PERENCANAAN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KOMUNIKASI PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA OLEH PEMERINTAH KOTA PEKANBARU Yasir Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Pekanbaru 29293
[email protected]
ABSTRAK
The aim of this research is to analyze the communication policy planning by Pekanbaru Govement in controlling sidewalk traders. This research was held by using qualitatif method through a case study. The techniques of collecting data of this research were by using depth interview, participant observation, and documentation. The planning of communication policy by the goverment in Pekanbaru has several weaknesses. Of courses it determined the ways of goverment how to socialize to the sidewalks traders (PKL). The communication policy planning to control the trades used several ways such as giving some letters, creating integrated team, making routine operation by patrol cars and building new markets. The goverment communication policy was based on the regulation number 5, 2002 and also the “Program K3”. In fact, the regulation is not implemented well by the goverment. Therefore, the traders (PKL) will always come back to the sidewalk or road to sell their goods again.
Key words: communication planning, policy, sidewalk traders and market.
PENDAHULUAN Keberadaan pedagang kaki lima (PKL) merupakan fenomena sosial yang dapat ditemukan di kota-kota besar di Indonesia. Hampir tiap hari di 1
media massa, baik cetak maupun elektronik, memuat berita mengenai penggusuran atau penertiban PKL. Pedagang berkepentingan untuk mencari nafkah, namun di sisi lain pemerintah menertibkan dan memperindah tata ruang kota. Pada sisi yang lain, investor baik secara mandiri maupun berkerjasama dengan pemerintah, membangun pasar-pasar modern, secara tidak langsung menggusur pasar tradisional dan pedagang kecil. Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru memiliki kebijakan menjadikan Kota Pekanbaru yang bersih dan tertib sesuai dengan program yang dimiliki yaitu K-3 (Kebersihan, Keindahan dan Ketertiban). Berpijak pada program K3 tersebut Pemerintah Kota Pekanbaru berusaha memembuat kebijakan dan melakukan komunikasi untuk menertibkan keberadaan pedagang kaki lima. Pemerintah berusaha menyadarkan PKL melalui sosialisasi dengan cara menawarkan lokasi penampungan di pasar tertentu yang dibangun sebagai tempat alternatif. Namun kenyataannya para PKL masih enggan untuk menempati pasar-pasar alternatif tersebut. Peraturan Daerah (Perda) Kota Pekanbaru Nomor 7 Tahun 2001 telah mengatur bahwa Dinas Pasar Kota Pekanbaru mempunyai tugas pokok yaitu membantu walikota dalam melaksanakan kebijaksanaan walikota dalam bidang pengelolaan pasar. Dinas ini juga mempunyai kewenangan tentang penataan dan pembinaan pedagang kaki lima. Salah satu penataan dan pembinaan pedagang kaki lima yang dilakukan Dinas Pasar Kota Pekanbaru adalah melakukan penertiban pedagang kaki lima yang melakukan aktivitas usahanya menggunakan badan jalan, dimana aktivitas ini mengganggu ketertiban umum. Sebagai contoh, pelaksanaan kegiatan komunikasi yang sudah dilakukan Sub-Dinas Penertiban dan Kebersihan adalah menyosialisasikan 2
kepada para PKL dengan cara mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 250/511.2/DP-III/07). Surat edaran ini mempertegas surat keputusan Walikota Pekanbaru No. 31 tahun 2007 tanggal 2 Februari 2007 tentang penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) se-Kota Pekanbaru. Surat tersebut ditujukan kepada para pedagang di areal Pasar Agus Salim, Simpang Ahmad Yani, Simpang Sudirman dan sekitarnya. Dimana poin-poinnya adalah: 1) Bahwa batas waktu yang telah ditentukan untuk menggelar dagangan hanya sampai dengan pukul 07.00 WIB; 2) Bagi pedagang yang tertangkap tangan ketika menggelar dagangan di atas pukul 07.00 WIB terhitung sejak tanggal 10 Maret 2007 akan diambil tindakan penertiban oleh petugas untuk diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Kebijakan komunikasi
sudah dilakukan
oleh pemerintah Kota
Pekanbaru untuk PKL, namun kenyatannya belum berhasil maksimal. Ini terlihat banyaknya para pedagang kaki lima yang belum mau pindah ke lokasi pasar yang telah disediakan pemerintah. Perencanaan kebijakan komunikasi pemerintah dalam penertiban PKL sepertinya belum memberikan solusi yang tepat. Ini tampak dari kebijakan penertiban PKL dengan membangun pasar alternatif yang masih belum didukung dengan sarana dan prasarana yang layak, harga sewa los dan kios tinggi, disamping belum adanya pemerataan penertiban PKL. Budiharsono (2003:3) menjelaskan bahwa kebijakan komunikasi dipandang sebagai perangkat norma-norma sosial “yang ditegakkan untuk memberi arah perilaku sistem komunikasi”. Kebijakan komunikasi harus memperhatikan faktor demografi atau kependudukan dengan segala akibatnya pada strategi pembangunan yang berbeda-beda. Kebijakan komunikasi harus membangun sumber yang diperlukan untuk kebutuhan 3
sektor penduduk yang bergam. Komunikasi akan membutuhkan infastruktur yang berbeda. Oleh karena itu, tujuan pokok dari setiap kebijakan komunikasi adalah menyediakan infastruktur pada umumnya dan media serta komunikasi khususnya yang paling sesuai kebutuhannya bagi masyarakat. Ini berarti perlu adanya peningkatan kesadaran dari seluruh penduduk bahwa perubahan kesadaran sangat penting. Komunikasi tidak mungkin menjadi monopoli media, tetapi harus dilakukan oleh para karyawan seperti guru, petugas kesehatan, penyuluh pertanian, para teknisi, pengusaha, dan lain sebagainya. Berangkat dari permasalahan yang ada, maka tujuan penelitian ini adalah: Pertama, untuk mengetahui perencanaan kebijakan komunikasi penertiban pedagang kaki lima oleh pemerintah Kota Pekanbaru. Kedua, untuk mengetahui implementasi kebijakan komunikasi dalam penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) untuk mewujudkan ketertiban umum oleh Dinas Pasar Kota Pekanbaru. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sumbangan berupa temuan-temuan yang dapat menjadi titik awal bagi penelitian komunikasi, bagi
pengembangan
kajian
perencanaan
kebijakan
komunikasi
pemerintahan. Selain itu, penelitian ini berguna sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi pemerintah dalam proses pengambilan keputusan, penetapan
strategi,
kebijakan,
dan
tindakan
komunikasi
khususnya
berkenaan dengan komunikasi dalam penertiban pedagang kaki lima.
METODE PENELITIAN
4
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan tradisi penelitian studi kasus. Creswell (1998: 61) dan Mulyana (2002: 201) menjelaskan bahwa studi kasus merupakan penelitian empiris yang menyelidiki dan menguraikan fenomena kontemporer dalam konteks kehidupan nyata, ketika batasan antara fenomena dan konteks tidak terbukti secara jelas, dengan menggunakan berbagai sumber termasuk observasi, wawancara, materi audio-visual, dan dokumen atau laporan. Dalam hal ini, peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek yang diteliti melalui sumber-sumber tersebut. Penelitian ini secara jelas dapat tergambarkan dari 14 karakteristik pendekatan kualitatif. Karakteristiknya adalah sebagai berikut: latar alamiah, manusia sebagai instrumen, penggunaan pengetahuan yang tidak eksplisit, metode-metode kualitatif, sampel purposif, analisis data induktif, teori berlandaskan pada data dilapangan, desain penelitian mencuat secara alamiah, hasil penelitian berdasarkan negosiasi, cara pelaporan studi kasus, interpretasi
idiografik/kontekstual,
aplikasi
temuan
tentatif,
batasan
ditentukan fokus, dan keterpecayaan dengan kriteria khusus (Lincon dan Guba, 1985: 39-43). Teknik pengumpulan data penelitian adalah peneliti sebagai instrumen utama. Peran peneliti sangat menentukan dalam setiap proses penjaringan data. Sumber data utama dalam penelitian kualitatif menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2000: 112) adalah kata-kata dan tindakan. Berkaitan dengan hal ini, jenis data dalam penelitian ini dibagi dalam simbolsimbol, kata-kata dan tindakan atau perilaku masyarakat (perilaku pedagang dan aparat pemerintah). Sedangkan analisis data dilakukan dengan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara 5
dan dokumentasi, untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang temuantemuan yang
berdasarkan permasalahan yang diteliti. Pembahasan
dilakukan dengan menggunakan metode komparatif atas hasil wawancara dengan informan, analisis dokumen serta sekaligus membandingkan dengan hasil observasi yang dilakukan. Untuk mempertinggi keabsahan data langkah selanjutnya adalah mengadakan analisis terhadap wawancara. Menurut Miles dan Huberman (1992:16) bahwa analisis kualitatif tetap menggunakan kata-kata, yang biasanya disusun kedalam teks yang diperluas.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perencanaan Kebijakan Komunikasi Penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 7 Tahun 2001 menjelaskan bahwa Dinas Pasar mempunyai tugas pokok dalam membantu walikota dalam melaksanakan kebijaksanaan walikota dalam bidang pengelolaan pasar. Adapun fungsi Dinas Pasar dalam penyelenggaraan tugas-tugas tersebut adalah merumusan kebijakan teknis di bidang pengelolaan pasar, pemberian perizinan dan pelaksanaan pelayanan umum di bidang pengelolaan pasar, pembinaan terhadap unit pelaksana teknis dinas pasar dan pengelolaan urusan ketatausahaan dinas. Selain itu, Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2002 juga menjelaskan tentang ketertiban umum bahwa masyarakat dilarang menempatkan benda/barang dalam bentuk apapun ditepi jalan, jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum dengan tujuan untuk menjalankan suatu usaha atau
6
tidak, kecuali di tempat-tempat yang diizinkan oleh walikota atau pejabat yang ditunjuk. Keterangan
Peraturan
Daerah
(Perda)
tersebut
merupakan
perencanaan kebijakan komunikasi Pemerintah Kota Pekanbaru dalam menciptakan suasana kota yang indah, bersih dan tertib sebagaimana program milik Pemerintah Kota Pekanbaru. Sejalan dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2002, maka keberadaan PKL yang berjualan menggunakan badan jalan harus ditertibkan karena melanggar Perda. Dalam melakukan kegiatan komunikasi atau sosialisasi untuk penertiban terhadap pedagang kaki lima, Dinas Pasar Kota Pekanbaru bertindak sebagai pelaksana. Sebagai pelaksanan teknis kebijakan komunikasi di lapangan Kasubdis Pasar Kota Pekanbaru melakukan sosialisasi penertiban dengan cara memberikan surat edaran, membuat plang tanda larangan berjualan, melakukan sosialisasi ke media cetak dan elektronik tentang kawasan bebas pedagang kaki lima serta malakukan patroli keliling dengan menggunakan 2 unit mobil patroli setiap hari. Terkait dengan ini, untuk menghadapi pedagang kaki lima yang tidak tertib, perencanaan kebijakan komunikasi yang diambil oleh Dinas pasar melalui Sub-Dinas Ketertiban dan Kebersihan adalah dengan membentuk Tim Terpadu. Tim ini terdiri dari 102 orang, adapun rinciannya adalah 28 orang dari Dinas Pasar, 15 orang dari pemuda tempatan, 40 Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), 20 anggota Poltabes, 8 petugas Dishub dan 6 petugas Kodim. Personel Tim Terpadu ini bertugas untuk menertibkan pedagang kaki lima di lokasi yang dianggap rawan seperti pedagang kaki lima di jalan Teratai, Seroja, IstiQomah, Agus Salim dan Ahmad Yani. 7
Selain itu perencanaan kebijakan komunikasi secara teknis banyak dilakukan dengan berbagai cara. Untuk menertibkan pedagang kaki lima ini salah satunya adalah dengan mengeluarkan berbagai jenis surat edaran. Salah satunya seperti pada surat dengan nomor: 264/511.2/PP-III/2007, yang menyatakan bahwa PKL dilarang untuk menggelar dagangannya baik pada badan jalan maupun halaman pertokoan dan pemilik toko tidak meletakkan dagangannya hingga melewati batas pintu toko serta dilarang untuk memberikan izin atau membiarkan PKL menempati halaman tokonya. Namun demikian, perencanaan kebijakan komunikasi yang dilakukan belum berjalan dengan baik, ini terbukti banyak kebijakan yang tidak memberikan solusi terhadap pedagang kaki lima. Meski Pemerintah Kota Pekanbaru
melakukan
komunikasi
dan
sosialisasi
untuk
penertiban
pedagang kaki lima dengan berbagai cara. Namun, pemerintah belum dapat memberikan kenyamanan dan kesejahteraan kepada pedagang melalui tempat yang layak dan sesuai dengan yang diinginkan. Dengan kata lain pemerintah belum merencanakan dan mencarikan alternatif tempat atau pekerjaan yang tepat apabila pendagang kaki lima harus “digusur”. Ini terkait dengan kenyataan bahwa memang sulit untuk menghindari dominasi pemerintah dalam membuat kebijakan komunikasi. Proses pembuatan kebijakan komunikai dari tahap identifikasi hingga tahap formulasi dipilih dan ditelaah sesuai kepentingan pemerintah (Abrar, 2008 72). Kebijakan dengan langkah yang kongkret memang telah ditunjukkan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru dengan program penertiban PKL melalui peremajaan dan pembangunan pasar baru. Kebijakan yang telah dilakukan ini kiranya berguna menampung para PKL, masing-masing pasar tersebut adalah Pasar Sail, Pasar Bawah dan Pasar Senapelan yang dijadikan pasar 8
tradisional modern. Pasar-pasar ini dalam pelaksanaan pembangunannya dilakukan oleh pihak ketiga, yang telah menghabiskan biaya sebesar Rp. 113.366.001.740,- dan dua lokasi pasar tradisional lain melalui dana APBD Kota Pekanbaru yakni Pasar Labuh Baru dengan alokasi dana sebesar Rp. 716.920.000,-
dan
untuk
Pasar
Inpres
Agus
Salim
sebesar
Rp.
4.460.815.050,-. Kemudian ditambah dengan Pasar Pujasera Arifin Ahmad, Pasar pagi Limapuluh dan pasar baru lainnya yang siap menampung pedagang kaki lima. Pembangunan pasar dengan lokasi yang telah ditentukan tersebut adalah sebagai wadah untuk menampung pedagang kaki lima agar terencana, tertib dan terorganisir dengan baik. Kenyataannya pembangunan dan peremajaan pasar yang dilakukan Pemerintah Kota Pekanbaru itu belum sesuai
dengan
kebutuhan,
keinginan
dan
kepentingan
masyarakat.
Ketidakmampuan pedagang dari sisi finansial tidak diperhatikan, hal ini terlihat dari sewa gedung yang jauh dari jangkauan pedagang. Selain itu kesulitan yang dihadapi adalah akses ke pasar yang sulit baik bagi pedagang maupun bagi masyarakat pembeli. Belum lagi konstruksi bangunan pasar yang berlantai banyak, dengan tidak disertai fasilitas pendukung seperti parkir, akses ke lantai atas, dan fasilitas lainnya. Setelah pembangunan Pasar Senapelan selesai dikerjakan, PKL tetap melakukan aktivitas perekonomian dengan menggunakan badan jalan, yakni jalan Teratai, Seroja dan Gang Istiqomah. Pedagang kaki lima tidak mau pindah ke Pasar Senapelan karena sewa los dan kios yang tawarkan terlalu tinggi. Untuk harga satu kios di Pasar Senapelan berkisar Rp 63.000.000,dengan uang pangkal sebesar Rp 18.000.000,- kemudian untuk angsuran setiap tahunnya sebesar Rp 10.000.000,- (Riau Pos: 9 November 2006). 9
Mahalnya harga kios ini menyebabkan banyaknya ruang atau kios di pasar tersebut terbengkalai dan kosong khususnya yang ada di lantai tiga. Pasar Senapelan dibangun dengan kerjasama antara Pemerintah Kota dengan PT. Peputra Maha Jaya (PMJ). Dalam pengelolaan Pasar Senapelan tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah kota melainkan langsung kepada PT. Peputra Maha Jaya. Akan tetapi PT. Peputra Maha Jaya harus membayar royalti kepada Pemerintah Kota Pekanbaru sebesar Rp. 100.000.000,- setiap tahun selama masa kontrak 25 tahun ke depan terhitung pada tahun 2005. Hal inilah yang menyebabkan sewa kios dan los Pasar Senapelan terlalu tinggi karena latar belakang pembangunan Pasar Senapelan merupakan lahan bisnis antara pemerintah dengan pihak ketiga tanpa mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi PKL. Perencanaan komunikasi penertiban PKL oleh Pemerintah Kota Pekanbaru dalam hal ini juga tidak konsisten terhadap program yang telah direncanakan yakni salah satunya mengenai Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2002 tentang Ketertiban Umum. Salah satunya adalah dengan melakukan pemungutan retribusi kepada pedagang kaki lima selayaknya pasar-pasar resmi lainnya. Tindakan aparat Pemerintah Kota Pekanbaru menarik retribusi kepada pedagang kaki lima yang terlihat resmi dan memakai karcis ini melegalisasi PKL untuk tetap berdagang menggunakan badan jalan. Dalam hal ini, Dinas Pasar Kota Pekanbaru dalam menangani permasalahan PKL masih belum maksimal dan belum konsisten dalam mengambil sikap dan keputusan. Kenyataan di lapangan sangat berbeda dengan yang ada pada perencanaan yang telah dibuat. Keragu-raguan ini terkait juga dengan kurangnya koordinasi dengan dinas lainnya, wewenangnya yang masih 10
terbatas dan tanggung jawab terhadap permasalahan ketertiban dan kebersihan pasar itu sendiri. Tidak hanya di Pasar Agus Salim, keadaan yang sama juga terjadi di Jalan Soekarno-Hatta Simpang Arengka. Dinas Pasar juga melakukan pemungutan retribusi kepada pedagang kaki lima setiap harinya. Pemerintah Kota Pekanbaru melalui dinas-dinasnya melakukan pungutan retribusi kepada PKL—melalui Dinas Pasar maupun Dinas Perhubungan, ini menunjukkan Pemerintah Kota Pekanbaru tidak konsisten dan tidak berkoordinasi dengan baik. Implementasi Kebijakan Komunikasi Penertiban PKL Implementasi kebijakan komunikasi penertiban PKL dilakukan Dinas Pasar Kota Pekanbaru sesuai dengan Perda nomor 5 tentang ketertiban umum. Implementasi dan sosialisasi kebijakan penertiban pedagang kaki lima yang umum dilakukan oleh Dinas Pasar adalah dengan melakukan patroli terutama di jalan sekitar Pasar Senapelan dan Agus Salim setiap hari. Pelaksanaan kebijakan dengan patroli ini dilakukan dengan upaya mengontrol agar para PKL tidak menggunakan tempat-tempat yang dilarang untuk berjualan. Khusus untuk Pasar Agus Salim Dinas Pasar melakukan sosisalisasi penertiban setiap hari dengan menggunakan 2 (dua) unit mobil operasional dinas untuk patroli setiap harinya. Tujuan patroli tersebut adalah untuk menertibkan pedagang yang berjualan di badan jalan sehingga pengguna jalan tidak terganggu dengan aktivitas pedagang kaki lima. Tidak hanya itu, terkadang pemerintah kota melalui Tim Terpadu juga melakukan penertiban bagi pedagang yang berjualan di luar area Jalan Agus Salim seperti Jalan Sudirman dan Jalan Ahmad Yani setelah Pukul 07.00 WIB. Selain
melakukan
operasi
tersebut,
Pemerintah
Kota
telah
memberikan solusi dengan membangun 5 (lima) lokasi pasar sebagai 11
lokalisasi penampungan untuk pedagang kaki lima. Lima lokasi pasar ini adalah Pasar Senapelan terletak di Jalan Ahmad Yani, Pasar Inpres Agus Salim di Jalan Agus Salim, Pasar Limapuluh di Jalan Sultan Syarif Kasim, Pasar Labuh Baru di Jalan Durian dan Pasar Rumbai. Lima pasar tersebut diarahkan sebagai lokasi penampungan untuk pedagang kaki lima yang masih berjualan di beberapa ruas jalan di sudut Kota Pekanbaru. Pasar Senapelan sebagai lokalisasi penampungan PKL yang berjualan di Jalan Teratai, Seroja dan Gang Istiqomah. Tujuan pembangunan Pasar Senapelan merupakan strategi dan kebijakan Komunikasi Pemerintah Kota Pekanbaru kepada pedagang untuk menertibkan PKL yang berjualan sekitar Pasar Senapelan agar terorganisir dan terencana serta dapat mewujudkan ketertiban umum di Kota Pekanbaru. Dalam kenyataannya hingga tahun 2008, Pasar Senapelan belum sepenuhnya diisi oleh pedagang untuk menempati los dan kios yang disediakan di dalam gedung. Berkaitan dengan ini, Dinas Pasar selalu mengkomunikasikan Pasar Senapelan ini agar segera diisi dan para PKL dapat melakukan aktivitas berjualan di dalam gedung. Sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Pasar dilakukan dengan cara memberikan surat edaran ke pedagang untuk segera mengisi los dan kios di dalam gedung Pasar Senapelan. Selain itu, Pemerintah kota juga berupaya untuk mengembalikan fungsi Jalan Agus Salim sebagai jalan umum. Kebijakan yang diambil adalah dengan membangun Gedung Inpres Agus Salim pada tahun 2005 sebagai lokasi penampungan para pedagang. Adapun bentuk sosialisasi yang dilakukan Kasudis Penertiban dan Kebersihan Dinas Pasar adalah sebagai berikut: 12
“.....Memberikan surat edaran No. 097/511.2/DP-1/2007 tertanggal 29 Januari berisikan, diberitahukan kepada seluruh pedagang ikan basah Jalan Agus Salim sebagai berikut: Pertama, Pedagang ikan basah tidak dibenarkan berjualan pada lapak/meja yang ada pada tanah pemerintah dan badan Jalan Agus Salim. Kedua, seluruh pedagang ikan basah supaya masuk ke pasar yang disediakan PT Makmur Papan Permata di Pasar Sukaramai. Ketiga, khusus pedagang sayur dan jenis dagangan lainnya tidak dibenarkan memakai badan jalan, parit, trotoar dan ditempatkan/masuk ke Pasar Inpres Agus Salim” (Sumber Riau Pos, 3 Februari 2007).
Meskipun pemerintah sudah melakukan sosialisasi Pasar Inpres Agus Salim ini, para pedagang masih tetap belum pindah untuk menggunakan fasilitas gedung sebagai aktifitas untuk berdagang. Untuk menarik minat pedagang kaki lima, Dinas Pasar menggratiskan sewa los dan kios selama tiga bulan. Namun sosialisasi tersebut hanya menarik beberapa pedang saja dan hingga kini gedung Inpres Agus Salim masih kosong terutama di lantai dua dan tiga. Pasar Pujasera Arifin Ahmad merupakan lokalisasi yang ditujukan untuk menampung pedagang kaki lima di sekitar wilayah Jalan Teratai, Seroja, Gang Iastiqomah, Ahmad Yani dan PKL yang bertebaran di setiap sudut kota Pekanbaru. Sosialisasi Pasar Pujasera Arifin Ahmad oleh Dinas Pasar hampir sama dengan Pasar Agus Salim. Untuk menempati lokasi pasar yang disediakan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru tersebut, pedagang dibebaskan dari pungutan sewa los dan kios selama satu tahun. Kemudian Dinas Pasar juga akan membantu melakukan pemindahan barang dagangan para PKL jika pindah ke lokasi Pasar Pujasera Arifin Ahmad. Implementasi kebijakan komunikasiyang dilakukan Dinas Pasar selain dengan bentuk surat edaran, juga dilakukan secara lisan maupun tulisan 13
yang dimuat di media massa cetak. Untuk mengarahkan agar los dan kios yang masih kosong bisa segera diisi oleh PKL, sosialisasi dijalankan dengan cara menggiring pedagang ke lokasi dengan mobil operasional Dinas Pasar. Sosialiasasi ini dilakukan secara bersama dengan Tim Terpadu. Kegiatan ini selalu dilakukan di berbagai titik lokasi seperti Jalan Teratai, Seroja, Sudirman dan lokasi lainnya. Tujuannya agar para pedagang kaki lima tidak lagi berjualan menggunakan fasilitas umum. Senada dengan ini Hasan (2005: 47) karena strategi komunikasi adalah suatu kemampuan pemerintah dalam mencapai tujuan negara dan pemerintahan, maka kemampuan tersebut meliputi mengajak orang lain berkerja sama yang mencakup aktivitas; merencanakan, melaksanakan, mengendalikan dan evaluasi. Pasar Labuh Baru atau lebih dikenal dengan Pasar Palapa menggunakan strategi dan kebijakan komunikasi yang tepat. Pasar ini menjadi pasar tradisional percontohan. Keberadaan pasar palapa ini memang memiliki tempat yang strategis. Sosialisasi Pasar Palapa yang dilakukan Dinas Pasar termasuk berhasil berdasarkan pendataan pedagang kaki lima yang masuk. Para PKL ini mau berpindah tempat ke Pasar Palapa karena pemerintah melakukan pembenahan fisik lokasi pasar, sehingga bangunan los dan kiosnya kokoh. Keberhasilan sosialisasi pasar ini didukung dengan tempat perumahan penduduk yang padat, mudah dijangkau fasilitas transportasi dan fasilitas lainnya seperti parkir. Implementasi kebijakan untuk penertiban pedagang kaki lima ini merupakan bagian dari kebijakan untuk mewujudkan program Kota Pekanbaru yaitu program K3 (Kebersihan, Keindahan dan Ketertiban). Untuk mewujudkan kota yang bersih, indah dan tertib, Dinas Pasar juga melakukan pemasangan papan pengumuman tentang Perda nomor 5 tentang ketertiban 14
di beberapa titik lokasi yang paling rawan untuk dilanggar. Dengan sudah terpasangnya papan pengumuman tersebut maka Dinas Pasar memalui Tim Terpadu dapat melakukan penertiban dengan tegas dan tanpa beban untuk melakukan pembongkaran, penyitaan serta mengusir pedagang kaki lima kapan saja. Berkaitan dengan ini, Perda Kota Pekanbaru Nomor 5 Tahun 2002 tentang ketertiban umum merupakan landasan utama dalam melaksanakan penertiban pedagang kaki lima (PKL). Senada dengan ini, L Sommeriad (dalam Abrar 2008: 9) mengatakan bahwa the ways in which communication is used, the networks through which it flows, the structures of the media system, the regulatory framework for the system, and the desicion of people who operate it, are all the outcomes of communication policies”. Akan tetapi, Pemerintah Kota Pekanbaru hingga saat ini belum secara tegas
dan
konsisten
dalam
mengimplementasikan
Perda
tersebut.
Pemerintah Kota Pekanbaru cenderung hanya sekedar memberikan larangan-larangan bukan dengan tindakan tegas bagi yang melanggar. Lemahnya implementasi Perda ini di lapangan merupakan salah satu penyebab penanganan masalah PKL di Kota Pekanbaru menjadi berlarutlarut. Para PKL mengganggap mereka sudah memiliki tempat dan legal seperti halnya pedagang di jalan Agus Salim yang menganggap jalan tersebut sebagai pasar. Pelaksanaan
kebijakan
penertiban
PKL
oleh
Dinas
Pasar
menunjukkan bahwa pemerintah Kota Pekanbaru belum menerapkan kebijakan ke arah penegakan hukum. Padahal Perda Nomor 5 Tahun 2002 pada Bab VIII mengatur ketentuan pidana yang berbunyi: “Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Perda ini dapat diancam dengan 15
pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda sebesar-besarnya Rp 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah)”. Dalam praktiknya di lapangan belum ada tindakan kongkret secara hukum kepada pedagang kaki lima yang melanggar Perda Nomor 5 Tahun 2002 tersebut. Implementasi Perda sendiri mengenai penertiban pedagang kaki lima baru sebatas penertiban yang bersifat memberitahukan saja. Tidak diimplementasikannya kebijakan Pemerintah Kota Pekanbaru ini menyebabkan
pelaksanaan
penertiban
pedagang
kaki
lima
dalam
mewujudkan ketertiban umum menjadi tidak efektif. Sejauh ini implementasi Perda baru sebatas penahanan barang dan membuat surat pernyataan tertulis bagi pedagang kaki lima yang tertangkap tangan ketika melanggar ketentuan yang ada. Lemahnya implementasi Perda tentang ketertiban menimbulkan persoalan baru bagi sesama pedagang dan berdampak kepada pemerintah kota. Ini terbukti bahwa tidak efektifnya kebijakan komunikasi pemerintah dalam hal penampungan atau penertiban PKL dengan cara menawarkan Pasar Pujasera Arifin Ahmad dimana pasar baru tersebut tidak berfungsi maksimal karena tidak banyak pedagang yang mau berjualan di sana. Ini disebabkan oleh adanya pasar dan pedagang kaki lima di Simpang Arengka. Pasar Senapelan, Pasar Inpres, Pasar Limapuluh dan terutama Pasar Agus Salim tidak berfungsi baik karena pedagang kaki lima masih berjualan di sekitar lingkungan pasar. Di pasar tersebut banyak los dan kios di dalam gedung masih kosong karena masih banyak pedagang kaki lima berjualan di luar pasar tersebut atau tepatnya memakai badan jalan. Pasar Inpres Agus Salim yang lokasinya tepat berada di Jalan Agus Salim hingga saat ini dari 3 (tiga) lantai yang dibangun hanya lantai satu saja yang ditempati oleh para 16
pedagang. Oleh karena itu, aktifitas PKL dan berbagai ketidakkonsitenan pemerintah ini jelas menunjukkan bahwa pelaksanaan atau implementasi Perda tidak berjalan maksimal dan ini adalah bagian dari komunikasi pemerintah itu sendiri.
SIMPULAN Perencanaan kebijakan komunikasi penertiban pedagang kaki lima (PKL)
dilakukan
pemerintah
kota
Pekanbaru
dengan
mengeluarkan
peraturan daerah (Perda). Namun kurangnya dilakukan analisis yang mendalam terhadap masalah-masalah berkaitan dengan situasi pasar dan khalayak pedagang sangat memengaruhi keberhasilan perencanaan dan implementasi yang dilakukan oleh Dinas pasar. Kebijakan komunikasi penertiban PKL menggunakan saluran komunikasi dengan cara memberi surat-surat edaran, operasi rutin dan patroli setiap hari di pasar-pasar yang dianggap rawan PKL hingga membangun pasar baru.
Implementasi kebijakan kebijakan Perda Nomor 5 Tahun 2002 masih rendah. Tidak diimplementasikannya kebijakan ini dengan tegas dan konsisten oleh Pemerintah Kota Pekanbaru ini menyebabkan pelaksanaan penertiban pedagang kaki lima dalam mewujudkan ketertiban umum menjadi tidak efektif sehingga para pedagang berpeluang untuk kembali berjualan di tempat yang dilarang. Berkaitan dengan ini, Pemerintah Kota Pekanbaru seharusnya mengevaluasi perencanaan dan implementasi kebijakan komunikasi dalam penertiban
PKL.
Setiap
perencanaan 17
kebijakan
semestinya
mempertimbangkan kebutuhan para PKL sebagai target utama perubahan yang diinginkan dalam penertiban. Melakukan analisis dan perencanaan secara mendalam dalam membangun pasar, disertai dengan koordinasi antar dinas-dinas terkait seperti, Dinas Perhubungan mengenai trayek transportasi dan penempatan PKL di Terminal. Koordinasi juga perlu dilakukan dengan Dinas Kimpraswil dalam menentukan lokasi dan rancang bangun pasar yang tepat sesuai kebutuhan PKL. Pemerintah Kota Pekanbaru melalui Dinas Pasar semestinya menggunakan media dan saluran komunikasi yang tepat seperti melakukan pertemuan, pembinaan dan penyuluhan secara intensif terhadap para PKL, dan membuat plang yang jelas di tempat yang dilarang berjualan. Di samping itu, pemerintah harus menunjukkan ketegasan dan konsisten terhadap kebijakan-kebijakan yang telah dibuat dengan melaksanakan secara berkelanjutan. Selain menindak oknum-oknum yang bermain di belakang (becking) yang membuat PKL masih merasa aman berjualan, pemerintah Kota Pekanbaru juga semestinya memberikan wewenang yang lebih luas kepada Dinas Pasar Kota Pekanbaru untuk menjalankan fungsinya. Dan akhirnya, kebijakan komunikasi akan lebih efektif apabila melibatkan secara aktif semua komponen masyarakat dalam setiap merumuskan kebijakan, seperti para tokoh masyarakat dan para akademisi serta organisasi masyarakat lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Abrar, Ana Nadhya, 2008, Kebijakan Komunikasi; Konsep, Hakekat dan Praktek, Gava Media, Yogyakarta. Budiharsono, Suyuti S., 2003, Politik Komunikasi, Grasindo, Jakarta. 18
Cresswell, Jhon W., 1998, Qualitative Inquiry and Research Design; Choosing Among Five Tradition, Sage Publication, California. Effendy, Onong Uchjana, 2003, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bakti, Bandung. Hasan, Erliana, 2005, Komunikasi Pemerintahan, Refika Aditama, Bandung. Iriantara, Yosal, 2004, Manajemen Strategis Public Relations, Ghalia Indonesia, Jakarta. Littlejohn, Stephen W., 1999, Theories of Human Communication, 6th Edition, Wadsworth Publishing Company, Belmont, USA. Moleong, Lexy, 2005, Metode Penelitian Kualitatif, Bumi Aksara, Bandung. Mulyana, Deddy, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Remaja Rosdakarya, Bandung. Nasution, Zulkarimein, 2000, Perencanaan Program Komunikasi; Buku Materi Pokok, Universitas Terbuka, Jakarta. Ruslan, Rusady, 2003, Manajemen Public Relations & Media Komunikasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta Suhandang, Kustadi, 2004, Public Relations Perusahaan; Kajian Program Implementasi, Penerbit Nuansa, Bandung. Wibowo, Edi, dkk., 2004, Kebijakan Publik dan Budaya, YPAPI, Yogyakarta.
19