42. Setelah itu labu elenmeyer 100 ml berisi 5 ml asam borat 2% sebagai indikator diletakkan di bawah kondensor. Sebanyak 20 ml larutan dipipetkan ke dalam labu Kjeldahl, ditambahkan 10 ml uspensi magnesium oksida 10% dan dibersihkan dengan akuades. Didistilasi selama 5 menit atau hasil distilasi sekitar 35 ml. Ujung kondensor dicuci dengan 93

akuades, setelah dingin hasil distilasi dititrasi dengan H2SO4 0,01 N hingga berwarna merah muda. Pengukuran kadar fosfor (PO43-). Sebanyak 2 g sampel tanah yang telah diayak dengan saringan berdiameter 0,5 mm dimasukkan dalam labu Kjeldahl 100 ml yang telah diisi 2 g pasir kuwarsa. Ditambahkan 6 ml HNO3 pekat, dipanaskan dan digojok pelahan-lahan dalam apparatus digesti elektris pada suhu di bawah 80 oC. setelah gas NO2 menguap sempurna dan dingin, ditambahkan 6 ml HClO4 pekat dan suhu dinaikkan hingga 120 oC serta digojok hingga diperoleh larutan jernih. Dinginkan dan tambahkan 1 ml HCl pekat, lalu dipanaskan 30 menit dan dinginkan lagi. Kemudian leher labu Kjeldahl dicuci dengan air dan disaring ke dalam labu volumetri 100 ml, ditambahkan akuades hingga tanda batas dan digojok pelahan-lahan. Sebanyak 1 ml larutan dipipetkan ke dalam tabung gradasi 20 ml, ditambahkan 5 ml HNO3 2N dan akuades hingga mencapai 15 ml. Ditambahkan 2 ml molibdat-vanadat dan akuades hingga 20 ml, serta digojok dan dibiarkan selama 20 menit. Kemudian absorbansi diukur dengan AAS pada panjang gelombang 420 mμ. proses diatas lakukan pula terhadap larutan fosfor standard (P 20 ppm; 250 ppm). Pengukuran kadar pirit (FeS2). Sampel sedimen tanah dimasukkan dalam botol polipropilen, diawetkan dalam 10% HNO3 dan disimpan dalam pendingin sekitar –200C hingga saat dianalisis. Sampel tanah dicairkan dalam temperatur kamar, kemudian ditimbang dalam cawan porselin bersih dan dikeringkan dalam oven 600C selama dua hari serta dihitung berat keringnya. Sampel didinginkan, ditambahkan HNO3 pekat, kemudian dipanaskan di atas hotplate dengan temperatur dinaikkan sedikit demi sedikit sampai sekitar 1000C atau lebih, setelah kering dilarutkan dalam 10% HNO3, disaring dengan kertas saring Whatman 42, dimasukkan dalam gelas ukur 50 ml, ditambah akuades sampai volume mencapai 50 ml dan kemudian dianalisis dengan AAS (Atomic Absorbance Spectrometer).

94

Bagian 4 LAMPIRAN

95

96

Lampiran 1. Indeks Mangrove di Jawa Daftar spesies tumbuhan mangrove mayor dan minor di Jawa. Famila

Spesies

Keterangan

Acanthaceae Arecaceae Avicenniaceae

Acanthus ilicifolius Nypa fruticans Avicennia alba Avicennia lanata Avicennia marina Avicennia officinalis Lumnitzera racemosa Lumnitzera littorea Excoecaria agallocha Pemphis acidula Xylocarpus granatum Xylocarpus moluccensis Xylocarpus rumphii Osbornia octodonta Aegiceras corniculatum Aegiceras floridum Acrostichum aureum Acrostichum speciosum Bruguiera cylindrica Bruguiera gymnorrhiza Bruguiera parviflora Bruguiera sexangula Ceriops decandra Ceriops tagal Rhizophora apiculata Rhizophora x lamarckii Rhizophora mucronata Rhizophora stylosa Scyphiphora hydrophyllacea Sonneratia alba Sonneratia caseolaris Sonneratia ovata Heritiera littoralis

Minor (asosiasi ?) Mayor Mayor

Combretaceae Euphorbiaceae Lythraceae Meliaceae

Myrtaceae Myrsinaceae Pteridaceae Rhizophoraceae

Rubiaceae Sonneratiaceae

Sterculaceae

Mayor Minor Minor Minor

Minor Minor Minor Mayor

Minor Mayor

Minor 97

Daftar spesies tumbuhan asosiasi mangrove yang umum dijumpai di Jawa.

1.

Spesies Barringtonia asiatica

Familia Lecythidaceae

2.

Calophyllum inophyllum

Guttiferae

3.

Calotropis gigantea

Asclepiadaceae

4.

Cerbera manghas

Apocynaceae

5.

Clerodendrum inerme

Verbenaceae

6.

Derris trifoliata

Leguminosae

7.

Finlaysonia maritima

Asclepiadaceae

8.

Hibiscus tiliaceus

Malvaceae

9.

Ipomoea pescaprae

Convolvulaceae

10. Pandanus tectorius

Pandanaceae

11. Pongamia pinnata

Leguminosae

12. Scaevola taccada

Goodeniaceae

13. Sesuvium portulacastrum

Aizoaceae

14. Spinifex littoreus

Gramineae

15. Stachytarpheta jamaicensis

Verbenaceae

16. Terminalia catappa

Combretaceae

17. Thespresia populnea

Malvaceae

18. Scirpus littoralis

Cyperaceae

19. Vitex ovata

Verbenaceae

20. Welingi

Cyperaceae

98

Lampiran 2. Panduan Identifikasi Mangrove Mayor dan Minor di Jawa

99

Acanthus ilicifolius L. Acanthaceae

Jeruju Minor (atau asosiasi)

Bentuk: Semak, 1,5-2,5 m. Akar: Umumnya tanpa pneumatofora, tetapi kadang membentuk akar sangga. Daun: Tunggal, oppositus, panjang 5-15 cm, lanset, bercuping banyak, masingmasing dengan satu duri di bagian tepi, terutama bila terpapar matahari langsung.

Daun terpapar matahari dan berduri (kiri). Daun di bawah naungan dan tanpa duri (kanan).

Biji: Normal. Kulit: Hijau kekuningan, licin. : Infloresensi terminal, spike, panjang 10-20 cm; petala besar, menyolok, biru terang atau ungu. Sep-Des. Buah : Kapsul kotak agak pipih, meletus saat masak melontarkan biji-biji putih hingga 2 m dari induk. Jan-Peb. Ciri khas : Mahkota biru muda atau violet, pada A. ebracteatus dan A. volubilis putih. Permukaan daun asin, mengandung butir-butir garam hasil eskskresi daun. Kadang membentuk akar sangga. Mirip : A. ebracteatus, A. volubilis Distribusi : India s.d. Polinesia dan Australia Habitat : Batas atas pasang surut, tepian sungai berlumpur halus. Sering melimpah pada lokasi terbuka, dan mendapat air tawar. Manfaat : Daun untuk mengobati rematik, neuralgia, dan meracuni panah. Bunga

100

Acrostichum aureum L. Class Filicopsida, Family Pteridaceae

Paku laut laya Minor

Bentuk: Semak, tinggi > 1,5 m. Akar: Tanpa pneumatofora. Daun: Daun paku, majemuk menyirip, panjang 1-4 m, anak daun < 30 cm, lanset, ujung membulat; bagian ujung daun tua fertil, sporangia merah kecoklatan. Biji: Tidak membentuk biji, berkembang biak dengan spora. Rhizoma dan pangkal pangkal tangkai daun ditutupi sisik panjang > 4 cm. Ciri khas: Daun merah saat muda, ujung anak daun membulat. Toleransi terhadap genangan air laut kalah dibanding A. speciosum.

Sisi atas ujung anak daun steril tua dari A. aureum berbentuk membulat (kiri) dan A. speciosium berbentuk runcing (kanan)

Sisi bawah ujung anak daun steril tua dari A. aureum berbentuk membulat (kiri) dan A. speciosium berbentuk runcing (kanan)

Mirip : A. speciosum Distribusi : Pantropis. Habitat : Tepi sungai atau rawa mangrove di arah laut, salinitas rendah, mendapat aliran air tawar. Manfaat : Daun kering untuk atap, rhizoma untuk mengobati luka.

101

Acrostichum speciosum Class Filicopsida, Family Pteridaceae

Paku laut lasu Minor

Bentuk: Semak, tinggi 1,52 m. Akar: Tanpa pneumatofora. Daun: Daun paku, majemuk menyirip, panjang 1,5-2 m, anak daun < 15 cm, lanset, ujung runcing; daun muda hijau kecoklatan, sisi bawah ujung daun tua fertil, sporangia coklat. Rhizoma ditutupi sisik panjang > 0,8 cm. Biji: Tidak membentuk biji, berkembang biak dengan spora Ciri khas: Daun merah saat muda, ujung anak daun runcing. Toleransi terhadap genangan air laut lebih baik dibanding A. aureum. Mirip : A. aureum Distribusi : Asia dan Australia tropis. Habitat : Zona pasang surut, tepi rawa mangrove di arah laut, biasanya di bawah naungan atau tanah garapan. Manfaat : -

102

Aegiceras corniculatum (L.) Blanco Myrsinaceae

Gedangan Minor

Bentuk: Semak, tinggi > 3 m. Akar: Tanpa penumatofora Daun: Tunggal, alternatus, helai obovatus s.d. eliptis, ujung membulat s.d. emarginatus, panjang 5-10 cm. Bunga: Infloresensi terminal, payung; petala 5, putih; kelopak 5 cuping, hijau; diameter 0,4-0,5 cm, panjang 0,5-0,6 cm; tangkal > 0,5 cm. Jul-Sep. Buah: Diameter 0,7 cm, panjang 4-5 cm; hijau s.d. kemerahan saat masak; permukaan halus; buah silindris, bukan hipokotil, menggantung, sangat melengkung. Des-Mar. Biji: Kriptovivipar Kulit: Coklat kemerahan, halus. Ciri khas: Buah menggantung, daun lebih besar dari A. floridum : Sering rancu dengan Lumnitzera. A. corniculatum tanpa lekukan di ujung daun, sedang Lumnitzera tanpa kelenjar garam. Distribusi : India s.d. Irian dan Australia. Mangove paling umum ditemukan. Habitat : Tempat terbuka di tepi sungai, toleran terhadap salinitas tinggi. Manfaat : Kulit kayu untuk racun ikan, bunga untuk hiasan, daun dimakan. Mirip

103

Aegiceras floridum Roemer & Schultes Myrsinaceae

Manghe kashian Minor

Bentuk: Semak, tinggi > 5 m. Akar: Tanpa pneumatofora Daun: Tunggal, alternatus, helai obovatus, ujung membulat atau emarginatus, panjang 3-6 cm. Bunga: Infloresensi terminal, racemus; petala 5, putih; kelopak cuping 5, hijau; panjang 0,4 cm; tangkai > 2 cm. Buah: Diameter 0,7 cm, panjang 2-3 cm; hijau, kemerahan saat masak; permukaan licin; hipokotil silindris, pendek, lurus, agak melengkung Biji: Kriptovivipar Kulit: Coklat gelap, kasap. Ciri khas: Semua bagiannya cenderung lebih kecil dari A. corniculatum Mirip Distribusi Habitat Manfaat 104

: : : :

A. corniculatum. India s.d. Irian dan Australia. Pantai berpasir, tepi sungai, toleran terhadap kadar garam tinggi Kulit kayu untuk racun ikan, bunga untuk hiasan, daun dimakan.

Avicennia alba Blume Avicenniaceae

Api-api putih Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi > 15-20 m. Akar: Peneumatofora bentuk pasak, tinggi sekitar 20 cm. Daun: Tunggal, oppositus, sisi atas hijau mengkilat, ba-wah putih berlilin (Latin alba, putih), bentuk bulat telur, elliptis atau lanset, ujung runcing, panjang 10-18 cm. Daun dengan kelenjar garam, sisi bawah abu-abu perak atau putih. Bunga: Infloresensi terminal atau aksiler di ujung tunas; petala 4 kuning; kelopak cuping 5; stamen 4; diameter 0,4-0,5 cm. Buah: Lebar 1,5-2 cm, panjang 2,5-4 cm; perikarp hijaukekuningan, pipih, elip memanjang, seperti cabai. Biji: Krioptovivipar Kulit: Abu-abu-hitam, agak kasap. Ciri khas: Daun pipih memanjang, buan seperti cabai, spesies pionir. Mirip : A. marina, A. officinalis, A. rumphiana, A. lanata Distribusi : India Barat s.d. Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Habitat : Biasa dijumpai pada tanah lumpur yang baru terbentuk di tepi laut, sepenjang atau dekat sungai, toleran terhadap salinitas tinggi. Manfaat : Kayu untuk mengasapi ikan atau membuat karet. 105

Avicennia lanata Ridley Avicenniaceae

Api-api (?) Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi > 8 m. Akar: Pneumatofora akar pasak. Daun: Tunggal, oppositus, helai eliptis, ujung membulat atau acutus, panjang 5-9 cm. Daun dengan kelenjar garam, sisi bawah putih skekuningan, berbulu. Bunga: Infloresensi terminal atau aksiler di ujung tunas, bunga 8-14, spike rapat, panjang 1-2 cm; petala 4, kuning; kelopak bercuping 5; stamen 4; diameter 0,4-0,5 cm. Jul- Peb. Buah: Lebar 1,5-2 cm, panjang 1,5-2,5 cm, perikarp hijau kekuningan, berbulu, ujung buah membulat atau agak melengkung. Biji: Kriptovivipar Kulit: Gelap, coklat s.d. hitam, kasap. Ciri khas: Sisi bawah daun berbulu, kekuningan, spesies pioner.

Mirip Distribusi Habitat Manfaat 106

: : : :

A. alba, A. marina, A. officinalis, A. rumphiana Dataran lumpur, tepi sungai, toleran terhadap salinitas tinggi. -

Avicennia marina (Forsk.) Vierh. Avicenniaceae

Api-api jambu Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi > 12 m. Akar: Penumatofora akar pasak Daun: Tunggal, oppositus, helai eliptis, ujung membulat atau acutus, panjang 5-11 cm. Daun dengan kelenjar garam, sisi bawah putih s.d. abu-abu cerah. Bunga: Infloresensi terminal atau aksiler di ujung tunas, bunga 8-14, spike rapat; petala 4, kuning; kelopak cuping 5; stamen 4; diameter 0,4-0,5 cm. Jul-Peb. Buah: Lebar 1,5-2 cm, panjang 1,5-2,5 cm, perikarp hijau kekuningan, berbulu halus, ujung buah membulat. Nop-Mar. Biji: Kriptovivipar. Kulit: Halus, abu-abu dengan bercak-bercak hijau, kadang mengeripik. Ciri khas: Buah seperti kacang, spesies pioner.

Mirip : A. alba, A. lanata, A. officinalis, A. rumphiana Distribusi : Afrika Timur s.d. Asia Tenggara, Cina, Jepang, Australia dan Kepulauan Pasidik Barat. Habitat : Dataran lumpur, tepi sungai, laguna laut, toleran terhadap salinitas tinggi. Manfaat : Kayu, kayu bakar. 107

Avicennia officinalis L. Avicenniaceae

Api-api ludat Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi 12-20 m. Akar: Penumatofora akar pasak, kadang akar sangga. Daun: Tunggal, oppositus, helai obovatus s.d. eliptis, ujung membulat, memiliki kelenjar garam. Bunga: Infloresensi terminal atau aksiler di ujung tunas, bunga 7-10, spike rapat; petala 4, kuning; kelopak cuping 5; stamen 4; diameter 1-1,5 cm. Buah: Lebar 2-2,5 cm, panjang 2,5-3 cm, perikarp hijau kekuningan, bagian dalam hijau tua, berbulu rapa, agak berkutil, buah berbentuk jantung, lebih besar dari A. marina. Biji: Kriptovivipar. Kulit: Halus, abu-abu dengan bercak-bercak hijau. Ciri khas: Buah seperti kacang, spesies pioner.

Mirip Distribusi Habitat Manfaat

108

: : : :

A. alba, A. lanata, A. marina, A. rumphiana India Barat s.d. Filipina dan Irian. Dataran lumpur, tepi sungai, toleran terhadap salinitas tinggi. Kayu bakar, buah dapat dimakan.

Bruguiera cylindrica Blume Rhizophoraceae

Tancang putih Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi > 20 m. Akar: Pneumatofora akar lulut, dan pasak Daun: Tunggal, oppositus, helai eliptis, cerah, tebal, ujung acuminatus, panjang 810 cm, stipula hijau muda atau kekuningan,. Bunga: Infloresensi aksiler, kecil, berbunga 3, cymus, panjang tangkai 1 cm. Petala putih. Kelopak cuping 8, hijau kekuningan. Panjang 0,8-1,2 cm. Bunga tegak saat mekar. Januari-Maret. Buah: Diameter 0,5-1,0 cm, panjang 10-15 cm. Hijau hingga hijau keunguan. Permukaan halus. Hipokotil agak melengkung, kaliks cuping 8, membalik. Dapat mengapung, terbawa arus. April-Juni. Biji: Vivipar Kulit: Abu-abu, agak halus

Ciri khas Mirip Distribusi Habitat Manfaat

: : : : :

Bunga kecil, cuping kelopak jelas, membaluk, panjang > 0,3 cm. B. gymnorrhiza, B. parviflora, B. sexangula Asia Tenggara s.d. Australia. Tanah lempung di belakang Avicennia; menempati tanah baru. Kayu bakar, kayu bangunan; radikula muda dapat dimakan, tanin kulit kayu berbau khas untuk menangkap ikan. 109

Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk. Rhizophoraceae

Tancang merah Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi > 20 m. Akar: Akar lulut dan pasak dengan akar sangga kecil Daun: Tunggal, oppositus, helai eliptis, seperti kulit, ujung acuminatus, panjang 8-20 cm, sisi bawah kekuningan, mengumpul di ujung cabang, stipula kemerahan. Bunga: Infloresensi aksiler, bunga besar, tunggal, panjang 3-5 cm. Petala putih s.d. coklat, ujung acutus, ditempeli 3 filamen. Kelopak cuping 1014, merah menyala. Jan-Mar. Buah: Diameter 0,7-2,0 cm, panjang 20-30 cm. Hijau tua s.d. ungu, bintik-bintik coklat. Permukaan halus. Hipokotil lurus, > 20 cm, kelopak lepas, dapat mengapung. Apr-Jul. Biji: Vivipar Kulit: Abu-abu gelap, kasap, penuh lentisel. Ciri khas: Kelopak besar, merah, daun halus, tebal, sisi bawah tanpa bintik-bintik hitam, ujung tanpa duri. Mirip : B. gymnorrhiza, B. parviflora, B. sexangula Distribusi : Afrika Timur s.d. Asia Tenggara, Jepang, Mikronesia, Polinesia. Habitat : Terletak di bagian tengah s.d. dalam hutan mangrove; bersama dengan R. apiculata dan B. parviflora di area cukup air tawar. Manfaat : Kayu, kayu bakar, arang, huma, dan rakit. Daun dan pelet hipokotil dapat dimakan. 110

Bruguiera parviflora Wight & Arnold ex Griffith. Rhizophoraceae

Lenggadai

Mayo

Bentuk: Pohon, tinggi ∼ 25 m, ramping. Akar: Akar lulut dan akar pasak kecil. Daun: Tunggal, oppositus, helai eliptis, ujung acuminatus, panjang 4-9 cm, mengumpul di ujung cabang, stipula hijau muda. Bunga: Infloresensi aksiler, bunga kecil 2-5, cymus, panjang 0,6-1,0 cm, tangkai 2 cm. Petala putih. Kelopak cuping 8, hijau kekuningan. Bunga tegak saat anthesis. Buah: Diameter 0,5-1,0 cm, panjang 15-20 cm. Hijau kekuningan. Permukaan halus. Hipokotil lurus, kelopak tajam menempel, dapat mengapung. Apr-Jul. Biji: Vivipar Kulit: Abu-abu dan coklat tua, kasap. Ciri khas: Bunga kecil, cuping kelopak runcing. Mirip: B. gymnorrhiza, B. parviflora, B. sexangula Distribusi : Asia Tenggara s.d. Melanesia dan Australia. Habitat : Tepi sungai, tepi dalam hutan mangrove, area dengan elevasi rendah, Tumbuh bersama R. apiculata dan B. gymnorrhiza. Manfaat : Kayu untuk pertambangan. Kulit kayu mengandung tanin untuk meracun ikan. Seeling dapat dimakan.

111

Bruguiera sexangula (Lour.) Poir. Rhizophoraceae

Tancang sukun Mayor

: Pohon, tinggi > 15 m. : Pneumatofora akar lulut dan akar pasak kecil. : Tunggal, oppositus, helai eliptis, ujung acuminatus, panjang 6-9 cm, mengumpul di ujung cabang. Bunga : Infloresensi aksiler, bunga besar, tunggal, panjang 3-4 cm. Petala putih s.d. coklat. Kelopak cuping 10-14, hijau kekuningan. Ujung petala tanpa ditempeli filamen. Buah : Diameter 1,5-2 cm, panjang 6-12 cm. Hijau s.d ungu, berbintik coklat. Permukaan halus. Hipokotil pendek, kelopak menempel, dapat mengapung. Apr-Jul. Biji : Vivipar. Kulit : Abu-abu tua, kasap. Ciri khas : Daun tebal halus, ujung tanpa duri. Kelopak besar, hijau kekuningan. Mirip : B. gymnorrhiza, B. parviflora, B. sexangula Distribusi : Asia Tenggara s.d. Melanesia dan Australia. Habitat : Muara sungai dengan salinitas rendah atau air tawar. Manfaat : Kayu, kayu bakar. Kulit kayu untuk racun ikan. Seeling dimakan. Bentuk Akar Daun

112

Ceriops decandra (Griff.) Ding Hou Rhizophoraceae

Tingi Mayor

Bentuk: Semak, tinggi > 3 m. Akar: Akar pasak, dengan akar sangga. Daun: Tunggal, oppositus, helai obovatus, ujung membulat, panjang 3-6 cm, mengumpul di ujung cabang. Bunga: Infloresensi aksiler, bunga 5-10, cymus, panjang 3-4 cm. Petala 5 putih s.d. coklat, diameter 0,4-0,5 cm. Kelopak cuping 5, hijau. Tangkai bunga pendek, kuat. Buah: Diameter 0,8-1,2 cm, panjang > 15 cm. Permukaan cenderung halus, ke ujung kasap bergerigi. Hipokotil hijau s.d. coklat, kotiledon merah tua saat masak. Hipokotil lurus, ujung tumpul, kelopak menempel, dapat mengapung. Biji: Vivipar Kulit: abu-abu-kuning muda, dengan bintik-bintik coklat tua. Ciri khas: Petala tidak menutupi stamen, tangkai pendek. Buah lurus lebih pendek dari C. Tangal. Kotiledon merah saat masak. Mirip: C. tangal Distribusi : Asia Tenggara s.d. Melanesia dan Australia. Habitat : Muara sungai dengan salinitas rendah atau air tawar. Manfaat : -

113

Ceriops tangal (Perr.) C.B. Robinson Rhizophoraceae

Tengar Mayor

Bentuk: Semak, tinggi > 6 m. Akar: Akar pasak dan akar sangga. Kadang akar lutut. Daun: Tunggal, oppositus, helai obovatus, ujung membulat, panjang 4-10 cm. Bunga: Infloresensi aksiler, bunga 5-10, cymus menggantung. Petala 5, putih dan coklat, diameter 0,4-0,5 cm. Kelopak cuping 5, hijau. Tangkai panjang, ramping. Nov-Mar. Buah: Diameter 0,8-1,2 cm, panjang > 25 cm. Permukaan kasap, bergerigi dan beralur. Hipokotil hijau- coklat, menggantung, ujung lancip. Kelopak melebar atau membalik. Kotiledon kuning saat masak. Mengapung. Des-Mei. Biji: Vivipar Kulit: Abu-abu (kadang coklat), halus, pangkal kasap. Ciri khas: Petala menutupi stamen, tangkai panjang, buah menggantung. Kotiledon kuning saat masak. Mirip: C. decandra Distribusi : Asia Tenggara s.d. Australia. Habitat : Dalam hutan mangrove, tanah kering, salinitas tinggi. Dapat tumbuh 5 m di atas area yang digenangi air tawar. Manfaat : Kayu bangunan, kayu bakar sangat baik, kuli kayu menghasilkan tanin berharga. Buah kadang dimakan.

114

Excoecaria agallocha L. Euphorbiaceae

Buta-buta Minor

Bentuk: Pohon, tinggi 15-20 m. Akar: Tanpa pneumatophora. Daun: Tunggal, alternatus, helai eliptis, ujung acutus, panjang 6-9 cm. Bunga: Infloresensi aksiler, uniseksual, bunga jantan bulir, panjang 7 cm, bung betina racemus, lebih pendek; petala hijau dan putih; kelopak hijau kekuningan; stamen 3, kuning; diameter bunga 0,20,3 cm. Nop-Peb. Buah: Diameter 0,7 cm, bercuping 3, hijau, permukaan seperti kulit; buah merupakan 3 bola yang menyatu. Jan-Mar. Biji: Normal Kulit: Abu-abu. Ciri khas: Getah lateks putih melimpah, beracun, iritan terhadap mata dan kulit. : India Selatan s.d. Jepang Selatan, Asia Tenggara, dan Kepulauan Pasifik Distribusi : Habitat : Tumbuh di tepi hutan mangrove, ke arah daratan, pada tanah pasir atau lumpur. Manfaat : Kayu bakar, arang, furniture. Lateks untuk racun ikan. Mirip

115

Heritiera littoralis Dryand in Aiton Sterculiaceae

Dungun Minor

Bentuk: Pohon, tinggi 20-30 m. Akar: Akar papan berkembang dengan baik. Daun: Tunggal, alternatus, helai eliptis s.d. obovatus, ujung acutus, panjang 10-15 cm. Bunga: Infloresensi aksiler atau terminal, tanpa panicula, panjang > 10 cm; petala ungu dan coklat; kelopah cuping 45, kemerahan; bunga uniseksual, berbulu rapat, bunga jantan lebih kecil. Buah: Panjang 5-7 cm, hijau s.d. coklat, permukaan halus, pipih, tepi berpunggung. Mengapung.

Biji: Normal. Kulit: Abu-abuan, beralur dan pecah-pecah. Ciri khas: Akar papan sangat pipih. Mirip : Distribusi : India s.d. Pasifik Barat. Habitat : Tepi hutan mangrove, ke arah darat, sepanjang tepi sungai, salinitas rendah. Manfaat : Kayu bangunan yang keras dan kuat, juga untuk tiang perahu, kayu bakar, huma, tiang telepon, dan lain-lain. Ekstrak biji untuk mengobati diare dan disentri. 116

Lumnitzera littorea (Jack) Voigt. Combretaceae

Teruntum merah Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi 10-18 m. Akar: Akar papan kecil, kadang tanpa pneumatofora. Daun: Tunggal, alternatus, helai obovatus, ujung membulat atau emarginatus, panjang 4-7 cm, hampir tanpa tangkai. Bunga: Infloresensi terminal, spike, panjang 2-3 cm; petala 5, merah; kelopak cuping 5, hijau; stamen < 10, lebih panjang dari petala; diameter 0,5-0,7 cm, panjang 1,6-1,8 cm. Buah: Panjang 2-2,5 cm, hijau kekuningan, licin, buah seperti vas bunga, bergabus. Mengapung.

Biji: Normal Kulit: Abu-abu s.d. coklat tua, beralur-alur, merekah menurut aksis batang. Ciri khas: Petala merah (pada L. racemosa putih) Mirip : L. racemosa Distribusi : Afrika Timur s.d. Asia, Australia dan Polinesia Habitat : Tepi muara sungai berair tawar, ke arah darat. Manfaat : Kayu bakar, kayu untuk bangunan jembatan dan lantai. Daun untuk mengobati sariawan. Berpotensi untuk tanaman hias.

117

Lumnitzera racemosa Willd. Combretaceae

Teruntum putih Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi > 5 m. Akar: Tanpa pneumatofora. Daun: Tunggal, alternatus, helai obovatus, membulat s.d. emarginatus, panjang 3-7 cm, pemukaan atas dan bawah daun hampir sama. Bunga: Infloresensi terminal atau aksiler, spike, panjang 12 cm; petala 5, putih; kelopak cuping 5, hijau; stamen < 10, sama panjang dengan petala; diameter 0,4-0,5 cm, panjang 1-1,5 cm. Buah: Diameter 0,4-0,5 cm, panjang 1-1,5 cm, hijau kekuningan, permukaan licin, buah seperti pot bunga, bergabus, mengapung. Biji: Normal Kulit: Abu-abu Ciri khas: Petala putih (pada L. littorea merah).

Mirip : Seperti L. littorea tetapi lebih kecil. Distribusi : Afrika Timur s.d. Asia Tenggara, Australia, Polinesia. Habitat : Batas tepi hutan mangrove ke arah darat, tanah lumpur, salinitas rendah. Manfaat : Kulit kayu untuk tanin. Berpotensi sebagai tanaman hias. 118

Nypa fruticans (Thunb.) Wurmb. Palemae

Nipah Mayor

Bentuk: Pohon palem, tinggi > 4-9 m. Akar: Tanpa pneumatofora. Daun: Majemuk menyirip, alternatus, khas palem, anak helai daun lanset, acutus, panjang tangkai daun 4-9 m. Bunga: Betina 25 cm, kepala globose, bunga jantan seperti sakat, merah bata hingga kuning. Nop. Buah: Panjang kepala buah lebih dari 25 cm, coklat tua atau merah bata, globose, mirip buah pandan. Des-Mar. Biji: Kriptovivipar Kulit: Batang di bawah tanah Ciri khas: Satu-satunya monokotil/palem mangrove mayor, tumbuh berdekatan, sering membentuk tegakan murni di sepanjang tepi sungai.

Mirip : Tidak ada. Distribusi : India s.d. Australia. Habitat : Air tawar sepanjang tepi sungai, sering membentuk komunitas besar. Manfaat : Daun tua untuk atap, daun muda untuk kertas rokok. Nira dapat dibuat gula, tuak atau cuka. Buah muda enak dimakan.

119

Osbornia octodonta F. Muell. loc. cit. Myrtaceae

Baru-baru Minor

Bentuk: Semak, tinggi > 5 m. Akar: Tanpa pneumatofora. Daun: Tunggal, oppositus, helai obovatus, ujung membulat, panjang 2-6 cm. Bunga: Infloresensi aksiler, cymus, bunga 1-3; petala absen; Kelopak hijau kekuningan, berbulu rapat, pangkal meruncing; stamen banyak (> 48), putih s.d. kuning; diameter 0,5 cm, panjang 0,7 cm. Des-Peb. Buah: Diameter 0,5 cm, panjang 0,7 cm, hijau kekuningan, permukaan berbulu rapat, setiap buah biasanya berbiji 1. Peb-Mar. Biji: Normal. Kulit : Ciri khas : Mirip Distribusi Habitat Manfaat 120

: : : :

Abu-abu s.d. coklat, berserat, seperti senar. Satu-satunya mangrove yang berbau minyak atsiri. Bentuk daun seperti Lumnitzera spp., tetapi lebih tebal dan oppositus. Lumnitzera spp. Area bersalinitas relatif tinggi, air tawar terbatas.

Pempis acidula Forst. Lythraceae

Sentigi laut Minor

Bentuk: Semak, tinggi > 3 m. Akar: Tanpa pneumatofora. Daun: Tunggal, oppositus, helai eliptis s.d. obovatus, ujung membulat s.d. menumpul, panjang 1-3 cm. Bunga: Infloresensi aksiler, cymus, berbunga 1- beberapa; petala 6, putih; kelopak cuping 12, hijau; stamen 12-18; diameter 0,7-1 cm. Buah: Diameter 0,3-0,5 cm, panjang 07,1 cm, hijau, permukaan berbului rapat, buah seperti gelas minum yang tinggi dengan tutupnya, setiap huah mengandung 20-30 bijibiji kecil. Biji: Normal. Kulit : Abu-abu muda s.d. coklat. Ciri khas : Daun berdaging, tebal hingga 0,3 cm. Mirip : Distribusi : Habitat : Kadang-kadang di pasir pantai Manfaat : -

121

Rhizophora apiculata Bl. Rhizophoraceae

Bakau putih; Bakau minyak Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi 15-25 m. Akar: Akar sangga, jalin menjalin dengan sesama atau tumbuhan lain menbentuk pijakan (graft). Daun: Tunggal, oppositus, helai agak eliptis, tebal, ujung apiculatus, berduri, panjang 9-18 cm. Bunga: Infloresensi aksiler, cymus, bunga 2, 2-3 cm; tangkai kuat > 1,4 cm; petala 4, putih; kelopak cuping 4, kuning kehijauan, sisi luar hijau kemerahan; stamen 12, coklat. Buah: Diameter 1,3-1,7 cm, panjang 20-25 cm; permukaan halus, agak berkutil; hipokotil hijau s.d. coklat, kotiledon merah saat masak, hipokotil menempel di bawah kotiledon, Mengapung. Des-Mar. Biji: Vivipar Kulit: abu-abu s.d. abu-abu tua, kasap, tessellatus, seperti mosaik. Ciri khas: Daun lebih kecil dari Rhizophora lain.

: R. mucronata, R. lamarckii, R. stylosa. Sisi bawah daun R. stylosa memiliki bintik-bintik coklat. Rhizophora mucronata memiliki daun dan propagul lebih besar (panjang > 60 cm). Distribusi : Asia Tenggara s.d. Mikronesia Habitat : Melimpah di muara suangi berlumpur halus. Manfaat : Kayu bangunan.

Mirip

122

Rhizophora x lamarckii Montr. Rhizophoraceae

Bakau (hibrida) Mayor

Merupakan hibrida R. stylosa dan R. apiculata. Bentuk: Pohon, tinggi > 8 m. Akar: Akar sangga Daun: Tunggal, oppositus, helai eliptis, ujung apiculatus dengan duri, panjang 9-18 cm, Bunga: Infloresensi aksiler, cymus berbunga 4, panjang 23 cm, dikotom, tangkai > 1,8 cm; petala 4; kelopak cuping 4, kuning kehijauan, sisi luar hijau kemerahan; kaling tidak membuka. Buah: Biasanya steril dan tidak menghasilkan biji. Biji: Tidak menghasilkan biji Kulit: Abu-abu s.d. abu-abu tua, tessellatus, seperti mosaik halus, mudah dipatahkan. Ciri khas: Hampir sama dengan R. apiculata, tetapi tangkai berbunga 4, akar sangga panjang. Merupakan hibrida, steril.

Mirip Distribusi Habitat Manfaat

: : : :

R. apiculatus, R. mucronata, R. stylosa Tepi sungai berlumpur lembut. 123

Rhizophora mucronata Lamk. Rhizophoraceae

Bakau bandul Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi > 25 m. Akar: Akar sangga. Daun: Tunggal, oppositus, helai eliptis, ujung aristatus, mirip gigi, panjang 15-20 cm. Bunga: Infloresensi aksiler, cymus berbunga4-8, dikotom, pendulous; petala putih 4, berbulu; kelopak cuping 4, kuning krem s.d. hijau kekuningan; stamen 8; diameter 3-4 cm, panjang 1,-2 cm; stylus pendek, stigma hampir sessil. Ags-Des. Buah: Diameter 2-2,3 cm, panjang 50-70 cm, hijau s.d. hijau kekuningan, kotiledon kuning saat masak; permukaan berkutil; hipokotil menempel di bawah kotiledon, terapung. Okt-Des. Biji: Vivipar Kulit: sangat kasp, abu-abu s.d. hitam, tessellatus. Ciri khas: Daun lebih besar dari R. stylosa, melebar di tengah, tangkai pendek. Mirip : R. apiculatus, R. lamarckii, R. stylosa Distribusi : Afrika Timur s.d. Australia, Melanesia, Mikronesia Habitat : Melimpah di muara sungai berlumpur, beradaptasi terhadap fluktuasi genangan. Serupa R. apiculata tetapi lebih toleran terhadap pasir dan tanah keras. Manfaat : Kayu bakar, arang, tanin kulit kayu untuk pewarna dan obat. 124

Rhizophora stylosa Griff. Rhizophoraceae

Bakau Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi 6-8 m. Dapat mencapai 20 m. Mangrove paling terkenal, asal nama hutan bakau Akar: Akar sangga. Daun: Tunggal, oppositus, helai eliptis, ujung aristatus, mirip gigi, panjang 10-18 cm, sisi bawah hijau kekuningan, bertitik-titik hitam. Bunga: Infloresensi aksiler, cymus berbunga 8-16, dikotom, pendulous; petala 4, putih; kelopak cuping 4, hijaukuning; stamen 8; diameter 2,5-3,5 cm; stylus panjang ramping, 0,4-0,6 cm. Peb-Apr. Buah: Diameter 1,5-2 cm, panjang > 30 cm; hipokotil hijau s.d hijau kekuningan, kotiledon kuning kehijauan saat masak; permukaan agak halus, berkutil; hipokotil melekatdi bawah kotiledon, terapung. Jan-Des. Biji: Vivipar Kulit : Abu-abu s.d. hitam, akar halus, tesselatus. Ciri khas : R. apiculata daun lebih runcing, tanpa bintik coklat. R. mucronata daun lebih besar, panjang propagul dua kalinya. Mirip : R. apiculatus, R. lamarckii, R. mucronata Distribusi : Taiwan, Asia Tenggara s.d. Irian, Melanesia, Australia Habitat : Tumbuh di tepi laut, beradaptasi terhadap elevasi air. Manfaat : -

125

Scyphyphora hydrophyllacea Gaertn.f. Rubiaceae

Duduk rambat Minor

Bentuk: Semak, tinggi > 3 m. Akar: Tanpa pneumatofora, kadang ada akar sangga. Daun: Tunggal, oppositus, helai obovatus, ujung membulat, panjang 5-7 cm Bunga: Infloresensi aksile, cymus rapat, bunga 3-7; petala 4-5, putih atau agak merah; stamen 4-5.

Buah: Diameter 0,4-0,5 cm, panjang > 1 cm; hijau s.d. coklat; permukaan glaber (kasap); beralur-alur dalam memanjang, seperti gir kecil. Mengapung Biji: Normal Kulit: Coklat, kasap. Ciri khas: Daun licin, biji kecil seperti ger. Mirip : Distribusi : India Selatan s.d. Kaledonia Baru Habitat : Di dalam hutan mangrove atau pasir tepi pantai yang bersalinitas tinggi. Manfaat : Ekstrak daun yang dipanaskan dapat mengurangi sakit perut.

126

Sonneratia alba J. Smith Sonneratiaceae

Prapat Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi 16-20 m Akar: Pneumatofora akar pasak. Daun: Tunggal, oppositus, helai memanjang s.d. obovatus, ujung membulat s.d. emarginatus, panjang 5-10 cm. Bunga: Infloresensi terminal, atau anak ranting; petala putih (ujung kadang putih); kelopak cuping 6-8, sisi dalam merah, luar hijau; stamen banyak, putih; diameter 5-8 cm; bunga mekar semalam; nektar di tabung kelopak. Buah: Diameter 3,5-4,5 cm, hijau, permukaan halus; kelopak bentuk cawan, menutup pada pangkal, cuping kelopak melebar atau membalik, biji 150-200 dalam satu buah Biji: Normal. Kulit: Kasap, dengan celahcelah kecil memanjang, krem s.d. coklat. Ciri khas: Tangkai daun tua kuning, cuping kelopak buah membalik. Pada S. ovata cuping kelopak menutupi buah. Mirip : S. ovata, S. caseolaris. Distribusi : Afrika Timur s.d. Asia Tenggara dan Australia. Habitat : Muara sungai berpasir, sering di tepi laut, salinita relatif tinggi Manfaat : Kayu bakar, kayu bangunan, buah masak dapat dimakan. 127

Sonneratia caseolaris (L.) Engler Sonneratiaceae

Bogem Mayor

Bentuk: Pohon, tinggi > 16 m. Akar: Pneumatofora akar pasak, > 1 m. Daun: Tunggal, oppositus, helai oval s.d oblong, ujung membulat, panjang 4-8 cm. Bunga: Infloresensi terminal, cymus, bunga 1-beberapa; petala merah; kelopak cuping 6-8, hijau; stamen banyak, me rah-putih, diameter 8-10 cm. Buah: Diameter 6-8 cm, hijau kekuningan, permukaan licin, kelopak datar membuka horizontal, tidak menutupi buah, cuping kelopak melebar atau membalik, buah lebih besar dari S. alba, biji 800-1200. Biji: Normal. Kulit: Halus. Ciri khas: Tangkai daun tua merah muda-kemerahan, stamen merah dan putih, pneumatofota berkembang dengan baik, > 1m, lebih panjang dari S. alba. Mirip : S. alba, S. ovata. Serupa S. alba tetapi petala merah (vs. putih cabang muda menggantung ke bawah mirip angsana (vs. tegak). Distribusi : Afrika Timur s.d. Australia, Mikronesia, Kaledonia Baru. Habitat : Tepi muara sungai, menyukai salinitas rendah berair tawar. Manfaat : Buah masak dapat dimakan. Jus buah setengah masak untuk mengobati batuk. Kulit buah tua untuk vermifuge. Jus bunga mengobati darah dalam urin. Pneumatofora untuk sumbat botol.

128

Sonneratia ovata Sonneratiaceae

Gedalbu Mayor

Seperti S. alba, tetapi lebih kecil. Bentuk: Pohon, tinggi 16 m. Akar: Pneumatofora akar pasak. Daun: Tunggal, oppositus, helai memanjang s.d. obovatus, ujung membulat, 4-8 cm. Bunga : Infloresensi terminal; petala putih; kelopak cuping 6-8, sisi dalam merah, luar hijau; stamen banyak, putih; diameter 5-8 cm; bunga mekar semalam; nektar di kelopak. Buah : Diameter 2,5-4 cm, hijau, permukaan halus; kelopak bentuk cawan, menutup pada pangkal, cuping kelopak menutup buah, biji 150dalam satu buah Biji : Normal Kulit : Krem s.d. coklat, agak kasap, dengan celah kecil memanjang. Mirip : S. alba, S. caseolaris Distribusi : Afrika Timur s.d. Asia Tenggara dan Australia. Habitat : Muara sungai berpasir, sering di tepi laut, salinita relatif tinggi Manfaat : Kayu bakar, buah masak dapat dimakan. Perbandingan buah spesies Sonneratia

Sonneratia alba Sonneratia caseolaris Kelopak melengkung ke Kelopak peralihan S. belakang menuju tangkai. alba dan S. ovata. Pangkal stylus “dekok”. Stylus tegak panjang.

Sonneratia ovata Kelopak mencengkeram (metutup) buah menjauhi tangkai. 129

Xylocarpus granatum Koen. Meliaceae

Nyuruh, Nyirih bunga Minor

Bentuk: Pohon, tinggi > 8-25 m Akar: Akar papan. Daun: Majemuk, alternatus, anak daun biasanya 2 pasang, helai eliptis s.d. obovatus, ujung membulat, panjang 7-12 cm. Bunga: Infloresensi umumnya aksiler, panicula, panjang > 6 cm, bunga 8-20; petala krem s.d. putih kehijauan; kelopak cuping 4, hijau kekuningan; stamen berfusi membentuk tabung, putih krem; diameter 1-1,2 cm; bunga uniseksual. Buah: Diameter 15-20 cm, coklat kekuningan, permukaan seperti kulit, buah bulat seperti melon, 1-2 kg, 6-12 biji, mengapung, bila kering pecah seperti “puzzle”. Biji: Normal. Kulit: Merah kecoklatan, agak halus, pucat, bertotol-totol kehijauan atau kekuningan tidak teratur. Ciri khas : Akar papan berkembang baik, memunculkan akar seperti ular, buah bulat, besar, keras, seperti melon, coklat kekuningan. Dibedakan dari X. moluccensis karena ujung daun membulat (vs. runcing) dan seukuran melon atau jeruk besar (vs. jeruk). Mirip : X. moluccensis, X. rumphii. Distribusi : Afrika Timur s.d. Asia Tenggara, Tonga. Habitat : Tepi sungai, bagian yang bersalinitas rendah. Manfaat : Kayu bakar, kayu perahu, furniture. Kulit kayu untuk tanin, menghitami baju. Akar mengobati kolera dan disentri. 130

Xylocarpus moluccensis (Lam.) Roem. Meliaceae

Nyirih batu Minor

Bentuk: Pohon, tinggi > 6-10 m. Akar: Akar papan pendek, pneumatofora akar pasak. Daun: Majemuk, alternatus, anak daun biasanya 2-3 pasang, helai eliptis s.d. obovatus, ujung acutus, panjang 5-9 cm. Bunga: Infloresensi umumnya aksiler, panicula, panjang > 8 cm, bunga 10-35; petala 4, krem s.d. putih kehijauan; kelopak cuping 4, hijau kekuningan; stamen berfusi membentuk tabung, putih krem; diameter 0,8-1 cm; bunga uniseksual. Buah: Diameter 10 cm, hijau, permukaan seperti kulit, buah seukuran jeruk, 4-10 biji, mengapung. Biji: Normal. Kulit: Merah tua hampir hitam, beralur-alur memanjang. Ciri khas: Akar papan kadang sangat pendek atau tidak ada, buah hijau, lebih kecil dari X. granatum. Mirip : X. granatum, X. rumphii. Distribusi : India s.d. Asia Tenggara dan Australia. Habitat : Tepi sungai, bagian yang bersalinitas rendah. Manfaat : Sama dengan X. granatum.

131

Xylocarpus rumphii (Kostel.) Mabb. Meliaceae Bentuk: Pohon, tinggi > 6 m. Akar: Tanpa pneumatofora. Daun: Majemuk, alternatus, anak daun biasanya 3-4 pasang, helai ovatus s.d. cordatus, ujung acutus s.d. acuminatus, panjang 7-12 cm. Bunga: Infloresensi umumnya aksiler, panicula, panjang > 12 cm; petala 4, krem s.d. putih kehijauan; kelopak cuping 4, hijau kekuningan; stamen berfusi membentuk tabung, putih krem; diameter 0,8-1 cm; bunga uniseksual. Buah: Diameter > 8 cm, hijau, permukaan licin, buah seukuran jeruk, 4-10 biji, mengapung. Biji: Normal. Kulit: Coklat, kasap, beraluralur tajam. Ciri khas: Sering dijumpai di pantai berpasir, anak daun 3-4 pasang, ovatus s.d. cordatus lebar, tajam, buah hijau, lebih kecil dari X. granatum.

Mirip Distribusi Habitat Manfaat 132

: : : :

X. granatum, X. moluccensis.. Mangrove pantai tumbuh di pasir pantai. -

Nyirih (?) Minor

Lampiran 3. Borang A. (PERIKSA BUKU KERJA)

133

Lampiran 4. Borang B. (PERIKSA BUKU KERJA)

134

Lampiran 5. Borang C. (PERIKSA BUKU KERJA)

135

Lampiran 6. Borang D. (PERIKSA BUKU KERJA)

136

Daftar Pustaka AIMS. 2000. Field Guide to the Mangroves of Queensland. Queensland: Australian Institute of Marine Science. www.aims.gov.au Anonim. 1997a. National strategy for mangrove management in Indonesia. Volume 1 (strategy and action plan). Jakarta: Office of the Minister of Environment, Departement of Forestry, Indonesian Institute of Science, Department of Home Affairs, and The Mangrove Foundation. Anonim. 1997b. National strategy for mangrove management in Indonesia. Volume 2 (mangrove in Indonesia current status). Jakarta: Office of the Minister of Environment, Departement of Forestry, Indonesian Institute of Science, Department of Home Affairs, and The Mangrove Foundation. Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1963. Flora of Java. Vol. I. Groningen: P.Noordhoff. Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol. II. Groningen: P.Noordhoff. Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1968. Flora of Java. Vol. III. Groningen: P.Noordhoff. Bandaranayake, W.M. 1998. Traditional and medicinal uses of mangroves. Mangrove and Salt Marshes 2: 133-148. Barbour, M.G., J.H. Burk dan W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. Second edition. Menlo Park: The Benjamin Cummings Publishing Company Inc. Blasco, F. 1992. Outlines of ecology, botany and forestry of the mangals of the Indian subcontinent. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier. Chapman, V.J. 1992. Wet coastal formations of Indo Malesia and Papua-New Guinea. In Chapman, V.J. (ed.). Ecosystems of the World 1: Wet Coastal Ecosystems. Amsterdam: Elsevier. Giesen, W. 1991. Checklist of Indonesian fresh water aquatic herbs (including an introduction to fresh water aquatic vegetation). PHPA/AWB Sumatra Wetland Project Report no.27. Jakarta: Asian Wetland Bureau-Indonesia. Goldman, R.C. and Horne, 1983. Lymnology. New York: McGraw Hill International Book Co. Banks J.C.G. 2001. Trees and Forests. Melbourne: School of Resource Management and Environmental Science, Department of Forestry, The Australian National University. 137

Howe, C.P., G.F. Claride, R. Hughes, Zuwendra, 1992. Manual of guideline for scoping EIA in Indonesia wetland. Second edition. PHPA/AWB Sumatra Wetland Project No.6B. Jakarta: Directorat General of Forest Protection and Nature Conservation-Asian Wetland Bureau Indonesia Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M.A. Affendi, dan I.N. Budiyana. 1999. Sustainable Management Models for Mangrove Forests. Jakarta: Ministry of Forest and Estate Crops. Kartawinata. K. 1979. Status pengetahuan hutan bakau di Indonesia. Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta: MAP LON LIPI. Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago, dan S. Baba. 1997. Handbook of Mangroves in Indonesia; Bal & Lombok. Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Management Project, Ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Agency. Knox, G.A. dan T. Miyabara. 1984. Coastal Zone Resource Development and Conservation in South East Asia, with Special Refference to Indonesia. Jakarta: UNESCO. Ng, P.K.L. and N. Sivasothi (editors). 2001. A Guide to Mangroves of Singapore. Volume 1: The Ecosystem and Plant Diversity and Volume 2: Animal Diversity. Singapore: The Singapore Science Centre. Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology, An Ecological Approach. Third edition. New York: Harper Collins College Publishers. Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. Third edition. Philadelphia: W.B. Sounders Co.. Sasaki, Y. and H. Sunarto. 1994. Mangrove forest of Segara Anakan lagoon. In Takashima, F. and K. Soewardi (eds.). Ecological Assessment for Management Planning of Segara Anakan Lagoon, Cilacap, Central Java. Tokyo: NODAI Center for International Program, Tokyo University of Agriculture and JSPS-DGHE Program. Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In: Flora Malesiana. Djakarta: NoordhoffKollf. Sukardjo, S., 1985. Laguna dan vegetasi mangrove. Oseana 10 (4): 128-137 Tanaka, S., 1992. Bali Environment the Sustainable Mangrove Forest. Jakarta: Development of Sustainable Mangrove Management Project. Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge University Press. Wainwright, S.J. 1984. Adaptation of Plant to Flooding with Salt Water. New York: Academic Press Inc. Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S. Afiff. 1987. Ecology of Java and Bali. Singapore: Periplus. Wirjodarmodjo. H., S.D. Soeroso, dan S. Bambang. 1979. Pengelolaan hutan payau Cilacap. Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional LIPI.

138

Istilah mangrove digunakan secara luas untuk menamai tumbuhan yang dapat beradaptasi dengan baik pada ekosistem hutan tropis dan subtropis pasang-surut, meliputi pantai dangkal, muara sungai, delta, rawa belakang dan laguna. Kata mangrove merupakan perpaduan bahasa Melayu manggi-manggi dan bahasa Arab el-gurm menjadi mang-gurm, keduanya sama-sama berarti Avicennia (api-api), pelatinan nama Ibnu Sina, seorang dokter Arab yang banyak mengidentifikasi manfaat obat tumbuhan mangrove. Kata mangrove dapat ditujukan untuk menyebut spesies, tumbuhan, hutan atau komunitas.

© 2002 Jurusan Biologi Fakultas Matematikan dan ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta

Related Documents


More Documents from "dw"

B010105
December 2019 2
B040215
December 2019 2
B050102
December 2019 2
B050103
December 2019 2
B050108
December 2019 2
B050109
December 2019 3