Silaturrahim di Era Teknologi Oleh Gesya Miladia El Khumairo Mahasiswa KPI UNSIQ semester 4
Kehadiran teknologi informasi yang semakin canggih seperti sekarang ini telah mempermudah kita dalam menjalin silaturrahim. Kita dapat bersilaturrahim dengan saudara kita yang jauh cukup dengan memanfaatkan teknologi yang kita miliki. Dan biayanya pun cukup relative lebih murah. Tapi, apakah cukup hanya dengan itu? Hari raya idul fitri tinggal mengihitung jam. Hari yang telah ditunggutunggu umat Muslim seluruh dunia akan segera tiba. Satu tradisi yang tidak pernah ketinggalan setiap hari Raya Idul Fitri khususnya di Indonesia adalah silaturahim. Rasanya belum berhari raya jika belum bersilaturahim. Semangat silaturahim inilah yang kemudian menciptakan tradisi mudik. Mereka yang tinggal di perantauan, khususnya kota, mudik atau kembali ke kampung halamannya untuk menyambung tali silaturahim demi bisa berkumpul dengan keluarga, sanak saudara, kerabat, dan orang tersayang. Walau sudah menjadi tradisi tahunan, namun masyarakat pada umumnya belum memahami arti silaturrahim yang sebenarnya. Secara bahasa, shillah yang berarti menyambungkan atau menghimpun, dan rahim berarti kasih sayang. Menyambungkan berarti sebuah proses aktif dari sesuatu yang asalnya tidak tersambung, sedangkan menghimpun mengandung pengertian sesuatu yang tercerai berai dan berantakan menjadi sesuatu yang bersatu dan utuh kembali. Dalam Islam, silaturrahim memiliki kedudukan yang sangat penting, yang setara dengan bertauchid, shalat, dan zakat. Rasulullah SAW bersabda, “Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, serta menyambung hubungan kekeluargaan.” (HR. Bukhari). Dalam hadits lain disebutkan, “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan silaturrahim.” (HR. Bukhori).
Di tengah perkembangan tekhnologi dan informasi yang begitu pesat, silaturrahim saat ini bisa dilakukan dalam berbagai media, seperti media social Instagram, Facebook, Tweeter, Whatsapp, Path, dan lain sebagainya yang dengannya orang bisa berbagi apa saja. Juga bisa dilakukan melalui telpon atau video call sekedar untuk mengucapkan selamat lebaran, guna untuk menyambung tali silaturrahim dengan orang saudara atau sahabat yang jauh di sana. Menurut Bapak Fikri, salah satu tokoh masyarakat di desa Buntu ia mengatakan bahwa silaturahim yang seperti di atas belum cukup. Ia memaparkan, apakah hubungan anak dengan bapak ibunya cukup dengan genggaman handphone? Apakah hubungan cucu dengan kakek dan nenek cukup diwakili dengan video call? Apakah komunikasi anak dengan orang tuanya cukup ketika sedang butuh saja? Begitupula hubungan dengan keluarga dan saudara yang lain. Dari pertanyaan dan pernyataan tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa kecanggihan tekhnologi dan elektronik tidak dapat menggantikan rasa rindu yang terbendung serta tali silaturrahim yang semestinya bertatap muka. Akan beda antara komunikasi melalui media elektronik dengan komunikasi secara langsung. Hal senada juga dikatakan oleh Bapak Nur Khozin selaku mahasiswa semester 4 program studi KPI di Universitas Sains Al-Qur’an di Wonosobo. Silaturrahim menggunakan media elektronik belum cukup. Benar sekali, jika tekhnologi
untuk
memudahkan
manusia,
khususnya
dalam
komunikasi.
Menurutnya, seperti halnya dalam makan siang, makan malam, atau sarapan jika belum menggunakan nasi padahal sudah menggunakan mie dengan silaturrahmi, yang mana orang biasanya saling bertatap muka, tapi seiring dengan bertambahnya zaman silaturrahim yang secara langsung tergantikan dengan kecanggihan teknologi yang ada. Tapi itu semua tergantung pendapat individu masing-masing. Sementara itu mahasiswa KPI Bapak Nur Farid menyebutkan, silaturrahim adalah menyambung tali persaudaraan, adapun bagaimana dengan dulu dan sekarang tetap afdhal dengan yang manual dengan arti afdhal silaturahmi masa dulu yang mana setiap orang saling berjabat tangan dan bertatap muka, dengan istinbat: pertama, bisa mushofahah sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Barang
siapa ziarah ke orang alim maka seperti ziarah kepadaku, dan barang siapa bersalaman padanya maka seakan-akan bersalaman padaku.” Sementara alat elektronik tak bisa mewakili; kedua, keterbatasan alat elektronik dibandingkan dengan berpapasan secara langsung; ketiga, bisa melepas rindu. Luthfi Fathullah menambahkan, fenomena silaturrahim via media social, SMS, dan media lainnya masih dianggap sebagai bentuk silaturrahim. Namun, silaturrahim dengan cara bertemu secara langsung tentu akan lebih baik. “Silaturrahim via media social termasuk dalam silaturrahim, tapi tidak ada yang lebih baik disbanding dengan bertemu dan berjabat tangan” paparnya. Menurut Luthfi jika ingin bersilaturrahim, utamakan tetangga lebih dahulu kemudian kerabat yang jauh, karena interaksi dengan tetangga lebih banyak daripada dengan saudara yang jauh. “Utamakan tetangga dulu, baru kerabat, teman, kemudian yang agak jauh.” Jelasnya. Mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majjah menyebutkan “jika ada dua orang Muslim yang bertemu lalu saling bersalaman maka diampuni dosa keduanya sebelum mereka berpisah”. Maka sangat diutamakan sekali bagi umat muslim untuk bersilaturrahim secara tatap muka, tanpa menggunakan media perantara. Dengan kehadiran teknologi, jangan sampai silaturrahim hanya sebatas chatting yang mana anggapan dan tanggapan setiap individu berbeda. Misalkan jika menggunakan media Whatsapp atau BBM, pengguna media soaial tersebut hanya mengirimkan broadcast messanger kepada pengguna lain, sedangkan penerima pesan tersebut ada yang membacanya dengan seksama, ada pula yang mengabaikannya. Begitu pula dengan sang pengirim, karena itu adalah broadcast message maka sang pengirim akan mengirimkan pesan kepada penerima secara asal yang ada di kontak tersebut, tanpa mengetahui siapakan unsur orang orang yang dikiriminya. Sangat kurang jika hal tersebut dilakukak. Bandingkan jika dengan tatap muka secara langsung, maka rasa dan aroma silaturrahim akan berbeda, akan lebih menyentuh ke lubuk hati pelaku silaturrahim yang secara langsung bertatap muka.
Selain itu, dalam silaturrahim harus ada unsur saling menolong. Jadi, ketika kita mengetahui kerabat atau saudara kita sedang mengalami kesulitan, kita bisa membantunya. Dan terakhir, luruskan niat dalam bersilaturrahim. Rasulullah SAW dalam sebuah Hadits mengatakan, “Yang disebut silaturrahim bukan membalas kunjungan atau pemberian (jasa), tapi menyambungkan apa yang telah terputus.” (HR Bukhari, Abu Daud, dan Tirmidzi).