KONSTRUKSI REALITAS REMAJA PEREMPUAN MELALUI MEDIA MASSA
A. Pendahuluan Berbicara mengenai perempuan tidak terlepas dari sistem sosial dimana mereka berada. Adanya usaha untuk memahami perempuan juga merupakan usaha untuk memahami masyarakat. Dari banyak penelitian yang menjadikan perempuan sebagai objek pengamatannya, kebanyakan mendapati bahwa perempuan selama ini berada dalam posisi yang kurang menguntungkan di masyarakat. Selain itu juga berkesimpualan bahwa laki-laki banyak mendapat keuntungan dari hak-hak istimewanya yang terus terpelihara dalam budaya patriarki. Oleh karenanya ke depan program-program pembangunan dibuat dengan diarahkan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender. Timpangnya relasi gender dan diskriminasi terhadap perempuan, diyakini oleh para aktifis feminis terjadi di dalam lingkungan masyarakat yang terkecil yaitu keluarga. Keluarga pun tidak luput dari intervensi negara dalam penerapan kebijakan pembangunan. Salah satu aspek yang harus dikritik adalah bias gender dalam merepresentasikan perempuan dalam media massa. Dimana banyak dari isi program acara maupun pesan yang disampaikan oleh media massa tersebut tetap saja memelihara budaya patriarki. Dengan kata lain pesan yang disampaikan media massa lebih banyak didominasi oleh simbol-simbol kekuasaan lelaki yang lebih cenderung mempertahankan status quo-nya. Perempuan, dalam hal ini remaja putri, adalah target utama dari media iklan, advertorial dan program-program acara media siaran TV dan radio yang kebanyakan berisi bujukan dan rayuan belaka. Majalah atau tabloid remaja perempuan biasa menyuguhkan tips, artikel khusus, poster selebritis idola, dan sebagainya. Televisi menayangkan kehidupan artis yang glamor melalui informasi dan entertainmen (infotainment), sinetron dengan berlatar kehidupan di ibu kota, kehidupan mewah, dan artis yang beken-beken. Perilaku para artis sinetron ini tidak jarang menjadi panutan para ibu atau remaja putri. Mereka mengubah model rambut dan dandanannya seperti artis kesayangannya. Akibatnya, media tidak menampilkan kebutuhan kaum perempuan, 1
namun justru kebutuhan pengiklan dan para pemilik modal. Oleh media, remaja putri dibiarkan terobsesi oleh gaya hidup tertentu atau pada pencitraan yang diciptakan (dikonstruksi) oleh media iklan; kurus, berambut lurus, berkulit putih, harum, dan seterusnya. Kenyataan tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa ada realitas sosial media yang memiliki daya tarik luar biasa sehingga orang rela bertahan selama berjam-jam di depan layar kaca. Realitas sosial tersebut menggambarkan kekuatan media dalam mengontruksi realitas sosial remaja perempuan. Sehingga realitas perempuan yang tergambarkan, dicitrakan dan direpresentasikan dalam media massa dapat ditularkan menjadi realitas sosial di masyarakat.
B. Teori Konstruksi Realitas Sosial Konstruksi sosial adalah proses menciptakan pengetahuan dan realitas sosial melalui interaksi simbolis dalam suatu kelompok sosial. Jadi, pengetahuan dan realitas muncul dari persepsi manusia. Realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya. Dan kekuatan utama yang sangat berperan dalam dunia sosial adalah media massa. Oleh karena itu, perspektif atau theoretical framework yang digunakan untuk menjelaskan konstruksi realitas remaja perempuan oleh media adalah teori konstruksi realitas sosial dari Berger dan Luckman (1966). Tesis utama mereka adalah manusia dan masyarakat adalah produk dialektis, dinamis dan plural secara terus menerus. Di samping itu realitas sosial menurut mereka terdiri atas realitas objektif, realitas simbolik, dan realitas subjektif. Dengan kemampuan berpikir dialektis, dimana terdapat tesa, antitesa dan sintesa, Berger memandang masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat, yang tentunya melalui komunikasi dalam hal ini media massa (Berger & Luckmann, 1990:87). Proses dialektis tersebut berlangsung dalam suatu proses tiga tahapan –Berger menyebutnya sebagai “momen”, yang berkerja secara simultan. Pertama, eksternalisasi (penyesuaian diri), yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut 2
(mengalami proses institusionalisasi). Ketiga, internalisasi (penghayatan) yaitu penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektivitas individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Inti dialektika dalam pembentukan realitas sosial, yaitu bahwa kenyataan sosial terbentuk melalui tindakan dan interaksi manusia menciptakan realitas yang dimiliki bersama dan yang dialami secara faktual serta pernuh arti secara subjektif. Konstruksi realitas sosial merupakan proses dialektis dalam hal manusia bertindak sebagai pencipta sekaligus sebagai produk dari kehidupan sosialnya. Kemampuan khusus manusia untuk untuk
menginternalisasikan
dan
mengobjektifikasikan
makna-makna
subjektif,
pengalaman-pengalaman dan tindakan ke dalam dirinya, merupakan penyebab timbulnya proses dialektik tersebut. Proses dialektika berangkat dari kenyataan hidup sehari-hari yang diyakini sebagai pengetahuan yang membimbing perilaku individu dalam kehidupannya seperti nilai-nilai, norma-norma yang kemudian dianggap sebagai pengetahuan yang membimbing seseorang dalam tindak-tanduknya. Dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari adalah objektivikasi dari proses-proses dan makna-makna subjektif di mana dunia akal sehat intersubjektif terbentuk. Intersubjektif adalah suatu yang timbul dari pengalaman-pengalaman individu karena adanya relevansi suatu dengan yang lain, seperti kebiasaan, adat, sopan santun, dll. Realitas sosial simbolik terletak dalam penyampaian informasi melalui media. Realitas simbolik yang dibangun oleh media melalui teks merupakan konstruksi dari media itu dan hal ini tentu dipengaruhi oleh para pembuat teks dan juga faktor ekstra media lainnya seperti ideologi. Persepsi khalayak tentang realitas simbolik yang direpresentasikan melalui media di suatu sisi dan realitas objektif mengenai masalah sosial tertentu di sisi yang lain sangat tergantung kepada tiga aspek, yakni tingkat kompleksitas (complexity), tingkat intensitas (intencity), dan tingkat kemampuan memecahkan masalah (solvability). Bagi Berger, realitas tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dalam hal ini, ada dua karakteristik penting dari perspektif konstruksi realitas sosial ini. Pertama, perspektif ini menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Kedua, perspektif ini memandang kegiatan 3
komunikasi sebagai proses yang dinamis. Selain itu pendekatan ini terutama memandang bahwa kehidupan sehari-hari adalah kehidupan melalui dan dengan bahasa. Bahasa tidak hanya mampu membangun simbol-simbol yang diabstraksikan dari pengalaman seharihari, melainkan juga “mengembalikan” simbol-simbol itu dan menghadirkan sebagai unsur yang objektif dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, ada empat asumsi yang melekat pada pendekatan konstruksi ini. Pertama, dunia ini tidaklah tampak nyata secara objektif pada pengamat, tetapi diketahui melalui pengalaman yang umumnya dipengaruhi oleh bahasa. Kedua, kategori linguistik yang dipergunakan untuk memahami realitas bersifat situasional, karena kategori itu muncul dari interaksi sosial dalam kelompok orang pada waktu dan tempat teertentu. Ketiga, bagaimana realitas tertentu dipahami pada waktu tertentu dan ditentukan oleh konvensi komunikasi yang berlaku pada waktu itu. Karena itu, stabilitas dan instabilitas pengetahuan banyak bergantung pada perubahan sosial ketimbang realitas objektif di luar pengalaman. Keempat, pemahaman realitas yang terbentuk secara sosial membentuk banyak aspek kehidupan yang lebih penting. Bagaimana kita berpikir dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari umumnya ditentukan oleh bagaimana kita memahami realitas (Littlejohn, 1999:179-180).
C. Teori Feminis Pendekatan utama lainnya dalam memahami bagaimana konstruksi realitas remaja perempuan oleh media adalah teori feminis. Teori feminis ini oleh Littlejohn (1999) dikategorikan pada paradigma atau teori kritis. Teori feminis adalah sebutan yang diberikan pada perspektif atau kelompok teori yang menggali makna dari konsep-konsep gender. Teoritisi feminis mengamati bahwa banyak aspek kehidupan yang sebenarnya terlepas dari aspek biologis (jenis kelamin) dipahami sebagai kualitas gender, termasuk bahasa, karya, peran keluarga, pendidikan, sosialisasi, dan sebagainya. Gender adalah konstruksi sosial yang meskipun perlu, telah didominasi oleh laki-laki dan menindas perempuan (Sendjaja, 2002:9.22). Dalam hal ini, media massa diasumsikan sebagai alat utama untuk mendominasi dan menindas remaja perempuan, karena mereka tidak memfungsikan media massa sebagai media untuk pendidikan tetapi lebih banyak pada orientasi bisnis semata sehingga memanipulasi pesan-pesan hanya untuk kepentingan pengiklan (baca: kapitalisme). 4
Secara formal, feminisme sebagai sebuah ideologi muncul di Barat (Eropa dan Amerika Serikat) pada abad ke–18. Ideologi gender yang dipakai feminisme adalah untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan kelompok (perempuan) yang termarginalisasi dan memiliki posisi yang tersubordinasi dalam masyarakat yang dominan (laki-laki). Menurut Yanti Muchtar (dalam Widiastuti, 2005: 58) dalam perkembangannya ada tiga pandangan yang cukup signifikan dalam mendefinisikan feminisme. Ketiga pandangan tersebut pada dasarnya merupakan pandangan-pandangan yang bersifat terbuka dan tidak eksklusif dalam mendefinisikan feminis dan tidak terbatas hanya bagi perempuan. Ketiga pandangan ini secara implisit menyatakan bahwa laki-laki dapat didefinisikan sebagai feminis sepanjang memenuhi syarat pendefinisian feminisme yang dianut. Pandangan pertama, mengatakan bahwa feminisme adalah teori-teori yang mempertanyakan pola hubungan kekuasaan laki-laki dan perempuan. Pandangan kedua berpendapat bahwa seseorang dapat dicap sebagai feminis sepanjang pemikiran dan tindakannya dapat dimasukkan kedalam aliran-aliran feminisme yang dikenal selama ini, seperti feminisme liberal, feminisme sosialis, feminisme markis dan feminisme radikal. Pandangan ketiga adalah pandangan yang berada di antara pandangan pertama dan kedua. Pandangan ketiga ini dipelopori oleh feminis-feminis Asia Selatan yang berpendapat bahwa sebuah gerakan yang didasarkan pada adanya kesadaran tentang penindasan perempuan yang kemudian ditindaklanjuti oleh adanya aksi untuk mengatasi penindasan tersebut. Feminisme menurut Dzuharyatin (dalam Widiastuti, 2005:57-58) adalah sebuah ideologi yang berangkat dari suatu kesadaran akan suatu penindasan dan pemerasan terhadap wanita dalam masyarakat, apakah itu di tempat kerja ataupun dalam konteks masyarakat secara makro, serta tindakan sadar baik oleh wanita maupun pria untuk mengubah keadaan tersebut. Gerakan feminis mencoba untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang harmonis tanpa pengisapan dan diskriminasi, demokrtatis, dan bebas dari pengotakan berdasarkan kelas, kasta dan bias jenis kelamin.
D. Konstruksi Remaja Perempuan Melalui Media Massa
5
Banyak studi-studi media massa khususnya televisi, terutama yang dilakukan oleh para mahasiswa Ilmu Komunikasi di Indonesia yang menempatkan posisi konsumen media sebagai komunikan yang pasif, yang menerima begitu saja apa yang dikatakan oleh komunikator. Konsekuensinya, segala apa yang diproduksi oleh produsen sering kali dianggap sebagai ancaman bagi para penontonnya. Misalnya, studi atas dampak kekerasan yang ditimbulkan televisi pada penontonnya, studi atas dampak iklan terhadap tingkat konsumsivitas penonton, atau studi atas dampak tayangan yang berbau seksualitas terhadap tingkat agresifitas penontonnya dan seterusnya. Pada sisi yang lain, ada suatu proses dialogis antara televisi dengan penontonnya, antara produsen dengan konsumennya. Dengan kata lain, proses yang terjadi adalah penonton atau konsumen pada dasarnya selalu menciptakan suatu proses konsumsi kreatif dan aktif. Perbedaan kedua pandangan ini didasarkan pada asumsi dalam memandang khalayak penonton atau pembaca itu sendiri, pasif atau aktif dalam memaknai pesanpesan media massa yang mereka konsumsi. Perkembangan masyarakat sekarang memungkinkan perempuan khususnya remaja putri untuk menjalani proses kedewasaan dengan cara-cara yang berbeda dengan yang dialami oleh para ibu kita dulu. Remaja perempuan ini begitu dekat terhubung dengan media massa. Program siaran televisi seperti sinetron, aneka hiburan, talk show dan majalah-majalah maupun tabloid khusus remaja perempuan –belum lagi koran yang khusus menyediakan kolom perempuan atau radio dengan program khusus tentang perempuan- adalah guru-guru tambahan dan bahkan bisa menjadi guru utama bagi para remaja putri, di samping orang tua di rumah dan para guru di sekolah. Bila dilihat pada posisi yang sedikit lebih ekstrim, di beberapa sinetron remaja yang bisa ditemukan di televisi kita menggambarkan bahwa sekolah (mungkin juga kampus) tidak lagi bermakna sebagai tempat belajar, melainkan tempat berpacaran, mengembangkan intrik, berkelahi, dan pelecehan-pelecehan lainnya. Demikian juga halnya dengan beberapa majalah atau tabloid remaja perempuan yang bisa ditemukan adalah majalah sekarang sama seperti etalase toko, isinya banyak memamerkan barang untuk dijual. Para kuam feminis dan perempuan sudah saatnya bener-benar memperhitungkan program-program serial televisi seperti sinetron atau telenovela, program-program radio, dan majalah-majalah perempuan baik lokal maupun lisensi terbitan luar negeri sebagai 6
instritusi–institusi yang penting dalam kedidupan seseorang perempuan. Menarik untuk mengutip pendapat McRobie (dalam Widiastuti, 2005:97) bahwa kadang jurstru dari media-media populer itulah para kaum perempuan mempelajari dirinya, mungkin mengenai
eksploitasi
seksual,
dampak
perkosaan,
pentingnya
kemampuan
mengidentifikasi apa yang diinginkan seorang perempuan secara seksual, pentingnya pemahaman mendalam atas tubuhnya sendiri. Banyak pengetahuan, sikap maupun perilaku keseharian perempuan, seperti dalam berpakaian, berbicara, dan gaya hidup lainnya dipelajari oleh sebagian perempuan atau konsumen media dalam mempelajari nilai-nilai feminitasnya. Banyak contoh simbol-simbol nyata bagaimana cara bersikap dan memperlakukan terhadap laki-laki, mendidik anak, trik berbelanja, pola makan dan lain sebagainya, disuguhkan dan ditampilkan dalam sinetron dan iklan dalam media massa. Dan simbol-simbol tersebut tentunya berproses terus dan berdialektika dengan cara ditawarkan atau disuguhkan oleh media, sebagai konstruksi utama pembentuk realitas, kepada perempuan-perempuan sebagai target konsumen atau khalayaknya. Masalah tubuh dan kecantikan dalam kehidupan kita hampir tidak pernah lepas dalam setiap perbincangan. Baik perempuan maupun laki-laki, meliliki tubuh ideal bagi sebagian orang bukanlah suatu keinginan aneh, bahkan sebagian masyarakat kita ada yang secara khusus mengabdikan kehidupannya hanya untuk mengurusi tubuhnya. Tidak heran bila dalam kehidupan kita hampir setiap hari banyak bermunculan sejumlah produk kosmetik atau perawatan tubuh dengan segala cara, dimana media massa adalah sebagai agen sosialisasi utamanya. Meskipun perbincangan masalah tubuh ini bisa saja berlaku pada laki-laki, tetapi sampai sejauh ini seringkali wacana tubuh selalu ditujukan kepada perempuan. Bila kita menyaksikan sejumlah media, baik di majalah maupun televisi, tubuh yang langsing, putih dan rambut hitam lurus hampir menjadi standar yang umum untuk menyatakan idealitas tubuh. Hal ini seolah-olah menjadi suatu tawaran, “kalau anda mau memliki tubuh yang ideal dan cantik ya jadikanlah tubuh anda itu langsing, kulit anda menjadi putih, dan jadikan rambut anda itu lurus panjang.” Tawaran itu secara terusmenerus disajikan di setiap jenis media baik cetak maupun elektronik. Lalu seperti apa remaja perempuan menyikapi tawaran-tawaran itu? Sepertinya jawaban tersebut memang harus dikembalikan pada remaja perempuan itu sendiri. 7
Dari sini media massa berperan besar dalam membentuk (mengonstruksi) “budaya global” dan proses peniruan gaya hidup. Media massa juga bisa kita asumsikan ikut berperan dalam membuat negara-negara berkembang tetap tergantung pada negaranegara kapitalis industri maju dan terus menerus menjadi pasar negara maju, karena masyarakat negara berkembang hanya mampu mengadopsi gaya konsumsi masyarakat negara maju. Asumsi di atas memang mendasar, karena negara maju sudah lama menjadikan kalangan muda sebagai target konsumen mereka. Menurut Naisbitt & Aburdane (1990) kalangan muda adalah kalangan yang dipandang sebagai motor utama terbentuknya budaya global (dalam Armando, 2004:38). Dalam era ekonomi yang cendrung kapitalistik sekarang ini, remaja dengan status sosial ekonomi tinggi adalah segmen pasar yang sangat penting. Di suatu sisi kaum muda ini adalah mereka yang nantinya akan menempati posisi strategis dalam masyarakat. Namun di sisi yang lain, kaum remaja elit kota besar disebut-sebut sebagai pasar yang sangat potensial bagi banyak barang-barang konsumen, sehingga mereka cenderung dirangsang untuk menjadi “pembelanja yang boros” (big spander). Pola ini banyak ditawarkan dengan dibantu metode komunikasi periklanan yang banyak menggunakan remaja perempuan sebagai alat pembujuk dan perayu serta menggunakan mereka sebagai bintang artis dalam sinetron yang kebanyakan menyuguhkan tema-tema yang tidak akan jauh dari budaya yang konsumtif. Simbolsimbol yang ditawarkan adalah kehidupan glamour, tinggal di apartemen atau rumah mewah, mobil mewah, sampai makanan yang tidak dimiliki oleh mayoritas penontonnya. Anak-anak muda sendiri berada pada masa kontradiksi antara nilai-nilai tradisional –puritanisme, tanggungjawab, sikap hemat dan kebanggaan menyelesaikan pekerjaan dengan baik- versus nilai-nilai baru seperti hedonisme dan konsumsi spektakuler “masyarakat makmur”. Generasi muda merupakan aksi sekaligus reaksi terhadap budaya konsumen: anak muda adalah perantara sekaligus simbol perubahan dan siklus produksi dan konsumsi. Di Indonesia, kaum remaja (menengah atas kota) sering disebut generasi MTV. Generasi MTV dicitrakan sebagai kaum belia yang lincah, cool, banyak teman (gaul), suka belanja dan go international (fasih bahasa Inggris). Sehinga ada kecenderungan bahwa konstruksi realitas yang terjadi adalah remaja Indonesia “makin konsumtif, suka ganti merek, gampang termakan trend, dan gemar tampil keren”. 8
Dari sisi bisnis, remaja (terutama remaja perempuan) Indonesia merupakan target yang sangat potensial. Remaja merupakan sasaran pasar yang menarik karena tiga alasan. Pertama, remaja perempuan merupakan konsumen langsung. Dari jumlah total populasi kelompok umur pada usia remaja jumlah mereka sangat besar sehingga jelas potensinya dari sudut bisnis sangat menggiurkan. Kedua, remaja perempuan merupakan pembujuk yang hebat di lingkungan manapun. Pembelian-pembelian dalam keluarga umumnya ditentukan oleh suara remaja keluarga itu. Ketiga, remaja perempuan adalah konsumen masa depan (calon konsumen potensial). Dengan bertambahnya waktu, remaja yang dulunya dibiayai orang tuanya, akan memiliki penghasilan sendiri. Selain itu, perempuan pada posisi ini merupakan manajer pembelian untuk bermacam-macam jenis dan kategori barang dan jasa ketika mereka sudah menjadi seorang ibu rumah tangga. Maka, tidak heran jika produsen membutuhkan konsumen loyal, sehingga sejak awal sudah berbaikan dengan remaja ini. Belanja, pemanfaatan waktu luang dan pemeliharaan tubuh (selalu tetap cantik) merupakan karakteristik budaya konsumer yang selalu dan akan terus-menerus dipompakan oleh media massa kepada penonton atau audience-nya. Selain membawakan semangat ini, melalui iklan-iklannya yang menawarkan barang-barang konsumsi, pembaca juga mendapatkan pesan-pesan yang “mengabsahkan” aktifitas konsumsi melalui artikel-artikel dalam majalah, tema-tema program acara televisi maupun radio, hiburan atupun bentuk advertorial lainnya. Temuan ini mengingatkan akan pendapat Ewen (1976), yakni bahwa pengiklan dan media massa lainnya adalah “pendidik” publik yang andal untuk menjadi konsumen. Atau pendapat Bourdieu, seorang filosuf Prancis, yang menyebutkan bahwa media adalah agen sosialisasi dalam pengonsumsian barangbarang maupun jasa. Sialnya media massa yang ditujukan kepada remaja adalah agen sosialisasi untuk menciptakan (mengonstruksi) remaja perempuan menjadi memiliki sifat yang buruk, karena mendidik remaja untuk menjadi pembelanja yang boros dan tidak hemat. Dalam hal ini, media massa telah mengontruksi sebuah gaya hidup yang pada akhirnya mempengaruhi para remaja, sebagai generasi penerus suatu masyarakat. Kekhawatiran yang muncul dari gaya hidup yang diciptakan media kepada remaja ini adalah perilaku mereka yang cenderung mengarah ke generasi konsumtif, dan menganggap penampilan adalah segala-galanya tanpa memikirkan keadaan yang 9
sebenarnya. Mungkin kekhawatiran itu tidak perlu ada bila remaja perempuan itu sendiri memiliki kesadaran yang kuat atas-pilihan-pilihannya.
E. Simpulan Media massa sudah selayaknya dan saatnya untuk memberikan pendidikan agar remaja perempuan semakin sadar dan mengenal akan hak-haknya. Hak-hak remaja putri yang semestinya dipahami oleh media massa antara lain adalah mendapatkan informasi yang benar, hak untuk meningkatkan kepercayaan diri, bebas dari diskriminasi, terlindung dari pelecehan, kekerasan dan eksploitasi seksual, mendapatkan pendidikan yang layak, hak untuk mengaskses dan mendapatkan informasi yang benar –tidak dimanipulasi oleh kepentingan pengiklan, pengelola media dan pemodal- serta bebas dari ancaman praktek perdagangan manusia, pornografi, narkoba dan sebagainya. Upaya mendidik, mencerdaskan dan melindungi hak-hak remaja perempuan tidak akan berjalan dengan baik tanpa bantuan media massa baik cetak maupun elektronik. Sebab media massa terutama media visual kini adalah sarana yang sangat strategis dalam menularkan gagasan-gagasan tersebut. Di banyak negara, pemerintahnya justru mewajibkan media untuk mengalokasikan waktu atau tempat untuk iklan layanan masyarakat yang bertujuan untuk mendidik masyarakat tentang berbagai persoalan. Di samping itu, ada lembaga yang bertugas memantauan isi (content) dari media. Meskipun di Indoneisa sudah ada dibentuk lembaga yang sejenis, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), namun ia belum menampakkan giginya atau bisa dinilai kinerjanya belum begitu maksimal. Oleh karena itu, masyarakat sebagai pemegang kontrol utama terhadap media massa harus turut berperan aktif dalam melindungi kepentingan dan hak-hak remaja perempuan dari derasnya pesan media yang masuk. Di samping itu juga seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain, pemerintah harus ikut campur tangan dalam berbagai regulasi dalam rangka melindungi perempuan dan anak-anak dari efek buruk media massa. Tegasnya pemerintah harus memiliki strategi komunikasi yang baik dan selalu membuat kebijakan-kebijakan yang selalu berpihak kepada kepentingan publik dan kaum lemah (baca perempuan) bukan kepada kepentingan segelintir atau sekelompok orang untuk kepentingan politis ataupun ekonomi. 10
*Penulis adalah dosen tetap di Prodi. Ilmu Komunikasi FISIP UNRI dan Dosen di Jur. Ilmu Komunikasi STISIP Persada Bunda.
DAFTAR PUSTAKA Armando, Nina M., 2004, Menjadi Pembelanja yang Boros, Jurnal Perempuan Edisi ke37; Remaja Melek Media, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta. Berger, Peter. L., & Thomas Luckmann, 1990, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Penerj. Hasan Basri, LP3ES, Jakarta. Labib, Muh., 2002, Potret Sinetron Indonesia; Antara Realitas Virtual dan Realitas Sosial, MU:3 Book, Jakarta. Littlejohn, Stephen W., 1999, Theories of Human Communication, 6th Edition, Wadsworth Publishing Company, Belmont, USA. Miller, Katherine, 2002, Communication Theories; Perspectives, Process, and Contexts, McGraw Hill, New York. Sendjaja, S. Djuarsa, 1994, Materi Pokok Teori Komunikasi, Universitas Terbuka, Jakarta. Widiastuti, Tuti, 2005, Konstruksi Realitas Perempuan dalam Program Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, dalam Jurnal KOMUNIKA, LIPI, Jakarta.
11