Draft awal, masih disempurnakan
Pengkafiran di Era Pemikiran: Matinya Kebebasan dan Akal-Pikiran Luthfi Assyaukanie♣
Saya ingin memodifikasi judul bukunya Nasr Hamid Abu Zayd, “Pemikiran di Era Pengkafiran” menjadi “Pengkafiran di Era Pemikiran.” Dalam bahasa Arab, judul buku pemikir terkenal Mesir ini terdengar lebih puitis, yakni al-tafkir fi zaman al-takfir. Kata “fikr” dan “kufr” memiliki jumlah dan jenis huruf yang sama, hanya dibedakan oleh posisi huruf kaf. “Fikr” artinya pemikiran dan “kufr” artinya kekafiran atau kekufuran. Alasan utama Abu Zayd memberi judul bukunya seperti itu karena ia melihat bahwa pengkafiran di Mesir kini sedang menjadi tren. Sementara di belahan dunia lain, manusia berlomba-lomba menggunakan akal-pikiran mereka untuk meraih kemajuan, di Mesir, menurut Abu Zayd, kaum Muslim berlomba-lomba mengkafirkan saudara-saudara mereka yang berpikir. Bagi banyak orang di negara maju, abad ke-20 (dan juga ke-21) adalah era pemikiran (dan bukan pengkafiran), karena akselarasi kemajuan umat manusia terjadi begitu luar biasa pada masa ini. Boleh dibilang, seluruh pencapaian penting yang kita nikmati sekarang, dari mobil, motor, pesawat terbang, hingga komputer dan internet, adalah produk abad ke-20. Abad ke-20 adalah abad pemikiran, karena semua pencapaian teknologi yang dihasilkan pada masa ini merupakan produk zaman ini. Abad ke-20 (dan juga abad ke-21) adalah era kemenangan rasionalitas dan pemikiran. Di dunia Barat, pengkafiran boleh dibilang sudah selesai. Kalaupun ada, itu adalah kasus khusus dan tak pernah lagi menjadi isu sentral. Hanya sekelompok “fundamentalis” yang keberatan, misalnya, dengan novel Dan Brown, The Da Vinci Code. Kebebasan berekspresi dan berpendapat benar-benar dijaga dan dijunjung tinggi, kecuali pada kasuskasus khusus, yang tidak secara langsung terkait dengan pemikiran keagamaan.1 Di negara-negara Muslim, pengkafiran tak pernah berakhir, bahkan kini ada kecenderungan semakin menguat. Sejak Khomeini mengeluarkan fatwa mati untuk Salman Rushdi pada awal tahun 1980-an, kebebasan berpikir menjadi sesuatu yang menakutkan di dunia Islam. Faraj Fouda, Naguib Mahfudh, Nawal
♣
Disampaikan pada “Nurcholish Madjid Memorial Lectures,” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK), Universitas Paramadina, Jakarta, 2o Juli 2006. Luthfi Assyaukanie adalah dosen di Universitas Paramadina dan peneliti di Freedom Institute. Ia memperoleh PhD dalam bidang Studi-Studi Islam dari The University of Melbourne, Australia. Makalah ini bisa didownload di: (http://www.assyaukanie.com).
1
Misalnya pelarangan penggunaan simbol-simbol yang berkaitan dengan Nazi di Jerman.
1
Draft awal, masih disempurnakan
Sa’dawi, Fatima Mernissi, Muhammad Arkoun, dan Muhammad Ahmad Khalafallah, adalah nama-nama yang terkena pasal “kebebasan berpikir.” Mereka difatwa kafir karena pandangan-pandangan yang dianggap tidak sejalan dengan Ortodoksi Islam. Sebagian mengalami kekerasan dan pembunuhan (seperti yang terjadi pada Fouda), dan sebagian lainnya mengalami pengusiran (seperti yang terjadi pada Abu Zayd). Kebebasan berpendapat atau kebebasan berpikir, khususnya yang terkait dengan pemikiran keagamaan, memang masih menjadi isu besar di dunia Islam. Kesewenang-wenangan atas nama agama yang sudah ditinggalkan orang-orang Eropa sejak lama, masih terus dipeluk oleh otoritas Islam (para ulama dan kiai). Merasa menjadi wakil Tuhan di bumi dan menjadi penerus para nabi, otoritas Islam itu masih menganggap perlu adanya pembatasan atas kebebasan berpikir dan berpendapat seseorang. Untuk meneguhkan otoritas itu, mereka mengeluarkan fatwa yang mengancam dan menakut-nakuti setiap Muslim untuk bermain-main dengan pemikiran. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang haramnya “liberalisme” beberapa bulan silam, misalnya, adalah sebentuk ketakutan akan kebebasan berpikir di negeri kita. Takut Kebebasan Kebebasan, seperti pernah dikatakan Erich Fromm, adalah sesuatu yang menakutkan. Manusia modern cenderung mempercayai kekuatan-kekuatan totaliter karena merasa tidak nyaman (insecure) dengan dunia yang semakin “liar.” Dalam politik, kekuatan totaliter itu mewujud dalam bentuk Nazisme atau Fasisme, seperti yang pernah terjadi di Jerman dan Italia pada tahun 1930-an. Dalam pemikiran keagamaan, totalitarianisme ada pada otoritas agama (ulama dan kiai) yang dipercaya “melindungi” dan “menyelamatkan” iman kaum Muslim. Masyarakat yang takut akan kebebasan memilih bergantung kepada otoritas agama seperti MUI untuk “melindungi” iman mereka. Ketakutan akan kebebasan biasanya tercipta dari khayalan-khayalan manusia tentang masa depan yang tak menentu, tata-kehidupan yang semrawut, dan dunia yang semakin tak bersahabat. Khayalan-khayalan ini dibentuk oleh faktor psikologis, yang oleh Erich Fromm disebut “delusi beban kebebasan.” Orang yang terhinggapi delusi ini selalu menganggap bahwa kebebasan adalah sesuatu yang berbahaya dan akan menghancurkan manusia. Jika dunia dibiarkan bebas, manusia tak akan bisa dikontrol, dan dari sana kesemrautan akan muncul. Karena itu, bagi orang ini, harus ada sebuah otoritas yang bisa membatasi kebebasan dan bisa mengatur tindakan-tindakan manusia. Orang seperti ini kehilangan rasa percaya diri, dan karenanya lebih suka mengikuti petunjuk “orang lain” yang telah diberinya kuasa. Dalam politik, orang lain itu adalah penguasa (presiden atau raja), dan dalam agama, orang lain itu adalah ulama, atau pendeta, atau rabi. Para tokoh agama memainkan peran penting dalam menyemai ketakutan akan kebebasan di kalangan umat beragama. Ortodoksi agama, baik dalam 2
Draft awal, masih disempurnakan
Islam, Kristen, maupun Yahudi, pada dasarnya dibangun untuk mempertahankan ajaran-ajaran yang mapan dari pengaruh heretisme, yakni pemikiran-pemikiran yang dianggap menyimpang. Umumnya, cap heretisme diberikan kepada para pembaru dan pemikir yang memiliki pandangan berbeda dari Ortodoksi. Dalam Islam, julukan “heretis” pernah diberikan kepada para tokoh besar semacam Ibn Sina, Ibn Rushd, Ibn Arabi, Jalal al-Din Roumi, dan Suhrawardi. Kesalahan mereka adalah karena mereka memiliki pandangan keagamaan yang berbeda dari doktrin-doktrin yang telah digariskan Ortodoksi. Bagi Ortodoksi Islam, tidak penting benar apakah sebuah argumen seorang filsuf atau sufi atau pemikir bisa dipertangguhjawabkan. Pokoknya, jika sebuah pemikiran dianggap menyimpang dan berbeda dari pandangan mainstream, maka pemikiran itu dianggap “heretis” dan karenanya harus dijauhi. Sejarah Islam, seperti juga sejarah Kristen pada abad pertengahan, mencatat pengalaman buruk menyangkut para pemikir bebas. Ibn Rushd adalah salah satu contoh paling fenomenal bagaimana Ortodoksi Islam memusuhi pemikir besar ini. Kendati dirinya dianggap sebagai seorang otoritas agama dan pernah menjabat sebagai Hakim Agung –jabatan agama tertinggi pada abad ke12 Islam- pandangan-pandangan filosofis Ibn Rushd dianggap berbahaya. Tidak hanya dimusuhi dan dicaci-maki, Ibn Rushd menjalani akhir hidupnya sengan sangat memilukan. Diasingkan jauh dari tanah kelahirannya (Cordova), seluruh bukunya, terutama yang berkaitan dengan filsafat, dibakar dan dimusnahkan. Untunglah sebagian besar karyanya cepat menyebar ke luar Cordova, sehingga selamat dari amuk ulama ortodoks yang gelap mata itu. Para ulama ortodoks umumnya memang tidak toleran. Sikap tak toleran itu dikeluarkan dalam bentuk fatwa yang mengancam seseorang. Kadangkadang, ancaman itu menyangkut jiwa seseorang, seperti yang terjadi pada Salman Rushdi di Iran, atau pada Faradj Fouda di Mesir. Kadang juga menyangkut pengekangan kebebasan seperti yang telah beberapa kali terjadi di Indonesia. Fatwa MUI tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme, adalah sebentuk ancaman bagi kaum Muslim untuk tidak menyentuh area pemikiran yang sedang berkembang ini. Sama seperti lembaga Gereja pada abad pertengahan, MUI kini telah menjadi benteng bagi Ortodoksi Islam yang berpretensi untuk “menyelamatkan” iman kaum Muslim. Sejarah hubungan agama dan pemikiran adalah sejarah ketegangan. Di Eropa abad pertengahan, puncak ketegangan itu direpresentasikan dengan diciptakannya lembaga inkuisisi yang tersebar luas di Spanyol dan Italia. Pada masa awal Renesans, Gereja melakukan tindakan semena-mena kepada para pemikir, filsuf, dan saintis. Kebenaran adalah hak mutlak Gereja, di luar itu tidak ada kebenaran. Ketika Galileo Galilei mengumumkan bahwa “Bumi mengitari Matahari,” pandangan ini dianggap “heretis” dan Galileo dipanggil dewan inkuisisi untuk menarik ucapannya. Untungnya, sejarah ilmu pengetahuan selalu berpihak kepada para pemikir dan saintis, bukan kepada paus dan pastur di Vatikan. Kesalahan bertubi-tubi Ortodoksi Kristen lama kelamaan menggerogoti otoritas dirinya, khususnya di depan ilmu pengetahuan. Kini, Gereja mengakui 3
Draft awal, masih disempurnakan
sepenuhnya akan prinsip sekularisasi, yakni pemisahan antara otoritas agama pada satu sisi dengan otoritas politik dan ilmu pengetahuan pada sisi lain. Dalam Islam, pertentangan antara Islam dan ilmu pengetahuan relatif kecil. Hal ini karena tidak pernah terjadi sebuah revolusi sains seperti yang terjadi di Eropa. Kemajuan sains dan ilmu pengetahuan dalam Islam relatif “sejalan” dengan ideologi Ortodoksi. Bahkan beberapa sains Islam berkembang pesat akibat langsung dari ketertundukan sains di atas agama.2 Hal ini berbeda dengan pemikiran spekulatif yang dikembangkan dalam disiplin filsafat dan teologi. Pandangan-pandangan filsuf dan teolog kerap berbenturan dengan keyakinan Ortodoks Islam, khususnya ketika pandangan-pandangan itu diwarnai oleh unsur-unsur “asing” yang datang dari luar konteks Arab-Islam. Menarik untuk dicatat di sini bahwa ketakutan akan pemikiran bebas sejak masa-masa awal peradaban Islam lebih sering dipicu karena keterlibatan pemikiran asing yang masuk ke dalam tubuh Islam. Ketika gerakan penerjemahan buku-buku Yunani dilakukan pada abad-abad ke-7 dan ke-8 M, para ulama konservatif merupakan orang yang paling merasa tidak nyaman dengan proyek itu. Sikap mereka bukan tanpa alasan dan memang terbukti benar. Beberapa tahun setelah gerakan penerjemahan itu, bermunculan pandangan-pandangan Helenistik yang dianggap “bid’ah” (heretik) oleh Ortodoksi Islam. Pertentangan antara mazhab rasional (ra’yu) dengan mazhab non-rasional (wahyu) semakin menguat sejak munculnya gerakan filsafat dan teologi. Boleh dibilang, di mata ulama ortodoks, para filsuf Muslim adalah kaum heretik yang berislam secara keliru. Ketakutan akan pemikiran asing terus dipelihara oleh Ortodoksi Islam, hingga zaman modern. Jika pada masa silam, Yunani dianggap sebagai sumber pemikiran heretik, pada era modern, Barat yang memainkan peran itu. Bahkan kebencian (dan juga ketakutan) terhadap Barat kini diperparah dengan hubungan antagonistis antara dunia Islam dengan negara-negara Barat, khususnya karena adanya kolonialisme di masa silam. Di mata Ortodoksi Islam, Barat bukan hanya bangsa imperialis, tapi juga bangsa yang bertanggungjawab dalam mengembangkan pemikiran-pemikiran sesat. Kecurigaan ulama konservatif terhadap upaya-upaya pembaruan Islam yang dilakukan para pemikir Islam sejak abad ke-19, salah satu sebab pentingnya adalah karena gerakan pembaruan memiliki kesamaan dan bahkan mendukung gagasangagasan yang berkembang di dunia Barat. Fatwa terakhir MUI yang mengharamkan Liberalisme, Pluralisme, dan Sekularisme, adalah contoh paling nyata betapa Ortodoksi Islam masih terus memelihara ketakutan mereka terhadap Barat. Sikap resisten yang berlebihan
Salah satu contoh yang paling sering disebut sejarahwan adalah berkembangnya ilmu astronomi di dalam Islam. Ilmu ini, pada mulanya, adalah sebuah respon terhadap pencarian kiblat, untuk shalat. 2
4
Draft awal, masih disempurnakan
terhadap gerakan-gerakan Islam Liberal juga merupakan refleksi dari ketakutan mereka terhadap Barat. Patologi Masyarakat Islam Menguatnya lembaga-lembaga konservatif dalam Islam tentu saja tidak berdiri sendiri. Otoritarianisme agama, seperti juga dalam politik, menjadi kuat karena ada masyarakat yang mendukungnya. Pada gilirannya, sikap masyarakat yang konservatif dan keengganan untuk menerima kebebasan juga tidak terjadi begitu saja. Ada banyak faktor mengapa masyarakat Muslim semakin menjadi konservatif dan menolak kebebasan. Analisa Erich Fromm di atas, saya kira masih relevan untuk menjelaskan mengapa kaum Muslim melarikan diri dari kebebasan. Dunia modern yang begitu keras dan tidak menentu serta perubahan yang datang begitu cepat membuat mereka merasa “kehilangan arah” dan “pegangan.” Di tengah perjalanan yang bisa menyesatkan itu, mereka memerlukan satu panduan yang pasti ke arah mana mereka berjalan. Otoritas agama adalah tempat berpegang paling ampuh. Dengan legitimasi ilahi, otoritas agama tak hanya sekadar memberikan petunjuk, tapi petunjuk yang benar. Kepatuhan kepada otoritas agama kemudian dinyatakan dengan memberikan persetujuan dan dukungan kepada agenda-agenda keagamaan, seperti pendirian negara Islam, penerapan syariat, dan pengawasan kepada hal-hal yang dianggap maksiat. Alih-alih memperlakukan politik dan tata-pemerintahan secara rasional, mereka menganggapnya sebagai perpanjangan dan tempat berartikulasi para tokoh agama. Dengan dukungan masyarakat yang begitu luas, kantong-kantong konservatisme terus menguat. Lembaga-lembaga yang sebelumnya diharapkan menjadi medium untuk meredam gejolak puritanisme (seperti Muhammadiyah dan NU) kini malah menjadi agen penyebaran gagasan-gagasan puritan. Kondisi ini diperparah dengan masuknya para politisi oportunis yang mengenakan jubah agama. Para politisi ini, yang kebetulan juga datang dari latar belakang agama, mempergunakan kepercayaan dan ketakberdayaan masyarakat. Kepentingan pribadi untuk mengumpulkan kekayaan, menggenjot status sosial, bertemu secara sempurna dengan kebodohan dan keluguan masyarakat. Kondisi patologis sebuah masyarakat kerap melahirkan pemimpinpemimpin yang otoriter. Dalam komunitas agama, kondisi ini mempermulus jalan para otoritas agama untuk bersikap secara otoriter. Hilangnya kontrol dari masyrakat serta tumpulnya daya analisa para tokoh agama membuat setiap fatwa dan pandangan yang mereka keluarkan menjadi tidak bermutu dan dalam banyak hal malah meresahkan dan memperburuk situasi. Fatwa MUI soal Ahmadiyah, misalnya, adalah contoh betapa otoritas yang menjadi otoriter itu berbahaya. Serangkaian kekerasan terhadap kelompok minorotas ini, tak bisa dipungkiri, merupakan akibat langsung dari fatwa semacam itu.
5
Draft awal, masih disempurnakan
Disfungsi Akal-Pikiran Patologi masyarakat Islam tentu tidak terbentuk begitu saja dalam semalam. Ketakutan akan kebebasan telah lama disemai dan dirawat baik-baik oleh Ortodoksi Islam. Para pembaru Muslim sejak abad ke-19 telah bebicara tentang “kejumudan akal-pikiran,” “kemunduran berpikir,” dan “matinya filsafat.” Dari sini, mereka kemudian berbicara tentang pentingnya menghidupkan kembali ilmu-ilmu rasional (‘ulum al-‘aqliyyah). Ironisnya, seperti mengulangi pengalaman masa silam, ulama konseratif adalah agen paling gencar dalam menyerang para pembaru dan agenda pembaruan Islam secara umum. Di Mesir, gerakan “Islam Rasional” yang dimulai sejak Muhammad Abduh terus mengalami tekanan dari kaum konservatif. Gerakan pemikiran Islam yang pada masa kini diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, dan Khaled Abu al-Fadl, seperti menghadapi tembok kokoh yang sulit ditembus. Di Indonesia, gerakan pembaruan Islam juga mengalami perlakuan yang sama. Sejak pertamakali gerakan ini muncul pada awal tahun 1970-an, pembaruan Islam menjadi sebuah konsep bete noire bagi Ortodoksi Islam di Indonesia. Para ulama konservatif, secara sederhana, kerap menganggap gerakan pembaruan sebagai gerakan rasionalisasi Islam, dan karenanya gerakan itu, secara inheren, salah dan keliru. Sejak kekalahan kaum Mu’tazilah lebih dari seribu tahun silam, rasionalisme memang menjadi kata kotor dalam tradisi Islam. Rasionalisme selalu dipertentangkan dengan wahyu dan sabda nabi. Siapa saja yang berusaha menghidupkan akal-pikiran akan dengan mudah dicap sebagai “kaum rasionalis” dan karenanya bertentangan dengan ajaran Islam. Persoalan kebebasan berpikir di dunia Islam, saya kira, berakar dari permusuhan dan kecurigaan berlebihan terhadap peran akal. Sejak awal, kaum Muslim terbelah dalam menyikapi perubahan sosial yang terjadi di sekeliling mereka, apakah harus melihat dan memahaminya lewat akal atau lewat wahyu. Ortodoksi Islam umumnya berpegang teguh kepada wahyu, karena mereka meyakini bahwa segala sesuatu di dunia ini sudah termaktub di dalam al-Qur’an. Kalaupun tidak ada di sana, mereka meyakini bahwa al-Qur’an memberikan sinyalemen-sinyalemen untuk itu. Dengan kata lain, wahyu harus didahulukan di atas akal dalam menilai apa saja. Sementara itu, bagi filsuf dan pemikir Muslim, akal merupakan pemberian Tuhan yang paling berharga, lebih berharga dari kitab suci itu sendiri. Tanpa akal, kitab suci tak akan bisa dipahami. Bagi mereka, jika akal dan wahyu berbenturan, maka wahyu haruslah diinterpretasikan (fa in kana muwafiqan fa la qawla hunalika, wa idza kana mukhalifan thuliba ta’wiluhu).3 Akal-pikiran memainkan peran sentral dalam isu kebebasan. Kita tak akan bisa berbicara tentang kebebasan berpikir jika kita tidak memiliki prasyarat utama untuk berpikir, yakni akal. Selama Ortodoksi Islam terus-menerus 3
Ini adalah pandangan terkenal dari Ibn Rushd dalam bukunya Fashl al-Maqal, h. 97.
6
Draft awal, masih disempurnakan
memusuhi akal-pikiran, maka selama itu pula wacana tentang kebebasan menjadi tak ada artinya. Terapi Kejut Kaum cendikiwan dan intelektual adalah orang yang paling dulu menyadari adanya patologi dalam masyarakat Islam dan paling memahami mengapa terjadi disfungsi akal-pikiran di kalangan kaum Muslim. Sejak awal abad ke-19, para pembaru Muslim mulai berbicara tentang pentingnya menghidupkan kembali tradisi intelektual Islam. Di Mesir, tokoh-tokoh pembaru seperti Rifa’at Tahtawi, Abdurrahman al-Kawakibi, dan Qassim Amien, berbicara tentang gagasan kemajuan dan peran penting akal manusia dalam melaksanakan gagasan itu. Di Indonesia, gerakan pembaruan keagamaan dimulai dari Minangkabau dengan melakukan perbaikan dalam bidang pendidikan. Kendati ada variasi dan perbedaan di antara para pembaru awal ini, satu hal yang agaknya mereka sepakati adalah bahwa kaum Muslim tertinggal dan terbelakang dalam ilmu pengetahuan, dan salah satu sebab utamanya adalah karena mereka memusuhi atau paling tidak kurang menyukai- akal. Berbagai upaya dilakukan para pembaru untuk “membangunkan” kaum Muslim dari tidur panjangnya dan menyadarkan mereka betapa pentingnya menghidupkan kembali tradisi intelektual mereka yang telah terkubur berabad lamanya. Usaha penyadaran ini kadang terasa sangat lamban dan kurang mendapat respon. Untuk itu, sebagian mereka mengambil cara lain dengan melakukan terapi kejut (shock therapy) kepada umat Islam. Terapi ini dilakukan dengan melontarkan gagasan-gagasan yang kontroversial. Dalam tingkat tertentu, terapi ini cukup berhasil, paling tidak dalam menyadarkan kaum Muslim dan menarik mereka ke dalam wacana ilmiah. Pada mulanya, gagasangagasan kontroversial ditolak dengan keras, tapi lama kelamaan, dengan saling tukar argumen dan diskusi intensif, gagasan-gagasan itu bisa diterima dengan baik. Salah satu contoh bagus menyangkut terapi kejut ini adalah apa yang dilontarkan oleh Ali Abd al-Raziq tentang penolakan gagasan khilafah. Ketika ia pertama kali melontarkan penolakan ini pada tahun 1925, hampir tidak ada tokoh Islam yang mendukungnya. Bahkan Abd al-Raziq menerima kecaman dan pengucilan dari komunitas al-Azhar, tempat dia belajar dan kemudian mengajar. Penolakan terhadap sistem khilafah pada masa itu adalah gagasan yang sama sekali tak masuk akal dan benar-benar dianggap sebagai sebuah ide melawan agama (sacrilegious). Namun, setelah melewati perdebatan panjang, gagasan Abd al-Raziq kini menjadi sebuah kenormalan. Hampir tidak ada kaum Muslim normal yang mau mendukung gagasan khilafah. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa tidak ada satupun negeri Muslim di dunia sekarang ini yang membangun sistem pemerintahannya berlandaskan khilafah. Metode terapi kejut juga dilakukan banyak pembaru Muslim yang lain. Di Indonesia, metode ini diadopsi oleh Nurcholish Madjid yang secara sadar 7
Draft awal, masih disempurnakan
mengakui bahwa ini adalah satu-satunya cara yang paling efektif dalam membangkitkan kesadaran kaum Muslim. Pada awal tahun 1970-an, Cak Nur melakukan serangkaian terapi kejut dengan melontarkan gagasan-gagasan kontroversial seperti penolakan terhadap partai Islam, ide tentang sekularisasi, liberalisasi, dan rasionalisasi. Pada mulanya, gagasan ini mengalami resistensi yang luar biasa, tapi setelah beberapa dekade, gagasan-gagasan yang semula ditolak itu kini mulai diterima. Salah satu bukti keberhasilan kampanye “sekularisasi” Cak Nur adalah kekalahan partai-partai Islam pada dua pemilu terakhir (1999 dan 2004). Begitu juga, gagasan-gagasan kemajuan yang dilontarkan Cak Nur pada tahun-tahun itu kini semakin banyak memiliki dukungan. Metode terapi kejut memang tidak bisa dirasakan hasilnya secara langsung. Kita harus menunggu beberapa tahun atau mungkin beberapa dekade mendatang. Tapi, seperti dikatakan Cak Nur, kendati hasilnya lambat, ini adalah cara yang paling efektif untuk membangunkan kesadaran kaum Muslim dan mengingatkan mereka terus-menerus. Agaknya cara ini pula yang secara sadar dilakukan oleh generasi Muslim yang lebih muda, baik yang tergabung di dalam Jaringan Islam Liberal (JIL), JIMM, P3M, atau organisasi-organisasi serupa lainnya. Kita tidak bisa menilai apa yang dilakukan gerakan ini sekarang. Tunggulah beberapa tahun atau mungkin juga beberapa dekade ke depan. Kesimpulan Tantangan kebebasan di dunia Islam memang sangat berat, karena ia harus menghadapi tembok berlapis-lapis. Pada lapis pertama, negara-negara Islam secara umum adalah dunia yang tidak ramah terhadap kebebasan. Laporan lembaga-lembaga internasional tentang indeks kebebasan, selalu memasukkan negara-negara Islam dalam urutan negara yang “tidak bebas” atau “separuh bebas.” Para penguasa di negeri-negeri Islam sebagian besar adalah penguasa otoriter yang anti-kebebasan. Indonesia sendiri baru beberapa tahun mengecap kebebasan dan baru tahun ini (2006) dianugerahi Freedom House sebagai negara yang “bebas.” Pada lapis kedua, kebebasan di negara-negara Islam terancam oleh masyarakatnya sendiri. Masyarakat Muslim adalah masyarakat yang paling tidak toleran dan paling cepat bereaksi dalam menyikapi hal-hal yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat. Pembunuhan dan penganiayaan kaum intelektual terbesar terjadi di dunia Islam. Lapis terakhir adalah para ulama dan tokoh agama. Lewat fatwa-fatwa yang mereka keluarkan, ulama dan tokoh agama telah membantu penyebarluasan sikap intoleran dan kebencian terhadap apa saja yang tidak mereka restui.
8