Pendidikan Melek Media

  • Uploaded by: Yasir Jufri
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pendidikan Melek Media as PDF for free.

More details

  • Words: 1,355
  • Pages: 6
PENDIDIKAN MELEK MEDIA

Setiap orang perlu melek media karena sekarang kita benar-benar hidup di abad media. Ke mana pun kita pergi, kita akan menemukan media. Di rumah, jalan, kantor, dan di tempat umum maupun tempat privat lainnya, banyak sekali kita jumpai berbagai media cetak dan elektronik, ada koran, majalah, radio, TV, dan internet serta selebaran atau brosur yang kita terima setiap harinya. Belum lagi penggunaan telepon seluler yang dapat dipakai kapan pun dan di manapun kita berada. Kita hidup di abad media komunikasi, suatu abad yang ditandai dengan berlimpahnya arus informasi. Dalam abad seperti itu orang harus dapat memilih dengan cerdas setiap terpaan informasi yang terus mengalir dari berbagai sumber dan saluran. Dari keberadaan seluruh media yang ada, perkembangan televisi jauh melampaui media massa lain. Dominasi media televisi ini terkait dengan masih rendahnya budaya baca masyarakat. Oleh karena itu, jangan heran kalau televisi adalah media yang paling luas dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Televisi di Indonesia dibangun lebih dengan persepsi bisnis industri ketimbang idealisme media massa, yang harus mengabdi pada kepentingan kebudayaan dalam pengertian luas. Sebagai media audio-visual, televisi tidak membebani banyak syarat bagi masyarakat untuk menikmatinya. Kita sebagai pengguna media seharusnya dapat mencerna dan menginterpretasikan isi sajian media yang kita konsumsi. Tanpa kemampuan untuk mengambil sikap kritis, kita akan terbawa oleh kepentingan televisi dan melarikan masyarakat pemirsanya dari

kenyataan-kenyataan kehidupan sekelilingnya. Televisi memiliki kemampuan manipulatif untuk menghibur, jauh dibandingkan media-media lainnya. Televisi seharusnya dapat membimbing dan mengarahkan berkembangnya kualitas sumber daya manusia. Namun sebaliknya media ini terlihat lebih mengarah pada kecenderungan mengeksploitasi dan membodohi. Dimensi etis dan fungsi pendidikannya cenderung diabaikan dengan lebih menonjolkan pada dimensi bisnisnya. Ini bisa terlihat pada berbagai bentuk program acara siaran pada media televisi seperti halnya sinetron mistik (tahyul), penuh kekerasan, gaya hidup hedonis, dan latar sosial Jakarta oriented. Selain itu, infotainment yang menyajikan hal yang hampir mirip di semua stasiun televisi (serupa tapi tak sama, hanya beda pada nama program acara), dimana informasinya tidak banyak berguna bagi masyarakat, karena ia hanya bersifat dangkal (banalitas). Program acara berita kriminal, kuis atau reality show juga kebanyakan lepas kendali dari normanorma yang seharusnya berperan dalam mendidik untuk tumbuhnya kreatifitasitas menuju masyarakat yang lebih baik. Di samping itu, pengiklan, melalui media adalah “pendidik’ publik yang andal untuk menjadi konsumen. Ini sejalan dengan fungsi media sebagai agen sosial, dalam hal ini tentunya sebagai agen sosialisasi dalam pengkonsumsian barangbarang. Melek Media James Potter, dalam bukunya yang berjudul “Media Literacy” (Potter, 2001), mengatakan bahwa media Literacy adalah sebuah perspekif yang digunakan secara aktif ketika, individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai pesan yang disampaikan oleh media. Di sisi lain, Allan Rubin menawarkan tiga definisi mengenai media literacy. Pertama dari National Leadership Conference on Media Literacy (Baran and Davis, 2003)

yaitu kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan. Kedua dari ahli media, Paul Messaris, yaitu pengetahuan tentang bagaimana fungsi media dalam masyarakat. Ketiga dari peneliti komunikasi massa, Justin Lewis dan Shut Jally, yaitu pemahaman akan batasan-batasan budaya, ekonomi, politik dan teknologi terhadap kreasi, produksi dan transmisi pesan. Definisi-definisi tersebut menekankan pada pengetahuan spesifik, kesadaran dan rasionalitas, yaitu proses kognitif terhadap informasi. Fokus utamanya adalah evaluasi kritis terhadap pesan. Jika sebelum media massa berkembang pesat seperti dewasa ini, yang diperlukan oleh setiap warga masyarakat adalah cukup hanya dengan melek huruf (literate). Namun dengan berkembangnya abad media sekarang ini, kemampuan itu sudah tidak lagi memadai dan harus dilengkapi dengan melek yang lain, yaitu melek media (media literacy). Pendidikan Melek Media Media massa—terutama televisi, merupakan sarana yang sangat efektif untuk mentransfer nilai dan pesan yang dapat memengaruhi khalayak secara luas. Bahkan, televisi dapat membuat orang kecanduan. Kini, media audio visual ini telah menjadi narkotika sosial yang paling efisien dan paling bisa diterima. Interaksi masyarakat, terutama anakanak, terhadap televisi, sangat tinggi. Idealnya seorang anak hanya menonton tayangan televisi paling banyak dua jam sehari. Namun di Indonesia, setiap anak dapat menonton televisi selama 3,5 – 5 jam sehari. Anak-anak tidak hanya menonton tayangan yang memang ditujukan bagi mereka, tetapi juga tayangan yang belum pantas untuk mereka tonton. Data pola menonton televisi pada anak-anak menunjukkan bahwa jumlah jam menonton anak-anak melampaui batas jam menonton ideal. Angka 35 jam per minggu,

berarti sama dengan 1820 jam per tahun, padahal jam belajar anak sekolah dasar menurut United Nations Education and Culture Organization (UNESCO) tidak melebihi 1000 jam per tahun. Jika melihat perbandingan jumlah jam menonton televisi dengan jumlah jam belajar di sekolah, maka dikuatirkan proses pembentukan pola pikir, karakter, dan perilaku anak justru terbentuk melalui tayangan televisi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kekuatan televisi dalam memengaruhi anakanak sangat besar. Di samping jumlah jam belajar yang lebih sedikit ketimbang jam menonton, lemahnya pengawasan orang tua terhadap tontonan anak, membuat anak-anak mereka tidak mempunyai filter terhadap tayangan yang tidak mendidik. Dari 1000 jam belajar per tahun di sekolah dasar, pendidikan tentang media hanya dibahas sangat sedikit dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Ini sungguh memprihatinkan mengingat interaksi anakanak dengan televisi jauh lebih tinggi dibanding interaksinya dengan buku-buku pelajaran. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

potensi

dirinya

untuk

memiliki

kekuatan

spritual

keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa, dan negara”. Dari rumusan tersebut, cukup jelas bahwa pendidikan melek media sangat sesuai dengan tujuan sistem pendidikan nasional di Indonesia. Saat ini pendidikan melek media yang ada di Indonesia, masih sebatas gerakangerakan yang belum terstruktur. Gerakan-gerakan tersebut dilakukan melalui seminar, road show, dan kampanye-kampanye mengenai melek media. Pendidikan melek media tidak

cukup bila disampaikan hanya dalam seminar berdurasi dua jam, atau dalam kampanye dan roadshow selama seminggu. Akibatnya, upaya-upaya memperjuangkan pendidikan melek media belum dapat dirasakan oleh semua pihak secara luas. Di banyak negara maju, pendidikan melek media sudah menjadi agenda yang penting dengan memasukkannya ke dalam satuan kurikulum pendidikan. Inggris, Jerman, Kanada, Perancis, dan Australia merupakan contoh negara yang telah melaksanakan pendidikan melek media di sekolah. Di Indonesia, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku saat ini memberikan peluang untuk pendidikan melek media masuk ke dalam kurikulum, karena KTSP memiliki sub-komponen yang mendukung, yaitu mata pelajaran dan pendidikan kecakapan hidup. Pendidikan melek media dapat dijadikan satu mata pelajaran sendiri, karena struktur kurikulum tingkat sekolah dapat dikembangkan dengan cara memanfaatkan jam tambahan untuk menambah jam pembelajaran pada mata pelajaran tertentu atau menambah mata pelajaran baru. Pada komponen pendidikan kecakapan diri, pendidikan melek media tidak menjadi satu mata pelajaran tersendiri, tetapi substansinya menjadi bagian integral dalam beberapa mata pelajaran yang memungkinkan. Pelaksanaan pendidikan melek media dapat disesuaikan dengan kondisi sekolah masing-masing. Ini sejalan dengan karakteristik KTSP yang memberikan keleluasaan bagi guru dan sekolah untuk mengembangkan satuan sendiri yang disesuaikan dengan keadaan siswa, keadaan sekolah, dan keadaan lingkungan. Sekolah bersama dengan komite sekolah dapat bersama-sama merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi lingkungan sekolah. Pendidikan melek media merupakan pendidikan kecakapan hidup, sehingga penerapannya sangat praktis untuk dilakukan. Pendidikan melek media memiliki nilai lebih,

karena pendidikan ini menempatkan anak didik sebagai subjek. Hal tersebut membuat perkembangan emosi, pola pikir, karakter, serta perilaku anak didik lebih terkontrol, karena anak didik dibekali dengan kemampuan untuk memilih dan memaknai pesan media, sehingga anak didik bukan lagi sebagai imitator media. Hal tersebut menunjukan bahwa pendidikan melek media tidak hanya mencakup kemampuan kognitif, tetapi juga membangun daya analisis, membuat anak didik dapat menyikapi apa yang terjadi di luar dirinya. Jadi pendidikan melek media memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan, mengingat perkembangan media yang begitu pesat tidak diikuti dengan kecakapan dalam mengkonsumsinya. Oleh karena itu, sudah saatnya Departemen Pendidikan Nasional memikirkan tentang pendidikan mengenai media kepada siswa sekolah dasar hingga SMU. Dengan dimilikinya kemampuan melek media pada siswa, maka proses pembelajaran sepanjang hidup dari media akan dapat dijalaninya dengan baik. Siswa yang melek media juga akan mampu menyusun isi pesan media dengan dasar pemahaman terhadap karakteristik masing-masing media yang cukup kuat. Untuk kondisi di Indonesia, pengintegrasian pembelajaran melek media lebih tepat diterapkan pada siswa sekolah dasar (SD). Anak-anak SD berada pada kisaran usia yang sangat rawan terkena dampak negatif media, khususnya televisi. Selain itu, orang tua dan masyarakat hendaknya mulai membangun kesadaran kritis terhadap tayangan televisi dan media lainnya.

*Yasir, M.Si, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Riau

Related Documents


More Documents from "Mr. Hendri Firmansyah, S.Pd.I"