Pentingnya Uswah Untuk Menghimpun Dana Pendidikan Bagikan 02 April 2009 jam 12:06 Sebagaimana tulisan terdahulu, salah satu kesulitan untuk mengembangkan lembaga pendidikan adalah terkait dengan penyediaan dana yang cukup. Dana yang tersedia untuk pendidikan selalu terbatas. Apalagi di lingkuangan lembaga pendidikan Islam, kebutuhan banyak, tetapi kekuatan kurang. Keterbatasan dana mengakibatkan sarana dan prasarana yang tersedia biasanya terbatas. Kalau pun ada kualitasnya pun juga seadanya. Tatkala saya mulai memimpin STAIN Malang, keadaan meja dan kursi kuliah sudah terlalu tua. Kapan sarana pendidikan itu dibeli kira-kira sudah puluhan tahun lalu. Selain sudah tua, sarana pendidikan itu juga tidak pernah dirawat, misalnya dipelitur atau dicat. Sarana pendidikan itu dibiarkan begitu saja, karena kira-kira memang tidak tersedia dana untuk merawatnya. Papan tulis, ketika itu, juga sudah tidak kelihatan warna hitamnya. Lingkungan kampus juga sama kusamnya. Rumput-rumput dibiarkan tumbuh ke sana kemari, sedemikian bebasnya. Akibatnya kampus sudah tidak sepenuhnya menggambarkan lingkungan pendidikan yang bagus. Sekalipun di dalam kelas dosen mata kuliah pendidikan selalu mengajarkan kepada para mahasiswanya bahwa lingkungan merupakan faktor penting dalam pendidikan, tokh dosen yang bersangkutan juga tidak memiliki kemampuan mendorong pimpinan kampus Islam ini agar merawat lingkungan kampus sehingga tercipta suasana pendidikan yang bisa ditiru oleh mahasiswanya yang belajar di perguruan tinggi ini. Dengan demikian, seolah-olah antara apa yang diajarkan oleh dosen di kelas tentang pendidikan Islam memiliki jarak yang sedemikian jauh dengan kenyataan yang ada di lingkungan di mana ilmu pendidikan Islam diajarkan. Atas dasar kenyataan itulah, saya selaku Ketua STAIN Malang------kini berubah menjadi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, berusaha mencari dana untuk merawat dan atau memperbaiki lingkungan kampus. Saya ingat ketika itu -----awal tahun 1998, semua tekel warna hitam yang sudah berusia puluhan tahun, segera saya ganti dengan tekel keramik, agar tampak bersih. Meja kursi kuliah saya panggilkan tukang untuk dipelitur atau dicat kembali. Dinding-dinding tembok bangunan tua, saya undangkan tukang agar dicat. Saya berharap agar kampus yang baru mulai saya pimpinan tampak hidup, tumbuh dan bersuasana segar. Menurut pandangan saya, lingkungan selalu mempengaruhi perilaku orang-orang yang ada di dalamnya. Jika lingkungannya kusam dan apalagi gelap, karena tidak pernah dirawat, akan berpengaruh pada hati, pikiran dan perilaku para penghuninya. Kembali pada persoalan semuala, banyak orang berpendapat bahwa sebab dari semua persoalan itu adalah dari keterbatasan dana. Saya sendiri kurang yakin atas pendapat itu. Sesungguhnya, dana itu banyak, ada di mana-mana, hanya mungkin belum mengenali jalan
untuk mengambilnya. Memang menncari tambahan dari pemerintah, ketika itu, tidak memungkinkan. Pemerintah sendiri, -------Departemen Agama, sedang dalam kondisi kesulitan, menghadapi berbagai tuntutan masyarakat, terkait dengan gerakan reformasi. Saya menempuh jalan dengan menghimpun sumbangan masyarakat. Masyarakat yang saya maksud adalah para dosen, karyawan dan para orang tua mahasiswa. Memang betapa susahnya mendapatkan dukungan masyarakat waktu itu. Ketika itu, di awal reformasi, apa saja yang berbau birokrasi pemerintahan, sangat sulit mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Di tengah-tengah kesulitan itu, saya teringat hadits Nabi bahwa mengajak kebaikan kepada siapun harus dimulai dari diri sendiri. Ibda’ bunafsika, begitu kata Rasulullah. Saya mempercayai kebenaran hadits ini dan saya mencobanya. Saya yakin ajakan saya akan mendapatkan respon baik, jika saya tidak sebatas meminta dan menyuruh, tetapi juga mengawali melakukannya sendiri. Hanya saja memang problemnya, saya tidak bisa mengamalkan ajaran Nabi, yang intinya bahwa jika tangan kanan seseorang memberi, maka tangan kiri tidak boleh mengetahuinya. Hadits ini menjadi sangat sulit diamalkan oleh pemimpin yang ingin memberikan contoh kebaikan. Namun saya yakin, hal itu tidak mengapa jika niat dalam hati hal itu memang untuk memberikan tauladan. Yang tidak dibolehkan jika hal itu melahirkan riya’ atau sombong. Ketika itu, menurut ketentuan pemerintah, Pimpinan Sekolah Tinggi yang diberi tunjungan jabatan hanya Ketuanya. Sedangkan para Pembantu Ketua, ketua dan sekretaris jurusan dan jabatan lain tidak mendapatkan tunjangan jabatan dari pemerintah. Sehingga tunjangan para pejabat itu hanya diambilkan dari dana kampus, yang jumlahnya tidak seberapa. Sumber dana itu diambilkan dari DIK-S, yakni hasil pungutan SPP mahasiswa. Sudah barang tentu, karena besarnya SPP sangat kecil, apalagi jumlah mahasiswa juga tidak besar, maka kekuatan kampus membayar tunjangan kepada para pejabat tersebut juga sangat kecil. Ketika itu saya sehari-hari mengajak para pejabat, dan para dosen yang saya sebuit sebagai ummatan wasathan, atau pemain inti bekerja keras mengejar ketertinggalan selama ini. Saya juga selalu mendampingi mereka, ikut bekerja hingga kadang sampai larut malam. Agar semangat kerja para ummatan wasathan tetap bertahan lama, maka harus diciptakan rasa kebersamaan di antara semua pihak, termasuk juga saya sendiri sebagai ketua STAIN Malang. Untuk mewujudkan agar benar-benar terjadi kebersamaan itu, maka setiap bulannya, tunjangan saya sebagai Ketua STAIN tidak pernah saya ambil. Daftar penerimaan tunjangan setiap bulan, saya tanda-tangani, tetapi uangnya selalu saya setorkan ke panitia perbaikan kampus, dan setersunya ketika membangun Ma’had, sampai tahapan pembangunannya selesai.
Saya benar-benar merasa terharu dan bahagia, ternyata apa yang dinasehatkan oleh Rasulullah, jika diamalkan membawa kekuatan yang luar biasa. Jumlah tunjangan saya sebagai ketua STAIN Malang, yang seluruhnya saya kembalikan ke bendahara kampus tidak seberapa. Tetapi ternyata, memiliki kekuatan yang luar biasa mampu menggerakkan orang ikut menyumbangkan uangnya untuk memperbaki dan mengembangkan kampus ini. Para dosen dan juga karyawan tidak sedikit yang ikut-ikut menyisihkan gajinya, yang jumlahnya juga kecil itu, disumbang kan ke kampus. Demikian juga para wali mahasiswa, yang memang sebelum masa kuliah dimulai, selalu saya hadirkan untuk diberikan penjelelasan tentang pelayanan pendidikan yang akan diberikan kepada putra-putrinya. Dalam kesempatan itu mereka saya beri penjelasan tentang bentuk-bentuk layanan yang melebihi standar. Misalnya, para mahasiswa akan diberi layanan perkuliahan Bahasa Arab secara intensif. Sedangkan untuk memberikan layanan lebih itu, pasti memerlukan tambahan biaya. Sementara, dana dari pemerintah setiap tahunnya tidak pernah mencukupi. Atas penjelasan itu -------termasuk juga apa yang saya lakukan sebagai ketua STAIN dan juga oleh para dosen dan karyawan yang mengikhlaskan sebagian gajinya untuk membiayai berbagai kegiatan, maka para wali mahasiswa pun dengan sukarela menambah sumbangan, selain yang telah ditentukan sebelumnya. Saya merasakan, betapa besar semangat para wali mahasiswa ketika itu ikut berpartisipasi dalam membangun lembaga pendidikan Islam ini. Sehingga, dengan cara ini, pada setiap tahunnya berhasil dikumpulkan dana yang cukup banyak untuk selanjutnya digunakan sebagai penutup kekurangan yang selalu dialami. Semangat memberi itu kemudian tidak saja datang dari dosen, karyawan dan juga para wali mahasiswa, melainkan juga dari orang lain yang menaruh simpatik pada gerakan membangun kampus ini. Misalnya, ketika itu datang tamu dari Brunai Darussalam, sekalipun tidak terprogram sebelumnya. Setelah mendengar berbagai program yang dianggap menarik, tamu tersebut menyatakan kesediaannya ikut membangun masjid yang sudah lama semestinya harus direnovasi. Masjid At Tarbiyah yang saat ini digunakan untuk sholat berjama’ah lima waktu dan juga sholat Jum’at bagi warga kampus, adalah merupakan sumbangan tamu dari Brunai Darussalam. Dia menyumbang secara spontan, tidak melalui proses administrasi yang pelik, misalnya melalui surat-menyurat dan apalagi dengan dokumen resmi dan seterusnya. Mereka menyerahkan dana yang diperlukan membangun masjid sampai selesai. Bahkan tatkala menyerahkan uang tersebut tanpa kuitansi. Yang dipentingkan olehnya agar waktu yang dijanjikan, masjid selesai dan bisa diresmikan. Semangat bergotong royong tersebut ternyata juga tidak saja terbatas berasal dari kalangan dosen, karyawan dan juga wali mahasiswa. Mahasiswa pun secara diam-diam juga ikut melakukan hal yang sama,
ikut berpartisipasi pembangunan kampus. Ketika itu, pemerintah dalam menanggulangi krisis yang berkepanjangan, mengeluarkan kebijakan, memberi bantuan kepada mahasiswa dengan sebutan jaring Pengaman sosial. Bagi mahasiswa yang dianggap lemah secara ekonomi dibantu sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah). Mahasiswa penerima dana jaring Pengaman Sosial tersebut, ternyata sepakat, mengumpulkan uang yang diterimanya itu kemudian digunakan bersama untuk melengkapi kebutuhan sarana kemahasiswaan. Saya ingat betul, bahwa fasilitas berupa sarana radio Simponi, UIN Malang di antaranya, dibangumn oleh mahasiswa sendiri, yang sumbernya dari uang Jaring Pengaman Sosial itu. Mereka menanda-tangani kuitansi penerimaan uang, sejumlah yang ditentukan, namun setelah itu, uang yang diterimanya diserahkan kepada tim yang ditunjuk untuk pengadaan sarana kegiatan kemahasiswaan tersebut. STAIN malang ----yang saat ini berganti status menjadi UIN maulana Malik Ibrahim, sesungguhnya berstatus negeri. Semestinya seluruh pembiayaan untuk menjalankan pendidikan dibayarkan oleh pemerintah. Akan tetapi, karena tidak mencukupi, diusahakan menghimpun sumbangan dari masyarakat, yang kadang jumlahnya cukup banyak, melebihi dari dana yang bersumber dari pemerintah sendiri. Fenomena ini memang agak aneh. Sementara di tempat lain, ketika itu, masyarakat mencurigai birokrasi pemerintah, karena diduga ber KKN (kolosi, Kolosi dan Nepotisme). Tetapi berbeda dari sikap itu terhadap birokrasi di STAIN Malang. Mereka justru berpartisipasi, ikut membantu mengembangkan kampus ini, menyerahkan uangnya untuk memenuhi kebutuhan Pengembangan Perguruan Tinggi Islam, sekalipun lembaga ini berstatus milik pemerintah. Mereka mempercayainya dank arena itu ikut membantu. Atas dasar pengalaman kecil ini saya berkesimpulan, bahwa kerja apapun jika ada yang menggerakkan dan sekaligus penggerak itu mau memberi contoh atau uswah, apalagi penggeraknya tidak tampak mencari untung pribadi, maka ternyata mudah mendapatkan partisipasi dari berbagai pihak. Memang membangun fasilitas untuk kepentingan bersama, semestinya dilakukan seperti itu. Pendekatan transaksional, sebagaimana saat ini banyak terjadi, apalagi ditambah dengan cara akal-akalan, tidak fair dan atau ingin untung dan menang sendiri, maka akan berakibat ditinggal banyak orang. Allahu a’lam.