Periodisasi dalam perekonomian Indonesia Di samping cakupan ilmu dalam perekonomian Indonesia juga harus diperhatikan
cakupan wilayah dan cakupan waktu (periode), yakni mencakup wilayah bekas jajahan Belanda dari zaman penjajahan Belanda, masa Orde Lama, Orde Baru dan masa transisi dan reformasi sampai sekarang. Perekonomian pada masa penjajahan Belanda (1602-1945) tidak banyak berbeda dengan perekonomian sebelumnya, perekonomian pada zaman Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Bone, Yogyakarta, Solo dan Kerajaan lainnya di nusantara ini. Juga tidak banyak berbeda dengan perekonomian di Eropa Barat pada umumnya pada waktu itu, satu perekonomian yang didominasi oleh sektor pertanian. Pada tahun-tahun pertama setelah proklamasi, keadaan ekonomi Indonesia sangat buruk, ekonomi nasional boleh dikatakan mengalami stagflasi (artinya stagnasi produksi atau kegiatan produksi terhenti dengan tingkat inflasi yang tinggi), defisit keuangan pemerintah sangat besar; kegiatan produksi di sektor pertanian dan sektor industry manufaktur praktis terhenti, tingkat inflasi sangat tinggi. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda (dan asing lainnya) yang dilakukan pada tahun 1957 dan 1958 adalah awal dari periode “ekonomi terpimpin”. Sistem politik dan ekonomi pada masa Orde Lama, khususnya setelah “ekonomi terpimpin” dicanangkan, semakin dekat dengan haluan sosialis/komunis. Seirama dengan orientasi pemerintah ke bloks sosialis, sistem perbankan disesuaikan dengan sistem perbankan di Rusia, pemerintahan Soekarno telah menyusun Pembangunan Semesta Berencana Delapan Tahun, yang mencakup seluruh wilayah Indonesia (semesta) yang mempunyai rentang waktu delapan tahun mulai 1960. Pemerintah Orde Baru menjalin kembali hubungan dengan pihak Barat dan menjauhi pengaruh ideologis komunis, kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga dunia lainnya seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi selama masa Orde Baru telah menghasilkan satu proses transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi dengan biaya yang sangat mahal dan fundamental ekonomi yang rapuh, terutama sektor moneternya. Pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru memberikan peluang yang sangat luas kepada sektor swasta, terutama swasta asing. Perekonomian Indonesia pada waktu Orde Baru dikatakan lebih liberal dari perekonomian negara-negara liberal (maju) dan kemudian timbul wacana mengenai sistem ekonomi yang berlaku, yang disebut dengan istilah Sistem Ekonomi Pancasila. Tekanan agar perekonomian tidak terlalu tergantung pada konsep dan bantuan luar negeri (peranan IGGI, Bank Dunia, dan IMF), perusahaan kecil dan menengah
lebih tahan banting (maksudnya tidak sampai memPHK karyawan pada watu krisis) dan agar peemrintah lebih memperhatikan dan memberi bantuan kepada pengusaha kecil dan menengah, maka munculah wacana Sistem Ekonomi Kerakyatan.