BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pada masa lalu, sebagian besar individu dan masyarakat memandang sehat dan sakit sebagai sesuatu hitam atau putih. Dimana kesehatan merupakan kondisi kebalikan dari penyakit atau kondisi yang terbebas dari penyakit. Anggapan atau sikap yang sederhana ini tentu dapat diterapkan dengan mudah, akan tetapi mengabaikan adanya rentang sehat-sakit. Konsep sehat dan sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena ada faktor-faktor lain di luar kenyataan klinis yang mempengaruhinya terutama faktor sosial budaya. Kedua pengertian saling mempengaruhi dan pengertian yang satu hanya dapat dipahami dalam konteks pengertian yang lain. Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi, kedokteran, dan lain-lain bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memberikan pengertian tentang konsep sehat dan sakit ditinjau dari masingmasing disiplin ilmu. Masalah sehat dan sakit merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuan atau ketidakmampuan manusia beradaptasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis maupun sosio budaya. Di era sekarang ini, jumlah penyakit semakin bertambah dengan berbagai macam pencetus yang semakin beragam pula. Bila pada jaman nenek moyang kita dahulu jumlah penyakit masih sangat sedikit dan cukup diobati dengan aneka ramuan tradisional, maka hal tersebut sudah sangat berbeda saat ini. Tingkat pencemaran dan polusi yang tinggi serta meningkatnya penggunaan bahan kimia dalam aneka produk konsumsi mejadi faktor utama penyebab semakin beragamnya jenis penyakit. Oleh karena itu, yang bisa kita lakukan adalah dengan cara mencegah, menghindari, serta meminimalkan paparan polusi serta mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak bahan kimia.
1
1.1
Rumusan Masalah 1.1.1
Bagaimana pengertian perilaku sehat sakit?
1.1.2
Bagaimana pencegahan penyakit yang dilakukan dalam praktek keperawatan?
1.1.3
Bagaimana
implementasi
antropologi
dalam
praktek
keperawatan? 1.2
Tujuan Tulisan 1.2.1
Untuk mengetahui pengertian dari perilaku sehat sakit
1.2.2
Untuk
mengetahui
pencegahan
penyakit
dalam
praktek
keperawatan 1.2.3
Untuk mengetahui implementasi antropologi dalam praktek keperawatan
1.3
Manfaat Tulisan 1.3.1
Manfaat Teoritis Secara teoretis, makalah ini diharapkan mampu menjadi referensi atau masukan terhadap pembelajaran antropologi kesehatan untuk lebih memahami materi mengenai perilaku sehat sakit dan pencegahan penyakit.
1.3.2
Manfaat Praktis Secara praktis, makalah ini diharapkan mampu menjadi pembelajaran bagi para mahasiswa dalam kaitannya dengan pembelajaran antropologi kesehatan mengenai perilaku sehat sakit dan pencegahan penyakit
2
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Perilaku Sehat Sakit Perilaku sakit (illness behavior) diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan, sedangkan perilaku sehat (health behavior) adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri (personal hygiene), penjagaan kebugaran melalui olahraga dan makanan bergizi. Perilaku sehat ini diperlihatkan oleh individu-individu yang merasa dirinya sehat meskipun secara medis belum tentu mereka betul-betul sehat. Penilaian tentang kondisi kesehatan individu dapat dibedakan dalam 8 golongan sebagai berikut (Notoatmodjo & Sarwono, 1986:41) Tingkat Normally well Pessimistic Socially ill Hypochondriacal Medically ill Martyr Optimistic Seriously ill
Psikologis Baik Sakit Baik Sakit Baik Sakit Baik Sakit
Dimensi Medis Medis Baik Baik Baik Baik Sakit Sakit Sakit Sakit
Sosial Baik Baik Sakit Sakit Baik Baik Sakit Sakit
Penggolongan status kesehatan di atas menunjukkan bahwa penilaian medis bukanlah merupakan satu-satunya kriteria yang menentukan tingkat kesehatan seseorang. Banyak keadaan dimana individu dapat melakukan fungsi sosialnya secara normal padahal secara medis menderita penyakit. Sebaliknya, tidak jarang pula individu merasa terganggu secara sosial psikologis padahal secara medis mereka tergolong sehat. Penilaian individu terhadap status kesehatannya ini merupakan salah satu faktor yang menentukan perilakunya, yaitu perilaku sehat jika dia menganggap dirinya sehat dan perilaku sakit jika merasa dirinya sakit. Orang yang berpenyakit
3
belum tentu orang sakit dan belum tentu mengakibatkan perubahan perannya dalam masyarakat, sedangkan orang sakit biasanya akan menyebabkan perubahan perannya dalam lingkungan keluarga atau masyarakatnya. Orang yang sakit tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya di lingkungan kerja dan keluarganya sehingga fungsinya itu harus digantikan oleh orang lain. Kadangkadang peranan orang yang sakit itu sedemikian luasnya sehingga peran yang ditinggalkannya itu tidak cukup digantikan oleh satu orang saja melainkan harus digantikan oleh beberapa orang. Hal ini tentu saja akan mengakibatkan perubahan dalam sistem sosial/lingkungan yang langsung berhubungan dengan si sakit. Dalam kehidupan sosial, orang-orang yang tergolong “medically ill” dan “martyr” dapat lebih mudah diterima oleh anggota masyarakat sebab penyakit mereka tidak mengganggu interaksi sosial mereka. Sebalik-nya, orang akan merasa terganggu bila berhubungan dengan “hypochondriacal” atau yang “socially ill”. Sekelompok ahli sosiologi yang dipimpin oleh Bush membedakan kemampuan fungsional seseorang berdasarkan tiga aspek : kemampuan untuk menggerakkan anggota tubuh, mobilitas dan kemampuan menjalankan kegiatan-kegiatan utamanya. Jika kedua aspek yang pertama merupakan indikator fisik, maka aspek yang terakhir mencerminkan definisi sosio-budaya tentang kesehatan dan penyakit karena berhu¬bungan erat dengan interaksi sosial. Setiap aspek diukur menurut derajat dan variasi kemampuan melakukan gerakan atau tindakan, mulai dari kemampuan melakukan gerakan/tindakan yang bervariasi tanpa memerlukan bantuan orang lain, sampai dengan kondisi di mana individu sama sekali menggantungkan diri pada bantuan orang lain untuk menjalankan fungsi fisik atau sosialnya. Berdasarkan penilaian setiap aspek menurut tingkatan fungsionalnya dapatlah ditentukan status kesehatan individu. Teori Bush in hanya memberikan kategorisasi status kesehatan individu namun tidak menjelaskan tentang perilaku sakit/sehat.
4
Seorang ahli sosiologi dan psikologi sosial yang lain, Mechanic, mengembangkan teori tentang perilaku sakit yang dinamakannya teori respons bertahan (coping response theory) (Notoatmodjo & Sarwono, 1986). Menurut Mechanic perilaku sakit adalah reaksi optimal dari individu jika dia terkena suatu penyakit. Dan reaksi ini sangatlah ditentukan oleh sistem sosialnya. Perilaku sakit erat hubungannya dengan konsep diri, penghayatan situasi yang dihadapi, pengaruh petugas kesehatan, serta pengaruh birokrasi (karyawan yang mendapat jaminan perawatan kesehatan yang baik akan cenderung lebih cepat merasa sakit daripada mereka yang justru akan kehilangan nafkah hariannya jika tidak masuk kerja karena sakit). Mechanic melakukan pendekatan sosial untuk mempelajari perilaku sakit. Pendekatan ini dihubungkan dengan teori konsep diri, definisi situasi, efek dari anggota grup dalam kesehatan dan efek birokrasi. Teori ini menekankan pada dua faktor, yaitu : a. Persepsi atau definisi individu tentang suatu situasi/penyakit. b. Kemampuan
individu
untuk
melawan
keadaan
yang
berat/serangan penyakit tersebut. Faktor di atas digunakan untuk menjelaskan mengapa seseorang dengan kondisi sakit dapat mengatasinya, tetapi orang lain dengan kondisi syang lebih ringan justru mengalami kesulitan sosial dan psikologis. Mechanic menjelaskan variasi-variasi dalam perilaku sakit, yaitu perilaku yang berhubungan dengan kondisi yang menyebabkan seseorang menaruh perhatian terhadap gejala-gejala pada dirinya dan kemudian mencari pertolongan. Jadi, teori ini difokuskan pada pengertian proses perilaku yang tampak sebelum individu mencari pengobatan. Selanjutnya, Mechanic mengembangkan analisis proses tentang perilaku sakit. Dengan demikian dapatlah dimengerti mengapa ada orang yang dapat mengatasi gangguan kesehatan yang cukup berat, sedangkan orang lain yang gangguannya lebih ringan malah memperoleh berbagai masalah, bukan saja fisik, melainkan masalah psikis dan sosial.
5
2.2 Pencegahan Penyakit 2.2.1 Pengertian Pencegahan Penyakit Pencegahan penyakit adalah tindakan yang ditujukan untuk mencegah, menunda, mengurangi, membasmi, mengeliminasi penyakit dan kecacatanm dgn menerapkan sebuah atau sejumlah intervensi yg telah dibuktikan efektif. (Kleinbaum, et al., 1982; Last, 2001). Konsep tingkat pencegahan penyakit ialah mengambil tindakan terlebih dahulu sebelum
kejadian
dengan
menggunakan
langkah‐langkah
yang
didasarkan pada data/ keterangan bersumber hasil analisis/ pengamatan/ penelitian epidemiologi. 2.2.2 Tingkatan Pencegahan Penyakit Beberapa tingkatan yang dimaksud adalah : a. Pencegahan tingkat pertama (primary prevention) seperti promosi kesehatan dan pencegahan khusus. Sasarannya ialah faktor penyebab, lingkungan dan pejamu. Langkah pencegahaan di faktor penyebab misalnya, menurunkan pengaruh serendah mungkin (desinfeksi, pasteurisasi, strerilisasi, penyemprotan insektisida) agar memutus rantai penularan. Langkah pencegahan di faktor lingkungan misalnya, perbaikan lingkungan fisik agar air, sanitasi lingkungan dan perumahan menjadi bersih. Langkah pencegahan di faktor pejamu, misalnya perbaikan status gizi, status kesehatan, pemberian imunisasi. Tujuan pencegahan primer adalah mencegah terjadinya suatu penyakit atau cedera selama masa prapatogenesis (sebelum proses suatu penyakit dimulai). Contoh pencegahan primer antara lain, progam pendidikan kesehatan dan promosi kesehatan, proyek rumah aman dan pengembangan personalitas dan pembentukan karakter. Sayangnya penyakit atau cedera tidak dapat selalu dicegah. Penyakit kronis khususnya, terkadang menyebabkan disabilitas (ketidakmampuan) yang cukup parah sebelum akhirnya
6
terdeteksi dan akhirnya diobati. Dalam hal ini, intervensi segera mencegah kematian atau membatasi disabilitas. b. Pencegahan
tingkat
kedua
(secondary
prevention)
seperti
diagnosis dini serta pengobatan tepat. Sasarannya ialah pada penderita / seseorang yang dianggap menderita (suspect) dan terancam menderita. Tujuannya adalah untuk diagnosis dini dan pengobatan tepat (mencegah meluasnya penyakit/ timbulnya wabah dan proses penyakit lebih lanjut/ efek samping dan komplikasi). Beberapa usaha pencegahannya ialah seperti pencarian penderita, pemberian chemoprophylaxis (Prepatogenesis / patogenesis penyakit tertentu). Tindakan pencegahan sekunder yang paling penting adalah skrining kesehatan. Tujuannya bukan untuk mencegah terjadinya penyakit tetapi lebih untuk mendeteksi keberadaanya selama masa pathogenesis awal, sehingga intervensi (pengobatan) dini dan pembatasan disabilitas sudah dapat dilakukan. Tujuan skrining kesehatan juga bukan untuk mendiagnosis penyakit, tujuannya adalah memilah secara ekonomi dan efisien mereka yang kemungkinan sehat dari mereka yang kemungkinan positif terjangkit penyakit. c. Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) seperti pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi. Sasarannya adalah penderita penyakit tertentu. Tujuannya ialah mencegah jangan sampai mengalami cacat dan bertambah parahnya penyakit juga kematian dan rehabilitasi (pengembalian kondisi fisik/ medis, mental/ psikologis dan sosial, serta melatih kembali, mendidik kembali, dan merehabilitasi pasien yang mengalami disabilitas permanen. Tindakan pencegahan tersier mencakup tindakan yang diterapkan setelah berlangsungnya masa patogenesis. Terapi untuk pasien jantung merupakan contoh pencegahan tersier.
7
2.2.3 Pencegahan Penyakit Menular a. Pencegahan Primer Penyakit Menular Dalam model ini, startegi pencegahan tampak dalam masing masing sambungan pada rantai pelaksanaan yang sukses dari setiap strategi dapat dipandang sebagai kelemahan suatu sambungan, dengan tujuan akhir memutus mata rantai infeksi, atau mengganggu siklus pencegahan penyebaran penyakit. Contoh tindakan masyarakat antara lain klorinasi persediaan air, pemeriksaan restaurant dan pasar bahan makanan eceran, dan progam
imunisasi
Kedalamnya
juga
yang
mencakup
ditambahkan
upaya
semua
penduduk.
personal
dalam
pencegahan primer, misalnya cuci tangan, dan pemasakan makanan dengan benar. b. Pencegahan Sekunder Penyakit Menular Upaya pencegahan sekunder yang dilaksanakan oleh masyarakat terhadap penyakit menular biasanya ditunjukan untuk mengendalikan atau membatasi penyebaran suatu epidemi. Contohnya pemeliharaan secara cermat catatan kasus dan melakukan investigasi kasus. Terkadang upaya pengendalian sekunder penyakit ini dapat mengakibatkan isolasi dan karantina. Isolasi adalah pemisahan (selama masa penularan) orang atau binatang yang terjangkit dari yang lainya untuk mencegah baik secara langsung ataupun tidak langsung penyebaran agen menular pada orang yang renta. Karantina adalah pembatasan kebebasan bergerak dari orang atau binatang sehat yang terinfeksi penyakit menular sampai masa inkubasi berlalu. Upaya pengendalian lebih lanjut adalah desinfeksi, pembunuhan agen menular diluar tubuh pejamu, dan pengobatan
masal
dengan
antibiotik.
Terakhir
program
pendidikan kesehatan masyarakat dan promosi kesehatan harus digunakan sebagai upaya pencegahan primer maupun sekunder.
8
c. Pencegahan Tersier Penyakit Menular Upaya pencegahan tersier mencakup upaya pemulihan infeksi,
penyembuhan
sampai
sehat
total,
dan
kembali
menjalankan aktifitas normal. Di tingkat komunitas, upaya pencegahan tersier ditujukan untuk pencegahan kesembuhan suatu penyakit epidemi. Pemusnahan yang tepat, pembalseman, dan
pemakaman
yang
meninggal
merupakan
contohnya.
Pencegahan tersier dapat melibatkan pelaksanaan kembali upaya pencegahan primer dan sekunder sebagai cara untuk mencegah munculnya kasus lain. Contohnya, dibeberapa negara, misalnya, Republik Korea, penderita selesma atau flu mengenakan masker tipis di tempat umum untuk mengurangi penyebaran penyakit. 2.2.4 Pencegahan Penyakit Tidak Menular a. Pencegahan Primer Penyakit Tidak Menular Upaya pencegahan primer untuk penyakit tidak menular mencakup persediaan makanan dan energi yang adekuat, kesempatan yang baik dalam pendidikan, pekerjaan, dan perumahan dan layanan komunitas yang efisien. Selain dasardasar tersebut, komunitas harus menyediakan program promosi kesehatan dan pendidikan kesehatan, layanan kesehatan dan medis,
dan
perlindungan
terhadap
bahaya
lingkungan
pekerjaan. Setiap individu dapat mempraktikan upaya pencegahan primer dengan mendapatkan tingkat pendidikan yang tinggi yang mencakup pengetahuan tentang kesehatan dan penyakit dan perjalanan penyakit anggota keluarga lain. Secara khusus, individu harus mengambil tanggung jawab dalam hal makan dengan tepat, olahraga yang cukup, mempertahankan berat badan yang sesuai, dan menghindari penggunaan berlebih beralkohol dan obat-obatan lain. Masing-masing individu juga dapat melindungi dirinya dari cedera dengan mengenakan sabuk pengaman, kacamata pengaman, dan lotion tabir surya. 9
b. Pencegahan Sekunder Penyakit Tidak Menular Upaya
pencegahan
sekunder
yang
dapat
dilakukan
masyarakat mencakup pelaksanaan skrining massal untuk penyakit kronis, upaya penemuan kasus, dan penyediaan tentang fasilitas, perlengkapan, dan tenaga kesehatan yang memadai
bagi
masyarakat.
Tugas
individu
di
dalam
pencegahan sekunder mencakup skrining pribadi, misalnya periksa sendiri payudara atau testis (untuk kanker pada organ tersebut), bemocult test (untuk kanker kolon dan rektum), dan skrining medis seperti pap test (untuk kanker servik), tes PSA untuk kanker prostat, mammografi dan skrining untuk diabetes, glukoma, atau hipertensi. Keikutsertaan dalam skrining kesehatan dan pemeriksaan kesehatan dan gigi secara rutin merupakan langkah awal dalam pencegahan sekunder untuk penyakit tidak menular. Langkah-langkah itu harus diikuti dengan diagnosis pasti dan pengobatan segera untuk penyakit apapun yang terdeteksi. c. Pencegahan Tersier Penyakit Tidak Menular Upaya pencegahan tersier bagi masyarakat mencakup ketersediaan fasilitas, layanan, dan tenaga medis kedaruratan yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang di dalamnya upaya pencegahan primer dan sekunder sudah tidak ampuh. Contohnya mencakup layanan ambulan rumah sakit, dokter dan dokter bedah, perawat, dan tenaga professional kesehatan yang lain. Pencegahan tersier bagi individu kerap membutuhkan perubahan
perilaku
atau
gaya
hidup
yang
signifikan.
Contohnya mencakup kepatuhan mengikuti pengobatan yang diresepkan, program olahraga, dan diet. Contoh, seorang pasien serangan jantung dapat mengikuti program pendidikan dan konseling gizi dan di dorong untuk perpartisipasi dalam program olahraga berpengawas sehingga dapat memaksimalkan
10
penggunaan kemampuan yang tersisa. Kegiatan itu dapat membawa pasien kembali meneruskan pekerjaannya dan mencegah serangan jantung kedua. Untuk tipe tertentu masalah kesehatan tidak menular, misalnya masalah yang melibatkan penyalahgunaan zat, kedatangan yang rutin pada pertemuan kelompok pendukung atau sesi konseling dapat menjadi satu bagian penting dalam program pencegahan tersier. 2.3
Implementasi Antropologi dalam Praktik Keperawatan Tindakan keperawatan yang diberikan harus memperhatikan 3 prinsip asuhan keperawatan yaitu: Cara I : Mempertahankan budaya Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki klien sehingga klien dapat meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya, misalnya budaya berolahraga setiap pagi. Cara II : Negosiasi budaya Intervensi dan implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untuk membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih mendukung peningkatan kesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai pantang makan yang berbau amis, maka ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani yang lain. Cara III : Restrukturisasi budaya Restrukturisasi budaya klien dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan keyakinan yang dianut.
11
2.3.1
Pengkajian Asuhan Keperawatan Budaya Peran perawat dalam transkultural nursing yaitu menjembatani
antara sistem perawatan yang dilakukan masyarakat awam dengan sistem perawatan melalui asuhan keperawatan. Model konseptual yang di kembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari terbit (Sunrise Model). Geisser (1991) menyatakan bahwa proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai landasan berpikir dan memberikan solusi terhadap masalah klien (dalam buku Sosiologi
Keperawatan,
2009).
Pengelolaan
asuhan
keperawatan
dilaksanakan dari mulai tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Pengkajian
adalah
proses
mengumpulkan
data
untuk
mengidentifikasi masalah kesehatan klien sesuai dengan latar belakang budaya klien. Pengkajian dirancang berdasarkan tujuh komponen yang ada pada”Sunrise Model” yaitu: a) Faktor teknologi (technological factors) Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat
penawaran
menyelesaikan
masalah
dalam
pelayanan
kesehatan. Perawat perlu mengkaji: Persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternative dan persepsi klien tentang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan kesehatan ini. b) Faktor agama dan falsafah hidup ( religious and philosophical factors ) Agama adalah suatu symbol yang mengakibatkan pandangan yang amat realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat untuk mendapatkan kebenaran diatas segalanya, bahkan diatas kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat adalah: agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang
12
klien terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan. c) Faktor sosial dan keterikatan keluarga ( kinshop and Social factors) Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor: nama lengkap, nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga dan hubungan klien dengan kepala keluarga. d) Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways ) Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya yang di anggap baik atau buruk.Norma –norma budaya adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada penganut budaya terkait. Yang perlu di kaji pada factor ini adalah posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi sakit, perseosi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari- hari dan kebiasaan membersihkan diri. e) Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors) Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala sesuatu
yang
mempengaruhi
kegiatan
individu
dalam
asuhan
keperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995 dalam buku sosiologi keperawatan). Yang perlu dikaji pada tahap ini adalah: peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara pembayaran untuk klien yang dirawat. f) Faktor ekonomi (economical factors) Klien yang dirawat dirumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya: pekerjaan klien, sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga,
13
biaya dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor atau patungan antar anggota keluarga. g) Faktor pendidikan ( educational factors ) Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam menempuh jalur formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah: tingkat pendidikan klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara aktif mandiri tentang pengalaman sedikitnya sehingga tidak terulang kembali.
Prinsip-prinsip pengkajian budaya:
a
Jangan menggunakan asumsi.
b
Jangan membuat streotif bisa menjadi konflik misalnya: orang Padang pelit,orang Jawa halus.
2.3.2
c
Menerima dan memahami metode komunikasi.
d
Menghargai perbedaan individual.
e
Tidak boleh membeda-bedakan keyakinan klien.
f
Menyediakan privacy terkait kebutuhan pribadi.
Diagnosa keperawatan Diagnosa keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakang budayanya yang dapat dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensi keperawatan. (Giger and Davidhizar, 1995 dalam Asuhan Keperawatan Lintas Budaya, 2013). Terdapat tiga diagnose keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan keperawatan transkultural yaitu : a.
Gangguan
komunikasi
verbal
berhubungan
dengan
perbedaan kultur b.
Gangguan
interaksi
sosial
berhubungan
disorientasi
sosiokultural
14
c.
Ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini
2.3.3
Perencanaan dan Pelaksanaan Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural adalah suatu proses keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Giger and Davidhizar (1995) perencanaan adalah suatu proses memilih strategi yang tepat dan pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien (dalam Asuhan Keperawatan Lintas Budaya, 2013). Ada tiga pedoman yang ditawarkan dalam keperawatan transkultural (Andrew and Boyle, 1995) yaitu : a.
Mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak bertentangan dengan kesehatan,
b.
Mengakomodasi budaya klien bila budaya klien kurang menguntungkan kesehatan dan,
c.
Merubah budaya klien bila budaya yang dimiliki klien bertentangan dengan kesehatan.
1. Cultural care preservation/maintenance 1)
Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat
2)
Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi
dengan klien 3)
Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan
perawat 2. Cultural care accomodation/negotiation 1)
Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien
2)
Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan
3)
Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi
dimana
kesepakatan
berdasarkan
pengetahuan
biomedis,
pandangan klien dan standar etik. 3. Cultual care repartening/reconstruction
15
1)
Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi
yang diberikan dan melaksanakannya 2)
Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari
budaya kelompok 3)
Gunakan pihak ketiga bila perlu
4)
Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa
kesehatan yang dapat dipahami oleh klien dan orang tua 5)
Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan
kesehatan Perawat dan klien harus mencoba untuk memahami budaya masingmasing melalui proses akulturasi, yaitu proses mengidentifikasi persamaan dan perbedaan budaya yang akhirnya akan memperkaya budaya budaya mereka. Bila perawat tidak memahami budaya klien maka akan timbul rasa tidak percaya sehingga hubungan terapeutik antara perawat dengan klien akan terganggu. Pemahaman budaya klien amat mendasari efektifitas keberhasilan menciptakan hubungan perawat dan klien yang bersifat terapeutik. 2.3.4
Evaluasi Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap
keberhasilan klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan kesehatan, mengurangi budaya klien yang tidak sesuai dengan kesehatan atau beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin sangat bertentangan dengan budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat diketahui asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien.
16
BAB III PENUTUP 3.1
Simpulan Perilaku sakit (illness behavior) diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan, sedangkan perilaku sehat (health behavior) adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri (personal hygiene), penjagaan kebugaran melalui olahraga dan makanan bergizi. Pencegahan penyakit adalah tindakan yang ditujukan untuk mencegah, menunda, mengurangi, membasmi, mengeliminasi penyakit dan kecacatanm dgn menerapkan sebuah atau sejumlah intervensi yg telah dibuktikan efektif, dimana tingkat pencegahan penyakit ada tiga tingkat yaitu upaya pencegahan primer, upaya pencegahan sekunder, dan upaya pencegahan tersier. Upaya pencegahan penyakit dibagi menjadi dua yaitu upaya pencegahan terhadap penyakit menular dan upaya pencegahan penyakit tidak menular. Implementasi antropologi dalam proses keperawatan meliputi pengkajian asuhan keperawatan, diagnosis keperawatan, perencanaan dan pelaksanaan asuhan keperawatan, dan evaluasi asuhan keperawatan.
3.2
Saran Saran yang dapat kami sampaikan kepada para mahasiswa keperawatan agar lebih memahami pembelajaran antropologi kesehatan dan mampu mengaplikasikannya dimasyarakat.
17