Persoalan Perumuhan Dosen

  • Uploaded by: Prof. DR. H. Imam Suprayogo
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Persoalan Perumuhan Dosen as PDF for free.

More details

  • Words: 1,223
  • Pages: 5
Persoalan Perumuhan Dosen Bagikan 18 April 2009 jam 13:01 Pagi ini saya tertarik untuk ikut memperbincangkan persoalan fasilitas perumahan dosen, yang beberapa minggu terakhir ini diberitakan di beberapa Koran. Para Rektor perguruan tinggi negeri, di berbagai wilayah -----mungkin di seluruh Indonesia, rupanya disibukkan oleh persoalan itu. Mereka ditugasi oleh pemerintah pusat agar segera menertibkan fasilitas perumahan dosen yang berstatus milik negara, yang masih dimanfaatkan oleh penghuninya, sementara mereka sudah pensiun dan bahkan sudah ditempati keluarganya karena dosen yang dahulu berdinas di kampous itu sudah wafat. Persoalan lainnya, terkait dengan perumahan dinas dosen ini, tidak sedikit kabarnya, yang sudah berganti fungsi. Rumah-rumah dinas itu tidak lagi ditempati oleh dosen yang bersangkutan, melainkan sudah dijadikan tempat usaha, seperti tempat kost, toko atau usaha lain. Sedangkan dosen yang diberi hak menempati sudah pindah ke rumah milik sendiri, yang mungkin keadaannya lebih baik atau lebih strategis. Hal seperti itu, wajar jika kemudian melahirkan pertanyaan dari berbagai kalangan, termasuk misalnya dari para dosen muda, yang belum mendapatkan fasilitas itu, sehingga mereka harus beli, menyewa, atau juga mengangsur yang dirasakan berat. Melihat gambaran seperti itu, di saat pemerintah sedang menertibkan berbagai hal yang dianggap menyimpang, maka penggunaan perumahan dinas dosen seperti itu terkena sasaran. Sudah barang tentu, bagi rector tugas ini tidak ringan. Para rector yang misalnya, baru bertugas beberapa tahun, tidak mudah menghadapi para penghuni rumah dinas yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Apalagi, penghuni rumah dinas itu adalah, misalnya pensiunan dosen yang juga mantan pimpinan universitas atau juga bahkan berstatus sebagai mantan guru rector yang bersangkutan. Penyelesaian itu menjadi lebih pelik lagi, terutama terhadap beberapa rumah dinas yang sudah berubah status kepemilikannya. Para penghuni rumah dinas sudah merasa memiliki rumah itu dan disertai surat-surat bukti kepemilikan, sertifikat misalnya. Diakui bahwa dulu

pernah ada ketentuan, para pengghuni rumah dinas dalam masa tertentu untuk tipe rumah tertentu diperolehkan memilikinya dengan cara mengangsur. Semua persyaratan untuk memenuhi ketentuan ini, misalnya sudah terpenuhi dan status rumah dinas sudah berubah menjadi milik mantan dosen yang bersangkutan. Hal seperti ini menjadi lebih rumit, jika rumah tersebut juga harus ditertipkan dan kembalikan kepemilikannya ke negara, mengikuti aturan baru. Menghadapi persoalan ini, rasanya memang serba sulit. Perguruan tinggi semestinya memiliki rumah dinas yang diperuntukkan bagi seluruh dosennya. Dengan tercukupinya fasilitas itu, maka para dosen dapat dituntut bekerja dan mengembangkan diri secara maksimal. Tidak sebagaimana selama ini, karena keterbatasan dana yang tersedia, para dosen dibiarkan mencari fasilitas sendiri, bertempat tinggal di mana saja, yang pimpinannya sendiri tidak mengetahui. Akibatnya, mereka tidak bisa bekerja secara maksimal. Para mahasiswa yang ingin berkonsultasi, harus mondar mandir, ke sanakemari sehingga bermaksud menemui dosennya saja tidak mudah. Secara ideal, semestinya seluruh dosen disediakan fasilitas perumahan dinas. Fasilitas itu, akan lebih baik kalau berlokasi menyatu dengan kampus. Dengan begitu para dosen setiap saat akan dengan mudah melakukan aktivitas akademik, misalnya terkait dengan perpustakaan, laboratorium dan lain-lain. Para mahasiswa juga akan mudah mendapatkan layanan konsultasi, baik pada jam dinas maupun di luar jam kerja, jika para dosen bertempat tinggal di perumahan dinas yang berlokasi menyatu dengan kampusnya . Agar perumahan dinas seperti itu bisa berjangka panjang dan maksimal pemanfaatannya, maka harus ditertibkan penggunaannya. Rumah dinas semestinya hanya digunakan bagi mereka yang masih dinas. Rumah dinas harus dibedakan dari rumah purna tugas atau pensiun. Siapapun yang sudah memasuki masa pensiun dan apalagi sudah meninggal, maka yang bersangkutan dan atau keluarga dosen yang meninggal tersebut harus meninggalkan perumahan dinas itu. Tidak boleh ada yang diberi toleransi, sekalipun yang bersangkutan pernah berstatus sebagai pimpinan kampus yang bersangkutran. Semestinya tidak boleh ada aturan secuilpun yang memberi peluang adanya pemindah-kepemilikan rumah dinas. Rumah dinas, apalagi

yang berada di dalam lokasi kampus, semestinya tidak boleh dipindahtangankan. Artinya berapa lamapun dan tipe apapun, rumah dinas tidak boleh diserahkan kepemilikannya, dengan cara apapun ke penghuninya. Sebab jika ada aturan seperti itu, maka lokasi kampus semakin lama semakin habis. Yang tertinggal hanyalah gedunggedung kuliah, perkantoran, perpustakaan dan laboratorium yang dikelilingi rumah dinas yang sudah berganti pemilik. Seharusnya semakin lama, lokasi kampus justru semakin diperluas untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang semakin banyak dan maju. Oleh karenanya tidak boleh ada peraturan yang justru menyebabkan lokasi kampus menjadi menyempit. Kebijakan membolehkan rumah dinas berubah menjadi milik para penghuninya, itulah yang sesungguhnya salah. Pengambil kebijakan ketika itu, menggambarkan yang bersangkutan sama sekali tidak mengerti tuntutan pengembangan kampus masa depan. Rektor, ketika itu semestinya berani menolak kebijakan yang aneh itu, karena tidak mengikuti logika pertumbuhan perguruan tinggi. Akan tetapi, jika melihat jasa para dosen yang telah lama mengabdi di kampus, dan selama itu belum memiliki rumah, sedangkan mereka sudah segera masuk masa pensiun, maka sangat perlu mendapatkan perhatian. Para dosen tersebut tidak selayaknya kemudian diusir dari rumah dinas agar pindah ke tempat lain yang tidak jelas di mana alamatnya. Mereka yang selama hidupnya mengabdi, mendidik dan membimbing generasi muda bangsa, juga tidak selayaknya dibiarkan, tidak diberikan jaminan hidup di masa tuanya. Namun semestinya, jaminan berupa rumah masa pensiun yang wajar jika disediakan pemerintah, tidak boleh mengganggu pertumbuhan kampus. Jika itu terjadi maka juga akan menjadi pemandangan yang kurang indah. Penyelesaian rumah dinas yang cukup manusiawi dan bahkan terhormat, pernah saya lihat di Irak yang dilakukan oleh Presiden Saddam Husien (alm). Saddam Husein dikenal sangat menyenangi tentara, sebagai kekuatan untuk mempertahankan negaranya. Para tentara oleh Saddam Husein diberi rumah dinas, dan selama menjadi tentara, mereka harus menempati rumah dinas itu. Akan tetapi, tatkala mereka sudah memasuki masa pensiun mereka harus meninggalkan rumah itu, dan pindah ke rumah pribadi yang berlokasi di tempat lain, yang juga disiapkan oleh pemerintah. Pernah saya

dalam kunjungan keliling ke beberapa wilayah negeri itu, melewati perumahan bagus yang sedemikian luas. Ternyata rumah yang berbentuk dan berukuran sama, dan bagus tersebut, --------bukan berukuran RS apalagi RSS, adalah rumah yang diperuntukkan bagi para janda tentara yang ditinggal mati suaminya di medan perang. Rumah-rumah tersebut dibangun oleh pemerintah Irak, Saddam Husien. Para tentara di Irak, ketika itu sangat dihormati oleh pemerintah., karena itu disediakan berbagai fasilitas hidup mereka. Belajar dari Saddam Husien itu, jika kita mau, sesungguhnya kasus perumahan dinas bagi dosen di beberapa perguruan tinggi negeri, bisa diselesaikan dengan mempertimbangkan berbagai pihak, baik kepentingan kampus dan juga para dosen yang sudah pensiun itu. Apa yang dilakukan oleh Saddam Husien kiranya bisa dijadikan bahan acuan. Negeri Irak selalu dilanda perang, karena presidennya menyukainya. Atas dasar itu para tentara sangat dicintai olehnya. Sepanjang waktu Saddam Husien menumbuhkan jiwa berani berperang terhadap generasi mudanya. Sebagai bentuk kecintaan terhadap tentara, mereka dipenuhi fasilitasnya, termasuk perumahan tatkala sudah memasuki usia pensiun. Oleh karena itu kiranya, sebagai bentuk kecintaan kita terhadap para guru dan juga dosen, pada masa depan pendidikan di negeri ini, apa salahnya kebijakan Saddam Husien, kita renungkan, dan kita jadikan bahan kebijakan dalam upaya memuliakan para pendidik di negeri ini. Dari berkunjung ke beberapa negara, baik dari negara-negara barat maupun timur, saya pernah mendapatkan kalimat yang begitu indah, terkait dengan pembangunan pendidikan dan juga negeri. Kalimat itu berbunyi sbb : “Jika kamu ingin membangun bangsamu, maka bangunlah pendidikanmu. Dan jika kamu mau membangun pendidikanmu agar berhasil, maka muliakanlah para guru-gurumu”. Memberikan rumah kepada para pensiunan guru dan juga dosen, kiranya bisa dipandang sebagai bagian dari bentuk memuliakan mereka. Apalagi jika kita percaya terhadap kalimat indah tersebut, ternyata salah satu kunci sukses membangun negeri, adalah memuliakan para guru atau dosen. Jika dalam waktu dekat pandangan ini masih sulit diwujudkan, karena berbagai keterbatasan, setidaktidaknya sudah menjadi agenda pemikiran kita semua, termasuk oleh para pengambil kebijakan pengembangan pendidikan di negeri ini . Wallahu a’lam.

Related Documents

Persoalan Pemuda
November 2019 25
Persoalan Ikhtilat
November 2019 29
Persoalan Teodisi
May 2020 14
Dosen Egi.docx
November 2019 19

More Documents from "Olga Fanny"