Asap rokok mengepul dari beberapa mulut pria yang sedang duduk di atas kursi kayu. Jajaran ember-ember plastik berisikan berbagai jenis gorengan, memenuhi meja panjang berwarna putih. Empat orang pria dewasa dengan logat sunda dengan cekatan melayani semua keinginan para pelanggan. Burjo, begitulah tempat itu biasa dikenal oleh sebagian masyarakat, khususnya mahasiswa. Burjo merupakan akronim dari Bubur Kacang Hijau, yang merupakan salah satu jenis makanan yang dijajakan di warung tersebut. Selain bubur kacang hijau, warung burjo juga menjual berbagai panganan yang biasanya disantap oleh mahasiswa antara lain: mi instan, nasi goreng, pisang molen, pisang karamel, bakwan, magelangan, bubur ayam, teh, susu, kopi, dan yang paling penting rokok eceran. Urusan harga, burjo menyesuaikan dengan kondisi keuangan mahasiswa pada umumnya. Harga yang ditawarkan berkisar antara Rp 500 – Rp 5000, harga termurah ditempati oleh berbagai macam gorengan, dan termahal di tempati oleh magelangan telur. Tampaknya keunggulan warung burjo dari warung-warung lain terdapat pada harganya yang sangat murah dibandingkan dengan yang lainnya. Selain itu, warung burjo merupakan warung yang memiliki pelayanan 24 jam penuh tanpa berhenti, dengan sistem bergantian pelayan di warung burjo tidak berhenti melayani para pelanggan yang datang silih berganti. Sistem bergantian juga tidak mutlak diberlakukan, terkadang pelayan yang yang bukan masa kerjanya pun tetap ikut membantu pekerjaan teman yang lainnya. “ Liburnya enggak ada, tapi kalo mau izin ya boleh, tapi kalo benar-benar kondisi yang kepepet.” ujar Suryana, seorang pelayan salah satu warung burjo di kawasan Jalan Kaliurang. Pada kenyataannya, selain warung burjo, di Yogyakarta terdapat warung 24 jam lainnya, yaitu Jogja Grup yang pemiliknya berasal dari daerah Bantul, Yogyakarta. Akan tetapi walaupun pemilik Jogja Grup berasal dari Yogyakarta, nampaknya citra warung burjo tidak bisa terkalahkan di kalangan mahasiswa. Oleh para mahasiswa, warung burjo dijadikan sebagai ajang berkumpul, mencari teman baru dan belajar membentuk sosialisasi dengan berbagai kalangan. “Ada lho beberapa teman mendapat pacar karena berkenalan di warung burjo.” ujar Andre seorang mahasiswa tingkat tiga, fakultas hukum, Universitas Gadjah mada menambahkan. Warung burjo bukan sembarang warung. Bila diperhatikan semua warung burjo menjajakan makanan yang sama, resep bubur kacang hijau yang hampir sama dan pelayan yang mayoritas berasal dari suku yang sama. Tradisi ini merupakan peraturan tidak tertulis yang berasal dari daerah asal warung burjo itu sendiri yaitu Kuningan, Jawa barat. Mayoritas pelayan warung Burjo berasal dari daerah tersebut. Para pelayan burjo itu sendiri kebanyakan tidak mengetahui siapa sebanarnya yang memilki warung burjo itu pertama kali, tapi menurut mereka warung burjo ini sudah ada sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Dari daerah Kuningan itu lah, warung Burjo ini mulai populer, unit terbanyak terdapat di Jakarta, yang kedua di Yogyakarta. Sasaran utama warung burjo di Yogyakarta adalah mahasiswa, sedangkan di Jakarta adalah para pegawai. Karena sasaran yang berbada itulah, harga yang ditawarkan warung Burjo di berbagai kota sedikit berbeda.
Keunikan yang dimiliki warung burjo adalah mayoritas pelanggannya adalah kaum laki-laki. Seorang pelanggan warung burjo bernama Andre mengatakan “ cewek itu ribet kalo makan, gak mau kalau tempat makannya penuh asap rokok, maunya bervariatif ”. Mungkin, keterangan dari Andre, itu cukup memberi alasan dari keunikan diatas. Hal tersebut sejalan dengan keterangan yang diberikan oleh mahasiswa bernama Dian Eka, kaum wanita biasanya tidak terlalu menyukai suasana makan di warung burjo karena banyaknya pria yang datang dan asap rokok yang mebuat kondisi makan jadi tidak nyaman. Di Yogyakarta warung burjo yang dikenal di kalangan mahasiswa adalah Burjo Geulis 1-10, Burjo Tenggang Rasa, dan lain-lain. Walaupun sama-sama menjual panganan yang hampir sama, akan tetapi pemilik dari setiap warung burjo tetap berbeda. Walaupun nama warung hampir sama, misalnya yang terjadi di warung burjo Geulis, akan tetapi kepemilikan dipegang oleh orang yang berbeda. Yogyakarta merupakan salah satu kota yang memiliki warung burjo yang menjamur. Bisa kita temukan, disekitar pemukiman padat mahasiswa warung burjo pasti ada, menjelma menjadi dewa penolong yang siap mengobati kelaparan kapan pun saat dibutuhkan. Persaingan antara pedagang burjo pun kadang tidak terelakkan, karena sangat berkemungkinan jarak antara warung burjo satu dengan yang lain tidak terlalu jauh. Untuk mencegah keributan yang mungkin saja terjadi, maka para pedagang di seluruh Indonesia sepakat untuk membentuk suatu perkumpulan yang mereka namakan, Koperasi Pedagang Burjo (KOPAJO). Koperasi ini dikhususkan untuk seluruh pedagang burjo di seluruh penjuru tanah air. Koperasi ini bertujuan untuk membantu semua permasalahan yang dihadapi oleh para pedagang burjo. Misalnya, kekurangan modal, simpan pinjam, dan lain lain. Dengan adanya koperasi ini, pedagang burjo memiliki suatu wadah yang sedikit banyak membantu permasalahan yang terjadi dalam menjalankan usaha mereka.