Peran Perundingan Dalam Penyelesaian Konflik Di Aceh

  • Uploaded by: radiska zulkarnain
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Peran Perundingan Dalam Penyelesaian Konflik Di Aceh as PDF for free.

More details

  • Words: 3,267
  • Pages: 14
Peran Perundingan dalam Penyelesaian Konflik di Aceh

PENDAHULUAN I. Gerakan Aceh Merdeka Nanggroe Aceh Darrusallam terletak pada bagian paling utara dari Indonesia pada 2 - 6° Lintang Utara dan 95 - 98° Lintang Selatan. Secara geografis wilayah Aceh diapit oleh Samudra Indonesia di sebelah selatan dan barat, serta Selat Malaka dibagian utara. Aceh tercatat sebagai wilayah yang memiliki sejarah panjang dalam hal bertahan dari penjajah, seperti Belanda dan Inggris. Pada masa pemerintahan Sultan Ali Ibrahim Mughayat Syah pada abad ke-15, Aceh dikenal sebagai negara yang kaya akan hasil bumi. Kerajaan memerintahkan rakyat untuk menggiatkan sektor pertanian dan melakukan perdagangan dengan bangsa lain. Hal tersebutlah yang mendasari banyak dunia berlomba-lomba melakukan perdagangan dengan Aceh, mulai dari Tiongkok, Arab, India, dan bahkan Amerika Serikat. Aceh telah menajadi wilayah yang sangat kaya, jauh sebelum Indonesia merdeka. Sangat berbeda jauh dengan kondisi Aceh pada masa sekarang, menurut Achmady & Dandhy dalam Hikayat Negara Kaya di Kampung Global pada tahun 2001 Aceh memiliki jumlah penduduk miskin sebanyak 1,1 juta jiwa. Setahun kemudian naik menjadi 1,2 juta dan terus melonjak hingga 1,6 juta orang pada 2003. Ini artinya, sekitar 40 persen orang Aceh hidup melarat1. Bila dibandingkan dengan masa keemasan Aceh, tentu saja sangat berbeda jauh. Belum lagi sebelum penandatanganan Memorandum of Understanding antara pemerintahan Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kemelut tak berkesudahan menyelemuti bumi rencong. Gerakan Aceh Merdeka atau GAM adalah suatu gerakan separatis yang terdapat disemua wilayah Nanggroe Aceh Darrusallam. GAM berdiri pada 4 Desember 1976 atas prakarsa dari Teungku Hasan Muhammad Tiro yang tidak lain adalah 1

http://younone.wordpress.com/2007/05/04/sejarah-bangsa-aceh.html paragraf pertama

1

keturunan dari Cik Di Tiro seorang pembela bumi Aceh. Hasan Tiro yang meyakini bahwa Aceh merupakan wilayah yang yang memiliki identitas tersendiri, yaitu sejarah dan jati diri yang kuat. Oleh karenanya, kedaulatan Aceh yang sudah dimiliki ratusan tahun yang lalu mesti dikembalikan. Dorongan rakyat Aceh untuk melaksanakan hak menentukan nasib sendiri, dan melindungi hak sejarah istimewa nenek moyang dan negara Aceh dari semua kontrol politik yang dijalankan oleh pihak pemerintah asing di Jakarta, ditengarai menjadi salah satu penyebab lahirnya sparatisme di Aceh. Sejarah mencatat, pada tahun 1953 masyarakat Aceh pernah melakukan suatu gerakan Darul Islam, yaitu suatu gerakan perlawanan dengan ideologi Islam yang terbuka. Rakyat Aceh menuntut pemerintah pusat untuk mengubah sistem kenegaraan menjadi negara yang memiliki dasar hukum berupa syariat Islam. Akan tetapi tuntutan ini tidak mendapatkan respon yang positif dari pemerintah pusat. Pemberontakan pun akhirnya berakhir setelah Soekarno memberikan keputusan bahwa Aceh merupakan daerah istimewa yang memiliki otonomi istimewa yang luas. Akan tetapi, tampaknya keputusan itu hanya isapan jempol belaka, yang membuat masyarakat Aceh kembali murka. Setelah semua janji Soekarno tersebut, pada kenyataannya Aceh dieksploitasi secara besar-besaran dengan memanfaatkan tambang minyak dan gas bumi yang berlimpah ruah. Kekecewaan Aceh terhadap pemerintah pusat yang tidak mengabulkan permintaan untuk menjadi negara islam, ditambah lagi dengan tidak

terealisasinya keputusan Soekarno menyebabkan

masyarakat Aceh mengambil keputusan untuk mempersempit gerakannya dan hanya berkonsentrasi pada wilayah Aceh. Rakyat Aceh kemudian meluapkan kekesalannya dengan membentuk suatu gerakan sparatis yang diberi nama Gerakan Aceh Merdeka. Masyarakat Aceh memutuskan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berniat untuk membentuk suatu negara baru yang berazaskan syariat Islam. Mulai dari skala kecil Teungku Hasan Muhammad Tiro berusaha menanamkan sugesti pada masyarakat khususnya masyarakat Aceh dan dunia pada umunya, bahwa di Indonesia terdapat suatu wilayah yang ditindas oleh pemerintah RI. Kegiatan sparatisme yang dilakukan oleh GAM mendapat respon cepat dari pemerintahan orde baru. Kemunculan GAM pada masa awalnya langsung mendapat respon oleh pemerintah Orde Baru dengan melakukan operasi militer yang represif, sehingga membuat GAM kurang bisa berkembang. Walau demikian, GAM juga melakukan pelebaran jaringan yang membuat mereka kuat, baik pada tingkat internasional maupun menyatu dengan masyarakat dan GAM bisa terus bertahan.

2

II. Konflik di Aceh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) Aceh merupakan daerah yang masih sangat kental tradisi dan budayanya. Pada suatu masa, para ulama di Aceh ingin menumbangkan kekuasaan uleebalang yang selama ini menguasai Aceh di bawah kerajaan. Beberapa tahun setelah setelah berhasil menumbangkan kekuasaan uleebalang, para ulama di Aceh mengumumkan Darul Islam untuk berpisah dari NKRI, karena rasa kecewa akibat sentralisasi yang dilakukan oleh pihak di Jakarta. Ditambah lagi, pada dasarnya wilayah Aceh memang tidak mengenal adanya sentralisasi, karena uleebalang yang menguasai daerah-daerah di kawasan Aceh. Sebab beberapa tahun kemudian, Daud Beureueh,memproklamirkan Darul Islam (DI) yang pisah dari RI. Perang pun kembali berkecamuk. Pejuang Aceh Lagi pula dalam tradisi pemerintah Daud Pada saat itu, pemerintahan pusat masih memiliki rasa nasionalisme yang sangat tinggi. Maka dari itu, pemberontakan di Aceh ditanggapi secara serius dengan cara melancarkan persenjataan ke Aceh. Konflik besar pun dimulai kembali. Setelah sebelimnya Aceh dibawahi Belanda, kini Aceh tampaknya sedang berperang dengan bangsanya sendiri. Berabagi sarana mengalami kehancuran akibat peran, dan menelan tidak sedikit korban jiwa. Berbagai pihak menengarai konflik yang terjadi di Aceh merupakan konflik keagamaan. Karena pada awalnya Aceh melayangkan tuntutan untuk merubah ideologi Indonesia dengan ideologi yang berbasiskan syariat Islam. Akan tetapi, hal yang perlu ditekankan adalah GAM bukan sebuah organisasi Islam, melainkan sebuah gerakan independen yang dilakukan sekelompok orang yang berniat untuk memisahkan diri dari Indonesia, diakibatkan rasa kecewa akibat eksploitasi berlebihan dan tidak terealisasinya otonomi khusus yang dijanjikan pada pemerintahan terdahulu.2 Kemudian perundingan merupakan suatu titik terang yang cukup melegakan. Pemerintah Indonesia dan para pemberontak di Aceh memutuskan untuk melakukan 2

http://www.kairoscanada.org/e/countries/indonesia/conflictinaceh.html

3

perundingan pada tahun 1960-an. Pada saat itu para petinggi gerakan DI di Aceh melakukan kesepakatan untuk membangun kembali Aceh dibawah naungan NKRI, karena kedua belah pihak saling menyadari bahwa begitu banyak hal yang sudah menjadi korban akibat peperangan tersebut.

Darurat Militer/Darurat Sipil (2003- 2004) Pada tanggal 28 April 2003 pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Megawati Soekarnoputri memberikan ultimatum untuk mengakhiri perlawanan yang selama ini dilakukan oleh GAM terhadap pemerintah pusat dan menerima otonomi yang akan diberikan oleh pemerintah kepada Aceh. Akan tetapi ultimatum tersebut tidak diindahkan sama sekali oleh pemimpin GAM yang pada saat itu sedang berada di Swedia. Akibatnya pemerintah merasa diremehkan, dan menganggap tawaran tersebut merupakan tawaran terakhir yang diberikan pada GAM. Padahal, beberapa negara di dunia seperti Amerika Serikat dan Jepang sempat memberikan desakan pada kedua belah pihak untuk mengakhiri pertikaian dengan jalan perundingan yang akan dilaksanakan di Tokyo dan tawaran tersebut tidak juga diindahkan. Pada 18 Mei 2003, presiden Megawati Soekarnoputri memberikan izin untuk melancarkan operasi militer dikawasan Aceh untuk melawan gerakan separatis yang terjadi di sana. Presiden juga menetapkan darurat militer di Aceh selama enam bulan. Ribuan prajurit TNI maupun POLRI dikerahkan untuk melaksanakan misi tersebut. Kurang satu tahun, sebelum akhirnya pemerintah menurunkan status darurat militer menjadi darurat sipil. Hal tersebut berlangsung selama lebih dari satu tahun ribuan korban berjatuhan, dan kebanyakan adalah warga sipil. Maka dari itu, banyak isu-isu pelanggaran HAM tersebar pada saat terjadinya perang. Pihak TNI menyatakan bahwa sebagian besar dari korban perang tersebut merupakan anggota GAM, akan tetapi beberapa kelompok pembela hak asasi manusia baik lokal maupun internasional menyatakan bahwa TNI sering melakukan pelanggaran hak asasi manusia, dengan tidak membedakan antara warga sipil dan pemberontak selama operasi militer. Kemudian, kerabat korban pelanggaran hak asasi manusia, merasa bahwa peradilan terhadap anggota TNI hanya berpusat kepada para anggota berpangkat rendah dan bukan pada para komandan

4

yang menghalalkan secara tidak langsung adanya pelanggaran hak asasi manusia. Kemenangan diraih oleh anggota TNI yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri dan Endriartono Sutarto dengan kekuatan kurang lebih sebanyak 45.000 personil TNI dan POLRI yang melawan sekitar 5000 anggota separatis di Aceh. Setelah tumbangnya kekuasaan Soeharto pada tahun 1998, konflik GAM sepertinya lebih menunjukkan sedikit celah untuk memperundingkan apa yang sebarnya telah terjadi.

5

PEMBAHASAN I. Perundingan sebagai alat komunikasi dalam penyelesaian masalah Komunikasi adalah transmisi atau pertukaran informasi, data dan pesan melalui media, seperti pembicaraan (verbal communication), tulisan (written communication) telepon, telegram (telecommunication), radio, televisi, surat kabar, film (mass media) internet (interactive media), lukisan dan musik (recreation media). Komunikasi dapat dikategorikan menjadi komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal. Dalam

komunikasi

verbal

yang

terpenting

adalah

bahasa.

Masyarakat

menggunakan bahasa untuk mengutarakan maksud atau gagasan kepada orang lain. Perundingan adalah salah satu contoh dari komunikasi verbal yang secara khusus dapat dikatakan komunikasi organisasi yaitu komunikasi yang dilakukan dalam sebuah organisasi secara terstruktur dan resmi. Dari dulu berbagai masalah baik besar maupun kecil memilih perundingan sebagai media untuk membicarakan suatu masalah hingga pada saat yang tepat mencari jalan keluar untuk masalah yang sedang dihadapi. Secara global, perundingan telah dipilih banyak negara untuk menyelesaikan masalah interen maupun eksteren yang dihadapi. Pelajaran baik bisa kita ambil dari Filipina Selatan semasa rezim Marcos, yang secara tidak langsung, masalah yang dialami bisa terseret ke Organisasi Konferensi Internasional (OKI). Sebuah organisasi perundingan sebagai meditor bagi masalah negara yang mendunia. Contoh lain, Yugoslavia pada akhir tahun 1990-an mengalami gelombang separatis dari Kroasia, Slovenia, Makedonia, dan Bosnia Herzegovina untuk memisahkan diri dari negara induknya. Dalam menyelesaikan hal ini Yogoslavia menerima banyak bantuan dari organisasi internasional seperti Conference on Security and Coorperation in Europe (CSCE). Perundingan berhasil ditempuh secara baik, dan berakhir dengan pengakuan CSCE dan PBB bahwa yang tersisa adalah negara Serbia dan Montenego, yang merupakan negara Yugoslavia yang baru. Tidak semua perundingan membuahkan hasil yang baik. Masalah interen antara GAM-RI di bawa ke meja perundingan internasional. Sebuah organisasi non-pemerintah yang bergerak di budang kemanusiaan, Henry Dunant Centre mencoba untuk menjadi

6

mediator di Bavois, Swiss pada 12 Mei 2000. Perundingan itu kemudian menyetujui suatu Joint Understanding (Persetujuan Jeda Kemanusiaan), yang kemudian tanpa membuahkan hasil konkret. Indonesia sendiri telah mengalami banyak jatuh bangun dalam hal perundingan. Misalnya perundingan Indonesia dengan pihak separatis di Timor-Timur, walaupun hasil yang diperoleh, Indonesia harus merelakan lepasnya Timor-Timur dari NKRI. Indonesia juga menggunakan segala cara untuk menyelesaikan sengketanya dengan pihak sparatis di Aceh, baik secara perlawanana fisik maupun perlawanan secara diplomatis dengan cara perundingan. Masalah Aceh merupakan masalah dalam negeri, maka apapun cara yang ditempuh, Indonesia harus berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikan masalah ini sendiri, tanpa campur tangan lembaga dari luar Indonesia. Bahkan organisasi dunia seperti Perserikatan Bangsa Bangsa dan ASEAN pun memiliki komitmen untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri setiap negara anggotanya. Seperti yang dinyatakan oleh Sumaryo Suryokusumo (2005) dalam tulisan yang berjudul Rencana Perundingan RI-GAM di Finlandia: “Baik negara atau kelompok negara termasuk organisasi internasional tidak mempunyai hak, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan dalih apa pun, untuk mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Jika hal itu terjadi, sudah tentu bisa mengarah pada suatu internasionalisasi masalahnya, sehingga menjadikan masalah tersebut lebih kompleks.”3 Setelah tumbangnya kekuasaan Soeharto pada tahun 1998, konflik GAM sepertinya lebih menunjukkan sedikit celah untuk memperundingkan apa yang sebenarrnya telah terjadi. Pada masa ini masyarakat sipil memegang peranan penting dalam proses perdamaian dengan anggota Gerakan Aceh Merdeka. Pada awal perundingan, GAM masih memiliki bahwa gerakan separatisme yang dilakukan merupakan sambungan dari kekuasaan pada masa lampau. Pada perundingan kali ini, masyarakat sipil menanamkan paradigma bahwa kemerdekaan merupakan cerminan dari kehidupan berdemokrasi yang damai dibawah NKRI. Maka dari itu setelah perubahan paradigma tersebut, perundingan-perundingan yang berlangsung lebih damai karena dialog yang dibangun berisikan cita-cita mengenai demokrasi yang damai bukan hanya membahas masalah sejarah lampau yang terlalu konvensional.

3

http://www.suarapembaruan.com/News/2005/01/27/Editor/edi04.htm

7

Seperti yang dikemukakan diatas, bahwa Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelesaikan semua konflik interen secara mandiri. Akan tetapi, terkadang konflik interen bersifat sangat luas, sehingga bila diselesaikan secara tertutup akan mengakibatkan sesuatu yang lebih kacau. Bagaimana pun juga dikhawatirkan bila suatu konflik diselesaikan hanya dengan peranan pihak-pihak yang bertikai, akan terjadi suatu perundingan yang bersifat subjektif, tanpa ada penetral. Maka dari itu, peranan pihak ketiga yang bersifat netral sangat dibutuhkan. Hal ini dikuatkan dengan sebuah tulisan oleh Iskandar Zulkarnaen (2007) dalam Peran Pihak Ketiga dalam Penyelesaian Konflik di Aceh; Analisa Kegagalan HDC Serta Prospek Damai MoU Helsinki

menyatakan

bahwa, “ada empat hal yang menjadi alasan mengapa beberapa konflik interen juga membutuhkan pihak luar dalam penyelesaiannya antara lain yaitu: pertama, sumbersumber konflik justru lebih banyak karena faktor luar. Kedua, interdependensi global yang ada mengakibatkan perlunya pihak ketiga turun campur sebagai pencegahan agar konflik tidak meluas ke negaranya. Ketiga, biaya konflik berupa tragedi kemanusiaan membuat pihak luar memiliki legitimasi untuk tidak tinggal diam atau melakukan intervensi. Keempat, adanya kesepakatan dari hampir semua kajian konflik bahwa konflik yang berlarut-larut hanya dapat diselesaikan dengan melibatkan pihak luar.”4 Menunjang pernyataan tersebut, Indonesia pun membutuhkan pihak luar sebagai mediator untuk menyelesaikan konflik di Aceh. Setelah kegagalan Henry Dunant Center (HDC) mendamaikan RI-GAM, pihak luar masih belum menyerah, jejak HDC diikuti pula oleh NGO. Secara Umum NGO didefinisikan sebagai lembaga privat, voluntary, nonprofit; dimana anggota-anggotanya mengkombinasikan kemampuan, cara dan energi mereka dalam mencapai tujuan dan idealita5. HDC dan CMI adalah dua contoh NGO internasional, yang mencoba menyelesaikan masalah aceh. Kekuatan NGO sebagai organisasi non-pemerintah, membuat NGO dapat masuk ke bagian-bagian privat tanpa harus mengkhawatirkan penolakan pengakuan resmi. Keterlibatan HDC pertama kali di Indonesia dimulai pada bulan Agustus 1999 ketika Presiden Abdurrahman Wahid meminta HDC untuk memfasilitasi dialog 4

ACEH INSTITUTE.ONLINE _ PERAN PIHAK KETIGA DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI ACEH; ANALISA KEGAGALAN HDC SERTA PROSPEK DAMAI MoU HELSINKI.html 5

ibid, bag. NGO Sebagai Aktor Resolusi Konflik

8

kemanusiaan guna menyelesaiakan konflik Aceh. Aksi pertama yang dilakukan HDC adalah membawa RI-GAM secara bersama-sama ke meja perundingan pada bulan Januari 2000 yang kemudian diikuti dengan beberapa dilog oleh kedua belah pihak. Meskipun tidak memiliki kepercayaan terhadap Pemerintah Indonesia, GAM segera menerima tawaran dialog dengan tujuan menginternasionalisasi kasus Aceh dan mendapatkan dukungan atau simpati dari Amerika atau negara negara-negara Eropa dengan harapan mereka mau menekan Indonesia agar melepaskan Aceh. GAM juga berharap dialog ini dapat mengekspos seluruh pelanggaran hak asasi manusia yang pernah TNI lakukan kepada warga Aceh. Dari perundingan tersebut diperoleh sebuah hasil berupa Memorandum of Understanding (MoU) pada 12 Mei 2000 tentang Jeda Kemanusiaan untuk Aceh di Geneva, Swiss. Sayangnya walaupun telah terlahir suatu kesepakatan antara kedua belah pihak, tetap saja masalah mendasar dari pihak yang bersengketa belum menemukan sebuah kesamaan tentang paham kemerdekaan, apakah Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI atau Aceh akan menjadi suatu negara baru yang terpisah dari NKRI. Pemerintah Indonesia masih bersikeras untuk mempertahankan Aceh, akan tetapi di lain pihak pasukan separatis di Aceh tetap memegang teguh keinginan untuk memisahkan diri dari diskriminasi pemerintah Indonesia. Ditambah lagi, dengan degradasi kepercayaan oleh kedua belah pihak yang tengah bertikai membuat dialog yang sebelumnya berjalan secara damai dan lancar, kini mengalami kegagalan. Dari berbagai perundingan setelah hal itu terjadi, tampaknya puhak RI dan GAM masih tetap bertahan pada keinginannya masing-masing. Pada tanggal 18 Mei 2003 GAM mengeluarkan pernyataan penolakan terhadap pernyataan dari pemerintah Indonesia, dan secara cepat Presiden Megawati merespon hal tersebut dengan menandatangani Darurat Militer di Aceh dan sejak saat itu kekuasaan berada di bawah militer sepenuhnya. Dengan dikeluarkannya kebijakkan tersebut, peran HDC pun terhenti dan dianggap gagal sebagai mediator perdamaian RI dan GAM.

II. Perundingan Akhir GAM dan Indonesia Pada era Orde Baru, nyaris persoalan Aceh tidak pernah tersentuh oleh upaya penyelesaian konflik secara damai kecuali melalui pendekatan militer yang banyak memakan korban jiwa. Pada era Gus Dur-lah permasalahan Aceh mulai dibuka dan

9

melibatkan pihak ketiga yaitu Henry Dunant Center (HDC) dalam penyelesaian konflik di dalamnya yang berakhir dengan kegagalan. Setelah melalui beberapa perundingan dan adu senjata yang pelik. Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono, sinyal perdamaian Aceh semakin terang bersinar. Berbagai kegagalan dalam perundingan sebelumnya, seakan memberikan pelajaran bahwa sebenarnya masalah Aceh dapat diselesaikan dengan cara damai, tanpa harus mengorbankan banyak hal untuk suatu perdamaian, karena dengan pengalaman HDC, pihak yang bersengketa setidaknya bisa berdialog mengenai segala kemungkinan yang akan terjadi dan hal ini mungkin saja akan terealisasi pada suatu perundingan yang lebih tepat untuk menyelesaikan sengketa tua ini 26 Desember 2004, tsunami meluluhlantakkan tanah rencong. Bersumber www.endonesia.com menyatakan bahwa korban tsunami mencapai angka 166.080 orang. Belum lagi kerusakan infrastruktur yang benar-benar menghancurkan hati semua rakyat Aceh, bahkan rakyat Indonesia. Satu bulan setelah itu, terjadi suatu awal dari perdamaian yang selama hampir tiga dekade diimpikan oleh rakyat Aceh. Pada tanggal 27-29 Januari 2005 diadakan perundingan Helsinki, dan sayangnya perundingan ini belum menghasilkan apa-apa. Kemudian pada 21-23 Februari 2005, itikad baik mulai muncul dari pihak Aceh untuk menghentikan hasrat untuk memisahkan diri dari NKRI. Perundingan selanjutnya diadakan pada 12-16 April 2005, kedua belah pihak sepakat untuk mencari sosuli terbaik untuk masalah yang telah mengakar ini. Tahap keempat perundingan diadakan pada 1217 Juli, perundingan ini menjelaskan bahwa telah terjadi kemajuan yang sangat peasat dari proses perdamaian RI dan GAM. Terdapat sebuah kesepakatan bahwa, antara pihak Indonesia dan GAM tidak diperkenanakan menggunakan senjata jenis apapun dari 23 Juli 2005 sampai penandatanganan berlangsung. Akan tetapi tampaknya, perdamaian RI dan GAM masih diselimiti hal yang kelabu. Beberapa hari sebelum penandatanganan MoU dimanfaatkan oleh sebagian anggota GAM untuk melancarkan intimidasi kepada masyarakat sipil, hal ini disinyalir terjadi karena ada beberapa kaum muda dari pihak GAM, yang biasanya berada di tempat-tempat terpencil belum mengetahui akan ada kesepakatan perdamaian antara RI dan GAM. Walaupun dengan berbagai peristiwa kelam yang terjadi sebelum penandatanganan, tetap saja kebanyakan anggota yang terkait merasa sangat optimis dengan perjanjian damai tersebut akan membawa perdamaian menyeluruh bagi seluruh rakyat di Aceh maupun secara umum rakyat Indonesia.

10

Setelah lebih dari dua dekade masalah antara RI dan GAM tidak pernah menemukan titik terang, maka dengan jasa Crisis Management Initiative (CMI) sebagai pihak ketiga, pada 15 Agustus 2005 -dua hari menjelang peringatan kemerdekaan- di sebuah villa megah di Vantaa, Helsinki, Finlandia antara Hamid Awaluddin sebagai wakil Indonesia dan Malik Mahmud, perwakilan GAM, setuju untuk menandatangani MoU perdamaian. Peristiwa bersejarah itu disiarkan langsung melalui siaran televisi, dan menjadi suatu awal dari penyelesaian konflik Aceh secara permanen. Pasca penandatangan MoU perdamaian ini, banyak yang cukup ragu dengan kepermanenan perjanjian ini. Tapi hingga saat ini, gema pertikaian di Aceh tampaknya benar-benar mereda. Hal ini disinyalir karena antara kedua belah pihak yang sebelumnya bertikai, dapat menjamin keamanan di daerah konflik. Hal ini ditandai dengan penghancuran 840 senjata GAM dan relokasi 36.000 personil TNI/POLRI, serta penghentian kekerasan, kriminalitas, penculikan, perampokan, dan segala bentuk kejahatan lainnya secara cepat di kalangan masyarakat.6

6

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0708/13/nas06.html

11

PENUTUP Gerakan Aceh Merdeka merupakan suatu gerakan separatis yang tumbuh akibat kekecewaan terhadap pemerintahan yang terkadang menyepelekan kekuatan-kekuatan khusus yang dimiliki daerah-daerah di NKRI. Kekecewaan ini bukan hanya dirasakan oleh masyarakat Aceh saja, banyak daerah – daerah di Indonesia yang merasakan hal serupa. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak boleh dipandang sebelah mata, karena apabila bibit separatis terus menyebar maka rasa nasionalisme akan semakin tidak terasa. Berbagai cara yang bisa dilakukan untuk mencegah dan menghentikan gerakan separatisme di Indonesia. Selain gencatan senajata yang pasti akan memakan banyak korban, perundingan merupakan salah satu cara paling diplomatis untuk menyelesaikan masalah interen, seperti separatisme. Perundingan tidak bisa dilakukan hanya sekali untuk mencapai suatu tujuan, akan tetapi membutuhkan kesabaran untuk melaksanakan banyak perundingan agar hasil yang diperoleh benar- benar dapat berlangsung dalam waktu yang lama. Perundingan bagaikan suatu media yang bisa mengkomunikasikan kehendak dari pihak- pihak yang bertikai, semakin baik proses suatu perundingan berlangsung, maka proses komunikasi antar pihak yang bertikai juga bisa dikatakan berjalan sesuai dengan harapan, dengan demikian akan memperkecil kemungkinan terjadi kesalahpahaman antara kedua belah pihak.

12

Daftar Pustaka Buku: Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasai Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. 2005 Situs: Aspinal, Edward. 2007. Sejarah Konflik Aceh. 23 Oktober 008. Diunduh dari: www.acehinstitute.org/resume_150607_edward_aspinal Achmady et al. 2007. Sejarah Bangsa Aceh. 23 oktober 2008. Diunduh dari: http://younone.wordpress.com/2007/05/04/sejarah-bangsa-aceh/ Fasya, Teuku Kemal. 2008. Mou Helsinki: Antara Keamanan dan Perdamaian. 25 Oktober 2008. Diunduh dari: http://kingagung.wordpress.com/2008/08/31/mou-helsinkiantara-keamanan-dan-perdamaian/ Suryokusumo, Sumaryo. 2005. Rencana Perundingan RI-GAM di Finlandia. 23 Oktober 2008. Diunduh dari: http://www.suarapembaruan.com/News/2005/01/27/Editor/edi04.htm Suradi. 2007. 23 Oktober 2008. Diunduh dari: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0708/13/nas06.html Ummahonline. 2007. GAM dan Perjuangan Jangka Panjang. 23 Oktober 2008. Diunduh dari: http://ummahonline.wordpress.com/2007/01/04/gam-dan-perjuangan-jangkapanjang.html

Zulkarnen, Iskandar. 2007. Peran Pihak Ketiga dalam Penyelesaian Konflik di Aceh; Analisa Kegagalan HDC serta Prospek Damai MoU Helsinki. 23 Oktober 2008. Diunduh dari:

http://ACEH

INSTITUTE.ONLINE

/PERAN

PIHAK

KETIGA

DALAM

PENYELESAIAN KONFLIK DI ACEH; ANALISA KEGAGALAN HDC SERTA PROSPEK DAMAI MoU HELSINKI.html http://www.kairoscanada.org/e/countries/indonesia/background.asp

http://id.wikipedia.org/wiki/Operasi_militer_Indonesia_di_Aceh_(2003-2004).html

13

Hupudio,Hudoyo. 2000. Sejarah Kekerasan di Aceh. 23 Oktober 2008. Diunduh dari: http://groups.google.co.id/group/soc.culture.indonesia/tree/browse_frm/month/200308/f5bfed71c50ab1e4?rnum=1&_done=%2Fgroup%2Fsoc.culture.indonesia%2Fbrowse _frm%2Fmonth%2F2003-08%3F

14

Related Documents


More Documents from ""

Proses Mengenal Tuhan
December 2019 26
Warung Burjo
December 2019 36
Pelacuran : Kajian Filsafat
December 2019 25
Deskripsi Teori
December 2019 37